Mila telah siap sejak satu jam yang lalu. Bahkan ini telah hampir masuk waktu maghrib. Jika saja ia tak memiliki janji dengan dokter kandungannya, maka ia tak akan seperti ini.
Matanya hampir saja menumpahkan muatan airnya, namun masih mampu ia tahan. Mila terlanjur membatalkan janjinya dengan Riska, ia kini hanya merasa bodoh karena untuk kesekian kalinya ia kembali percaya dengan kata-kata pria itu.
Bahkan jika ponselnya bisa bicara, ia pasti akan berteriak karena kesal. Nomor yang sedari tadi dipanggil hanya memperdengarkan panggilan masuk, tanpa ada yang mengangkatnya. Berarti pria itu dengan sengaja telah mengabaikannya.
Akhirnya Mila memutuskan untuk pergi kontrol kandungan sendirian. Ia memilih untuk mencari taksi online, namun saat ia hendak melakukan pemesanan, mendadak sebuah nama muncul di layar gawainya.
Awalnya ia ragu untuk menjawabnya
Sepasang suami istri sedang duduk di belakang rumah, tepatnya di sebuah taman bunga. Menikmati suasana sore dengan ditemani teh hangat dan kue kering. Tak ada obrolan diantara mereka, namun sangat terlihat ada rasa cinta yang begitu besar saat keduanya bertatapan dan saling melempar senyuman.Keromantisan itu harus ter interupsi saat seorang pemuda datang dan menyapa mereka dengan hangat."Sore mah, pah," ucap pria tinggi tegap itu.Pemuda itu bernama Daffa. Ia mencium pipi mamanya dan kemudian ikut duduk di sana." Bagaimana kegiatanmu di kantor, sayang?" tanya Ny. Rachel pada putra semata wayangnya dengan tatapan hangat." Sedikit lebih menyenangkan dari hari biasanya," jawabnya sambil ikut ngemil kue kering."Kau punya proyek baru?" tanya Tuan. Daniel.Pertanyaan itu tak mendapat jawa
Tommy dan Hendra kini sedang makan siang di apartemen milik Rio. Ketiganya terlihat menikmati kebersamaan itu sambil sesekali saling melemparkan candaan. Hingga Tommy mendadak berubah serius dan bertanya pada Hendra." Bro, kamu serius soal perkataanmu di rumah Rafin tadi?" Hendra yang mendapatkan pertanyaan itu tak segera menjawabnya, ia memilih diam andai saja pandangan mata kedua sahabatnya tak tertuju padanya. Hingga Rio yang tak tau apa-apa juga ikut memandangnya dengan rasa ingin tahu yang penuh."Menurutmu?" tanya Hendra."Kau jangan macam-macam, andaikan Mila telah berpisah dari suaminya yang merupakan sahabatmu, masih ada Pram yang menjadi kekasih dari wanita itu. Dan ia sahabatmu juga. Setidaknya kau hanya perlu mengingat itu." Sampai disini Rio mulai tau duduk perkara permasalahan mereka."Aku kan hanya berkata apa adanya, dan itu bukanlah suatu kesalahan.
Hari ini, Pram bingung harus berbuat apa. Pasalnya hari ini Mila berulang tahun dan ia harus menghadiri acara pertemuan dengan seseorang yang ingin melakukan kerjasama dengan usahanya. Tak mungkin jika ia harus membatalkan pertemuan itu demi Mila. Maka ia hanya mampu menitipkan kado untuk wanita itu pada Shella.Pram akan berusaha menyelesaikan urusannya secepat mungkin dan akan sesegera mungkin menemui wanita yang ia cintai itu.Nyatanya hingga sore hari pertemuan itu belumlah usai, dan tak mungkin baginya untuk meninggalkan pertemuan itu sebelum selesai. Belum lagi lokasi yang jauh dari kotanya, sehingga membuat ia lebih baik mengikhlaskan rencananya hari ini untuk menemui Mila. Tak mungkin untuk sekarang, barangkali ia akan menemui wanita itu esok hari.***Jarum jam telah menunjukkan pukul 20.00, artinya Mila telah duduk di ruangan itu lebih dari dua jam. Pelayan berulang kali
Pram urung untuk kembali ke apartemen. Ia memilih untuk mampir di salah satu cabang tokonya. Ya, toko tempat Mila pernah bekerja. Hari telah begitu larut dan toko menjadi sepi, tak ada seorangpun karyawan yang tersisa. Di sudut cafe ia sengaja duduk, mengamati seluruh isi ruangan itu. Sesekali bibirnya sedikit tertarik keatas, saat diingatnya kejadian lucu yang ia lewati bersama dengan wanita yang dicintainya.Mendadak ada sedikit rasa ngilu di sudut hatinya, kala ia tersadar, bahwa wanita itu kini bukan lagi miliknya. Hingga saat ini bahkan hatinya masih milik wanita itu sepenuhnya.Sakit.Rasa sakit yang semakin bertambah kala ia tahu bahwa belahan hatinya itu tak bahagia. Tak mampu menolong karena batasan norma dan tata krama.Pram menyugar kasar rambutnya, kopi yang ia buat nyatanya tak mampu mengalihkan kegalauannya.Perlahan, ta
Sepasang suami istri sedang duduk di belakang rumah, tepatnya di sebuah taman bunga. Menikmati suasana sore dengan ditemani teh hangat dan kue kering. Tak ada obrolan diantara mereka, namun sangat terlihat ada rasa cinta yang begitu besar saat keduanya bertatapan dan saling melempar senyuman.Keromantisan itu harus ter interupsi saat seorang pemuda datang dan menyapa mereka dengan hangat."Sore mah, pah," ucap pria tinggi tegap itu.Pemuda itu bernama Daffa. Ia mencium pipi mamanya dan kemudian ikut duduk di sana." Bagaimana kegiatanmu di kantor, sayang?" tanya Ny. Rachel pada putra semata wayangnya dengan tatapan hangat." Sedikit lebih menyenangkan dari hari biasanya," jawabnya sambil ikut ngemil kue kering."Kau punya proyek baru?" tanya Tuan. Daniel.Pertanyaan itu tak mendapat jawa
Mila dipersilahkan untuk berbaring diatas sebuah bed. Dalam keadaan seperti itu tampak sekali bahwa perut wanita itu telah membuncit. Seorang Dokter pria membuka baju Mila pada bagian perut, dan itu membuat Rafin menjadi panik. Secara refleks ia menarik mundur dokter yang sedang menangani istrinya."Hei, apa yang akan kau lakukan pada istriku!" ucap Rafin terlihat marah, dan itu cukup membuat Mila maupun dokter muda itu menjadi terkejut."Kami akan memeriksa kandungan istri anda Tuan, kami akan melakukan USG," jelas dokter itu. Mila hanya memutar bola matanya dengan jengah mendapati tingkah berlebihan dari Rafin, dan setelah mendapat penjelasan dari Dokter, Rafin kembali duduk di tempatnya semula, terlihat ada ketegangan di wajahnya.Setelah dokter memberikan sebuah gel yang merata pada perutnya, sebuah alat ditempelkan pada perut Mila."Jadi itu bayinya ya bunda, wah ... ,
Seharian ini Mila dan Rafin hanya menghabiskan waktu di dalam villa, duduk di taman bunga, membaca majalah atau menonton televisi. Entah mengapa mereka bertingkah seperti sepasang remaja yang baru mengenal cinta. Rafin bahkan tak lagi bersikap kaku atau dingin. Ia menyandarkan kepalanya di pangkuan Mila, saat wanita itu sedang menonton TV. Jemari tangan Mila tak lagi sungkan untuk bermain-main di rambut suaminya. Ia memijatnya dengan ringan, membuat Rafin menjadi lebih rileks. Obrolan santai mengalir begitu saja diantara keduanya."Hey, kalian berani menendangku? Apa kalian tak tahu kalau aku adalah orang tua kalian?" ucap Rafin yang merasakan gerakan pada kepalanya yang menempel pada perut istrinya. Ia mengusap lembut bagian itu, senyum Mila terkembang kala pria yang dulu sangat menyebalkan kini bisa berubah menjadi manis."Apakah kejadian semalam bukanlah yang pertama?" tanya Rafin masih sambil mengusap lembut per
"Kenapa kau tak memberiku kabar jika kau mau kesini?" tanya Anggita dengan menyandarkan kepalanya pada pundak Rafin."Aku datang kesini dengan istriku," ucap lelaki itu, dan jawaban itu membuat si gadis merengut. "Sejak kapan kau menyebutnya dengan kata istriku?" tanya Anggi tak terima."Kenyataannya ia memang istriku," ucap Rafin dingin.Mereka berdua sama-sama tak menyadari jika Mila telah berjalan dekat dibelakang keduanya, menyimak obrolan sepasang sejoli itu. Diam-diam ia tersenyum dengan sebutan "istriku" yang dilontarkan Rafin. Setidaknya ia merasa diakui sebagai istri oleh lelaki itu."Curang, kau bahkan sudah lama tak pernah mengajakku berlibur atau berwisata kan sayang?" kali ini Anggita mencoba untuk menunjukkan kecemburuannya."Aku akan mengajakmu lain kali," ucap Rafin."Aku menginap di hotel ujung sana, na