Mila dipersilahkan untuk berbaring diatas sebuah bed. Dalam keadaan seperti itu tampak sekali bahwa perut wanita itu telah membuncit. Seorang Dokter pria membuka baju Mila pada bagian perut, dan itu membuat Rafin menjadi panik. Secara refleks ia menarik mundur dokter yang sedang menangani istrinya.
"Hei, apa yang akan kau lakukan pada istriku!" ucap Rafin terlihat marah, dan itu cukup membuat Mila maupun dokter muda itu menjadi terkejut.
"Kami akan memeriksa kandungan istri anda Tuan, kami akan melakukan USG," jelas dokter itu. Mila hanya memutar bola matanya dengan jengah mendapati tingkah berlebihan dari Rafin, dan setelah mendapat penjelasan dari Dokter, Rafin kembali duduk di tempatnya semula, terlihat ada ketegangan di wajahnya.
Setelah dokter memberikan sebuah gel yang merata pada perutnya, sebuah alat ditempelkan pada perut Mila.
"Jadi itu bayinya ya bunda, wah ... ,
Seharian ini Mila dan Rafin hanya menghabiskan waktu di dalam villa, duduk di taman bunga, membaca majalah atau menonton televisi. Entah mengapa mereka bertingkah seperti sepasang remaja yang baru mengenal cinta. Rafin bahkan tak lagi bersikap kaku atau dingin. Ia menyandarkan kepalanya di pangkuan Mila, saat wanita itu sedang menonton TV. Jemari tangan Mila tak lagi sungkan untuk bermain-main di rambut suaminya. Ia memijatnya dengan ringan, membuat Rafin menjadi lebih rileks. Obrolan santai mengalir begitu saja diantara keduanya."Hey, kalian berani menendangku? Apa kalian tak tahu kalau aku adalah orang tua kalian?" ucap Rafin yang merasakan gerakan pada kepalanya yang menempel pada perut istrinya. Ia mengusap lembut bagian itu, senyum Mila terkembang kala pria yang dulu sangat menyebalkan kini bisa berubah menjadi manis."Apakah kejadian semalam bukanlah yang pertama?" tanya Rafin masih sambil mengusap lembut per
"Kenapa kau tak memberiku kabar jika kau mau kesini?" tanya Anggita dengan menyandarkan kepalanya pada pundak Rafin."Aku datang kesini dengan istriku," ucap lelaki itu, dan jawaban itu membuat si gadis merengut. "Sejak kapan kau menyebutnya dengan kata istriku?" tanya Anggi tak terima."Kenyataannya ia memang istriku," ucap Rafin dingin.Mereka berdua sama-sama tak menyadari jika Mila telah berjalan dekat dibelakang keduanya, menyimak obrolan sepasang sejoli itu. Diam-diam ia tersenyum dengan sebutan "istriku" yang dilontarkan Rafin. Setidaknya ia merasa diakui sebagai istri oleh lelaki itu."Curang, kau bahkan sudah lama tak pernah mengajakku berlibur atau berwisata kan sayang?" kali ini Anggita mencoba untuk menunjukkan kecemburuannya."Aku akan mengajakmu lain kali," ucap Rafin."Aku menginap di hotel ujung sana, na
Seorang wartawan tersenyum puas saat mendapatkan sebuah gambar yang bagus di kameranya."Bisa kupastikan bos besar akan puas dengan hasil kerjaku." Bayangan uang dengan jumlah nominal yang besar sudah membuat senyumnya tak berhenti terkembang.Berkali-kali ia melihat hasil jepretannya kembali. Merasa puas dan bangga pada dirinya sendiri.***Praminto hingga hari ini tak henti-hentinya mencoba untuk menyibukkan diri, agar pikirannya tak hanya tertuju pada Mila. Namun, pada kenyataannya semua itu tak membuahkan hasil seperti yang ia inginkan. Sungguh ia ingin mengetahui kabar wanita itu. Apakah ia baik-baik saja? Mengingat bahwa terakhir kali pertemuan mereka saat itu dalam keadaan yang sangat tidak menyenangkan."Tuuut ... , tuuut ... ," Pram akhirnya mencoba untuk menghubungi Mila, namun hingga beberapa panggilan wanita itu tak juga mengangkatnya.
Praminto kini tak mampu memejamkan matanya, adegan Mila di depan rumahnya tadi terekam sangat jelas di pelupuk matanya. Bagaimana pasangan itu terlihat akur dan nyaman saat berduaan. Bahkan wanita yang pernah menjadi kekasihnya itu terlihat malu-malu saat Rafin mengecup singkat bibirnya. Rafin juga tampak berbeda, ia terlihat lebih manusiawi. Baru kali ini Pram melihat sahabatnya itu bisa bersikap lembut pada seorang wanita. Lalu bagaimana dengan Anggita? Ah ... , tentu saja berbeda. Semua orang yang melihat pun akan paham jika Rafin akan berubah seperti seorang ajudan jika sedang bersama wanita itu. Lain ... , ada sesuatu yang lain diantara mereka. Mungkinkah antara Mila dan Rafin telah tumbuh benih-benih cinta?Pram memukul dadanya berkali-kali. Ia merasa sesak dan sakit sekaligus. Ada semacam rasa tak rela yang tiba-tiba muncul dibenaknya. Apakah mungkin ia kembali menjalin ikatan dengan wanita yang sampai saat ini masih dicintai?
"Kukira kau tidur? Lalu kenapa tak menjawab teleponku?" tanya Rafin, namun wanita itu tak kunjung memberi jawaban."Jawab aku sayang, aku bertanya padamu," ucap Rafin sambil duduk di sisi ranjang."Males," jawab Mila yang mendadak merasa geli dengan panggilan sayang yang baru saja diucapkan oleh Rafin. Pria itu memanggilnya sayang, tapi bergandengan mesra dengan perempuan lain. Cih!"Mila, apa kau baik-baik saja?" tanya Rafin yang sebenarnya telah melihat bahwa Mila telah berubah sikap."Menurutmu?" ujar wanita itu tanpa mengubah posisinya. Tetap enggan memandangnya."Dengarkan aku," ucap Rafin sambil berusaha membalikkan tubuh istrinya agar menghadap ke arahnya. Namun rupanya wanita itu menolak."Bicaralah, dan aku tetap akan mendengarmu,"ucap Mila dingin. Pria itu akhirnya memilih untuk mengalah."Katakan padaku, aku
Anggita membiarkan suara panggilan yang sedari tadi membuat benda kotak pipih itu mengeluarkan nada dering. Bukannya tidak mendengar, tapi ia sengaja melakukannya. Apalagi setelah ia melihat bahwa seseorang yang berada di seberang sana adalah Maya, manajernya.Perempuan itu menutup telinganya dengan bantal. Mencoba untuk cuek. Sebentar kemudian sudah tak terdengar apapun lagi, namun sesaat kemudian dering itu kembali menggema. Anggita sama sekali tak ingin mengangkatnya. Andai ia tahu siapa yang berada dibalik panggilan kedua itu.***"Kemana sih ni anak? Pingsan kali ya?" tanya Maya yang akhirnya menyerah dengan kegiatan konyolnya. Bukan apa-apa, tapi semua yang terjadi pada Anggita otomatis akan berimbas seluruhnya pada Maya. Namun, menjadi manajer gadis itu ternyata sangat sulit. Artisnya suka sekali bertingkah semaunya bahkan kadang diluar kendali.Ia sendiri sebenarnya sudah
Mama, papa dan Riska sudah menunggu Mila di luar ruang bersalin. Tak lama setelahnya datang Pram dan Shella. Rafin sendiri berada di dalam, menemani istrinya. Suasana tampak tegang dan mencekam, tak henti-hentinya mereka merapalkan doa untuk keselamatan ibu dan bayinya.***Mila tampak kepayahan, keringat terus saja mengalir di dahinya. Rafin tak meninggalkan istrinya itu meskipun selangkah. Tangannya mengelus rambut dan genggaman tangan mereka tak pernah terlepas. Kontraksi demi kontraksi terus saja terjadi. Semakin lama semakin sering, dan setiap kali hal itu terjadi, Rafin seakan kehilangan nyawa karena menyaksikan bagaimana Mila menahan sakit.Wanita itu nyaris tak mengeluh sedikitpun, tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Setiap kali Rafin bertanya padanya, hanya sebuah senyuman yang ia dapatkan."Katakan sesuatu sayang," bisik Rafin ditelinga istrinya.&nbs
"Boleh aku masuk tante?" tanya Anggita."Oh, tentu. Masuklah, kami juga baru tiba dari Rumah Sakit." Mama yang masih menggendong Azzam duduk di kursi tamu, menemani Anggita."Ih ... , lucu banget. Kembar ya tan, siapa namanya?" Anggita dan mama kemudian terlibat perbincangan basa basi disana.Mila sebenarnya urung untuk meneruskan niatnya beristirahat di kamar. Setidaknya ia ingin menghormati seorang tamu yang datang, setidaknya saat ini ia adalah tuan rumah. Namun, Rafin lebih menginginkan ia untuk beristirahat."Kenapa? Bukankah ia ingin bertamu? Biarkan aku menemuinya, aku kan masih istri dari tuan rumah ini," tanya Mila seakan tak terima dengan larangan suaminya."Iya, sekarang dan sampai kapanpun kamu tetap jadi istriku sayang. Makanya, aku mau kamu istirahat aja. Kamu baru pulang dari rumah sakit," pintanya."Izinka