Kezia bangun kesiangan hari ini. Ketika ia membuka mata, Arnold tak ada di sudut mana pun dari kamar ini.
Untuk beberapa saat, perempuan itu cuma mengerjap di atas bantalnya sambil mengingat-ingat apa yang telah terjadi tadi malam. Arnold benar-benar lupa diri seperti pada malam pertama pernikahan mereka. Pria itu terus memompa tubuhnya sampai seolah tak sudi memberikan waktu istirahat. Kezia tak ingat persis di pukul berapa dia berhasil menjemput mimpi. Yang jelas, Arnold masih berada di depannya ketika masuk dini hari.
"Ah, rupanya kau sudah bangun, Sayang." Arnold tiba-tiba masuk ke kamar dengan tubuh yang telah berpenampilan rapi. Setelan jas mahalnya sudah lama tidak menempel di tubuhnya, membuat pria itu terlihat lebih tampan berkali-kali lipat hari ini. "Dasar, ibu hamil yang pemalas. Aku sudah mencoba menggerakkan lenganmu belasan kali, tapi kedua matamu keras kepala sekali dengan memaksa untuk tetap tertutup."Kezia mendudukkan tubuhnya, kemudiaSatu minggu setelah kebebasannya dari penjara, Kezia mendapati Arnold jadi sering melamun. Seperti malam ini, sehabis meninggalkan meja makan, pria itu pergi ke balkon kamar begitu saja tanpa memberi ucapan pamit atau mengajak seperti biasanya.Dengan kaki yang dilangkahkan pelan, Kezia menyusul ke balkon. Tampak di depan matanya Arnold cuma duduk sambil memandang kosong ke pekat malam. Di meja, tak ada apa pun selain handphone yang layarnya menghitam."Sayang, kau ini sebenarnya kenapa, sih?" Kezia mendudukkan diri pelan-pelan pada kursi yang terpisah meja.Pundak Arnold naik sedikit karena rasa kagetnya. Setumpuk masalah tengah menggunung di kepalanya sampai ia tak sempat menyadari kapan Kezia telah tiba."Kau sedang memikirkan sesuatu?" Kezia mencondongkan wajahnya ke arah sang suami. Matanya menatap penuh selidik, mencoba mengeruk inti terdalamnya untuk mencari kejujuran. Dalam setiap embus napasnya, Kezia sangat ingin jadi penenang
Ketika Arnold sampai di rumah sore itu, dia tak mendapati keberadaan Kezia di mana pun. Kakinya melangkah tergesa untuk mencari asisten rumah yang jaraknya paling dekat dengannya.Kebetulan di lantai dua ada Puri yang sedang menaruh cucian di kamar Narendra. Sementara kamar itu kosong karena pemiliknya sedang bermain di lantai bawah bersama Gabi."Kau tahu di mana Kezia sekarang? Dia tidak kelihatan di sudut mana pun dari rumah ini. Di kamar juga tidak ada," ujar Arnold yang menyusul masuk ke kamar itu.Puri menoleh dengan agak kaget. Dia meninggalkan lemari sejenak untuk menghadapkan muka ke Arnold dengan sopan. "Nyonya Kezia tadi pamit mau pergi ke rumah mamanya. Maaf, saya kira Nyonya sudah terlebih dulu mengabari Tuan sebelum pamit pada kami."Arnold mengerutkan keningnya, kemudian meninggalkan Puri di tempat itu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Yang pertama dilakukan Arnold setelah keluar dari kamar Narendra adalah mengecek handphone. Te
Arnold diam di depan pintu cukup lama. Air mukanya langsung berubah sejak pertama kali menyadari kalau ternyata Eva sedang mabuk. Dia yang awalnya merasa iba pada mama mertuanya itu, kini menjadi geram. Arnold pikir, Eva sedang sakit demam, batuk pilek, atau lainnya. Ternyata wanita lupa umur itu sedang mabuk berat hingga tak ingat apa-apa.Kezia menyembul dari balik punggung Arnold, menyusul ke kamar. Dua bibirnya terkatup dalam kebimbangan. Ia memajukan langkah sedikit, mengambil posisi di samping sang suami. Takut-takut ia memandang wajah pria itu."Mamamu mabuk lagi?" tanya Arnold setelah menyadari Kezia telah berdiri di sampingnya.Yang ditanya cuma mengangguk pendek. Kezia membuang mata pada Eva yang teronggok di atas kasur. Perempuan itu masih tinggal dalam mata terpejam, tapi mulutnya komat-kamit seperti sedang merapal mantra.Ketika Arnold mulai mengayunkan langkahnya untuk mendekat ke ranjang Eva, Kezia buru-buru meraih lengann
"Ah, aku bahkan lupa tidak menawarimu untuk minum sesuatu." Kezia memaksa topik pembicaraan mereka membelok ke arah lain. "Kau ingin minum apa? Biar aku buatkan.""Terserah kamu saja," jawab Arnold dengan muka tak berselera.Setelah Kezia meninggalkannya sendirian di ruang tamu, Arnold lekas-lekas menoleh lagi ke pintu kamar Eva. Hal janggal menumpuk semakin banyak dalam benaknya. Selama ini, ia memang sudah berusaha untuk menjadi menantu yang tak pelit. Namun jika dikalkulasikan, sepertinya sangat tidak mungkin Eva berhasil membeli barang-barang mewah itu dalam satu waktu. Jika satu bulan hanya membeli satu, mungkin masih bisa diterima oleh akal. Tapi yang terjadi saat ini seolah melenceng sangat jauh dari pikiran.***Kezia terpaksa meninggalkan Eva yang belum sadar penuh. Hari sudah malam. Arnold sudah berkali-kali memberi kode untuk pulang. Perempuan itu bukan tak sadar tentang perubahan yang tampak dalam sorot mata sang suami. Jika tadi Arnold
"Mulai besok, kamu istirahat di rumah saja, ya." Arnold berucap pelan ketika masih dalam perjalanan menuju kantor. Kezia yang duduk di sampingnya langsung memutar leher. Ia menatap janggal ke arah sang suami yang detik ini tengah duduk di belakang setir. Hari ini mereka tidak membawa sopir."Kenapa aku kau suruh di rumah saja? Kau tak suka aku ikut ke kantor?" tanya Kezia. Mukanya berubah jadi tersinggung.Arnold menimpali dengan cepat. "Bukan begitu." Matanya melirik beberapa kali ke arah Kezia, tapi lebih banyak difokuskan ke jalanan. "Dalam beberapa hari, usia kandunganmu akan memasuki bulan kesembilan. Gerakmu makin terbatas. Aku tak suka melihat kau kepayahan.""Tapi aku masih punya cukup tenaga. Jangan menyepelekanku."Arnold tak menjawab apa pun lagi. Dia kembali mencuri lirik sampai tiga kali. Dalam benaknya sedang berlangsung peperangan yang tak mampu ia kendalikan. Sejak membaca pesan dari Eva tadi, caranya menatap Kezia jadi penuh selidik
Sore harinya ketika sebagian besar karyawan telah meninggalkan kantor, Gabriel datang ke ruangan Arnold. Dia membawa tas berisi laptop, juga beberapa kertas berisi tulisan-tulisan hasil penyelidikan pribadinya seharian ini. Sejak mendapat kabar dari Arnold kalau namanya diduga kuat sebagai orang tertuduh, semangat dalam diri Gabriel meledak begitu banyak untuk membuktikan kalau ia tidak bersalah."Mohon maaf, Pak Arnold. Mungkin saya akan menyita sedikit waktu Anda, sehingga Anda akan sampai rumah lebih lambat dari biasanya," tutur Gabriel lembut.Arnold mengangguk, kemudian mempersilakan Gabriel duduk di sofa. Setiap memandang wajah ketua bagian keuangan itu, ada keyakinan yang bergema dalam diri Arnold kalau bukan Gabriel pelakunya.Setelah Arnold mengambil posisi duduk di hadapannya, Gabriel segera bertutur, "Saya punya saran untuk Pak Arnold agar mengganti seluruh kata sandi akun perusahaan tanpa memberi tahu pihak mana pun, termasuk orang-oran
Arnold mengundang Gabi ke kantornya bukan tanpa alasan. Perempuan itu didandani bukan layaknya seorang pembantu, tapi lebih terkesan sebagai seorang tamu. Salah satu karyawan menunjukkan jalan menuju ruangan Arnold kepada Gabi dengan sabar."Terima kasih, Tuan," ucap Gabi dengan sopan pada seorang karyawan pria yang telah mengantarkannya sampai di depan ruangan Arnold.Setelahnya, Gabi langsung memencet bel. Pintu dibukakan oleh Arnold yang sejak tadi memang sudah menunggu kedatangan Gabi."Bagaimana?" tanya Arnold tanpa basa-basi setelah mempersilakan pembantunya duduk di sofa ruang kerjanya.Walaupun sudah bertahun-tahun mengabdi pada keluarga Tuan Sanjaya, tapi ini adalah kali pertama Gabi berkesempatan menginjakkan kaki di ruangan Arnold. Dia hanya pernah berkunjung ke kantor sebatas sampai di lantai bawah. Tidak pernah terpikirkan olehnya betapa luas dan nyamannya ruang kerja Arnold di kantor ini."Saya sudah melakukan se
Sepulang dari kantor sore itu, Arnold mendapati Kezia sedang meringkuk di bawah selimut dalam kasurnya. Tubuhnya hanya kelihatan bagian kepala sampai leher. Dia terus meracau seperti orang tidak sehat."Apa yang terjadi padamu, Sayang?" Arnold buru-buru mendekat. Dia mengambil posisi duduk di pinggiran kasur. Tangannya membelai-belai rambut Kezia penuh kasih. Walaupun kesal parah setelah mengetahui kalau perempuan itu dan mamanya yang telah mencipta drama masalah di Permata Sanjaya, tapi Arnold tak pernah bisa bohong pada rasa cintanya.Kezia menggeliat sedikit. Dia menggelengkan kepala dalam lemah. "Perutku terasa sakit sekali," jawabnya seraya menekan-nekan perut dari balik selimut.Detik itu juga, Arnold langsung menyingkap selimut yang menutupi tubuh istrinya. Dia mengecek tubuh Kezia seperti dokter yang sedang memeriksa. "Sebelah mana yang sakit?" tanyanya panik."Aku tak tahu. Rasanya sakit semua."Arnold jadi makin panik. Ia