Nayla terlihat panik dan berlari mengikuti brankar yang membawa ibunya menuju UGD. Sofi terpeleset di kamar mandi dan tidak bisa bangun karena kakinya kembali cidera.“Apa yang terjadi?” tanya dokter yang berjaga di UGD.“Ibu saya terpeleset dan jatuh, tampaknya kakinya kembali cidera, padahal sebelumnya sudah cidera parah karena kecelakaan,” jawab Nayla dengan cepat.“Apa ada dokter spesialis yang menangani sebelumnya?” tanya dokter umum itu sambil mengecek tekanan darah Sofi.“Ada, dokter Kenan kalau tidak salah. Dokter baru yang menggantikan dokter sebelumnya,” jawab Nayla dengan wajah panik.Dokter yang memeriksa Sofi pun meminta perawat untuk menghubungi Kenan yang kini berada di ruang praktek poli. Nayla sendiri kebingungan melihat ibunya kesakitan, biasanya ada Naraya yang akan mengurus sang ibu, tapi kini dirinya yang harus susah payah mengurus.“Ah … sialan! Kenapa kejadian ini terjadi saat dia tidak ada!” gerutu Nayla.Nayla memilih menyingkir, kemudian mengeluarkan ponsel.
Kalandra bergegas ke rumah sakit setelah Naraya menghubungi. Di sisi lain cemas akan kondisi Naraya yang terdengar menangis, di sisi lain Kalandra tidak ingin jika sampai Naraya bertemu dengan Kenan hanya berdua.Pemuda itu berjalan cepat masuk ke UGD, lantas bertanya ke bagian informasi dan diarahkan ke ruang radiologi.“Terima kasih,” ucap Kalandra kemudian pergi ke ruang Radiologi.Namun, langkahnya terhenti saat melihat pemandangan di depannya. Kedua telapak tangan mengepal, rasa cemburu kini menyelimuti hatinya. Dia tidak rela jika sampai wanitanya disentuh datau dipeluk pria lain, apa pun alasannya.“Anira!” panggil Kalandra dengan suara begitu lantang.Kenan dan Naraya terkejut mendengar suara Kalandra, begitu juga dengan Nayla. Ketiganya menoleh ke arah sumber suara di mana Kalandra sudah menatap tajam ke Naraya.“Al.” Naraya panik saat melihat Kalandra, sedangkan Kenan sedang memeluknya.Kenan mengurai pelukannya dari Naraya, tapi tatapannya terus tertuju ke saudara yang suda
Jalanan yang semula lancar, kini mengalami kemacetan parah karena sebuah kecelakaan di persimpangan jalan. Sebuah mobil suv berwarna hitam menabrak truk yang melintas dari arah lain.Kalandra tampak menggerakkan kepala setelah dirinya terantuk stir karena benturan yang keras. Dia merasakan kepalanya begitu sakit bahkan ada darah yang mengalir dari dahi. Pemuda itu berusaha menggerakkan kedua kaki, tapi tidak berhasil karena kakinya terjepit mobil yang rusak sebab masuk ke kolom truk.“Ra.” Kalandra menoleh dan memanggil Naraya, tapi sayangnya tidak ada reaksi dari kekasihnya itu.“Ra!” Kalandra panik saat melihat Naraya yang tidak sadarkan diri. Dia melepas seat belt dan ingin meraih Naraya, tapi kaki yang terjepit membuatnya susah bergerak.“Ra, bangun! Aku mohon!” Kalandra menepuk pipi Naraya, mencoba menyadarkan gadis itu.Seketika rasa bersalah merayap di dada, bagaimana bisa dirinya membuat orang yang dicintainya malah terluka.“Ra, kumohon bangun. Anira!” panggil Kalandra terus
Kenan segera menangani Kalandra, sedangkan Naraya ditangani oleh dokter lainnya. Hatinya terasa ngilu saat melihat Kalandra terbaring lemah dan satu kaki mengalami patah tulang karena terjepit mobil yang ringsek. Dia sudah meminta perawat untuk melakukan rontgen agar mengetahui seberapa parah kondisi saudaranya itu.“Jangan sampai terjadi sesuatu kepadamu, Al. Meski kamu membenciku, tapi tidak pernah sekalipun aku membencimu,” gumam Kenan setelah selesai menangani Kalandra dan meminat perawat untuk memindah ke ruang rawat inap.Naraya juga sudah selesai ditangani dan kini telah dipindah ke ruangan yang agar berjauhan dari Kalandra. Amanda meminta izin untuk merawat temannya itu, bertanggung jawab atas pemantauan kondisi Naraya.“Bagaimana kondisiny?” tanya Kenan saat menemui Amanda.“Naraya belum sadar, mungkin karena pengaruh obat bius juga,” jawab Amanda dengan kerisauan dalam tatapannya.“Bagaimana Kalandra?” tanya Amanda balik.“Hanya luka lecet di beberapa bagian tubuh, kakinya h
Naraya mulai sadarkan diri setelah beberapa jam tertidur. Dia mulai menggerakkan tangan, hingga membuat Amanda yang memang berjaga di sana langsung mendekat untuk melihat kondisi temannya itu.“Na, kamu sudah sadar.” Amanda begitu lega saat tahu kalau Naraya sudah sadar.Naraya berusaha membuka kelopak mata, tangannya meraba ke tangan Amanda yang menyentuh lengannya. Dia mulai membuka kelopak mata, tapi saat kedua mata terbuka, Naraya hanya melihat kegelapan.“Man, kenapa lampunya dimatikan?” tanya Naraya.Amanda begitu terkejut mendengar pertanyaan Naraya, sedangkan lampu di sana menyala semua dan ruangan itu begitu terang. Amanda pun merasa ada yang tidak beres dengan Naraya, kemudian menekan tombol darurat untuk memanggil dokter.“Man, kenapa gelap sekali?” tanya Naraya lagi, tangannya meraba dan bisa merasakan tangan Amanda.Amanda ingin menangis mendengar pertanyaan Naraya, tapi juga berdoa jika apa yang ditakutkannya tidak terjadi.“Sebentar ya, Na.” Amanda mencoba bersikap tena
Kenan masih memeluk Naraya hingga gadis itu berhenti menangis. Dia pun bisa merasakan kepiluan akan nasib yang menimpa Naraya.Naraya bangkit dari pelukan Kenan, tanpa melihat dan hanya tahu jika Kenan berada di sisi kanannya.Kenan menatap Naraya yang basah dengan air mata, hingga kemudian mengusap lembut pipi Naraya menggunakan jemarinya.“Apa Al baik-baik saja?” tanya Naraya. Meski dirinya dalam kondisi yang begitu buruk, tapi siapa yang menyangka jika Naraya masih memikirkan Kenan.“Hanya mengalami patah tulang ringan, terapi dan pengobatan yang benar akan membuatnya cepat pulih,” jawab Kenan dengan tatapan terus tertuju ke wajah Naraya.Naraya terdiam mendengar jawaban Kenan, hingga teringat bagaimana Kalandra sangat mencintainya.“Ke, bolehkah aku minta tolong kepadamu?”Kenan mengerutkan dahi, masih menatap Naraya.“Tolong apa?”**Evangeline dan Devan akhirnya sampai di rumah sakit. Mereka langsung menuju kamar inap Kalandra karena Kenan sudah memberitahu sebelumnya.Saat samp
Naraya duduk diam bersandar headboard. Kini ke mana pun arah mata menatap, pada kenyataannya tidak ada yang bisa dilihat. Semua hampa dan gelap, semua begitu sepi di hatinya. Sendiri dan takut, itulah yang kini dirasakan Naraya.“Na.” Suara Amanda terdengar di ruangan itu.Naraya meminta Kenan untuk melarang siapapun masuk ke ruangannya, termasuk Evangeline dan Devan jika mereka datang.“Waktunya makan, aku akan menyuapimu.”Naraya hanya bisa mendengar suara Amanda tanpa bisa melihat wajah temannya itu.“Aku ingin makan sendiri,” kata Naraya.Amanda terkejut dengan permintaan Naraya, tapi juga tidak bisa melarang karena takut menyinggung.“Baiklah,” balas Amanda dengan senyum kecil meski wajahnya sembab karena baru saja menangis.Amanda memosisikan meja khusus di atas kaki Naraya, sebelum kemudian menaruh piring berisi makanan untuk temannya itu.Naraya meraba meja, tentu s
“Di mana Anira, Ma?” Begitu sadar, hanya Naraya yang memenuhi pikiran Kalandra.Dengan mata kepalanya sendiri Kalandra melihat Naraya tidak sadarkan diri setelah mobil yang mereka naiki menabrak truk. Kalandra kini mencemaskan Naraya, daripada dirinya sendiri.Evangeline terkejut mendengar pertanyaan Kalandra, hingga menatap Devan yang berdiri di sampingnya. Dia sendiri tidak tahu langsung bagaimana kondisi Naraya, lantas bagaimana caranya menjawab pertanyaan Kalandra.“Dia baik-baik saja dan kini sedang beristirahat. Kamu tidak perlu mencemaskannya,” ucap Devan karena Evangeline tidak menjawab.Kalandra meringis sambil memegangi kening, hingga saat akan bergerak baru menyadari jika kakinya terluka.“Kakiku,” lirih Kalandra saat merasakan kakinya sakit ketika akan digerakkan.“Kakimu mengalami patah tulang ringan, Al. Tapi Kenan berkata jika tidak ada yang perlu dicemaskan,” ujar Evangeline sambil mencegah Kalandra bangun.Mendengar nama Kenan, membuat emosi Kalandra kembali muncul. J