*FLASHBACK ON 11 TAHUN LALU*
"Uh! Tubuhku..." Peony Madeline Hart, gadis berusia enam belas tahun tersebut meregangkan otot-otot yang kaku setelah bekerja paruh waktu di sebuah kedai es krim. Terik matahari musim panas menyinari wajahnya saat ia sengaja menghadap langit.
Peony menghirup udara sambil merentangkan kedua tangan. Berdiri di sisi jembatan seperti ini membuat hatinya tenang. Jembatan yang ia datangi saat ini adalah salah satu jembatan indah yang ada di negaranya. Di samping kiri dan kanan jembatan terdapat taman yang biasa dikunjungi warga lokal dan turis mancanegara saat libur musim panas seperti ini.
Ia menurunkan pandangan pada sungai yang berada tepat di bawah jembatan. Arus air sungai itu terlihat cukup deras saat ini. Biasanya, jika air sungai sedang tenang, banyak pengunjung yang berenang di sana. Peony tersenyum lebar menatap anak-anak kecil bermain di kolam air mancur yang berada di sisi-sisi taman. Anak-anak kecil itu terlihat semakin kecil dari kejauhan seperti ini. Matanya mengedar. Menyusuri keindahan alam semesta. Saat pandangannya ke samping, tak jauh dari tempatnya berdiri, terlihat seorang pemuda sedang berdiri menatap air sungai. Tubuhnya menjulang tinggi. Di tangan sang pemuda terdapat topi baseball.
Peony mengernyit. Sejak kapan pemuda itu ada di sana? Peony rasa tadi hanya ada dirinya di jembatan ini. Kebanyakan orang-orang yang berkunjung lebih memilih berada di taman. Kalaupun berada di jembatan, hanya untuk melewati saja dan berfoto.
Mata Peony melotot ngeri saat sang pemuda tiba-tiba memanjat tiang jembatan. Sang pemuda seolah ingin terjun dari jembatan.
Tubuh Peony menegak. Apa-apaan pemuda itu?!
"HEI! MAU APA KAU?" teriak Peony segera sambil berlari menghampiri sang pemuda.
Peony dapat melihat kernyitan dalam di dahi sang pemuda saat jarak mereka semakin dekat, dengan posisi pemuda itu masih memanjat jembatan. Bayangkan… memanjat??? Apakah pemuda itu sudah gila?!
"Maksudmu... aku?" Sang pemuda menunjuk dirinya. Suaranya terdengar berat dan serak. Apakah pemuda itu habis menangis? Atau memang suara aslinya seperti itu?
"Iya, kau.” Peony menghentikan langkah setelah sudah berada di dekat pemuda tersebut. Mereka kini hanya berjarak kira-kira tiga langkah kaki Peony. Peony menatap pemuda itu tajam. “Apa pun masalahmu, bunuh diri bukanlah solusi!"
"Apa maksudmu?"
"Kau ingin terjun, bukan? Itu tidak baik, kau tahu?! Itu adalah dosa besar yang tidak bisa termaafkan."
"Siapa yang ingin terjun? Aku ingin mengambil topiku agar tidak—" Sang pemuda menghentikan ucapannya saat melihat topinya akhirnya benar-benar terjun ke sungai, "—jatuh ke sungai..." lirih sang pemuda miris.
Peony mengerjap setelah memperhatikan gerak-gerik sang pemuda. Ia juga sempat melihat ada topi yang tersangkut di tiang-tiang jembatan.
Peony menelan saliva susah payah. Sepertinya ia mulai menyadari situasi. Sang pemuda bukan ingin bunuh diri, tapi ingin mengambil topinya???
Pandangan Peony beralih ke arah wajah sang pemuda yang masih terpaku menatap topinya yang sudah hanyut terbawa arus sungai.
Tubuh Peony menegang saat sang pemuda tiba-tiba menatapnya.
“T-topimu jatuh…” gugup Peony.
“Ya, dan itu karena kau! Kau tahu topi itu sangat berharga?!”“A-apa?”“Di topi itu ada tanda tangan pemain baseball terkenal kesayanganku!”
Peony mundur satu langkah saat sang pemuda menunjuknya murka.
“A-aku akan mengambilkannya.” Setelah mengatakan itu, Peony berbalik, lalu berlari menyusuri jembatan menuju sisi sungai. Berharap ia dapat mengejar benda berharga itu. Kalau pemuda tadi mengatakan jika ada tanda tangan asli dari salah satu pemain baseball terkenal, bukankah sangat berharga bagi seorang penggemar? Apalagi ini tim baseball??
“HEY! JANGAN GILA!”
Peony terus berlari tanpa peduli sang pemuda berteriak nyaring di belakangnya.
“GADIS BODOH, KAU MAU TERBAWA ARUS?!”
“AKU HARUS BERTANGGUNG JAWAB,” balas Peony di sela langkah kakinya. Ia terus berlari tanpa peduli tulang-tulang tubuhnya nyeri. Bagaimana tidak nyeri jika baru saja ia selesai bekerja, justru kini harus berlari mengejar topi pemuda asing yang hanyut karenanya.
“BERHENTI KAU, GADIS ANEH!”
Pipi bulat Peony yang memiliki warna merah alami, semakin memerah karena terpaan matahari dan reaksi tubuhnya yang kelelahan. Peony berhenti setelah berhasil sampai di sisi sungai. Ia menghirup udara dengan rakus. Matanya mencari sesuatu di dalam air sungai yang mengalir. Peony sampai tak sadar jika pemuda tadi sudah berada tak jauh di belakangnya. Dengan napas terengah karena mengejar Peony.
“Akhirnya kau berhen—”
“Nah! Itu dia!” Peony berseru kegirangan saat melihat topi baseball putih berjalan mengikuti aliran sungai tak jauh di depannya. Gadis itu kembali berlari.“—HEY! KAU MAU KE MANA LAGI?!”
Peony terus berlari. Tak ia pedulikan suara berisik di belakangnya yang sejak tadi berteriak kesal.
Grep!
Peony terkejut saat merasakan tangannya ditarik, lalu tubuhnya dibalik dengan sekali hentakan.“Kau mau mati?! Jangan-jangan kau yang berniat bunuh diri!”
Mata Peony mengerjap beberapa kali melihat wajah sang pemuda asing si pemilik topi baseball itu menatapnya tajam. Wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter saja saat ini. Peony baru menyadari pemuda asing ini memiliki wajah yang sangat tampan. Rambutnya berwana cokelat gelap dengan ekspresi yang dingin. Wajahnya terlihat semakin dingin saat rahangnya mengeras seperti saat ini. Bibir tipis merahnya semakin menipis seperti menahan kekesalan.
“Hey! Kau mau mati ya?!”
Peony tersadar dari lamunan saat kembali mendengar suara sang pemuda.
“J-jangan sembarangan menuduh!”
“Kau yang sembarangan menuduhku, sampai topiku hanyut—”“Maka dari itu aku akan mengambilkan topimu—”“—dan membiarkanmu mati konyol karena tenggelam?!”Peony langsung diam saat pemuda itu kini menatapnya murka. Tak lama, Peony menunduk. Memainkan jemarinya. “Aku hanya… ingin bertanggung jawab—”
“Lupakan!”
Cekalan di lengannya terlepas. Membuat Peony kembali menaikkan pandangan ke arah pemuda itu yang kini berjalan menuju rumput-rumput yang berada di sisi sungai. Sang pemuda duduk dengan napas terengah. Matanya kembali menatap Peony tajam. Membuat Peony seketika membeku. Pemuda itu memiliki bola mata hitam legam. Tatapannya setajam elang. Wajah dinginnya membuat sang pemuda memiliki aura kuat yang menyeramkan walaupun tampan.
“Jangan berlari lagi! Aku tidak sanggup lagi mengejarmu yang memiliki tenaga seperti kuda!” Sang pemuda menunjuk Peony penuh peringatan. Napas pemuda itu masih belum normal. Sang pemuda menumpukan kedua telapak tangan pada rumput-rumput. Kepalanya menengadah. Matanya menutup. Sepertinya sang pemuda sedang menormalkan napasnya.
“Bagaimana dengan… topimu?” tanya Peony hati-hati.
Peony tersentak saat sang pemuda kembali menatapnya. Peony merasa sedang dalam bahaya karena tatapan itu.
“Kau harus menggantinya.”
“Bagaimana aku bisa menggantinya? Topi itu pasti mahal. Belum lagi bagaimana caraku mendapatkan tanda tangan dari pemain baseball kesayanganmu? Aku tidak punya uang banyak. Aku cari saja topim—”“Berani kau berlari lagi, akan aku gigit pipimu yang bulat seperti tomat itu!”Peony refleks memegang kedua pipinya, seakan melindungi. Ia menatap ngeri pemuda yang berada tak jauh di depannya itu. Sepertinya pemuda itu adalah orang yang kasar. Ya Tuhan… kenapa Peony bisa bertemu dengan orang seperti ini ya?! Peony menyesal telah peduli pada orang yang salah. Seharusnya tadi, pura-pura saja ia tak lihat saat pemuda itu memanjat tiang jembatan!
“A-aku tidak bisa mengganti topimu itu… Di mana aku—”
“Belikan aku minum. Aku haus karena berlari mengejarmu!” sarkas sang pemuda.“M-minum?” Peony mengernyit. Wajah sang pemuda terlihat memerah seperti kepanasan. “Daripada butuh minum, kau sepertinya butuh es krim.”
Pemuda dingin itu mengernyit aneh. "Aku tidak suka es krim."
"Kau coba dulu saja. Es krim di kedai tempatku bekerja sangat enak. Kau akan ketagihan walaupun kau tak suka es krim."
"Aku tidak—”
"Ayo!"
"Hey! Jangan sembarangan menarikku!"
***
"Kau lagi??"
"Berikan aku es krim."
Peony mendengus sebal pada pemuda yang tiga hari lalu ditemuinya di jembatan. Sudah dua hari sang pemuda meminta ganti rugi topinya dengan cara memaksa Peony mentraktirnya sampai pemuda sialan dingin itu puas dan merasa jika hutang Peony telah lunas.
Bukankah ini pemerasan?!
"Lama-lama gajiku habis hanya untuk mentraktirmu!"
"Salah sendiri kau membuat topiku lenyap."
Peony memutar bola mata malas. Jawaban itu selalu mampu membungkamnya.
Sial sekali hidupnya hanya karena kesalahan yang tidak ia sengaja.
***
"Besok jangan datang kalau kau mau es krim gratis.” Pemuda yang sampai saat ini belum Peony ketahui namanya tersebut menghentikan gerakan tangannya yang akan menyendok es krim. Sudah satu minggu pemuda itu tidak bosan ‘memeras’ Peony karena kesalahannya. Pemuda itu selalu menjadi pengunjung pertama saat kedai baru buka. Tanpa tahu malu langsung meminta es krim pada Peony. Bukankah di awal pertemuan mereka sang pemuda mengatakan tidak menyukai es krim? Kenapa sekarang seperti kecanduan? Apa mungkin es krim di kedai ini memiliki sihir yang bisa memerangkap lidah orang agar selalu ingin menikmati? “Kenapa?” tanya sang pemuda dengan nada datar. Dan oh… jangan lupakan jika ekspresi wajahnya pun tak kalah datar. Membuat Peony ingin mencoret-coret wajah itu dengan spidol permanen. Sepertinya melukis senyuman di wajah sang pemuda boleh juga. “Aku libur.” Dahi sang pemuda mengernyit. “Ke mana?” “Apanya yang ke mana?” tanya Peony tak paham maksud sang pemuda. “Ke mana kau saat libur?” S
Srreeet! Tak! Peony tersentak saat ada yang menarik kursi di sebelahnya. Tas ransel berwarna hitam pun sudah berada di atas meja di samping meja gadis ini. Pandangan Peony berjalan dari tas, menuju pada seseorang yang baru saja duduk di sampingnya. Siapa orang yang ingin duduk di dekatnya? Selama ini tidak ada teman yang mau duduk di samping gadis miskin sepertinya. Tentu saja Peony terkejut sekaligus penasaran. Peony membelalak. “K-kau???” pekik Peony. Peony menyensor tubuh seseorang itu dari atas sampai bawah, lalu kembali menyensornya dari bawah sampai atas, sampai berhenti tepat pada wajah seseorang tersebut. Peony mengerjap beberapa kali, lalu mengusap-usap matanya. Apakah dia tidak salah lihat??? Seseorang itu… bukankah dia adalah si ‘pemeras’??? Mengapa bisa pemuda es krim itu ada di sekolahnya? Seingat Peony, ia tidak pernah melihat pemuda itu sebelumnya di sekolah ini. Apakah sang pemuda adalah anak baru? Kenapa bisa?? Bolehkah Peony berteriak kesal? Pasalnya, baru s
Peony memantul-mantulkan bola basket ke lantai dengan mata sesekali mengawasi Kheil yang berdiri tak jauh darinya. Pemuda itu pun melakukan hal yang sama dengannya. Murid-murid lainnya juga membawa bola basket masing-masing di tangan untuk melakukan pemanasan sebelum pelajaran dimulai. Saat ini mereka sedang berada di dalam lapangan indoor sekolah untuk mengikuti pelajaran jasmani. Peony kembali mengawasi Kheil. Bukan tanpa alasan Peony melakukan hal itu. Pasalnya, Peony merasa Kheil selalu ada di mana pun Peony berada. Setiap mata pelajaran yang Peony ikuti, Kheil juga selalu ada di sana. Bahkan sudah dua minggu ini Peony harus rela berbagi bekal dengan Kheil. Peony pikir, setelah selesai ‘diperas’ di kedai es krim, ‘hutang’nya sudah lunas. Awalnya Peony tidak masalah berbagi dengan Kheil jika pemuda itu berasal dari keluarga sederhana sepertinya. Apalagi Peony sadar pernah menghilangkan benda kesayangan yang kemungkinan kecil akan kembali didapat Kheil. Namun setelah mengetahui
“APA ADA ORANG YANG MENDENGARKU?!” Peony memukul-mukul pintu kamar mandi yang terkunci. Mungkin sudah setengah jam ia terkunci di sini, di dalam kamar mandi yang berada di ujung lantai dua sekolahnya. Kamar mandi ini termasuk kamar mandi yang jarang digunakan. Mengalami kejadian seperti ini bukan kali pertama bagi Peony. Teman-teman seangkatannya tak pernah bosan membullynya. Apakah bagi mereka menjadi miskin adalah kesalahan? “Huft…” Peony menyandarkan punggung pada pintu saat merasa tangannya lelah. Ia menatap langit ruangan yang memiliki bilik-bilik kecil tersebut, lalu menatap wajahnya dari pantulan cermin di atas wastafel. Rambutnya terlihat basah dan lengket karena minuman soda yang tadi sengaja disiramkan Angel dan para dayang-dayangnya. “Summer!” Deg! Peony menegakkan tubuh. Suara itu… dan panggilan itu… Suara itu milik Kheil! Ya, Kheil Abraham Leight. Si anak murid yang baru masuk dua bulan di sekolahnya itu bisa dikatakan adalah teman satu-satunya yang Peony punya di
“Kau tidak apa-apa, Kheil?” tanya Peony cemas. Kheil membalas dengan gumaman. Kepalanya ia kubur di atas kedua tangan yang terlipat di atas meja. Saat akan pulang, Kheil mengeluh sakit perut. Pemuda itu meminta Peony menemaninya sejenak di dalam kelas. Murid-murid lain sudah pulang lebih dulu. Ketika Peony menyarankan Kheil ke klinik sekolah, pemuda itu menolak. Kheil mengatakan hanya butuh waktu sebentar untuk beristirahat. Peony yang tak tega melihat Kheil seperti itu, berinisiatif memegang perut sang pemuda. “Apakah perutmu kram—” “A-apa yang kau lakukan???” Peony mengerjap saat Kheil tiba-tiba bangkit dari duduknya sambil menatap ngeri tangan Peony yang menggantung. “Aku… hanya ingin membantumu.” “B-bantu apa maksudmu?” tanya Kheil kesal setengah… gugup? Kenapa Kheil gugup? Peony juga tak paham kenapa Kheil terlihat kesal. “Apakah kau merasakan perutmu kram? Jika iya, aku hanya ingin membantu mengusap-usapnya di bagian yang kram. Saat sedang dalam masa period, aku sering m
“Maksudmu cinta antara pasangan? Seperti cinta ibu pada ayahku?” Kheil hanya balas dengan gumaman malas. Peony terkekeh. “Aku ingin setuju ucapanmu, tapi aku tidak bisa. Aku bukan ibuku atau orang yang pernah menjalin tali kasih. Aku juga tidak akan menyalahkan ibu atas cintanya yang begitu besar pada ayah. Aku tidak cemburu. Ibu jauh lebih lama mengenal Ayah daripada diriku. Seperti yang aku katakan tadi, tidak pernah satu kali pun aku melihat mereka bertengkar. Ayah selalu bersikap mesra pada ibu. Mungkin hal itu juga yang membuat Ibu merasa kehilangan sampai saat ini. Jadi aku tidak ingin mengejek orang yang jatuh cinta. Apalagi mengatai mereka bodoh atau sejenisnya.” Kheil tidak menjawab. “Kheil, apakah… em… a-apakah kau benci ‘cinta’ karena perpisahan orang tuamu?” tanya Peony hati-hati. Takut jika Kheil akan kembali tersinggung seperti tadi. “Hm. Apa yang mereka perlihatkan padaku cukup membuatku percaya jika rasa cinta tidak ada yang abadi. Aku tidak menyinggung cinta kedua
“Woaa! Lucu sekali!” Mata Peony berbinar dengan sebelah tangan menempel pada kaca toko pakaian wanita. Sementara sebelah tangan lagi terdapat paper bag yang sudah ia bawa sejak dari rumah. Peony menatap sebuah maneken yang menggunakan topi rajut cokelat dengan telinga beruang. Manekin itu juga menggunakan syal dan sarung tangan warna senada. Sepertinya syal, topi serta sarung tangan tersebut dijual satu paket. “Pasti mahal sekali harganya,” desah Peony sambil memperhatikan nama brand terkenal yang tertera di toko tersebut. Asap keluar dari mulut Peony saat ia mengatakan hal itu. Salju hari ini turun tidak begitu lebat, tapi tetap mampu membuat sekujur tubuh dingin. Tak terasa hari natal dua hari lagi akan tiba. “Summer.” Peony membalikkan tubuh, dan mendapati Kheil sudah berada beberapa langkah di depannya. “Hai!” Peony melambai ceria. “Sudah selesai?” tanya Peony pada Kheil yang tadi menyingkir sebentar untuk menerima telepon entah dari siapa. “Hm. Sedang apa kau di sana?” “Buka
"Kheil, kembalikan!" Peony mendelik kesal saat Kheil merebut novel romantis yang sedang ia baca. "Berhentilah membaca dongeng cinta seperti ini. Otakmu akan rusak karena khayalan manis." "Apa urusannya denganmu?!" "Urusanku? Urusanku mengingatkanmu untuk menjaga kewarasan." "Aku tidak gila!" "Kau iya. Buktinya kau selalu membaca karangan tentang kisah cinta sejati." "Itu bukan gila, tapi karena aku yakin kisah cinta sejati itu benar adanya. Kembalikan bukuku!" "Tidak akan. Realistis lah. Tidak ada yang namanya cinta sejati di dunia ini. Harus berapa kali aku katakan, rasa cinta akan menghilang seiring berjalannya waktu." "Seperti kedua orang tuamu? Jangan hanya karena kedua orang tuamu tidak saling mencintai dan berpisah, lalu kau memukul rata semuanya!" Setelah mengatakan itu, suasana hening seketika. Peony dan Kheil kompak membeku. Tak lama, Peony langsung menutup mulut dengan kedua tangan setelah menyadari sesuatu. "K-Kheil... bukan maksudku—" "Bukumu." Peony membeku saa
*** Nic… Ab… Aku mulai tidak mengenali siapa kalian jika saja aku tidak membaca buku harian yang aku tulis. Kalian tampan. Aku tidak menyangka pernah memiliki lelaki-lelaki tampan. Kebahagiaan untuk kalian?Jika kata -kata itu adalah kata-kata yang selalu aku tulis di setiap lembar, maka di lembar ini pun aku mengharapkan kebahagiaan untuk kalian. Kalian harus selalu bahagia!Peony mengusap tulisan tangan terakhir Dakota. Tulisan itu terlihat tak rapi dan memiliki jarak yang tidak beraturan di setiap kata. Sepertinya ini adalah lembar terakhir yang ditulis wanita itu sebelum kondisi Dakota semakin parah. Mata Peony berkaca-kaca. Tidak bisa membayangkan jika ia berada di posisi Dakota. Menjalani hari-hari terakhir di hidupnya tanpa didampingi orang-orang yang ia cintai walaupun Dakota tak mengenalinya karena penyakit itu.Alzheimer…Penyakit yang diderit
"Berhentilah menggangguku!"“…”"Kheil! Ya Tuhan! Aku tidak bisa bergerak, Kheil!"Peony melenguh nikmat setengah kesal. Alih-alih membebaskan Peony dari rengkuhannya, sang suami justru menghisap daun telinga Peony dengan sensual. Pria itu merengkuhnya dari belakang, dan itu mengganggu sekaligus menggoda."Kheil—Ouch!"Plak!Peony memukul kencang bahu Kheil yang baru saja menggigit pipinya. Akhir-akhir ini, Kheil semakin sering melakukannya. Setiap kali Peony bertanya dengan marah-marah, Kheil selalu mengatakan Peony semakin menggemaskan. Membuat Peony hanya dapat menghela napas jengkel."Kenapa kau jadi seperti ini?" tanya Peony heran setengah frustrasi."Apa?" tanya Kheil polos."Menempel terus padaku seperti lintah.""Bukankah ini yang sejak dulu aku lakukan padamu? Bahkan setelah kita kembali bertemu."Peony terdiam. Mencerna kata-kata sang suami. Setelah ia mengerti, Peony berd
“Sayang…” lirih Kheil putus asa. “Bicaralah—”“Kenapa sih kau harus minum-minum?! Memang semua masalah bisa hilang dengan menenggak alkohol?!” sinis Peony yang akhirnya tak tahan melihat keberadaan gelas anggur putih itu. Peony bukannya anti pada teman-teman yang minum minuman beralkohol. Ia juga sebenarnya tak masalah kalau Kheil mengkonsumsi minuman itu asal dalam batas wajar. Tetapi kalau meminumnya saat sedang ada masalah, itu yang Peony tak suka. Ia takut suaminya akan kecanduan.Atau… memang Kheil selama ini gemar meminum minuman itu? Sekian lama berpisah, ia masih belum tahu kebiasaan baru Kheil.“Apakah kau sering mengkonsumsi minuman—""Minumlah." Kheil menyodorkan gelas anggur putih itu pada Peony.Peony mengerjap, lalu menatap Kheil yang menatapnya datar. "Ini... minuman beralkohol kan? Aku tidak bisa meminumnya." Peony menggeleng kencang.Kheil menaikkan se
Tok Tok!"Suamiku yang tampan tapi datar, bolehkah aku masuk?"Kheil mendengus geli mendengar suara sang istri yang berdiri di depan pintu ruang kerjanya. Ia meletakkan gelas anggur putih berisi cairan berwarna cokelat pekat ke atas meja kerja. Matanya melirik diam-diam keberadaan Peony yang mengintip dari balik pintu ruang kerja yang memang sejak awal terbuka sedikit.“Apakah kau akan membiarkan aku berdiri di sini sampai letih?” Suara Peony kembali terdengar. Kali ini nadanya memelas. Membuat Kheil lagi-lagi mendengus dan dia yakin mungkin sebentar lagi akan kalah dari acara merajuknya.Sudah lebih dari satu jam ia mengabaikan—Lebih tepatnya pura-pura mengabaikan— sang istri karena rasa cemburu yang menguasai jiwa.Kheil kembali mengingat hal apa yang membuatnya kesal. Belum selesai rasa kesalnya menghilang pada Nicholas, kesabaran Kheil sudah harus diuji karena kedatangan Cleve Malik. Bocah ingusan itu mendatangi Peony di
Kheil sesekali melirik sang istri di sela perbincangannya dengan para rekan bisnis yang hadir ke acara resepsi yang ia dan Peony adakan. Akhirnya, setelah satu bulan lebih menikah secara hukum dan agama, Kheil bisa mewujudkan impian membuat resepsi super mewah untuk mereka berdua. Mereka mengadakannya di aula mansion keluarga Leight. Alih-alih Peony yang bersemangat mengadakan resepsi, justru Kheil lah pihak yang merasakan itu.Kheil ingin seluruh dunia tahu kalau Peony adalah istrinya. Kheil ingin menunjukkan kepada para pria yang mengincar sang istri, jika mereka tidak punya kesempatan lagi mendapatkan Peony. Kheil ingin menunjukkan kekuasaannya dan ingin memberitahu mereka semua kalau mereka tidak bisa bersaing dengan seorang Leight. Level mereka terlalu jauh.Sialan!Kheil jadi kesal sendiri mengingat Peony justru semakin diincar banyak pria belakangan ini. Mendadak akun sosial media Peony mendapat banyak pengikut. Tidak masalah jika semua pengikut sang istr
“Ouch! Summer…” geram Kheil. Ia membuka mata kesal setelah merasakan satu alisnya kembali dicabut Peony. Entah sudah berapa kali sang istri melakukannya. Wanita itu mengatakan gemas dengan alis tegas Kheil yang menjadi salah satu bagian tubuh yang membuat orang takut dan tak bisa berlama-lama menatap pria tampan ini.“Sakit, Sayang… Kau ingin aku tak punya alis ya?” omel Kheil yang justru dibalas sang istri kekehan tak peduli.Wanita-nya itu kini malah membelai alis-alis tegas itu, lalu memberikan kecupan di bibir Kheil. Membuat Kheil yang tadinya kesal jadi menyunggingkan senyum. Pria ini merengkuh tubuh sang istri yang berbaring tengkurap di sampingnya. Lalu menyerang dengan kecupan-kecupan liar.“Hahaha… Hentikan, Kheil! Banyak orang!” Peony memberontak, tapi Kheil tak peduli. Ia terus menyerang Peony sampai posisi sang istri sudah berada di bawah kungkungannya.Napas keduanya saling bersahutan.
“Bagaimana? Enak???”Kheil menatap gadis yang tadi menghanyutkan topi baseballnya.Gadis di depannya ini, adalah gadis yang membuatnya penasaran akhir-akhir ini. Siapa yang menyangka kalau takdir membuat mereka berinteraksi dengan cara yang antimainstream tanpa harus Kheil yang lebih dulu mendekatinya. Kheil bersyukur, karena sesungguhnya tak tahu bagaimana cara mendekati gadis itu kecuali hanya memperhatikan dari jauh. Melihat tingkah-tingkah menggemaskan sang gadis yang terkadang berinteraksi hangat dengan orang asing yang baru dikenal gadis itu di taman. Kheil sampai berpikir, apakah gadis itu tak takut terlibat dengan orang jahat?Kheil kembali mengingat kejadian saat tadi topi baseballnya hanyut. Tahu begitu, sejak kemarin saja ia mengorbankan topi baseball kesayangannya itu kalau imbalannya adalah berkomunikasi dengan sang gadis. Meskipun nyatanya, sejak tadi hanya sang gadis yang tak bosan bertanya pendapat Kheil tentang es krim yang sedang Kh
Bruk!"Ouch!"Kheil terbangun dari tidur saat mendengar benda terjatuh dan tawa riuh anak-anak.Ia mengambil topi baseball yang menutupi wajah, lalu mendudukkan diri pada kursi panjang taman yang baru ditidurinya.Matanya memicing melihat seorang gadis sedang terduduk di atas rumput tak jauh dari tempatnya berada. Rambut gadis itu berwarna merah tembaga yang indah. Pipinya bulat kemerahan. Di depan gadis itu ada enam orang anak kira-kira berusia tujuh sampai sepuluh tahun. Menertawakan sang gadis yang sedang mengusap lutut serta sikunya untuk membersihkan rerumputan yang menempel di sana."Apakah kau bodoh?""Tali sepatumu terlepas, dan kau malah menginjaknya. Hahahha...""Sudah besar tapi seperti anak bayi. Hahahaha.""Hehehe... Bukankah wajahku memang seperti bayi?"“Ugh! Percaya diri sekali!”Anak-anak itu
Peony menggigit bibir. “Apakah dia akan dihukum berat?”“Dia telah melakukan percobaan pembunuhan dan terbukti merencanakan hal itu sebelumnya. Belum lagi, dia berhasil menganiayamu. Tentu saja akan dapat hukuman berat.” Rahang Kheil mengeras saat mengatakan itu. Mengingat kejadian satu minggu lalu saat melihat Ella mencekik belahan jiwanya. Sang istri bahkan sempat pingsan setelah mengetahui apa yang direncanakan Ella Hardi, wanita yang menurut Peony bahkan mereka tidak pernah terlibat urusan berat selain masalah rancangan. Dan ternyata, punya obsesi terhadap Dallas. Wanita gila!“Apakah… aku keterlaluan kalau… aku tidak mau berdamai?” tanya Peony ragu. Di satu sisi, jiwa kemanusiaannya ingin berdamai, tapi di sisi lain, Peony mengingat apa yang dilakukan Ella Hardi sudah di luar batas. Bukan hanya karena percobaan pembunuhan padanya, tapi juga atas penyekapan yang dilakukan Ella Hardi pada Zora di apartemen wanita som