Alisya pulang ke rumah pada sore hari, ketika masuk bisa merasakan aura dingin dan sepi menyelimuti rumah itu. Pembantu Zidan langsung menghampiri Alisya, mengungkapkan kekhawatiran ketika melihat Zidan pulang.
"Mbak, apa terjadi sesuatu?" tanya pembantu.
Alisya sedikit bingung dengan pertanyaan pembantu rumah tangganya, mengernyitkan dahi sebelum pada akhirnya bertanya balik, "Memangnya terjadi apa, Bi?"
Pembantu itu menatap ke arah lantai dua, kemudian kembali menatap kepada Alisya yang masih kebingungan.
"Mas Zidan, tadi pulang dengan wajah pucat dan tidak bersemangat. Apa sakit lagi? Aku sedikit khawatir Mbak!" ujar pembantu itu.
Alisya melihat ke atas, kemudian menghela napas berat. "Mungkin terjadi sesuatu, Bi! Aku juga tidak bisa apa-apa."
Alisya tersenyum masam, hingga pada akhirnya memilih berjalan menaiki anak tangga untuk melihat keadaan Zidan, tak
"An!"Arga seakan tidak terima dengan perkataan Ana, sedangkan Ana hanya berpikir untuk tidak membebani dan menghancurkan impian Arga dan yang lainnya."Kenapa? Kamu tidak ingin menikah denganku?" tanya Arga dengan nada sedikit kecewa."Bukan begitu, Ga! Hanya saja mungkin kita tidak perlu terburu-buru," jawab Ana yang terlihat takut ketika melihat Arga yang seakan marah.Melihat Ana yang menundukkan kepala, membuat Arga sadar kalau wanita itu tengah takut padanya. Arga meraih tangan Ana, menggenggam telapak tangan itu penuh kehangatan."Katakan padaku! Apa ada masalah? Atau kamu punya alasan lain? Jika kamu tidak mau bicara, maka aku tidak akan pernah bisa mengerti," ujar Arga.Ana terlihat bingung, sampai memalingkan wajah sekilas sebelum pada akhirnya kembali menatap Arga."Kariermu begitu cerah, impian yang selalu didamba baru saja ka
Arga mengajak Ana pergi ke tempat ibunya, tahu kalau hanya ibunya yang bisa menenangkan hati Ana ketika sedang sedih. Arga tidak tega melihat Ana yang terus menangis di sepanjang perjalanan mereka."Kenapa ke sini, Ga?" tanya Ana ketika mobil Arga sampa di depan toko kue milih ibunya."Makan kue ibu, biar mood kamu membaik," jawab Arga dengan seutas senyum.Ana sebenarnya enggan turun, takut kalau wanita yang sudah melahirkan Arga itu melihat dirinya habis menangis. Tapi karena Arga terus memaksa, membuat Ana akhirnya ikut masuk ke dalam."Bu!" panggil Arga yang kemudian langsung mengecup sisi wajah ibunya.Wanita itu sedang sibuk membuat adonan, sehingga ketika Arga datang membuatnya sedikit terkejut."Hmm ... kamu ini kalau nggak ngagetin ibu emang tidak bisa, hah!" Ibu Arga tertawa gemas mengetahui kelakukan Arga."Tidak, aku malah suk
Lanie pergi ke panti asuhan tempat dirinya dan sang adik dulu tinggal. Sekali lagi mencoba mencari tahu tentang siapa yang mengadopsi adiknya. Meski dirinya sudah pernah datang dan tidak mendapat apa pun, tapi Lanie tidak ingin berputus asa."Maaf, kami benar-benar tidak bisa memberikan data tentang keluarga pengadopsi. Sekali lagi maaf, karena ini sudah menjadi prosedur kalau kami akan menjaga rahasia." Sekali lagi Lanie mendapatkan penolakan."Tapi saya benar-benar ingin bertemu dengan adik saya," ucap Lanie memelas."Maaf, kami tidak bisa," tolak pengurus panti.Lanie harus kembali menelan kekecewaan, pulang dengan tangan hampa. Keinginan untuk bisa bertemu kembali dengan keluarga satu-satunya, mungkin harus dikubur dalam-dalam.---Alisya tengah duduk di kafe tempat dirinya sering bertemu dengan Dio, bahkan ruangannya pun sama. Siang itu D
Lanie duduk termangu setelah melihat acara pernikahan Arga dan Ana. Apa yang dilihatnya benar-benar membuat Lanie memikirkan sesuatu. "Tanda itu, kenapa begitu sangat mirip?"Saat Lanie sedang memikirkan apa yang dilihatnya, Samuel datang membawa minuman untuk Lanie."Minum dulu, kamu dari tadi tampak melamun!" Samuel duduk di samping Lanie."Terima kasih," ucap Lanie seraya mengambil gelas yang disodorkan oleh Samuel."Apa kamu masih tidak setuju dengan pernikahan mereka?" tanya Samuel menyelidik, masih merasa kalau Lanie tidak senang.Lanie tersenyum masam, tidak ada yang tahu kalau dirinya menyukai Arga. Tapi, bukan itu alasan Lanie bersikap seperti sekarang, ada hal lain yang benar-benar mengganjal di hatinya."Bukan," sanggah Lanie. "Itu urusan mereka, aku juga tidak punya hak untuk melarang atau mengatur. Hanya saja aku merasa baru melihat sesuatu yang
Sulur sang surya mulai merambat masuk, melewati celah jendela mengusik jiwa yang tengah tertidur lelap. Cahaya mulai menyilaukan, melambai hendak mengajak setiap insan yang masih berada di dalam mimpi untuk bangun bersamanya.Arga menggerakkan kelopak mata, mencoba membuka mata dengan perlahan, hingga akhirnya kelopak mata terbuka sempurna. Arga langsung bangun ketika mendapati sisi ranjangnya kosong, duduk seraya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan."An!" Arga memanggil nama Ana.Arga bergegas bangun, takut jika apa yang terjadi semalam hanyalah sebuah mimpi belaka. Hingga ia berhenti mengangsurkan kaki ketika melihat pintu kamar terbuka.Ana masuk dengan cangkir di tangan, melihat Arga yang sudah bangun membuat Ana langsung mengulas senyum. Arga menghela napas lega ketika melihat Ana, sempat merasa takut kalau Ana tidak benar-benar bersamanya."Sudah bangun," ucap Ana sera
Mikayla sedang berada di kamar Alisya. Sejak Zidan memaafkan dirinya, ia pun kembali tinggal di rumah itu."Sya, sejak kak Zidan bercerai, apa dia baik-baik saja?" tanya Mikayla yang berbaring dengan posisi telungkup di atas kasur Alisya.Alisya berhenti menulis tugasnya, kemudian menoleh pada Mikayla, gadis itu mendesau."Awalnya sangat buruk, dia mengurung diri selama beberapa hari, bahkan ambil cuti tahunannya hanya untuk berdiam diri. Sepertinya kak Zidan masih belum merelakan, tapi mungkin dia juga berpikir untuk apa mempertahankan kalau kak Ana sendiri sudah tidak menginginkan," jawab Alisya panjang lebar.Mikayla terlihat berpikir, kemudian menatap Alisya yang menunduk dan memainkan kaki menendang kaki meja."Apa hanya karena nasib? Atau memang ada masalah lain yang membuat mereka berpisah?" tanya Mikayla penasaran, karena semenjak dirinya kembali, baik Zidan maupun Alisya
Pagi itu udara begitu dingin, angin mulai menyelinap masuk melalui celah jendela dan ventilasi udara. Arga yang merasa dingin menarik selimut hingga sebatas leher, memeluk Ana yang masih terlelap. Hingga Arga membuka kelopak mata, menatap wajah Ana yang terlihat begitu berseri meski masih dalam keadaan tidur.Arga mengulurkan tangan, menyingkirkan helaian rambut yang sedikit menutup wajah Ana, tersenyum menatap wanita yang begitu teramat dicintainya. Ana mengerakkan kelopak mata ketika merasakan sebuah sentuhan di wajahnya, mengerjapkan kelopak mata berulang kali hingga bisa terbuka sempurna."Selamat pagi," sapa Arga yang disusul sebuah kecupan di kening Ana."Selamat pagi," balas ana seraya mengulas senyum.Arga mengusap rambut Ana, bahkan menyisir dengan jemarinya berulang kali."Masih ngantuk?" tanya Arga.Ana hanya mengangguk, merengkuh tubuh Arga dan me
"Setahuku, dia anak kandung mereka. Tidak tahu juga, karena yang sering aku lihat dan hadapi, kedua orangtuanya memang terlihat membedakan mereka." Cerita Samuel terngiang di telinga Lanie, rasa penasaran tentang siapa Ana sebenarnya terus berputar di pikiran. Setelah menemui Samuel, Lanie tampak memacu mobil menuju rumah Ana, ingin mencari info tentang wanita yang kini menjadi istri vokalisnya. Lanie memarkirkan mobil di halaman rumah orangtua Ana, tampak rumah yang sedikit besar meski tidak terlalu mewah. Wanita itu menarik napas kemudian menghela perlahan, Lanie membuka pintu dan keluar, berjalan menuju pintu rumah orangtua Ana. "Mau cari siapa, Mbak?" tanya seorang wanita paruh baya ketika pintu terbuka. Lanie menatap dan memperhatikan, serta menebak kalau yang membukakan pintu adalah pembantu rumah itu. "Ibunya ada?" tanya Lanie menjawab pertanyaan wanita paruh bay