Kantin perlahan mulai penuh, setelah bel istirahat kedua berbunyi nyaring. Banyak siswa-siswi mengantri demi membeli jajanan atau sekedar menggosip berita baru di sekolah.
Namun itu tidak untuk tiga orang cewek yang sedang duduk di salah satu kursi panjang, dua cewek di antaranya sibuk memainkan ponsel, tapi satu cewek–-berkepang lainnya malah sibuk berkutat dengan buku paket Matematika.
"Yaelah, Ry. Kena angin apa lo mendadak rajin gitu?" tanya Raya. Dengan mulut hampir penuh camilan.
"Kesantet Aldevan kali, gue mikirnya gitu, pemandangan langka banget dah, tuh liat Ry. Lo jadi tontonan mereka. Nggak malu apa?" Tasya melirik penghuni kantin yang rata-rata menoleh ke arah mereka, ah tidak! Lebih tepatnya ke arah Mery. Bagaimana tidak? Pemandangan Mery belajar di kantin itu sangatlah langka. Bahkan ada yang sampai mengucek-ngucek matanya.
Mery melirik sekilas keadaan kantin, memang benar, hampir semua mata menatapnya. Namun tidak akan
Taman kecil belakang sekolah menjadi pilihan Aldevan untuk mengajarkan Mery materi matematika. Jujur, ia sendiri tidak begitu ahli jika menyangkut hitungan. Adanya hembusan angin menerpa sesekali membuat mereka nyaman, apalagi hanya berdua saja. "Ih, ini susah banget, pake rumus apa coba? Gue nggak paham, au ah belajarnya besok aja lagi." Mery mulai merengek setelah membaca satu soal, lantas membuat kepalanya pusing seketik. Aldevan mendengus geli, dia mengambil satu pulpen dari tangan Mery. "Ini mudah kok, lo baca dulu materinya, jangan langsung ke soal," kata Aldevan, membalik halaman buku paketnya. Menunjuk penjelasan materi di sana. "Materinya mudah, soal tentang barisan dan deret. Gue yakin lo bisa, baca pelan-pelan." "Susah tauu! Lebih susah dari dapetin itu dari lo," kata Mery menunjuk bibir Aldevan. Cowok itu memutar bola mata. "Susah lagi kalo lo gak usaha pahamin, ini mudah, Ry, anak kelas sepuluh aja pasti bisa. Masa lo
"Yeay, udah sampe. Nggak mau masuk dulu, jarang banget ih lo mampir, mumpung gue lagi sendiri," ucap Mery, ketika motor Aldevan berhenti tepat depan pagar rumahnya. Gelengan pelan respon Aldevan, ia hanya tidak nyaman jika berduaan saja dalam rumah yang sepi. Diusapnya lembut rambut Mery, kemudian berkata. "Enggak." "Ih, mau ya, kali ini aja, gue lupa kapan terakhir kali lo ke rumah gue, rasanya udah lama banget. Mau ya, mau, mau dong." Mery bersikeras, dia menarik-narik lengan seragam Aldevan, seperti anak kecil yang merengek minta dibelikan mainan. Karena Mery sudah turun dari motor, Aldevan sulit mengelak sebab kini cewek itu merentangkan tangan, tepat depan motornya. "Iya dah, iya gue mampir. Cuma sebentar, gue ada urusan habis ini." Aldevan menghela berat dan melepas helmnya, turun dari motor lalu berhadapan dengan Mery. "Yeay, ayo masuk," senang Mery, langsung menuntun Aldevan masuk ke rumahnya. Namun baru sampai depan pintu, cowok
Ada sekitar sepuluh menit berlalu, Aldevan menyusuri jalanan sore ditemani angin sejuk menyentuh kulit. Kini, cowok itu sudah sampai di depan rumahnya, memarkirkan motor, melepas helm, lalu merapikan rambutnya yang acakan. Hal pertama yang ia dapati saat membuka pintu ialah keberadaan Anggie, ia mengernyit, bukan karena Anggie sedang menatapnya dingin melainkan wanita paruhbaya lain yang juga duduk di sampingnya. Itu Hasna-–bundanya Hana. "Assalamualaikum." Aldevan memberi salam, jaket menggantung di pundaknya. Enggan menatap Hasna lebih lama. "Waalaikum salam," jawab Anggie datar, bernada dingin. Entah kenapa, Aldevan tidak mengerti apa yang terjadi sebelumnya. Tidak pernah mamanya berekspresi seperti itu. Apalagi sekarang ada tamu. "Darimana saja baru pulang jam segini, Aldevan?" tanya Anggie, Aldevan yang berjalan menaiki tangga lantas menghentikkan langkah, menatap mamanya. "Nganter Mery pulang dulu tadi." Aldevan menjawab tidak kalah dingin. "Ada pertanyaan lagi?" Ini pert
Hari demi hari berlalu. Terhitung satu bulan hari ini Aldevan menjalin hubungan dengan Mery.Aldevan menikmati tiap suapan dari cewek itu--Mery dengan senangnya sekaligus malu-malu menyuapi nasi gorengnya. Karena murid seleksi eskul kian banyak memasuki ruangan. "Aciee, elah bos kita para jomblo pada ngiri nih. Jauh-jauhan dikit gih sana, katarak lama-lama mata gue liat yang romantis mulu tiap hari," rengek Kevin yang tengah duduk di kursi khusunya. "Bener apa kata Kevin, lo jangan sok romantis deh, mentang-mentang gue ketolak mentah Hana. Kan gue jadi iri. Cielah nih anak!" Arlan mencibir, terselip nada bercanda dari kalimatnya. "Nih ye bos, dengerin baik-baik, tuh cewek lo santet apaan ampe berani berubah gitu demi lo?" tanya Arlan, lalu menyeruput kuah baksonya. Kevin tertawa renyah. "Hooh. Gue juga penasaran, terlalu cinta kali ya? Kan kasian Arlan gak dapat jatah liat body kinclong. Seragamnya udah ngelebar gitu." Mery yang mendengar itu hanya
"Aldevan tungguin, jalannya cepet amat sih, ini kaki aku pegel kalo cepet-cepet," kekeh Mery, ia menyeimbangkan langkah dengan Aldevan. Setelah akhirnya keluar dari ruangan eskul fotografi. Aldevan melirik sekilas ke belakang, untung lorong sudah sepi, hanya ada beberapa siswi yang nekat melihat keberadaan mereka berdua. "Lo yang jalannya lambat kayak siput," cibirnya. "Gue tunggu, lima detik lo udah di depan gue. Kalo gak? Gak jadi gue ajarin lo motret." Mery mengernyit kesal, lima detik? Dia bahkan perlu satu menit menuju Aldevan. Wajar karena sekarang ia di ujung koridor. "Eh-eh, buset, cepet banget lima detik. Satu menit, pacar. Aku bukan supermen," kesal Mery mengerucutkan bibir. "Emang gue peduli?" "Yaudah iya-iya." Dengan langkah cepat Mery berjalan menuju Aldevan, mimiknya cemberut, sementara cowok berjarak lima meter dengannya itu hanya mendengus geli. "Empat ..." "Iya-iya." Langkah
"Ry, Ry. Ada berita heboh, lo cepetan keluar. Gue ada berita penting buat lo!" teriak Tasya antusias dari ambang pintu. Mery yang baru saja membuka lembar pertama bukunya kini menoleh, menatap penuh penasaran. "Apaan sih? Gue lagi belajar, sanaan dah. Hush." Tasya berdecak tak sabar. Tangannya melambai-lambai. "Ayolah Ry, gue yakin lo nyesel nggak denger ini sekarang. Semrawut atuh, penting, penting, penting. Soal pacar lo, Ry. Aldevan." Jika tidak mendengar kata Aldevan, Mery tak akan menganggukan kepala dan bergegas menghampiri cewek itu. "Emang pacar gue kenapa? Muntah-muntah lagi, sakit kepala, dia demam? Luka? Cepetan jawab," cecar Mery, seraya mengguncang tubuh Tasya. "Lepasin gue dulu, Ry gimana mau ngomong?" kekeh Tasya, kepalanya mendadak pusing akibat guncangan Mery. Mery lantas menghentikkan guncangannya, sadar akan sikapnya yang membuat Tasya geleng-geleng kepala. "Tadi lo minta cepetan." "Iye maksud gue cep
Mery membiarkan Aldevan memutar lensa kameranya selama beberapa menit dengan tatapan fokus. Mereka memutuskan duduk di taman kecil, itu pun keputusan Aldevan dan ia tidak berniat menggubris. Mery akhirnya mengikuti saja, mereka mengambil tempat pada salah satu kursi panjang. Awalnya Aldevan bercerita soal mengapa ia membopong Hana ke UKS, Mery pun manggut-manggut paham saja. Sesekali, ia menanyakan apakah Aldevan menyukai Hana. Dan jawaban Aldevan tidak, dia masih menyukai cewek berkepang di hadapannya sekarang. "Jadi, bener nggak ada rasa apa pun?" tanya Mery. "Nggak ada Ry, gue udah jelasin ke elo gue hanya bersimpati. Masa gue tinggalin gitu aja anak orang?" Mery terkekeh geli. "Hehe iya, pacar gue emang baik deh. Suka menolong." "Hmm." Angin berhembus terasa sejuk menerpa kulit, sesekali Mery memeluk lengannya, sesekali pula mengamati Aldevan yang mendadak diam seribu bahasa. Tatapannya kosong ke depan. "Pacar, kok bengong?
"Pacar takuttt," rengek Mery, suaranya nyaris lenyap oleh mesin biang lala yang mulai menyala. Memeluk Aldevan dari samping dan menenggelamkan wajah di dada cowok itu. "Shtt, lo gak perlu takut, ada gue. Atau lo tutup mata silahkan," kata Aldevan, dia menarik tangan Mery agar memeluknya erat. Mery mendongak lalu menatap Aldevan. "Kalo tutup mata gimana mau liat pemandangan indah di atas? Pengen lihat pohon tinggi, awan, burung-burung terbang," ujar Mery, dia mendadak cemberut sekaligus takut. "Ya sudah, lo liat muka gue aja, lebih enak dipandang daripada burung sama awan," goda Aldevan. Mery tersenyum geli, sejenak rasa takutnya menghilang karena gombalan Aldevan tadi. Sayangnya, memandang wajah Aldevan berlama-lama sama saja dengan mempercepat degup jantungnya. Mesin masih menyala, satu demi satu pengunjung memenuhi tiap box biang lala, sementara Mery masih saja memeluknya dengan gemetar. "Sekarang pilih mana? Liat muka gue atau liat
ingga saat ini, Nayra tidak bisa meyakinkan hatinya untuk menceritakan kejadian beberapa jam lalu pada Rifdan, meski tak ada luka yang membekas, tetap saja bayangan tragedi tadi melintasi pikirannya. Nayra perlu waktu untuk melupakan semua itu.Nayra berjalan dengan tangan sedikit gemetar, setelah Nickey memberhentikannya tepat di depan pagar, ia meraih handle pintu yang tidak terkunci."Aku pulang."Tidak ada sahutan, kecuali suara detak jam yang menunjukkan pukul 10.15 malam. Lampu ruang tamu juga masih menyala dan sisa bungkus makanan berserakan dimana-mana. Kebiasaan Rifdan seperti ini sungguh membuat Nayra lelah, namun ia tak dapat menyangkal jika ayahnya berubah depresi ringan sepeninggal ibunya.Perubahan perilaku dan emosi ayahnya juga sering dirasakan Nayra.Seperti sekarang perilaku ayahnya yang terkesan kekanakan. Meracau tidak jelas saat tidur dan sesekali menangis di sela tidurnya, sangat menyayat hati Nayra.Andai ibunya
Ketika hati dibutakan oleh cinta, semuanya terasa kelu untuk diucapkan, ketika mereka baru saja bersama dalam waktu sesingkat ini. Apakah Tuhan juga akan memisahkan kurun waktu sesingkat itu juga?Mereka mendekap, saling tenggelam dalam heningnya kejadian beberapa menit lalu sampai akhirnya mereka menyadari suara langkah kaki menggema menuju ruangan yang mereka pijaki.Nayra berusaha menjauhkan tubuhnya dari Nickey saat cowok itu semakin mengeratkan pelukannya. Tangan yang melingkari bahunya terasa menegang menyesakkan dada Nayra.Nayra mendongak sambil mendorong dada bidang Nickey menjauhi dirinya."Aku pengen tau apa maksudnya, mereka bilang kamu cuma bersandiwara, Nickey." Nayra melirih meski hatinya terasa sesak, ia juga perlu penjelasan. Menjelaskan semua pertanyaan di otaknya.Nickey tercekat, lidahnya kelu berucap. Kepala yang menunduk meyakinkan Nayra mengulang lagi pertanyaannya. Namun dengan nada begitu memohon."Tolong jelasin sem
"Iya gue. Danu, penyelamat lo waktu itu."Kalimat itu terdengar untuk kedua kalinya. Nayra mengerjapkan matanya berkali-kali memastikan sosok di hadapannya.Dia yang dianggap baik hanya ilusi belaka. Meski Nayra jarang bertemu lelaki itu. Ia masih tak percaya faktanya. Memang benar, sesuatu yang baik di luar belum tentu baik di dalam. Hanya sandiwara semata.Nayra menghela dalam dan menghembuskan nafasnya perlahan. Tangan dan kakinya masih diikat sehingga ia tak bisa bergerak. Bagaimanapun nanti ia harus bisa keluar dari sini."Lepaskan aku! Emang kamu mau apa?" Nayra menggeram. "Bukannya kamu teman Friska. Kenapa kamu ngelakuin ini?"Danu mendekatkan wajahnya setelah tersenyum sinis, sedikit berjongkok dan menatap lekat-lekat kedua bola mata Nayra. Dengan tangan mencekal dagu Nayra dan mendongakkannya, Danu mencoba menakuti gadis itu."Teman? i not believe friends. Itu cuma omong kosong."Danu menghempas kasar dagu Nayra,
Cowok dengan wajah khawatir berulang kali menekan nomor yang sama. Berkali-kali pula ia memanggil nama itu. Berharap yang dipanggil akan mendengar. Dari kampus yang sepi ini ia tidak melihat siapapun.Pula, berulang kali Nickey memanggilnya. "NAYRA!!"Teriakan itu kembali terdengar di suatu lorong yang sempit. Di belakang kampus. Ia mengenyahkan ketakutannya menelusuri tiap sudut universitas itu. Berkali-kali ia mengerjapkan mata memastikan ada tidaknya keberadaan seseorang di sana.Namun harapan itu pupus ketika ia hanya melihat untaian daun kering bergelantungan diatasnya. Sekali lagi ia mencoba mencari. Tetes demi tetes keringat mengalir di pelipisnya.Nickey yakin gadis itu ada di sini saat suara hentakan dari lantai atas menusuk telinganya.Gedebug gedebugSuara boriton itu membuat Nickey menautkan kedua alisnya. Ia berlari kearah tangga sumber suara.Namun hasilnya tetap sama, ia tak menemukan apapun kecuali satpam y
"Kamu mau pesen yang mana?" Nickey menyodorkan daftar menu pada Nayra.Tidak ada alasan khusus, hanya saja ia ingin menghabiskan setidaknya sedikit waktu saja bersama Nayra. Dan kini mereka berada di salah satu kafe es krim, tidak jauh dari pertigaan jalan menuju rumah Nayra.Nayra mengerjap sekali, menatap daftar menu yang sangat asing di matanya. Yang ia tahu, rasa es krim itu hanya ada dua, coklat dan stoberi. Kolot memang."Atau mau gue pilihin?"Oleh Nickey tangan Friska ditepis, sesaat ingin menjangkau daftar menunya. "Sibuk, biar Nayra yang milih," titah Nickey.Friska mengerucutkan bibir."Apasih lo, gue sahabatnya, yajelas gue paling tau."Nickey hanya memutar bola mata, sedangkan Nayra berdecak berkali-kali."Kalian nggak bisa nggak ribut kalau sehari aja. Itu nggak baik lo kata ayah, harus akur."Senyum Nayra membuat Friska terpaksa menutup mulut rapat-rapat, sementara Nickey tertawa kecil, lalu menatap Na
Bisa dicap hari ini, hari paling berkesan bagi Nayra. Ia baru saja mendapatkan hasil kerja kerasnya, lebih tepatnya hasil dari penjualan kue yang ia buat. Ternyata benar apa kata orang, hasil tidak akan mengkhianati perjuangan. Apalagi perjuangan itu diiringi dengan niat, maka hasilnya pasti lebih sempurna.Perjuangan Nayra yang rela begadang demi membuat kue hingga larut malam. Sebab itu sekarang ia mulai menguap, rasa kantuk dan matanya terasa sangat berat untuk membuka, menemani perjalanan pulangnya dari kampus. Ia sudah lama menahan hal ini terutama saat pelajaran bu Antik, harus sepenuhnya sadar agar tidak dikenai hukuman beliau.Seperti biasa, Friska juga menemaninya sekarang. Cewek itu memainkan ponsel, meski sesekali tertinggal karena harus mengimbangi langkah Nayra yang lumayan cepat."Jalannya cepetin dikit dong Nay, kaki gue jadi pegel kalo lambat gini," keluh Friska yang berada di depan.Nayra menoleh sambil tersenyum, berusaha menyadarkan dir
Mungkin baru kali ini, Nickey terpaku pada seorang gadis yang tengah memungut sampah di sekitar area kelas. Pemandangan itu membuat Nickey yang baru saja melangkah di ambang pintu kelas mengerutkan keningnya beberapa saat.Tidak seperti biasanya, walaupun Nickey mengetahui hari ini jadwal Nayra piket kelas, setidaknya pekerjaan semacam itu tidak cocok dilakukan perempuan.Biasanya ia mendapati Wira atau Erik yang melakukan itu.Nickey menghampiri. "Ngapain ngelakuin itu sih, Nay? Udah tinggalin. Itu tugas Erik sama Wira."Sepertinya Nickey kesal, ia langsung merebut sampah plastik itu dari tangan Nayra kemudian membuangnya sembarang. Nayra pun menatap Nickey heran. Apa salahnya jika ia melakukan hal itu?"Nickey." Nayra beranjak untuk mengambil sampah itu, tapi tangan Nickey menahannya."Aku bilang nggak usah.""Tapi aku nggak masalah. Sekali-kali dong gantian, mereka juga bosan ngelakuin itu terus."Nickey berdecak, ia t
Sejak dua puluh menit yang lalu, tepatnya setelah Nayra menghabiskan makannya, tangan Rifdan terus berada dalam genggamannya. Nayra berharap Rifdan segera sadar, walau tadi dokter sempat mengatakan Rifdan tengah tidur. Kemungkinan akan bangun sekitar satu jam lagi. Itupun hanya perkiraan, selebihnya Tuhan yang menentukan.Bersama Nickey yang berada di sampingnya, duduk menopang dagu. Sesekali mengusap bahu Nayra."Sabar, ayah pasti sadar," ucap Nickey menenangkan. Tetapi jauh di relung hatinya, Nickey mengkhawatirkan sesuatu yang membuatnya ingin lekas pergi dari tempat ini.Nayra mengangguk halus, tangannya tetap setiap mengusap punggung tangan Rifdan sesekali menciumnya. Rifdan selalu mengatakan kalau sentuhan adalah cara paling ampuh untuk berinteraksi dengan seseorang, meski orang itu sedang tidak sadar.Dan benar saja, beberapa menit kemudian jari Rifdan melakukan pergerakan kecil, yang mungkin tidak disadari mereka yang berada lumayan jauh dar
"Permisi."Suara milik dokter itu lantas membangunkan dua orang yang tengah terlelap. Nickey menegakkan punggung, bangun dari sandaran kursinya meski belum sepenuhnya sadar. Sedangkan mata Nayra perlahan membuka, mengucek-nguceknya sebentar kemudian menatap dokter."Maaf mengganggu," ujar dokter itu. Tampak tidak nyaman karena mengganggu tidur mereka.Nayra ikut berdiri. "Nggak papa dok. Terus keadaan ayah gimana?""Ayah kamu baik-baik saja. Tapi jangan sampai telat memeriksa kesehatannya. Maaf lambat memberitahu, saya tidak tega membangunkan kalian tadi.""Nggak masalah dok," jawab Nickey yang sudah berdiri di samping dokter itu. "Terus kapan ayah Nayra bisa pulang?""Sekitar beberapa hari lagi, kami ingin memantau kesehatannya dulu. Dan Nayra, apa ayah kamu selalu teratur minum obat?"Nayra menggeleng. "Ayah sering lupa, obatnya sekarang juga lagi habis."Dokter itu hanya ber-oh sesaat. "Kalo gitu obatnya dokter s