Mery membiarkan Aldevan memutar lensa kameranya selama beberapa menit dengan tatapan fokus. Mereka memutuskan duduk di taman kecil, itu pun keputusan Aldevan dan ia tidak berniat menggubris. Mery akhirnya mengikuti saja, mereka mengambil tempat pada salah satu kursi panjang.
Awalnya Aldevan bercerita soal mengapa ia membopong Hana ke UKS, Mery pun manggut-manggut paham saja. Sesekali, ia menanyakan apakah Aldevan menyukai Hana. Dan jawaban Aldevan tidak, dia masih menyukai cewek berkepang di hadapannya sekarang.
"Jadi, bener nggak ada rasa apa pun?" tanya Mery.
"Nggak ada Ry, gue udah jelasin ke elo gue hanya bersimpati. Masa gue tinggalin gitu aja anak orang?"
Mery terkekeh geli. "Hehe iya, pacar gue emang baik deh. Suka menolong."
"Hmm."
Angin berhembus terasa sejuk menerpa kulit, sesekali Mery memeluk lengannya, sesekali pula mengamati Aldevan yang mendadak diam seribu bahasa. Tatapannya kosong ke depan.
"Pacar, kok bengong?
"Pacar takuttt," rengek Mery, suaranya nyaris lenyap oleh mesin biang lala yang mulai menyala. Memeluk Aldevan dari samping dan menenggelamkan wajah di dada cowok itu. "Shtt, lo gak perlu takut, ada gue. Atau lo tutup mata silahkan," kata Aldevan, dia menarik tangan Mery agar memeluknya erat. Mery mendongak lalu menatap Aldevan. "Kalo tutup mata gimana mau liat pemandangan indah di atas? Pengen lihat pohon tinggi, awan, burung-burung terbang," ujar Mery, dia mendadak cemberut sekaligus takut. "Ya sudah, lo liat muka gue aja, lebih enak dipandang daripada burung sama awan," goda Aldevan. Mery tersenyum geli, sejenak rasa takutnya menghilang karena gombalan Aldevan tadi. Sayangnya, memandang wajah Aldevan berlama-lama sama saja dengan mempercepat degup jantungnya. Mesin masih menyala, satu demi satu pengunjung memenuhi tiap box biang lala, sementara Mery masih saja memeluknya dengan gemetar. "Sekarang pilih mana? Liat muka gue atau liat
Aldevan mengernyit ketika sampai depan gerbang rumahnya, terlihat kosong tak berpenghuni seperti rumah Mery. Pintunya tertutup rapat, biasanya selalu terbuka kecuali semua orang sedang pergi keluar. Matanya menyapu seluruh halaman, dan Aldevan menemukan pak Husni tengah menyiram tanaman. "Semua orang kemana, Pak? Kok sepi?" Pak Husni yang berdiri tak jauh dari pagar menoleh. "Semua ke rumah sakit, Den. Ibu, Non Davina, cuman Tuan aja yang gak ikut, katanya sibuk." "Emang siapa yang sakit, Pak?" tanya Aldevan penasaran. Pak Husni mengusap dagu, seingatnya... "Non Hana, kalo gak salah Non Hana, temen, Den waktu kecil itu." Mata Aldevan membola sesaat, buru-buru dia menaiki motor lalu memasang helm secepatnya. Tak peduli dengan pak Husni yang berteriak kencang dari arah pagar. "Eh Den, Den Aldevan mau kemana?!" ••• "Nona Hana, sebentar ya, Dek." Perawat itu mengecek sesuatu di komputernya, selesai, ia menem
"Masukkin coklatnya lagi, Ry. Biar tambah manis," saran Tasya. Dia mengambil sebatang coklat lalu memasukkannya ke adonan kue yang sedang di aduk oleh Mery. "Eh, sembarangan banget sih lo, kata pacar gue jangan terlalu manis," kilah Mery. Dia menepis tangan Tasya yang hendak memasukkan coklatnya lagi. Tasya berdecak sebal. "Terlalu manis darimananya, lo tadi cuman masukkin setengah batang. Tai lo manis, yang ada pacar lo mukanya masam abis makan tuh kue," cibir Tasya. "Udah-udah, lo bedua bacot. Gini aja Ry, lo kira-kira belum masukkin coklatnya, seingat kata nyokap gue, bikin cookies butuh coklat yang banyak. Biar bukan manis luarnya aja dalemnya juga," kata Raya berjalan mendekati Mery lalu mencolek adonannya, melumernya dalam mulut. "Ini kurang." "Sembarangan colek lo, ini manis, kalo makannya sambil liat muka gue," ujar Mery setelah menepis telunjuk Raya yang ingin mencolek adonannya lagi. "Elah Ry, pengen muntah gue." Tasya berjalan menja
Suara decitan mobil tepat berhenti di depan pagar rumah Mery, pemilik mobil tanpa membuang waktu langsung melepas seatbelt yang ia kenakan lalu keluar dari mobil. Diikuti dua cewek di kursi belakang dan satu cowok di sampingnya. Pemilik mobil itu terperangah beberapa saat, terpaku pada rumah berwarna putih dengan hiasan pernak-pernik yang memanjakan mata. Biar terlihat sederhana, dari luar pemilik mobil itu kagum akan ornamen yang terukir pada sisi pintu. Jadi, Mery termasuk orang kaya, pikir cowok itu. "Kalian tunggu, biar gue panggil," ucap cowok itu, yang tidak lain adalah Arlan. Satu cewek berikat rambut dengan kuku bercat putih protes. "Biar gue aja deh, gue kan sahabatnya. Minggir lo minggir." Cewek itu tak lain adalah Raya. Namun baru tiga langkah, tangan Kevin menahan kerahnya. "Ribet, biar Arlan aja napa, entar kalo lo yang manggil seluruh kampung pada bangun," cibir Kevin. "Apaan sih?! Lepasin gak?" "Ngapa? Diem deh l
"Pacar..." Panggilan bernada terkejut itu kontan mengalihkan fokus seorang cowok yang sedang mengotak-atik kameranya. Aldevan meneguk saliva kasar ketika mendapati Mery berdiri dengan bekal pink di ambang pintu. "Pacar, kok malah ngadem di sini? Arlan mengatakan kamu ada urusan, terus di sini ngapain? Kamu juga lupa minta aku bawakan kue? Ayo makan dulu," ucap Mery tersenyum, berjalan mendekati Aldevan. Aldevan menaruh kameranya, dia bersuara sebelum Mery hampir mendekatinya. "STOP!" Langkah Mery terhenti, apa? Stop? Apa Mery salah dengar? Dia mengerjap menatap Aldevan. "Kenapa? Penampilan aku salah?" Aldevan tersenyum kecut, namun matanya menyiratkan keterpaksaan. "Siapa yang izinin lo masuk?" Mery terperangah. "Lho, kamu kan pacar aku, terserah lah. Lagian biasanya kamu izinin aja tuh tanpa aku minta dulu. Pacar becanda ya, ish gemes. Entar aja deh, makan dulu. Entar laper terus diarean. Kalo—" "Gue serius," potong Aldevan ce
Sepulang sekolah, Mery mengedar pandang mencari keberadaan Aldevan, meski sudah berkali-kali ia chat bahkan menelpon cowok itu, hasilnya tetap nihil. Mery bisa dibuat gila lama-lama seperti ini, setelah berpikir, akhirnya cewek itu memutuskan pergi ke parkiran dengan mulut tak hentinya ngedumel. Mungkin juga Aldevan berada di parkiran, toh, tadi dia sudah ke kelas cowok itu dan Arlan mengatakan Aldevan sudah pergi. Sesampainya di parkiran, sosok Aldevan terlihat jelas tengah mengeluarkan motornya yang terparkir. "Pacar!!" panggil Mery, lebih keras, tidak selemah saat ia di menemui Aldevan pagi tadi. Aldevan mendelik sekilas, acuh, memilih fokus mengeluarkan motornya yang terjepit. Mery menghela berat, ia menghampiri cowok itu. "Pacar, aku pulang bareng kamu ya? Pagi tadi udah bareng Arlan, sekarang bareng kamu. Ya? Oke, aku tunggu di sini." Aldevan mengerutkan dahi, Mery masih saja semaunya mengambil keputusan sendiri. "G
"Lagi ngapain? Senyum-senyum sendiri," komentar Aldevan, yang tengah duduk di kursi samping brankar Hana seraya memainkan kamera miliknya. Hana terkikik seraya menatap ponsel yang asa di tangannya. "Enggak ada. Cuman geli aja ponsel kamu ternyata masih penuh foto Mery." "Na, siniin ponselnya." Aldevan berusaha merebut ponselnya. Namun Hana secepat kilat menjauhkannya. "Nggak mau. Aku belum selesai mainin ponsel kamu." "Tapi jangan liat macam-macam. Terutama hal privasi," kilah Aldevan. Hana tersenyum tipis. "Privasi? Hubungan kamu dengan Mery itu bukan privasi lagi, Ga. Satu sekolah tau kalian pacaran." Aldevan hanya terdiam, cowok itu tidak berkomentar apa pun. Ia hanya malas membahas Mery saat ini. "Jangan putusian dia ya, Ga," pinta Hana. Aldevan berdecak sebal kedua kalinya. "Aku udah denger kamu ngucapin itu sepuluh kali." "Anggap aja itu permintaan terakhir aku Ga sebelum mening—" Belum
Mery menatap kosong ke depan, tangannya sibuk mengaduk lauk pauk serta nasi yang tersaji di piringnya. Sementara pikirannya bergelayut entah kemana. Sama sekali, ia tidak nafsu makan mengingat permintaan Aldevan sebelum pergi tadi. Ikut olimpiade? Aldevan sudah mencetak rekor pertama membuatnya bimbang seperti ini. Baginya ikut olimpiade tidaklah mudah, harus belajar penuh apalagi mengingat dirinya hanyalah cewek bodoh yang mendadak berevolusi jadi cewek cupu. Pula, waktu yang diberikan untuk belajar hanya satu bulan. Satu bulan. Sangat sedikit. "Non, makanannya jangan diaduk-aduk aja. Entar dingin, Non mau Bibi masakin yang lain atau pesen online aja?" tanya Bi Asih, datang dari arah dapur bersama buah-buahan di kedua tangannya. Lamunan Mery lantas buyar, dia menatap Bi Asih lalu menggeleng. "Enggak usah, Bi." "Yakin Non? Keliatannya gak selera. Non mikirin apa tadi. Dari tadi teh bibi liat Non ngelamun mulu," Bi Asih mengusap bahu Me
ingga saat ini, Nayra tidak bisa meyakinkan hatinya untuk menceritakan kejadian beberapa jam lalu pada Rifdan, meski tak ada luka yang membekas, tetap saja bayangan tragedi tadi melintasi pikirannya. Nayra perlu waktu untuk melupakan semua itu.Nayra berjalan dengan tangan sedikit gemetar, setelah Nickey memberhentikannya tepat di depan pagar, ia meraih handle pintu yang tidak terkunci."Aku pulang."Tidak ada sahutan, kecuali suara detak jam yang menunjukkan pukul 10.15 malam. Lampu ruang tamu juga masih menyala dan sisa bungkus makanan berserakan dimana-mana. Kebiasaan Rifdan seperti ini sungguh membuat Nayra lelah, namun ia tak dapat menyangkal jika ayahnya berubah depresi ringan sepeninggal ibunya.Perubahan perilaku dan emosi ayahnya juga sering dirasakan Nayra.Seperti sekarang perilaku ayahnya yang terkesan kekanakan. Meracau tidak jelas saat tidur dan sesekali menangis di sela tidurnya, sangat menyayat hati Nayra.Andai ibunya
Ketika hati dibutakan oleh cinta, semuanya terasa kelu untuk diucapkan, ketika mereka baru saja bersama dalam waktu sesingkat ini. Apakah Tuhan juga akan memisahkan kurun waktu sesingkat itu juga?Mereka mendekap, saling tenggelam dalam heningnya kejadian beberapa menit lalu sampai akhirnya mereka menyadari suara langkah kaki menggema menuju ruangan yang mereka pijaki.Nayra berusaha menjauhkan tubuhnya dari Nickey saat cowok itu semakin mengeratkan pelukannya. Tangan yang melingkari bahunya terasa menegang menyesakkan dada Nayra.Nayra mendongak sambil mendorong dada bidang Nickey menjauhi dirinya."Aku pengen tau apa maksudnya, mereka bilang kamu cuma bersandiwara, Nickey." Nayra melirih meski hatinya terasa sesak, ia juga perlu penjelasan. Menjelaskan semua pertanyaan di otaknya.Nickey tercekat, lidahnya kelu berucap. Kepala yang menunduk meyakinkan Nayra mengulang lagi pertanyaannya. Namun dengan nada begitu memohon."Tolong jelasin sem
"Iya gue. Danu, penyelamat lo waktu itu."Kalimat itu terdengar untuk kedua kalinya. Nayra mengerjapkan matanya berkali-kali memastikan sosok di hadapannya.Dia yang dianggap baik hanya ilusi belaka. Meski Nayra jarang bertemu lelaki itu. Ia masih tak percaya faktanya. Memang benar, sesuatu yang baik di luar belum tentu baik di dalam. Hanya sandiwara semata.Nayra menghela dalam dan menghembuskan nafasnya perlahan. Tangan dan kakinya masih diikat sehingga ia tak bisa bergerak. Bagaimanapun nanti ia harus bisa keluar dari sini."Lepaskan aku! Emang kamu mau apa?" Nayra menggeram. "Bukannya kamu teman Friska. Kenapa kamu ngelakuin ini?"Danu mendekatkan wajahnya setelah tersenyum sinis, sedikit berjongkok dan menatap lekat-lekat kedua bola mata Nayra. Dengan tangan mencekal dagu Nayra dan mendongakkannya, Danu mencoba menakuti gadis itu."Teman? i not believe friends. Itu cuma omong kosong."Danu menghempas kasar dagu Nayra,
Cowok dengan wajah khawatir berulang kali menekan nomor yang sama. Berkali-kali pula ia memanggil nama itu. Berharap yang dipanggil akan mendengar. Dari kampus yang sepi ini ia tidak melihat siapapun.Pula, berulang kali Nickey memanggilnya. "NAYRA!!"Teriakan itu kembali terdengar di suatu lorong yang sempit. Di belakang kampus. Ia mengenyahkan ketakutannya menelusuri tiap sudut universitas itu. Berkali-kali ia mengerjapkan mata memastikan ada tidaknya keberadaan seseorang di sana.Namun harapan itu pupus ketika ia hanya melihat untaian daun kering bergelantungan diatasnya. Sekali lagi ia mencoba mencari. Tetes demi tetes keringat mengalir di pelipisnya.Nickey yakin gadis itu ada di sini saat suara hentakan dari lantai atas menusuk telinganya.Gedebug gedebugSuara boriton itu membuat Nickey menautkan kedua alisnya. Ia berlari kearah tangga sumber suara.Namun hasilnya tetap sama, ia tak menemukan apapun kecuali satpam y
"Kamu mau pesen yang mana?" Nickey menyodorkan daftar menu pada Nayra.Tidak ada alasan khusus, hanya saja ia ingin menghabiskan setidaknya sedikit waktu saja bersama Nayra. Dan kini mereka berada di salah satu kafe es krim, tidak jauh dari pertigaan jalan menuju rumah Nayra.Nayra mengerjap sekali, menatap daftar menu yang sangat asing di matanya. Yang ia tahu, rasa es krim itu hanya ada dua, coklat dan stoberi. Kolot memang."Atau mau gue pilihin?"Oleh Nickey tangan Friska ditepis, sesaat ingin menjangkau daftar menunya. "Sibuk, biar Nayra yang milih," titah Nickey.Friska mengerucutkan bibir."Apasih lo, gue sahabatnya, yajelas gue paling tau."Nickey hanya memutar bola mata, sedangkan Nayra berdecak berkali-kali."Kalian nggak bisa nggak ribut kalau sehari aja. Itu nggak baik lo kata ayah, harus akur."Senyum Nayra membuat Friska terpaksa menutup mulut rapat-rapat, sementara Nickey tertawa kecil, lalu menatap Na
Bisa dicap hari ini, hari paling berkesan bagi Nayra. Ia baru saja mendapatkan hasil kerja kerasnya, lebih tepatnya hasil dari penjualan kue yang ia buat. Ternyata benar apa kata orang, hasil tidak akan mengkhianati perjuangan. Apalagi perjuangan itu diiringi dengan niat, maka hasilnya pasti lebih sempurna.Perjuangan Nayra yang rela begadang demi membuat kue hingga larut malam. Sebab itu sekarang ia mulai menguap, rasa kantuk dan matanya terasa sangat berat untuk membuka, menemani perjalanan pulangnya dari kampus. Ia sudah lama menahan hal ini terutama saat pelajaran bu Antik, harus sepenuhnya sadar agar tidak dikenai hukuman beliau.Seperti biasa, Friska juga menemaninya sekarang. Cewek itu memainkan ponsel, meski sesekali tertinggal karena harus mengimbangi langkah Nayra yang lumayan cepat."Jalannya cepetin dikit dong Nay, kaki gue jadi pegel kalo lambat gini," keluh Friska yang berada di depan.Nayra menoleh sambil tersenyum, berusaha menyadarkan dir
Mungkin baru kali ini, Nickey terpaku pada seorang gadis yang tengah memungut sampah di sekitar area kelas. Pemandangan itu membuat Nickey yang baru saja melangkah di ambang pintu kelas mengerutkan keningnya beberapa saat.Tidak seperti biasanya, walaupun Nickey mengetahui hari ini jadwal Nayra piket kelas, setidaknya pekerjaan semacam itu tidak cocok dilakukan perempuan.Biasanya ia mendapati Wira atau Erik yang melakukan itu.Nickey menghampiri. "Ngapain ngelakuin itu sih, Nay? Udah tinggalin. Itu tugas Erik sama Wira."Sepertinya Nickey kesal, ia langsung merebut sampah plastik itu dari tangan Nayra kemudian membuangnya sembarang. Nayra pun menatap Nickey heran. Apa salahnya jika ia melakukan hal itu?"Nickey." Nayra beranjak untuk mengambil sampah itu, tapi tangan Nickey menahannya."Aku bilang nggak usah.""Tapi aku nggak masalah. Sekali-kali dong gantian, mereka juga bosan ngelakuin itu terus."Nickey berdecak, ia t
Sejak dua puluh menit yang lalu, tepatnya setelah Nayra menghabiskan makannya, tangan Rifdan terus berada dalam genggamannya. Nayra berharap Rifdan segera sadar, walau tadi dokter sempat mengatakan Rifdan tengah tidur. Kemungkinan akan bangun sekitar satu jam lagi. Itupun hanya perkiraan, selebihnya Tuhan yang menentukan.Bersama Nickey yang berada di sampingnya, duduk menopang dagu. Sesekali mengusap bahu Nayra."Sabar, ayah pasti sadar," ucap Nickey menenangkan. Tetapi jauh di relung hatinya, Nickey mengkhawatirkan sesuatu yang membuatnya ingin lekas pergi dari tempat ini.Nayra mengangguk halus, tangannya tetap setiap mengusap punggung tangan Rifdan sesekali menciumnya. Rifdan selalu mengatakan kalau sentuhan adalah cara paling ampuh untuk berinteraksi dengan seseorang, meski orang itu sedang tidak sadar.Dan benar saja, beberapa menit kemudian jari Rifdan melakukan pergerakan kecil, yang mungkin tidak disadari mereka yang berada lumayan jauh dar
"Permisi."Suara milik dokter itu lantas membangunkan dua orang yang tengah terlelap. Nickey menegakkan punggung, bangun dari sandaran kursinya meski belum sepenuhnya sadar. Sedangkan mata Nayra perlahan membuka, mengucek-nguceknya sebentar kemudian menatap dokter."Maaf mengganggu," ujar dokter itu. Tampak tidak nyaman karena mengganggu tidur mereka.Nayra ikut berdiri. "Nggak papa dok. Terus keadaan ayah gimana?""Ayah kamu baik-baik saja. Tapi jangan sampai telat memeriksa kesehatannya. Maaf lambat memberitahu, saya tidak tega membangunkan kalian tadi.""Nggak masalah dok," jawab Nickey yang sudah berdiri di samping dokter itu. "Terus kapan ayah Nayra bisa pulang?""Sekitar beberapa hari lagi, kami ingin memantau kesehatannya dulu. Dan Nayra, apa ayah kamu selalu teratur minum obat?"Nayra menggeleng. "Ayah sering lupa, obatnya sekarang juga lagi habis."Dokter itu hanya ber-oh sesaat. "Kalo gitu obatnya dokter s