"Lo?"
Mery membulatkan matanya beberapa saat, dia menatap Aldevan penuh pertanyaan sekaligus agak malu di hadapan cowok itu. Coba pikir bagaimana imejnya nanti kalo ketahuan disangka nyuri padahal tidak? Terlebih lagi, penyamarannya jadi cewek cupu kemungkinan terbongkar karena cowok itu.
Sementara Aldevan nampak memutar bola matanya bosan, dia enggan peduli sama tatapan beberapa orang atau tatapan heran Mery padanya. Dasar cewek gesrek emang.
"Ini kembaliannya, Dek. Lain kali hati-hati kalo nolong orang, kita gak bisa percaya gitu aja. Itu cuma modus." Si pramuniaga tadi menyindir, melirik Mery dengan ujung matanya. Mery sempat melotot namun pramuniaga itu tidak peduli.
Aldevan malah tertawa mendengarnya, senyum tanpa dosa menampilkan gigi-gigi putihnya yang berjejer rapi.
"Bisa aja, Mbak. Maling emang nggak ada yang mau ngaku," sindir Aldevan lagi.
Mery menghentakan kakinya kesal. Ditatapnya Aldevan penuh amarah.
"Enak aja, gue bisa buktiin gue bukan maling! Lo bisa gue masukkin ke penjara atas tuduhan pencemaran nama baik, gue bisa ganti rugi minuman bahkan dua kali lipat dari yang gue minum tadi. Atau gue bisa--" Belum selesai ucapannya Aldevan memotong.
"Bikin onar. Dan gue bisa bongkar kedok palsu lo itu."
Pupil Mery membesar, dia terhenyak dan menelan salivanya kasar. Aldevan melewatinya tanpa peduli ucapannya yang panjang lebar. Ditambah lagi cowok itu tersenyum mengejek, Mery semakin greget. Apalagi cowok itu menyentaknya kembali ke realita sebenarnya. Bahwa dia Mery, si cewek yang diskros pagi tadi.
Setelah bertukar tatapan horor dengan pramuniaga tadi Mery akhirnya mengikuti kemana Aldevan berjalan, sebelum benar-benar hilang dari pandanganya Mery berhasil mendapati Aldevan menuju sekolah. Dia menahan lengan cowok itu.
"Lepas!" Aldevan menepis tangan Mery kasar. "Lo yang maunya apa? Ditolongin bukannya terima kasih malah nyolot. Dasar nggak tau diuntung!"
Mery berkacak pinggang. Dia menunjuk wajah Aldevan. "Gue gak minta ditolongin sama lo, lo yang sok baik terus ngata-ngatain gue maling lagi!"
Aldevan menaikkan satu alis menatap Mery, untung sekarang jalanan sepi, tidak ada satu pun murid dari sekolahnya kemungkinan lewat, bisa saja salah paham nanti jika malam-malam berduan sama cewek sialan ini.
"Terus lo mau ditolongin sama siapa? Satpam?" Aldevan tertawa meremehkan, lalu menyentil dahi cewek itu tanpa takut. "Yang ada lo nambah masalah. Gak tau diuntung!" timpal Aldevan.
Mery mengelus dahinya yang sedikit sakit usai disentil Aldevan, cewek berkepang dua itu meringis sedikit. Tapi, ada benarnya juga Aldevan mengatakan itu. Ia harusnya berterima kasih sewajarnya. Namun ditepisnya pikiran itu.
Intinya, Mery tidak mau harga dirinya turun.
"Terima kasih pala lo! Bukan gue yang minta ditolong."
"Dasar kepala batu!"
"Apa lo bilang?!" Mery mencondongkan badannya namun Aldevan keburu pergi seolah tidak peduli. Mery kesal dan ia menahan lengan cowok itu lagi.
"Eh lo!"
Kemudian ia teringat soal penyamarannya yang kemungkinan akan di bongkar cowok itu. Mery lekas menghalangi jalan Aldevan, merentangkan tangannya.
Aldevan memutar bola matanya jengah. "Apaan?"
"Lo kenal gue?" tanya Mery to the point.
Dian tersenyum kecut, meminum botol airnya lalu menatap bias wajah Mery dibalik botol bening itu. "Menurut lo?"
"Kenal."
Selesai minum, Aldevan menutup kembali botolnya lalu menatap Mery penuh kelicikan. "Seratus. Gue kasih tau bu Martha sekarang."
Kali ini Mery terdiam, dia mendesah pasrah menyangkut hal ini.
"Gu-gue minta jangan." Mery kembali menghalangi jalan Aldevan yang mengambil space kosong di sisinya. "Lo nggak boleh ngelakuin itu!"
"Hah? Apa ulang-ulang."
Mery menghela napas panjang. "Gue-minta-jangan-dibilangin-sama-Bu Martha," ucap Mery penuh penekanan. Seolah-olah Aldevan itu tuna rungu yang nyasar sekolah.
"Emang gue mau?"
Mery menghentakkan kakinya kesal. "Ish. Ngaku aja lo minta disogok dulu, gak apa-apa gue terima. Berapa banyak yang lo mau?"
Aldevan menggeleng beberapa kali, memang dia mau disamain dengan para koruptor di luar sana? "Sorry. Gue bukan pemakan hak rakyat."
"Terus lo mau apa?" Mery nyerah, baiklah, untuk hari ini saja dia membiarkan harga dirinya turun di hadapan orang lain. Di hadapan cowok rese pula. "Mau gue ajak ke club? Mau main sama gue?"
Ucapan Mery berhasil membuat Aldevan mendengus berat. Sorry, dia bukan cowok jalang yang bisa dibayar dengan uang. Berpikir sesaat, lalu dirasa sudah menemukan ide yang tepat, Aldevan melihat Mery penuh kelicikan, sudut bibirnya terangkat.
"Gue mau, lo turutin semua permintaan gue."
"APA?!" Kejut Mery tidak terima. "Enggak. Enggak. Enggak. Kenapa sih gue harus ditolong sama orang macam lo? Malah bikin susah tau!"
Kemudian terdengar suara jepret dan kilatan kecil dari kamera Aldevan. "Yasudah. Keuntungannya bakal adil kok. Lo selamat dan gue bakal tertawa puas. Fake nerd."
"Kok gitu? Gak ah, gue gak terima. Enak aja, emang gue babu lo?"
Aldevan memasukkan satu tangannya ke saku celana, sementara tangan lainnya memegang botol. "Terserah, keputusan ada di tangan lo dan konsekuensi ditanggung lo, gue gak peduli. Lo selamat atau gak itu derita lo."
Kali ini Aldevan berbicara panjang demi memainkan cewek seperti Mery. Hei! Keajaiban macam apa ini?
"Ah gak ada syarat lain apa? Ngerjain PR lo kek?" saran Mery.
Sekali lagi Aldevan tertawa meremehkan. Ia menjitak kepala Mery. "Yang ada nilai gue malah anjlok, bego!" Kemudian menarik kepang Mery. Cewek itu meringis.
Emang harus ya gue ikutin kemauan lo? Batin Mery.
"Gimana? Gue hitung sampai tiga nih. Satu."
Membiarkan Mery memikirkannya matang-matang, Aldevan sengaja memelankan langkahnya menuju sekolah sambil berhitung. Dan benar saja, tak lama kemudian cewek itu memanggilnya.
"Gu-gue terima permintaan lo." Mery merutuki dirinya sendiri, hal terbodoh yang baru ini seorang Mery lakukan. Meski tidak sudi, tapi mau bagaimana lagi? Ia juga harus menyelamatkan sahabatnya Raya dan Tasya.
Aldevan tertawa jahat. "Nyerah juga lo."
"Terus gue harus ngapain?"
Aldevan mengusap dagu dengan telunjukanya, sebelum akhirnya melihat lagi potret Mery tadi, lalu tersenyum sinis. "Pertama, lo harus jadi cupu selama yang gue mau."
•••
Rasanya Mery baru saja tertimpa musibah yang lebih dahsyat dibanding gempa bumi dan tsunami. Entah berapa lama dia harus mengikuti ucapan cowok sialan itu. Mengubah penampilan? Mengubah penampilan?
Mery mendesah lelah, detik ini juga ia ingin menenggelamkan wajahnya di Samudra Atlantik saking malunya.
"Haha tak tau padan muke, kena azab," timpal Raya mengetahui permasalahan Mery. Dengan nada dimirip-miripkan seperti upin-ipin.
"OMG Ry! parah ini parah! mau ditaruh dimana muka lo kalau sampai dandan jadi cupu," pekik Tasya.
"Diem lo, nyet!" sahut Mery kesal.
"Lo mau-maunya sih, Ry?" tanya Tasya penasaran.
Mery melirik Tasya sekilas. Dia dengan malas menghapus cat berwarna putih dikukunya. "Yagimana lagi, gue lakuin itu demi lo bedua. Gue gak mau tuh cowok ngaduin ke Bu Martha terus skors gue nambah. Mit amit gue."
"Emm... gue jadi makin sayang sama lo, Ry." Raya mendekat dan memeluk Mery dari belakang, senyum tanpa dosanya mengembang sempurna.
Mery memutar bola matanya bosan. "Lebay, ini demi diri gue sendiri juga."
Namun apakah ia sanggup menjalani hari sebagai cupu? Rasanya mustahil.
Mery menatap dirinya di cermin, dengan rambut yang masih terkepang dan kacamata yang hampir melorot. Sesekali ia mengerucutkan hidung.
"Gue.... gak bisa."
•••
"Lo darimana aja sih, Yan? Dicariin tuh sama Kevin. Katanya dia perluin hasil rekaman lo buat diedit," ujar Arlan seraya mengemil coklat batang miliknya. Melihat Aldevan berjalan ke arah mereka dengan wajah berbinar. Seakan habis dihujanin duit. Mereka sekarang sedang berada di ruang eskul fotografi.
"Beli minum." Aldevan menaruh botolnya di atas meja. Mengambil posisi duduk di samping kevin yang sibuk menscroll semua hasil fotonya di laptop.
"Oh ya, Vin, gimana soal cewek di foto tadi. Lo udah nemuin keberadaanya gitu, gue sekaligus mau ketemu. Masa sih iya cewek secantik itu berubah jadi cupu?"
Kevin menatap Arlan sekilas. "Tadi gue sempet cari tapi gak ketemu. Malah ketemu dua temennya. Mereka bilang si... aduh siapa ya namanya gue lupa." Mengingat-ngingat, Kevin melanjutkan. "Kalo gak salah Mery. Iya Mery. Tuh cewek katanya lagi di rumah. Diskors dan dilarang nonton pensi."
Samar-samar Aldevan mendengar nama Mery keluar dari mulut Kevin, ia memasang telinga baik-baik.
"Tapi kalo itu bener Mery, kita laporin langsung ke Bu Martha. Biar mampus tuh cewek."
Jadi, namanya Mery?
Arlan manggut-manggut. "Hmm. Gue jadi ragu sama penglihatan Aldevan."
"Mata gue normal, btw," komentar Aldevan mendengar namanya disebut.
Arlan terkekeh. "Becanda, emosian bener lo." Mengusap dagu, Arlan bersuara lagi."Terus gimana? Gue penasaran sama tuh cewek."
"Heleh tai kambing, bilang aja lo mau minta nomernya," titah Kevin yang mengetahui isi kepala Arlan.
Arlan tertawa pelan. "Sekalian."
"Kalo seandainya dia cupu mau lo apain?" tanya Kevin.
"Gue ceburin ke empang."
Kevin tertawa, sementara Arlan mendengus geli sambil geleng-geleng kepala. Di antara mereka hanya Aldevan yang tampak biasa saja.
Kevin menyikut lengan Aldevan. "No komen, Bung?"
"Lo liat aja esok."
Selain mengepang rambutnya Mery juga hanya memakaikan sedikit polesan bedak di wajahnya. Jujur, rasa gerah dan panas ketika Mery membiarkan wix yang ia pakai bekas tiga hari lalu harus dipakai ke sekolah pagi ini. Meski tidak sudi, tapi ia juga harus menjaga imejnya sebagai cewek yang menepati janji. Entah kenapa juga ia tidak mengerti, seperti tanpa sadar ia mengiyakan persyaratan cowok itu. Setelah bersiap-siap, dengan langkah berat Mery menaiki mobil yang sudah ada pak Ilham--supir pribadinya. "Jalan, Pak," perintah Mery yang duduk di kursi depan samping pak Ilham dengan malas. Pak Ilham menatap Mery sumringah. "Wah, Non beda hari ini. Gimana kalo bapak kasih tau sama Tuan?" Mery menggidikan bahunya, diketahui Papanya saja ia malu apalagi kalo sampai satu sekolah. Mau ditaruh dimana mukanya nanti? Di bak sampah? "Bodo amat, Pak. Cepetan jalan!" Pak Ilham hanya tertawa pelan, kemudian mobil mereka menyusuri jalanan pagi
Tidak sampai disitu rupanya kesialan Aldevan, baru saja dia sampai di depan gerbang sekolah, Mery menghadangnya dengan merentangkan tangan di tengah jalan. Menghalangi cowok itu untuk masuk lebih dalam menuju parkiraan. "Stop!" Mesin motor Aldevan kontan berhenti, telat sedikit saja bagian depan motornya akan menghantam perut Mery. "Udah bosen hidup lo hah?!" tanya Aldevan tegas, ketika cewek itu malah acuh dan bersidekap. "Gue malah bosen liat muka lo," ucap Mery, ketika Aldevan turun dari motornya. Cowok itu membuka helm dan merapikan rambutnya. Tidak sepenuhnya Aldevan kesal, ia malah tersenyum sinis karena penampilan Mery yang 80% berubah, rambutnya dikepang, kacamatanya hampir melorot, dan kuku yang dulunya dicat sekarang bening kembali. Lalu 20% yang kurang itu adalah seragamnya yang begitu ketat dan sifatnya yang urakan. "Lah, kalo gitu kenapa lo ngalangin jalan gue?!" ucap Aldevan penuh penekanan. "Suka-suka gue lah!"
"Kak Aldevan." Suara imut itu entah datang darimana, Aldevan menoleh, alisnya bertaut, Mery celengak-celenguk mencari pemilik suara. Tapi, Aldevan mengenali suara itu. Dan benar saja, ketika matanya memandang sisi tiang basket... Sarah berdiri di sana sambil menyunggikan senyum pepsodent. Tampak kegirangan apalagi saat bertukar pandang dengan Aldevan. Namun sesaat melihat sosok Mery, senyumnya langsung pudar. "Kakak ngapain di sini?" tanya Sarah polosnya. Menatap Aldevan lalu menatap Mery sinis. "Ini siapanya kakak?" tunjuk Sarah pada Mery. Mery bersedekap, dia memutar bola mata malas. Siapa lagi coba cewek ini? "Bukan urusan lo," ketus Aldevan. Nada bicara yang sama saat ia menjawab siapapun, kecuali pada orang lebih tua Aldevan lebih sedikit beretika. Mery mendengus, sepertinya Aldevan juga tidak suka kehadiran cewek ini. "Dengerin tuh bukan urusan lo, makanya cepetan pergi, lo itu ganggu!" "Lo yang harusnya pergi, dari tadi gue liat Kak Aldevan risih sama kehadiran lo," titah
Aldevan mengusap wajahnya gusar, mungkin antara keberadaan Mery yang tiba-tiba menabrak dirinya hingga dadanya terasa sakit atau taruhan Arlan yang tidak main-main. "Rese! Kepala lo itu udah kayak batu, mana ada siang bolong gini hantu?!" celetuk Aldevan mengambil jaketnya yang terjatuh. Mery mengusap lehernya salah tingkah, dilihatnya wajah Aldevan sambil mengangkat dagu menantang. "Oke kalo lo nggak percaya. Gue bisa buktiin." Mery meraih tangan Aldevan, tanpa sadar cewek itu menuntunnya hingga beberapa langkah. Tapi ditepis oleh Aldevan. "Gak usah pegang-pegang!" ketus Aldevan. Mery mengibaskan tangannya. "Siapa juga yang pegang-pegang tangan lo." Lah, terus tadi lo ngapain? Pegang tangan setan? Aldevan hampir saja mengeluarkan pertanyaan itu jika tidak menutup mulutnya rapat-rapat. Arlan dan Kevin saling berpandangan heran, mereka hanya bisa mengikuti dua orang di depannya menuju taman belakang sekolah. Terpaksa Kevin tahan
Mery tidak tahu harus berbuat apa ketika cowok di hadapannya ini menguatkan pelukan di pinggangnya. Padahal Mery sudah berkata dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Lepasin gue, Ren. Gue gak bisa." Mery berusaha melonggarkan pegangan tangan Rendi dari pinggangnya. Namun tenaganya kalah kuat dari cowok itu. "Kenapa gak bisa? Lo lupa sama kejaAldevan tiga bulan lalu? Gue sayang sama lo, Ry." Rendi meniup-niup telinga Mery, dia tidak peduli seberapa kuat usaha Mery melepaskan tangannya. "Gue emang pernah ngelakuin itu sama lo, tapi itu bukan berarti lo bakal selamanya jadi milik gue, Ren. Sekarang lepasin gue, lo gak bisa kayak gini. Cepetan!" suara Mery meninggi. Mungkin menurut Mery mempermainkan hati cowok itu biasa. Terlampau dari apa yang ia lakukan dulu, dan Rendi menjadi salah satu korban permainan hatinya.Rendi menggeleng kuat. "Gak, pokoknya lo harus jadi milik gue," titah Rendi. Mery menggeleng cepat, masih berusaha melepaskan
"Kakak nggak usah kaget gitu, kebetulan Mama aku juga minta beliin barang yang sama." Sarah tersenyum seraya menyodorkan dua barang itu pada wanita tadi, sementara Aldevan mengangkat bahunya acuh, tidak peduli. Sarah tidak menyerah, dia terus bersuara lagi. "Aku denger kakak ngucapin kata Ventylin-ventylin gitu... jadi aku pikir barang yang Kakak beli sama kayak aku. Dan ternyata bener." Aldevan manggut-manggut, mau sebanyak apa Sarah menjelaskan dia juga tidak mengerti. Toh, Aldevan tidak tahu bentuk barang itu seperti apa. Jadi, ia pasrah saja pada pilihan Sarah. "Kakak kenapa harus beli itu? Emang siapa yang pake?" tanya Sarah basa-basi, sekedar mengikis kecanggungan antara mereka. yang ditanggapi Aldevan dengan muka datar saja. "Bukan urusan lo!" Sarah kembali mengerucutkan bibir, berbicara dengan kakak kelasnya satu ini memang harus siap mental diketusin. Tidak jarang orang yang ingin berbicara dengan cowok itu, selalu berakhir pilu.
Sarah baru saja pulang dengan membawa satu kantong plastik berisikan pesanan mamanya. Ia menaruh plastik itu di meja dekat sofa. Matanya melirik seorang cewek yang tengah bermain ponsel. "Nih pesenan Kakak. Tapi kenapa harus minta aku pake bohong segala sih?" tanya Sarah pada kakaknya. "Diem lo, gak usah ikut campur. Turutin apa kata gue aja. Udah sana masuk kamar!" perintah cewek itu, Sarah langsung memayunkan bibir dan mengibaskan tangannya ke udara. "Mending aku nonton anime daripada nurutin perintah kakak yang gak baik itu," timpal Sarah lalu melesat masuk ke kamarnya. Cewek itu memutar bola matanya malas. "Yee bocah mana tau!" Sepeninggal Sarah cewek itu lalu menekan dial panggilan, menelpon seseorang sambil melirik ke arah kiri dan kanan seolah takut ketahuan. Soal barang itu, ia sengaja meminta Sarah untuk berbohong. Telepon tersambung, cewek itu lantas menyapa. "Halo. Assalamualaikum, Kak." Waalaikumsalam, gimana tadi l
Cahaya masuk melalui celah kecil di kamar Aldevan, membuatnya terbangun dari tidur padahal lagi enak-enakkan larut dalam alam mimpi. Ia mengucek-ngucek matanya, sebelum kemudian melirik jam weker yang ternyata menunjukkan pukul 6 pagi. Sengaja ia tidak memasang alarm untuk membiasakan diri bangun pagi, walau terkadang itu justru membuatnya telat. Ia bergegas beranjak dari kasur setelah menyambar handuknya yang menggantung. Karena kamar mandinya melewati ruang makan, matanya tidak sengaja menangkap sosok Anggie sedang menyiapkan sarapan. "Kamu mau makan dulu?" tanya Anggie, Aldevan menggeleng sopan kemudian masuk ke kamar mandi. Namun baru saja melangkah kamar mandi Aldevan tersentak kaget melihat Mery sedang menggosok gigi. Aldevan yang saat itu hanya memakai celana boxer membuat Mery melongo. "Ngapa lo liat-liat?" Aldevan berucap ketus, Mery masih melongo dengan sikat gigi yang menempel di mulutnya. Tubuh atletis dan perut kot
ingga saat ini, Nayra tidak bisa meyakinkan hatinya untuk menceritakan kejadian beberapa jam lalu pada Rifdan, meski tak ada luka yang membekas, tetap saja bayangan tragedi tadi melintasi pikirannya. Nayra perlu waktu untuk melupakan semua itu.Nayra berjalan dengan tangan sedikit gemetar, setelah Nickey memberhentikannya tepat di depan pagar, ia meraih handle pintu yang tidak terkunci."Aku pulang."Tidak ada sahutan, kecuali suara detak jam yang menunjukkan pukul 10.15 malam. Lampu ruang tamu juga masih menyala dan sisa bungkus makanan berserakan dimana-mana. Kebiasaan Rifdan seperti ini sungguh membuat Nayra lelah, namun ia tak dapat menyangkal jika ayahnya berubah depresi ringan sepeninggal ibunya.Perubahan perilaku dan emosi ayahnya juga sering dirasakan Nayra.Seperti sekarang perilaku ayahnya yang terkesan kekanakan. Meracau tidak jelas saat tidur dan sesekali menangis di sela tidurnya, sangat menyayat hati Nayra.Andai ibunya
Ketika hati dibutakan oleh cinta, semuanya terasa kelu untuk diucapkan, ketika mereka baru saja bersama dalam waktu sesingkat ini. Apakah Tuhan juga akan memisahkan kurun waktu sesingkat itu juga?Mereka mendekap, saling tenggelam dalam heningnya kejadian beberapa menit lalu sampai akhirnya mereka menyadari suara langkah kaki menggema menuju ruangan yang mereka pijaki.Nayra berusaha menjauhkan tubuhnya dari Nickey saat cowok itu semakin mengeratkan pelukannya. Tangan yang melingkari bahunya terasa menegang menyesakkan dada Nayra.Nayra mendongak sambil mendorong dada bidang Nickey menjauhi dirinya."Aku pengen tau apa maksudnya, mereka bilang kamu cuma bersandiwara, Nickey." Nayra melirih meski hatinya terasa sesak, ia juga perlu penjelasan. Menjelaskan semua pertanyaan di otaknya.Nickey tercekat, lidahnya kelu berucap. Kepala yang menunduk meyakinkan Nayra mengulang lagi pertanyaannya. Namun dengan nada begitu memohon."Tolong jelasin sem
"Iya gue. Danu, penyelamat lo waktu itu."Kalimat itu terdengar untuk kedua kalinya. Nayra mengerjapkan matanya berkali-kali memastikan sosok di hadapannya.Dia yang dianggap baik hanya ilusi belaka. Meski Nayra jarang bertemu lelaki itu. Ia masih tak percaya faktanya. Memang benar, sesuatu yang baik di luar belum tentu baik di dalam. Hanya sandiwara semata.Nayra menghela dalam dan menghembuskan nafasnya perlahan. Tangan dan kakinya masih diikat sehingga ia tak bisa bergerak. Bagaimanapun nanti ia harus bisa keluar dari sini."Lepaskan aku! Emang kamu mau apa?" Nayra menggeram. "Bukannya kamu teman Friska. Kenapa kamu ngelakuin ini?"Danu mendekatkan wajahnya setelah tersenyum sinis, sedikit berjongkok dan menatap lekat-lekat kedua bola mata Nayra. Dengan tangan mencekal dagu Nayra dan mendongakkannya, Danu mencoba menakuti gadis itu."Teman? i not believe friends. Itu cuma omong kosong."Danu menghempas kasar dagu Nayra,
Cowok dengan wajah khawatir berulang kali menekan nomor yang sama. Berkali-kali pula ia memanggil nama itu. Berharap yang dipanggil akan mendengar. Dari kampus yang sepi ini ia tidak melihat siapapun.Pula, berulang kali Nickey memanggilnya. "NAYRA!!"Teriakan itu kembali terdengar di suatu lorong yang sempit. Di belakang kampus. Ia mengenyahkan ketakutannya menelusuri tiap sudut universitas itu. Berkali-kali ia mengerjapkan mata memastikan ada tidaknya keberadaan seseorang di sana.Namun harapan itu pupus ketika ia hanya melihat untaian daun kering bergelantungan diatasnya. Sekali lagi ia mencoba mencari. Tetes demi tetes keringat mengalir di pelipisnya.Nickey yakin gadis itu ada di sini saat suara hentakan dari lantai atas menusuk telinganya.Gedebug gedebugSuara boriton itu membuat Nickey menautkan kedua alisnya. Ia berlari kearah tangga sumber suara.Namun hasilnya tetap sama, ia tak menemukan apapun kecuali satpam y
"Kamu mau pesen yang mana?" Nickey menyodorkan daftar menu pada Nayra.Tidak ada alasan khusus, hanya saja ia ingin menghabiskan setidaknya sedikit waktu saja bersama Nayra. Dan kini mereka berada di salah satu kafe es krim, tidak jauh dari pertigaan jalan menuju rumah Nayra.Nayra mengerjap sekali, menatap daftar menu yang sangat asing di matanya. Yang ia tahu, rasa es krim itu hanya ada dua, coklat dan stoberi. Kolot memang."Atau mau gue pilihin?"Oleh Nickey tangan Friska ditepis, sesaat ingin menjangkau daftar menunya. "Sibuk, biar Nayra yang milih," titah Nickey.Friska mengerucutkan bibir."Apasih lo, gue sahabatnya, yajelas gue paling tau."Nickey hanya memutar bola mata, sedangkan Nayra berdecak berkali-kali."Kalian nggak bisa nggak ribut kalau sehari aja. Itu nggak baik lo kata ayah, harus akur."Senyum Nayra membuat Friska terpaksa menutup mulut rapat-rapat, sementara Nickey tertawa kecil, lalu menatap Na
Bisa dicap hari ini, hari paling berkesan bagi Nayra. Ia baru saja mendapatkan hasil kerja kerasnya, lebih tepatnya hasil dari penjualan kue yang ia buat. Ternyata benar apa kata orang, hasil tidak akan mengkhianati perjuangan. Apalagi perjuangan itu diiringi dengan niat, maka hasilnya pasti lebih sempurna.Perjuangan Nayra yang rela begadang demi membuat kue hingga larut malam. Sebab itu sekarang ia mulai menguap, rasa kantuk dan matanya terasa sangat berat untuk membuka, menemani perjalanan pulangnya dari kampus. Ia sudah lama menahan hal ini terutama saat pelajaran bu Antik, harus sepenuhnya sadar agar tidak dikenai hukuman beliau.Seperti biasa, Friska juga menemaninya sekarang. Cewek itu memainkan ponsel, meski sesekali tertinggal karena harus mengimbangi langkah Nayra yang lumayan cepat."Jalannya cepetin dikit dong Nay, kaki gue jadi pegel kalo lambat gini," keluh Friska yang berada di depan.Nayra menoleh sambil tersenyum, berusaha menyadarkan dir
Mungkin baru kali ini, Nickey terpaku pada seorang gadis yang tengah memungut sampah di sekitar area kelas. Pemandangan itu membuat Nickey yang baru saja melangkah di ambang pintu kelas mengerutkan keningnya beberapa saat.Tidak seperti biasanya, walaupun Nickey mengetahui hari ini jadwal Nayra piket kelas, setidaknya pekerjaan semacam itu tidak cocok dilakukan perempuan.Biasanya ia mendapati Wira atau Erik yang melakukan itu.Nickey menghampiri. "Ngapain ngelakuin itu sih, Nay? Udah tinggalin. Itu tugas Erik sama Wira."Sepertinya Nickey kesal, ia langsung merebut sampah plastik itu dari tangan Nayra kemudian membuangnya sembarang. Nayra pun menatap Nickey heran. Apa salahnya jika ia melakukan hal itu?"Nickey." Nayra beranjak untuk mengambil sampah itu, tapi tangan Nickey menahannya."Aku bilang nggak usah.""Tapi aku nggak masalah. Sekali-kali dong gantian, mereka juga bosan ngelakuin itu terus."Nickey berdecak, ia t
Sejak dua puluh menit yang lalu, tepatnya setelah Nayra menghabiskan makannya, tangan Rifdan terus berada dalam genggamannya. Nayra berharap Rifdan segera sadar, walau tadi dokter sempat mengatakan Rifdan tengah tidur. Kemungkinan akan bangun sekitar satu jam lagi. Itupun hanya perkiraan, selebihnya Tuhan yang menentukan.Bersama Nickey yang berada di sampingnya, duduk menopang dagu. Sesekali mengusap bahu Nayra."Sabar, ayah pasti sadar," ucap Nickey menenangkan. Tetapi jauh di relung hatinya, Nickey mengkhawatirkan sesuatu yang membuatnya ingin lekas pergi dari tempat ini.Nayra mengangguk halus, tangannya tetap setiap mengusap punggung tangan Rifdan sesekali menciumnya. Rifdan selalu mengatakan kalau sentuhan adalah cara paling ampuh untuk berinteraksi dengan seseorang, meski orang itu sedang tidak sadar.Dan benar saja, beberapa menit kemudian jari Rifdan melakukan pergerakan kecil, yang mungkin tidak disadari mereka yang berada lumayan jauh dar
"Permisi."Suara milik dokter itu lantas membangunkan dua orang yang tengah terlelap. Nickey menegakkan punggung, bangun dari sandaran kursinya meski belum sepenuhnya sadar. Sedangkan mata Nayra perlahan membuka, mengucek-nguceknya sebentar kemudian menatap dokter."Maaf mengganggu," ujar dokter itu. Tampak tidak nyaman karena mengganggu tidur mereka.Nayra ikut berdiri. "Nggak papa dok. Terus keadaan ayah gimana?""Ayah kamu baik-baik saja. Tapi jangan sampai telat memeriksa kesehatannya. Maaf lambat memberitahu, saya tidak tega membangunkan kalian tadi.""Nggak masalah dok," jawab Nickey yang sudah berdiri di samping dokter itu. "Terus kapan ayah Nayra bisa pulang?""Sekitar beberapa hari lagi, kami ingin memantau kesehatannya dulu. Dan Nayra, apa ayah kamu selalu teratur minum obat?"Nayra menggeleng. "Ayah sering lupa, obatnya sekarang juga lagi habis."Dokter itu hanya ber-oh sesaat. "Kalo gitu obatnya dokter s