Tidak sampai disitu rupanya kesialan Aldevan, baru saja dia sampai di depan gerbang sekolah, Mery menghadangnya dengan merentangkan tangan di tengah jalan. Menghalangi cowok itu untuk masuk lebih dalam menuju parkiraan.
"Stop!"
Mesin motor Aldevan kontan berhenti, telat sedikit saja bagian depan motornya akan menghantam perut Mery.
"Udah bosen hidup lo hah?!" tanya Aldevan tegas, ketika cewek itu malah acuh dan bersidekap.
"Gue malah bosen liat muka lo," ucap Mery, ketika Aldevan turun dari motornya. Cowok itu membuka helm dan merapikan rambutnya.
Tidak sepenuhnya Aldevan kesal, ia malah tersenyum sinis karena penampilan Mery yang 80% berubah, rambutnya dikepang, kacamatanya hampir melorot, dan kuku yang dulunya dicat sekarang bening kembali. Lalu 20% yang kurang itu adalah seragamnya yang begitu ketat dan sifatnya yang urakan.
"Lah, kalo gitu kenapa lo ngalangin jalan gue?!" ucap Aldevan penuh penekanan.
"Suka-suka gue lah!"
"Ck, berarti suka-suka gue juga mau ngebongkar aib lo."
Mery kaget, kedua alisnya naik, lagi-lagi Aldevan mengancamnya soal pensi kemarin. Mery memicing, ia tetap memasang wajah sok tidak peduli. Namun lagi ia kalah telak saat Aldevan memasang kembali helmnya dan berkata.
"Siap-siap skors lo nambah tiga hari."
Ancaman Aldevan kontan menyentaknya kembali dalam ketakutan, masalahnya yang menjadi korban di sini bukan dirinya saja tapi Raya dan Tasya juga.
"Tapi kan gue udah penuhin syarat lo," Mery mencebik tidak terima. Enak saja Aldevan berkata seperti itu padahal dirinya sudah rela merubah gaya.
Aldevan tersenyum sinis."100% lo harus berubah 100% yang gue mau."
Mery berdesis. "Lo ngelunjak ya. Gak ah, emang siapa lo sok ngatur-ngatur hidup gue?"
Aldevan mendengus. Dasar cewek pelupa. "Sekarap lo. Gue cuma ngasih lo peluang nutupin kesalahan," ucapnya datar, tapi itu ada untungnya juga buat Mery, mungkin suatu saat cowok itu akan lupa dan membiarkannya kembali menjadi Mery yang semula.
Tapi, apa yang belum berubah seratus persen dari dirinya?
Mery memandang tubuhnya sendiri dari atas ke bawah, lalu menatap Aldevan seolah meminta penjelasan.
"Ish. Apa coba yang belum berubah dari gue?" tanya Mery akhirnya.
Mata Aldevan lantas melihat bagian tubuh atas Mery, dua kancing atasnya terbuka. Menampilkan dada putih cewek itu.
"Lo gak liat kancing lo udah kayak seragam dua tahun gak diganti."
"Ini kancingnya hilang, lagian bagus kalo kebuka, lumayan gue bagi-bagi rezeki gratis."
Aldevan geleng-geleng, kalau di hadapannya sekarang Arlan bukan dirinya, bisa berabe nanti.
"Gak sebanding sama muka lo!" ketus Aldevan sedikit menghina, tapi ia tidak mengelak dari fakta jika Mery itu lumayan cantik. Bibirnya tipis, alisnya serasi dengan matanya, sementara pipi chubyy yang polos.
Mery mengibaskan rambutnya. "Gue kan cantik, wajarlah!"
"Ngarep."
"Ihhh!"
Aldevan menaiki motornya kembali, sementara Mery tetap diam, tidak bergerak dari tempat semula membuat Aldevan harus kembali bersuara dengan malasnya.
"Lo mau gue tabrak?"
"Coba kalau berani."
"Lo, ck mau lo apasih?!"
"Tarik persyaratan lo."
Aldevan menaikkan satu alis, dari ucapan Mery itu dia menemukan ide yang tepat.
"Temuin gue di taman belakang sekolah."
"DEVAN!" Suara nyaring itu membuat Aldevan tersentak dari lamunannya. Pak Yoshi, sudah berdiri di hadapannya dengan tangan terlipat, satu alis naik dan mata memicing.
Seisi kelas lantas menatap Aldevan.
"Apa yang kamu pikirkan? Dari tadi Bapak panggil kamu hanya diam."
Pak Yoshi–-guru matematika di kelas Aldevan ini memang tidak terkenal galak. Tapi alangkah baiknya jika kalian memanfaatkan kebaikan beliau dengan hati-hati, karena di balik kumis panjang dan penggaris kayu itu tersimpan aura yang sangat mengerikan.
Arlan salah satunya, pernah menjadi korban kemurkaan beliau. Saat itu dia kepergok main ML alias Mobile Legend alhasil Arlan harus dijemur di tengah lapangan sambil main ML pula.
"Saya pusing, Pak," alibi Aldevan, padahal entah kenapa mendadak kejaAldevan pagi tadi melintas di otaknya.
"Kamu jangan beralasan seperti itu, mentang-mentang pelajaran saya memusingkan. "
Aldevan merespon dengan tatapan datar, pak Yoshi langsung mengerucutkan bibirnya. Respon yang sama ketika beliau menegur seorang Aldevan.
"Baiklah kita lanjutkan." Pak Yoshi mengarahkan penggarisnya pada papan hitam di sana, menjelaskan langkah-langkah penyelesaian logaritma.
Aldevan duduk dengan tangan terlipat, tapi pikirannya kembali terlintas wajah Mery, yang ia bingung mengapa harus membuat perjanjian seperti itu?
"DEVAN! KAMU SAYA HUKUM MEMBERSIHKAN LAPANGAN! SE.KA.RANG!" Suara pak Yoshi terdengar menggelengar sekaligus mengerikan. Aldevan kontan menegakkan punggungnya sementara di belakang Arlan tertawa.
"Mampus lo!"
•••
Pelajaran sejarah itu anggapannya kayak benalu di pohon mangga, padahal mood Mery itu sudah baik-baiknya sehabis nonton drama Korea eh malah down lagi karena Bu Wulan melesat datang membawa setumpuk buku paket setebal kamus Bahasa.
"Cepet simpan handphone lo Ry," tegur Raya yang duduk di sebelahnya. Murid-murid lain berdiri dan mempersiapkan untuk salam.
"Bentar lagi, scene kiss ini sayang dilewatin." Di bawah meja, Mery tetap bersikukuh menyelesaikan drama koreanya. Adegan paling ditunggu saat ia menonton drama itu. Namun sayangnya kacamatanya melorot membuat pandangannya sedikit terlindungi.
"Ah, nih kacamata sialan banget," umpatnya, melepaskan kacamata lalu senyum-senyum sendiri.
"Ry," tegur Raya lagi.
"Bentar. Satu menit."
"Bukan satu menit lagi ini Ry. Lo udah kebobolan," ujar Raya berbisik, Mery mendongak dan tersentak kaget ketika mendapati wajah bu Wulan hanya berjarak kurang lebih satu senti dengan wajahnya.
Sial, dia kehilangan adegan favoritnya itu.
"Kamu tidak sadar Ibu sudah ada di sini, Mery?" bu Wulan mengerucutkan hidungnya. Kacamata Mery terlepas memudahkan Bu Wulan mengenali cewek itu. "Saya sudah peringatkan kalau saya datang maka lekas memberi salam," ucapnya penuh penekanan.
Mery meneguk salivanya kasar. Ditatapnya wajah bu Mery yang tersulut amarah itu. "Ya maaf Bu, abis drama Koreanya seru, lagian ibu masuk gak ngucapin salam, harusnya kan gitu," jawab Mery tanpa dosa.
"Soal siapa yang mengucapkan salam itu terserah saya menentukan!" Bu Wulan bersedekap.
Mery hanya mengusap tengkuknya tak bersalah. "Kalo gitu berarti terserah saya juga mau ngucapin salam atau enggak."
"MERY!"
Bukannya takut, Mery malah memutar bola matanya malas. "Guru adalah panutan, trus apa salahnya saya turutin prinsip Ibu?"
"Karena kamu masih tidak mengerti mana yang baik dan benar. Sudah, jangan membuang waktu saya. Cepat keliling lapangan tujuh kali!"
Semua murid di kelas langsung terdiam, ada yang menampilkan ekspresi kaget, menutup mulutnya dengan tangan, atau berlagak tidak peduli dan justru memaki dengan bisikan.
"Sudah Kudungga," ucap Mery seraya melesat pergi, memasang tampang biasa saja seolah tidak peduli. Memang ini sudah sering terjadi.
Bu Wulan balik berdiri di depan kelas, mengontrol ekspresi wajah yang tadinya marah menjadi datar saja.
"Baiklah, mari kita mulai pelajaran mengenang masa lalu."
Seisi kelas langsung menampilkan ekspresi beragam, ada yang mendesah lelah, memutar bola matas malas, tapi yang lebih dominan adalah bahu mereka yang merosot seketika.
•••
Keengganan Mery untuk menunaikan hukuman Bu Wulan melonjak naik ketika terik matahari menerpa lapangan. Dia menatap ke atas, langit begitu cerah tidak ada tanda-tanda mau hujan. Mery mendesah, setidaknya dengan adanya hujan tadi mengelakkannya dari hukuman.
Kini dia tengah berada di koridor lantai dasar, matanya menyapu seluruh koridor sekolah, sepi, tidak ada satu pun manusia yang melakukan aktivitasnya di luar ruangan. Kecuali dirinya, yang bingung hendak melakukan apa.
Akan tetapi, sesaat matanya melirik sisi kanan lapangan dia menemukan seorang cowok sedang memungut sesuatu di tanah. Dengan jarak kurang lebih lima meter.
Mery memicing, kedua alisnya bertaut sesaat mengenali siapa cowok itu.
"Mampus, gue maki dulu ah. Biar puas. Hahaha."
Berjalan santai, kedua kepangnya bergelayut, sampai di sana Mery langsung menepuk bahu Aldevan.
"Eh lo."
Aldevan menengok, matanya memicing, acuh, dia kembali melanjutkan memungut sampah.
"Lo gak denger gue panggil?" Mery melipat tangannya di bawah dada. "Oh. Gue ngerti, lo pasti malu dicyduk gue mungut sampah, lo dihukum kan, iya kan?"
Aldevan menengok lagi. "Berisik!"
"Hmm lo labil banget ya, pagi tadi minta ditemuin di taman belakang sekolah, terus di sini lo sok acuh sama gue. Entar-entar lo mungkin minta dikawinin sama gue," ucap Mery ngawur. Membuat Aldevan berdesis dan menghela nafas panjang.
"Kegeeran lo."
Mery mengerucutkan bibir, dia mencari topik lain berbasa-basi, setidaknya atau mungkin cara ini bisa membuat cowok itu berbaik hati melupakan aibnya soal pensi.
"Btw, gue belum tau siapa nama lo. Lo tiba-tiba ngasih gue syarat terus gue iyain tanpa gue ketahui nama lo, lo kelas berapa. Haha lucu ya?"
Kali ini satu alis Aldevan naik, dia berdiri tegap, merasa curiga kenapa Mery mendadak jadi bawel.
Aldevan dilanda curiga. "Devan, nama gue Aldevan," jawab Aldevan sekedar memberitahu. Lalu memungut sampah lagi, sedikit bergeser dari tempat awalnya.
Mery manggut-manggut ngerti. Dia mengikuti arah Aldevan.
"Kelas? Mungkin suatu saat gue butuh bantuan lo atau lo jadiin gue orang yang paling sering lo simpen aibnya," ucap Mery sedikit menyindir. yang langsung mendapat pelototan tajam dari Aldevan.
"XI IPA-1" jawab Aldevan, Mery melongo, setahunya kelas IPA 1 itu dihuni oleh para manusia jenius.
"Kalo gitu"
"Udah. Lo gak perlu basa-basi cuma buat baikin hati gue. Kemungkinan 0% gue bakal tarik lagi persyaratan gue. Jadi, lo gak perlu buang tenaga buat ngomong sama gue," jawab Aldevan seolah mengerti isi kepala Mery.
Kaki Mery menghentak kesal di tanah. "Lo gak–-"
"Kak Aldevan!" Suara imut itu entah datang darimana, Aldevan menoleh, alisnya bertaut, Mery celengak-celenguk mencari pemilik suara.
Tapi, Aldevan mengenali suara itu.
"Kak Aldevan." Suara imut itu entah datang darimana, Aldevan menoleh, alisnya bertaut, Mery celengak-celenguk mencari pemilik suara. Tapi, Aldevan mengenali suara itu. Dan benar saja, ketika matanya memandang sisi tiang basket... Sarah berdiri di sana sambil menyunggikan senyum pepsodent. Tampak kegirangan apalagi saat bertukar pandang dengan Aldevan. Namun sesaat melihat sosok Mery, senyumnya langsung pudar. "Kakak ngapain di sini?" tanya Sarah polosnya. Menatap Aldevan lalu menatap Mery sinis. "Ini siapanya kakak?" tunjuk Sarah pada Mery. Mery bersedekap, dia memutar bola mata malas. Siapa lagi coba cewek ini? "Bukan urusan lo," ketus Aldevan. Nada bicara yang sama saat ia menjawab siapapun, kecuali pada orang lebih tua Aldevan lebih sedikit beretika. Mery mendengus, sepertinya Aldevan juga tidak suka kehadiran cewek ini. "Dengerin tuh bukan urusan lo, makanya cepetan pergi, lo itu ganggu!" "Lo yang harusnya pergi, dari tadi gue liat Kak Aldevan risih sama kehadiran lo," titah
Aldevan mengusap wajahnya gusar, mungkin antara keberadaan Mery yang tiba-tiba menabrak dirinya hingga dadanya terasa sakit atau taruhan Arlan yang tidak main-main. "Rese! Kepala lo itu udah kayak batu, mana ada siang bolong gini hantu?!" celetuk Aldevan mengambil jaketnya yang terjatuh. Mery mengusap lehernya salah tingkah, dilihatnya wajah Aldevan sambil mengangkat dagu menantang. "Oke kalo lo nggak percaya. Gue bisa buktiin." Mery meraih tangan Aldevan, tanpa sadar cewek itu menuntunnya hingga beberapa langkah. Tapi ditepis oleh Aldevan. "Gak usah pegang-pegang!" ketus Aldevan. Mery mengibaskan tangannya. "Siapa juga yang pegang-pegang tangan lo." Lah, terus tadi lo ngapain? Pegang tangan setan? Aldevan hampir saja mengeluarkan pertanyaan itu jika tidak menutup mulutnya rapat-rapat. Arlan dan Kevin saling berpandangan heran, mereka hanya bisa mengikuti dua orang di depannya menuju taman belakang sekolah. Terpaksa Kevin tahan
Mery tidak tahu harus berbuat apa ketika cowok di hadapannya ini menguatkan pelukan di pinggangnya. Padahal Mery sudah berkata dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Lepasin gue, Ren. Gue gak bisa." Mery berusaha melonggarkan pegangan tangan Rendi dari pinggangnya. Namun tenaganya kalah kuat dari cowok itu. "Kenapa gak bisa? Lo lupa sama kejaAldevan tiga bulan lalu? Gue sayang sama lo, Ry." Rendi meniup-niup telinga Mery, dia tidak peduli seberapa kuat usaha Mery melepaskan tangannya. "Gue emang pernah ngelakuin itu sama lo, tapi itu bukan berarti lo bakal selamanya jadi milik gue, Ren. Sekarang lepasin gue, lo gak bisa kayak gini. Cepetan!" suara Mery meninggi. Mungkin menurut Mery mempermainkan hati cowok itu biasa. Terlampau dari apa yang ia lakukan dulu, dan Rendi menjadi salah satu korban permainan hatinya.Rendi menggeleng kuat. "Gak, pokoknya lo harus jadi milik gue," titah Rendi. Mery menggeleng cepat, masih berusaha melepaskan
"Kakak nggak usah kaget gitu, kebetulan Mama aku juga minta beliin barang yang sama." Sarah tersenyum seraya menyodorkan dua barang itu pada wanita tadi, sementara Aldevan mengangkat bahunya acuh, tidak peduli. Sarah tidak menyerah, dia terus bersuara lagi. "Aku denger kakak ngucapin kata Ventylin-ventylin gitu... jadi aku pikir barang yang Kakak beli sama kayak aku. Dan ternyata bener." Aldevan manggut-manggut, mau sebanyak apa Sarah menjelaskan dia juga tidak mengerti. Toh, Aldevan tidak tahu bentuk barang itu seperti apa. Jadi, ia pasrah saja pada pilihan Sarah. "Kakak kenapa harus beli itu? Emang siapa yang pake?" tanya Sarah basa-basi, sekedar mengikis kecanggungan antara mereka. yang ditanggapi Aldevan dengan muka datar saja. "Bukan urusan lo!" Sarah kembali mengerucutkan bibir, berbicara dengan kakak kelasnya satu ini memang harus siap mental diketusin. Tidak jarang orang yang ingin berbicara dengan cowok itu, selalu berakhir pilu.
Sarah baru saja pulang dengan membawa satu kantong plastik berisikan pesanan mamanya. Ia menaruh plastik itu di meja dekat sofa. Matanya melirik seorang cewek yang tengah bermain ponsel. "Nih pesenan Kakak. Tapi kenapa harus minta aku pake bohong segala sih?" tanya Sarah pada kakaknya. "Diem lo, gak usah ikut campur. Turutin apa kata gue aja. Udah sana masuk kamar!" perintah cewek itu, Sarah langsung memayunkan bibir dan mengibaskan tangannya ke udara. "Mending aku nonton anime daripada nurutin perintah kakak yang gak baik itu," timpal Sarah lalu melesat masuk ke kamarnya. Cewek itu memutar bola matanya malas. "Yee bocah mana tau!" Sepeninggal Sarah cewek itu lalu menekan dial panggilan, menelpon seseorang sambil melirik ke arah kiri dan kanan seolah takut ketahuan. Soal barang itu, ia sengaja meminta Sarah untuk berbohong. Telepon tersambung, cewek itu lantas menyapa. "Halo. Assalamualaikum, Kak." Waalaikumsalam, gimana tadi l
Cahaya masuk melalui celah kecil di kamar Aldevan, membuatnya terbangun dari tidur padahal lagi enak-enakkan larut dalam alam mimpi. Ia mengucek-ngucek matanya, sebelum kemudian melirik jam weker yang ternyata menunjukkan pukul 6 pagi. Sengaja ia tidak memasang alarm untuk membiasakan diri bangun pagi, walau terkadang itu justru membuatnya telat. Ia bergegas beranjak dari kasur setelah menyambar handuknya yang menggantung. Karena kamar mandinya melewati ruang makan, matanya tidak sengaja menangkap sosok Anggie sedang menyiapkan sarapan. "Kamu mau makan dulu?" tanya Anggie, Aldevan menggeleng sopan kemudian masuk ke kamar mandi. Namun baru saja melangkah kamar mandi Aldevan tersentak kaget melihat Mery sedang menggosok gigi. Aldevan yang saat itu hanya memakai celana boxer membuat Mery melongo. "Ngapa lo liat-liat?" Aldevan berucap ketus, Mery masih melongo dengan sikat gigi yang menempel di mulutnya. Tubuh atletis dan perut kot
Saat ini, puluhan pasang mata sedang menatap sinis dua manusia berbeda gen itu, Aldevan menggendong Mery melewati banyaknya kelas terutama kelas sepuluh. Matanya memandang sinis tiap orang yang melihat mereka. Dari berbagai mimik yang paling sering Aldevan temukan itu adalah tatapan terkejut. Ada beberapa juga yang diam-diam mengeluarkan ponsel lalu memotret mereka. "Romantis bangett," seru adik kelas yang lewat di samping Aldevan. "Iya tuh, kayak adegan di novel atau film-film. Jadi pengen juga deh," sahut salah satunya. "Kak Aldevan mau-maunya sih gendong cewek bengal kayak si Mery itu?" Setidaknya itulah umpatan yang berhasil menembus telinga Aldevan, kalau saja ini bukan sekolah, dengan senang hati ia akan melempar langsung Mery ke got sampah. Sementara Mery hanya terdiam, dia memandang Aldevan tanpa kedip, entah kenapa jantungnya memacu lebih cepat dari biasanya. Mery juga kaku, sulit bergerak apalagi harus mengalungkan tangannya di leher
Kali ini Pak Yoshi tidak main-main dengan hukumannya, jika dulu guru berumur 45 tahun itu membiarkan saja murid yang berbuat onar melaksanakan hukumannya atau tidak, sekarang sungguh berbeda. Tampaknya Pak Yoshi sangat kesal akibat ulah Mery. Seragamnya keciprat teh panas sekaligus buku beliau kotor tertumpah teh itu. Dan di tepi lapangan inilah Pak Yoshi berada, beliau berkacak pinggang sambil mengamati Mery memungut sampah. "Cepat Mery, kamu mau saya menunggu berapa lama?! Saya sudah kepanasan," seru pak Yoshi sambil mengipas-ngipaskan tangannya. Mery menoleh, ia menyelipkan poni ke telinga. "Iya Pak iya. Heh, Bapak kira saya tukang sampah? Lapangan bersih gini dibilang kotor. Situ buta atau picak?" Pak Yoshi melotot, Mery lagi-lagi membuatnya naik pitam, tapi pak Yoshi berusaha sabar mengelus dada. "Saya masih bisa mendengar Mery, kamu mau saya tambah hukumannya lagi?" Mery menggidikan bahu. Enggan menanggapi ucapan pak Yoshi
ingga saat ini, Nayra tidak bisa meyakinkan hatinya untuk menceritakan kejadian beberapa jam lalu pada Rifdan, meski tak ada luka yang membekas, tetap saja bayangan tragedi tadi melintasi pikirannya. Nayra perlu waktu untuk melupakan semua itu.Nayra berjalan dengan tangan sedikit gemetar, setelah Nickey memberhentikannya tepat di depan pagar, ia meraih handle pintu yang tidak terkunci."Aku pulang."Tidak ada sahutan, kecuali suara detak jam yang menunjukkan pukul 10.15 malam. Lampu ruang tamu juga masih menyala dan sisa bungkus makanan berserakan dimana-mana. Kebiasaan Rifdan seperti ini sungguh membuat Nayra lelah, namun ia tak dapat menyangkal jika ayahnya berubah depresi ringan sepeninggal ibunya.Perubahan perilaku dan emosi ayahnya juga sering dirasakan Nayra.Seperti sekarang perilaku ayahnya yang terkesan kekanakan. Meracau tidak jelas saat tidur dan sesekali menangis di sela tidurnya, sangat menyayat hati Nayra.Andai ibunya
Ketika hati dibutakan oleh cinta, semuanya terasa kelu untuk diucapkan, ketika mereka baru saja bersama dalam waktu sesingkat ini. Apakah Tuhan juga akan memisahkan kurun waktu sesingkat itu juga?Mereka mendekap, saling tenggelam dalam heningnya kejadian beberapa menit lalu sampai akhirnya mereka menyadari suara langkah kaki menggema menuju ruangan yang mereka pijaki.Nayra berusaha menjauhkan tubuhnya dari Nickey saat cowok itu semakin mengeratkan pelukannya. Tangan yang melingkari bahunya terasa menegang menyesakkan dada Nayra.Nayra mendongak sambil mendorong dada bidang Nickey menjauhi dirinya."Aku pengen tau apa maksudnya, mereka bilang kamu cuma bersandiwara, Nickey." Nayra melirih meski hatinya terasa sesak, ia juga perlu penjelasan. Menjelaskan semua pertanyaan di otaknya.Nickey tercekat, lidahnya kelu berucap. Kepala yang menunduk meyakinkan Nayra mengulang lagi pertanyaannya. Namun dengan nada begitu memohon."Tolong jelasin sem
"Iya gue. Danu, penyelamat lo waktu itu."Kalimat itu terdengar untuk kedua kalinya. Nayra mengerjapkan matanya berkali-kali memastikan sosok di hadapannya.Dia yang dianggap baik hanya ilusi belaka. Meski Nayra jarang bertemu lelaki itu. Ia masih tak percaya faktanya. Memang benar, sesuatu yang baik di luar belum tentu baik di dalam. Hanya sandiwara semata.Nayra menghela dalam dan menghembuskan nafasnya perlahan. Tangan dan kakinya masih diikat sehingga ia tak bisa bergerak. Bagaimanapun nanti ia harus bisa keluar dari sini."Lepaskan aku! Emang kamu mau apa?" Nayra menggeram. "Bukannya kamu teman Friska. Kenapa kamu ngelakuin ini?"Danu mendekatkan wajahnya setelah tersenyum sinis, sedikit berjongkok dan menatap lekat-lekat kedua bola mata Nayra. Dengan tangan mencekal dagu Nayra dan mendongakkannya, Danu mencoba menakuti gadis itu."Teman? i not believe friends. Itu cuma omong kosong."Danu menghempas kasar dagu Nayra,
Cowok dengan wajah khawatir berulang kali menekan nomor yang sama. Berkali-kali pula ia memanggil nama itu. Berharap yang dipanggil akan mendengar. Dari kampus yang sepi ini ia tidak melihat siapapun.Pula, berulang kali Nickey memanggilnya. "NAYRA!!"Teriakan itu kembali terdengar di suatu lorong yang sempit. Di belakang kampus. Ia mengenyahkan ketakutannya menelusuri tiap sudut universitas itu. Berkali-kali ia mengerjapkan mata memastikan ada tidaknya keberadaan seseorang di sana.Namun harapan itu pupus ketika ia hanya melihat untaian daun kering bergelantungan diatasnya. Sekali lagi ia mencoba mencari. Tetes demi tetes keringat mengalir di pelipisnya.Nickey yakin gadis itu ada di sini saat suara hentakan dari lantai atas menusuk telinganya.Gedebug gedebugSuara boriton itu membuat Nickey menautkan kedua alisnya. Ia berlari kearah tangga sumber suara.Namun hasilnya tetap sama, ia tak menemukan apapun kecuali satpam y
"Kamu mau pesen yang mana?" Nickey menyodorkan daftar menu pada Nayra.Tidak ada alasan khusus, hanya saja ia ingin menghabiskan setidaknya sedikit waktu saja bersama Nayra. Dan kini mereka berada di salah satu kafe es krim, tidak jauh dari pertigaan jalan menuju rumah Nayra.Nayra mengerjap sekali, menatap daftar menu yang sangat asing di matanya. Yang ia tahu, rasa es krim itu hanya ada dua, coklat dan stoberi. Kolot memang."Atau mau gue pilihin?"Oleh Nickey tangan Friska ditepis, sesaat ingin menjangkau daftar menunya. "Sibuk, biar Nayra yang milih," titah Nickey.Friska mengerucutkan bibir."Apasih lo, gue sahabatnya, yajelas gue paling tau."Nickey hanya memutar bola mata, sedangkan Nayra berdecak berkali-kali."Kalian nggak bisa nggak ribut kalau sehari aja. Itu nggak baik lo kata ayah, harus akur."Senyum Nayra membuat Friska terpaksa menutup mulut rapat-rapat, sementara Nickey tertawa kecil, lalu menatap Na
Bisa dicap hari ini, hari paling berkesan bagi Nayra. Ia baru saja mendapatkan hasil kerja kerasnya, lebih tepatnya hasil dari penjualan kue yang ia buat. Ternyata benar apa kata orang, hasil tidak akan mengkhianati perjuangan. Apalagi perjuangan itu diiringi dengan niat, maka hasilnya pasti lebih sempurna.Perjuangan Nayra yang rela begadang demi membuat kue hingga larut malam. Sebab itu sekarang ia mulai menguap, rasa kantuk dan matanya terasa sangat berat untuk membuka, menemani perjalanan pulangnya dari kampus. Ia sudah lama menahan hal ini terutama saat pelajaran bu Antik, harus sepenuhnya sadar agar tidak dikenai hukuman beliau.Seperti biasa, Friska juga menemaninya sekarang. Cewek itu memainkan ponsel, meski sesekali tertinggal karena harus mengimbangi langkah Nayra yang lumayan cepat."Jalannya cepetin dikit dong Nay, kaki gue jadi pegel kalo lambat gini," keluh Friska yang berada di depan.Nayra menoleh sambil tersenyum, berusaha menyadarkan dir
Mungkin baru kali ini, Nickey terpaku pada seorang gadis yang tengah memungut sampah di sekitar area kelas. Pemandangan itu membuat Nickey yang baru saja melangkah di ambang pintu kelas mengerutkan keningnya beberapa saat.Tidak seperti biasanya, walaupun Nickey mengetahui hari ini jadwal Nayra piket kelas, setidaknya pekerjaan semacam itu tidak cocok dilakukan perempuan.Biasanya ia mendapati Wira atau Erik yang melakukan itu.Nickey menghampiri. "Ngapain ngelakuin itu sih, Nay? Udah tinggalin. Itu tugas Erik sama Wira."Sepertinya Nickey kesal, ia langsung merebut sampah plastik itu dari tangan Nayra kemudian membuangnya sembarang. Nayra pun menatap Nickey heran. Apa salahnya jika ia melakukan hal itu?"Nickey." Nayra beranjak untuk mengambil sampah itu, tapi tangan Nickey menahannya."Aku bilang nggak usah.""Tapi aku nggak masalah. Sekali-kali dong gantian, mereka juga bosan ngelakuin itu terus."Nickey berdecak, ia t
Sejak dua puluh menit yang lalu, tepatnya setelah Nayra menghabiskan makannya, tangan Rifdan terus berada dalam genggamannya. Nayra berharap Rifdan segera sadar, walau tadi dokter sempat mengatakan Rifdan tengah tidur. Kemungkinan akan bangun sekitar satu jam lagi. Itupun hanya perkiraan, selebihnya Tuhan yang menentukan.Bersama Nickey yang berada di sampingnya, duduk menopang dagu. Sesekali mengusap bahu Nayra."Sabar, ayah pasti sadar," ucap Nickey menenangkan. Tetapi jauh di relung hatinya, Nickey mengkhawatirkan sesuatu yang membuatnya ingin lekas pergi dari tempat ini.Nayra mengangguk halus, tangannya tetap setiap mengusap punggung tangan Rifdan sesekali menciumnya. Rifdan selalu mengatakan kalau sentuhan adalah cara paling ampuh untuk berinteraksi dengan seseorang, meski orang itu sedang tidak sadar.Dan benar saja, beberapa menit kemudian jari Rifdan melakukan pergerakan kecil, yang mungkin tidak disadari mereka yang berada lumayan jauh dar
"Permisi."Suara milik dokter itu lantas membangunkan dua orang yang tengah terlelap. Nickey menegakkan punggung, bangun dari sandaran kursinya meski belum sepenuhnya sadar. Sedangkan mata Nayra perlahan membuka, mengucek-nguceknya sebentar kemudian menatap dokter."Maaf mengganggu," ujar dokter itu. Tampak tidak nyaman karena mengganggu tidur mereka.Nayra ikut berdiri. "Nggak papa dok. Terus keadaan ayah gimana?""Ayah kamu baik-baik saja. Tapi jangan sampai telat memeriksa kesehatannya. Maaf lambat memberitahu, saya tidak tega membangunkan kalian tadi.""Nggak masalah dok," jawab Nickey yang sudah berdiri di samping dokter itu. "Terus kapan ayah Nayra bisa pulang?""Sekitar beberapa hari lagi, kami ingin memantau kesehatannya dulu. Dan Nayra, apa ayah kamu selalu teratur minum obat?"Nayra menggeleng. "Ayah sering lupa, obatnya sekarang juga lagi habis."Dokter itu hanya ber-oh sesaat. "Kalo gitu obatnya dokter s