Eps 5B
Suara deru mobil memasuki halaman rumah besar setelah satpam membuka pintu gerbang.
Arka heran melihat ayahnya pulang lebih awal kali ini.
Hangga keluar dari mobil, melangkahkan kaki menuju keberadaan putranya yang sedang duduk berdua bersama guru barunya yakni Swari.
Dia mengernyitkan dahi tatkala melihat di meja terhidang dua porsi makanan dan 2 gelas jus warna pink.
'Ckckck, terlambat. Arka pasti sudah mengerjai Swari,' pikirnya.
Dilihat Hangga, Swari sedang menahan tawanya sambil mengoreksi kerjaan Arka. Sementara Arka makan dengan lahap sepiring nasi goreng dan masih ada satu porsi utuh di depannya.
" Eh ayah, ayo makan. Ini nasgor lezat yang pernah Arka makan, jusnya juga pas banget rasanya," ungkap Arka membuat Swari menelan ludahnya. Pasalnya dia ingin balik mengerjai Arka kenapa justru si anak bersorak gembira nasgor dan jus buatannya enak.
'Hufh aku pikir dia akan kepedasan ternyata zonk, dia maniak pedas tingkat dewa,' batin Swari.
"Masak sih. Ayah cobain sini!" Hangga sudah menarik porsi yang masih utuh yang disodorkan Arka.
"Eh, jangan om ini nasgor khusus buat Arka dua porsi. Kalau om mau bisa aku buatin lagi," bujuk Swari dengan rasa was-was kalau ayah Arka nggak berselera dengan masakannya.
"Nggak usah Mbak, Ayah nggak suka merepotkan orang lain, iya kan yah?"
Hangga hanya mengangguk sembari menikmati nasgor buatan Swari.
Satu suap, dua suap, tiga suap
Hangga menikmati nasgornya, sementara Swari hanya mengernyitkan dahi melihat tingkah kedua laki-laki beda usia di depannya.
"Uhhh, hah, huh huh, Ini nasgor kamu kasih berapa cabe Swari?"
Hangga sudah mengipasi mulutnya dengan tangan kanan lalu mengambil jus di depannya.
Dengan sedikit terpaksa alias jaim Hangga menelan suapan nasgor pedas tingkat dewa dan juga jus tanpa gula. Dia tidak ingin terlihat buruk di depan Arka lebih tepatnya di depan Swari gurunya Arka.
"Ayah beneran nggak apa-apa? Tumben doyan pedas," celetuk Arka santai membuat Swari semakin khawatir.
"Maaf om, saya buat sesuai pesanan Arka," jawab Swari menutupi rasa bersalahnya padahal itu inisiatifnya ingin membalas Arka.
Hangga sudah tidak menggubris dua anak muda di depannya, dia menggeliat aneh sambil memegang perutnya.
Tak ingin ketahuan Swari kalau perutnya sakit, Hangga berlari ke dalam menuju kamar mandi lalu memuntahkan isi perutnya.
"Hoek, hoek."
Swari dan Arka menyusul Hangga. Mereka saling berpandangan di luar kamar mandi.
Wajah Swari memucat, sementara Arka justru tak bisa menahan tawanya.
"Mbak Swari sudah meracuni ayahku. Awas nanti bisa dilaporkan ke polisi," ancamnya pada Swari yang semakin tak enak hati sembari melototi Arka.
Lama tidak keluar, Swari berinisiatif mengetuk pintu kamar mandi.
Tok.tok
"Maaf, Om Hangga baik-baik saja kah?" ucap Swari lirih.
Beberapa menit kemudian Hangga keluar dengan muka pucat dan tangan memegang perutnya. Wajahnya masih basah dengan air.
'Fiks di saat genting begini si Om tetap saja tampan,' guman Swari yang pikirannya sudah kacau.
"Om, maafkan aku. Om tidak apa-apa kan?"
Hangga hanya melambaikan tangan dan berjalan tergopoh menuju sofa ruang tamu. Dijatuhkan badannya ke sofa dengan mata terpejam sambil tangan menegangi perutnya.
Swari ketakutan melihat kondisi Hangga.
"Gimana ini Arka?"
"Hah ayah pingsan, Mbak," seru Arka membuat Swari semakin kalut.
"Oh tidak...,"
Swari segera memutar otaknya, dia tak mau dilaporkan polisi dan menjadi headline news telah membuat ayah muridnya terkapar tak berdaya gara-gara makan nasgor dan jus buatannya.
Eps 6ASwari ketakutan melihat kondisi Hangga."Gimana ini Arka?" "Hah ayah pingsan, Mbak," seru Arka membuat Swari semakin kalut."Oh tidak...," Swari segera memutar otaknya, dia tak mau dilaporkan polisi dan menjadi headline news telah membuat ayah muridnya terkapar tak berdaya gara-gara makan nasgor dan jus buatannya.Arka menyarankan untuk memanggil dokter namun Swari melarangnya. Dia takut nanti ada saksi yang tahu kejadian itu. Swari menyuruh Arka mengambil segelas air putih hangat dikasih sedikit garam dan gula pasir."Buat apa ini, Mbak? Mau meracuni ayahku?""Hush, sembarangan. Ini oralit dadakan tau nggak?""Om, bangun Om. Bi, Bi Marni." Wanita paruh baya yang merupakan asisten RT Hangga segera datang menghampiri.Swari meminta tolong diambilkan botol berisi air hangat untuk mengompres perut laki-laki yang tergeletak di sofa.Dia tak tega melihat ayah muridnya yang berwajah pucat. Aslinya Hangga berwajah kuning langsat membuat Swari jadi mengagumi ketampanannya.'Astaghfi
Eps 6BMelihat sikap Arka, Hangga hanya bisa melotot tajam ke arahnya. Ayahnya sudah tidak punya tenaga menegurnya.Hangga berangsur membaik dari kondisi lemasnya setelah minum segelas oralit yang disiapkan Swari.Lima belas menit kemudian Pak Agung datang membawa obat yang dibeli dari apotik."Ini Mbak obatnya," ucapnya sambil menyodorkan pada Swari yang duduk di sofa seberang Hangga."Trimakasih Pak Agung. Sepertinya tidak jadi diminum aja. Om Hangga nggak percaya sama saya."Ucapan Swari dibuatnya dengan intonasi tinggi sedikit ketus menyindir Hangga yang tidak terima diperlakukannya seperti pasien.Padahal kenyataannya Hangga tidak mau terlihat gugup di depan Swari.Entah apa yang terjadi, di dekat Dena yang intens mengejarnya saja Hangga terlihat biasa saja. Ini berada dekat dengan perempuan seumuran anaknya malah membuat perasaannya tak karuan."Simpan saja di kotak obat, Gung," perintah Hangga yang diangguki Agung.Dari arah luar terdengar langkah sepatu menampakkan dua sosok p
Bab 7ASejak kejadian ayah Arka sakit perut, Swari belum menyambangi rumah besar itu. Meski bukan kesalahannya, tetapi Hangga sakit perut karena makan nasgor buatannya. Swari merasa sedikit bersalah karena tidak berhasil melarang Hangga makan. Dia jadi canggung untuk bertemu lagi dengan laki-laki dewasa yang tidak mau didekatinya saat ingin menolongnya.Hari ini seharusnya Swari mengajar untuk kedua kalinya. Namun, dia ada latihan di dojo Om Dimas bersama Satria.Dia menelpon Hangga dengan sedikit gugup.Hangga hanya menjawabnya singkat seperti biasa minim ekspresi pasti wajahnya pikir Swari.Beberapa menit kemudian Hangga memberi nomer telepon Arka supaya Swari menghubungi langsung Arka karena Hangga sedang di kantor."Halo, Arka. Maaf Mbak hari ini absen dulu ya mau latihan karate.""Oh, kalau gitu aku ikut aja bisa, nggak?""Ngapain ikut?""Mau belajar karate biar bisa menghajar Mbak Swari. Hahaha.""Awas kamu ya, dasar anak pintar. Tapi bagaimanapun gurunya lebih pintar, wek."Swa
Bab 7BSwari mulai memasang kuda-kuda, melakukan gerakan dasar dan seterusnya.'Orang ini sudah level atas pastinya, jurusnya sudah tidak jauh dengan Om Dimas meski kelihatan sedikit kaku,' batin Swari.Sampai pada Hangga yang melumpuhkan pertahanan Swari dan menjatuhkannya ke matras membuat jarak pandangnya semakin dekat. Swari menatap lekat manik mata Hangga yang menusuk jantungnya.Pun demikian Hangga yang merasakan debaran jantungnya kian meningkat segara membuang pandangannya ke samping."Lain kali kalau berlatih jangan melamun," bisiknya di telinga Swari membuat perempuan di depannya tersipu malu. Sedetik kemudian ia kesal juga akibat terpesona jadi kalah tanding.Hangga segera berdiri dan mengulurkan tangan ke Swari supaya bangun. Namun, Swari tidak menggubrisnya dan justru beranjak mendekati tempat Satria beristirahat. Hangga hanya menggelengkan kepalanya lalu mendekati Dimas."Hebat Ngga, lama nggak latihan bisa ngalahin cewek tomboy itu," tawa Dimas pecah melihat wajah Hangg
Bab 8A Pacar atau Ibu Tiri?Sudah dua minggu Swari mengajar Arka, pertemuan pertama anak itu mengerjainya jadi koki dadakan.Pertemuan kedua Arka menantangnya main badminton, berujung Swari yang menang dan Arka harus mau mengerjakan tugasnya.Pertemuan ketiga dan keempat sepertinya Arka kehabisan ide untuk mengerjainya. Dia mendadak tidak protes untuk mengerjakan latihan soal matematika yang diberikan Swari.Hari ini merupakan pertemuan kelima karena Swari hanya mengajar dua kali seminggu."Mbak, ayo kita main dulu sebelum ngerjain soal," pinta Arka.Swari mulai curiga dengan mimik Arka yang berseringai, pasti anak ini sudah menyiapkan perangkap untuknya."Main apa?""ToD,"Swari tergelak mendengar permainan itu, pasalnya dia selalu jadi korban saat sedang diajak bermain bersama teman-teman kuliahnya.Dia bimbang antara menolak nanti kelihatan nggak mampu tapi kalau menerima pasti seringnya dia kalah."Ayo, Mbak Swari takut kalah ya?" ledek Arka membuat adrenalin Swari terpacu."Eits,
Bab 8B Pacar atau Ibu Tiri"Oh, jadi Mas Satria pacar Mbak ya?""Tidak-tidak Satria bukan pacar mbak juga. Kalau sudah ketemu orang yang cocok, mbak mending langsung nikah aja.""Sudah-sudah Arka jangan digodain gurumu nanti kabur lagi ayah yang susah. Oya, besok tiga hari ke depan ayah ada acara menginap di hotel. Ini ayah mau siap-siap dulu, nanti malam kamu nggak apa-apa sendiri ya ditemani Pak Agung dan Bi Marni?"Eyang katanya mau ke sini kok nanti, biar sekalian nemenin kamu. Sekarang eyang baru dalam perjalanan."Siap yah," Arka berbinar mengetahui neneknya mau mengunjunginya.Kentara sekali kasih sayang yang diberikan pada Arka.Hangga meninggalkan keduanya setelah sekilas melihat rona wajah Swari yang masih memerah. Tanpa sadar dia tersenyum dalam hati melihat tingkah guru les Arka."Isshh, ngapain cerita ke ayahmu Ar, mbak jadi malu tau nggak.""Ciieee, yang mulai tergoda dengan ayahku."Swari sudah memukul lengan Arka dengan penggaris di depannya.Aww "Sakit mbak,""Syukur
Bab 9A Masa LaluHangga mengamati sosok perempuan yang sedang berkutat di dapur. Lamunannya terbang ke masa 17 tahun yang lalu.Swari yang merasa ada seseorang sedang mengawasinya segera membalik badannya.Brakk, alat masak yang dipegangnya jatuh terurai."Om Hangga,'"Rahma."Keduanya mematung dalam pikiran masing-masing.Hangga mengerjapkan berkali-kali matanya, merasa apakah dia sedang berhalusinasi mendapati kembali bayangan istrinya yang sedang memasak di dapur.Dia melangkah mendekat, sementara Swari yang merasa Hangga menyebut nama lain saat melihatnya langsung memilih melangkah mundur hingga punggungnya membentur tembok sisi kanan dapur.Tatapan Hangga mengunci manik mata lawannya menyiratkan kerinduan membuat Swari bergidik ngeri, dia takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi."Om, om sadar," celetuk Swari sambil melambaikan tangan di depan wajah Hangga.Saat Hangga tersadar, raut wajah yang berbinar berubah menyiratkan amarah."Apa-apan ini Swari, kenapa kamu bisa ada di s
Bab 9B Masa Lalu'Apakah aku sudah kasar padanya? Bagaimana bisa aku melihat bayangan Rahma ada pada Swari?'Hangga menjambak rambutnya karena frustasi. Dia berjalan menuju ranjang dan menghempaskan badannya.Tok tok"Hangga, boleh ibu masuk?" suara Bu Sari meminta ijin masuk kamar Hangga namun tak dijawab oleh laki-laki yang sedang terhempas ke masa lalu dan berat kembali ke dunia nyata."Maafkan ibu, Ngga. Ibu yang meminjamkan baju Rahma untuk Swari. Dia tidak membawa baju ganti, sementara Arka memaksanya tinggal dan menginap. Arka semalam minta ditemani Swari belajar sekaligus nonton pertandingan badminton sampai larut. Ibu hanya mendengar dari kamar, tapi ibu sudah pesan untuk mereka saling menjaga diri.""Hmm,""Arka mengaku pada ibu kalau Swari sudah dianggapnya seperti kakak, tapi yang ibu lihat interaksi mereka justru seperti ibu dan anak. Swari bisa bersikap sabar dan lebih dewasa menghadapi Arka yang terkesan manja di depannya.""Benarkah, Bu? Aku shock tadi melihat wajah R
"Mas, di mana?" Suara Raihan terdengar dari seberang."Siapa, Mas." tanya Dena penasaran."Astaga, Mas Ardi di mana? Ingat Mas, Mbak Dena belum ketemu kenapa Mas Ardi sama perempuan lain. Suara siapa perempuan tadi?" teriak Raihan memaksa Ardi menjauhkan ponselnya. "Pakai baju, Sayang. Ada Raihan."Ardi lalu mengubah panggilan Raihan menjadi videocall."Ada apa, Rai?""Mas apa-apaan nggak pakai baju gitu. Mas tidur sama...""Hush, jangan sembarangan. Ini Mas sama Mbak Dena.""Hah?!" Dena menyunggingkan senyum di depan layar ponsel. "Dena! Mana Dena putriku?""Mama!" jerit Dena saat melihat wajah mama Ardi dan mamanya ada di layar menggantikan Raihan yang sudah memberi ruang bagi kedua wanita paruh baya itu. Sorot mata sendu terutama terlukis di wajah Bu Sinta--mama Dena. Mamanya beberapa hari menginap di rumah sahabatnya sekaligus besannya itu. Ia tidak tahan sendirian di rumah kare
"Na, tolong dengarkan aku! Semua bisa diselesaikan dengan baik-baik. Jangan gegabah. Jangan berpikiran sempit. Kamu tidak sendiri, Sayang. Ada aku, mama, papa, teman-teman. Kumohon, buka pintunya, Na!"Teriakan memohon dari Ardi sebagai usaha terakhir setelah dengan kalimat lembut tidak mempan, akhirnya membuahkan hasil.Cklek, Ardi bersyukur Dena mau membuka pintu. Namun, begitu ia masuk kamar mandi, Dena masih terisak. Tubuhnya menggigil karena terlalu lama mengguyur dengan air dari shower."Ya Allah, Dena! Apa yang terjadi? Kenapa kamu jadi begini?!"Ardi meraih handuk lalu mengganti baju Dena dengan bathrope. Ia memapah Dena keluar kamar mandi. Hening, tidak ada yang mau memulai pembicaraan. Ardi membiarkan istrinya tenang dengan memberi segelas teh panas buatannya."Minumlah untuk menghangatkan badanmu, Na!" Ardi memberi ruang pada Dena untuk berpikir dingin supaya tenang hatinya.Tidak berselang lama, Dena justru
Dena berniat menuju restoran untuk menikmati makan malam karena Ardi sudah mengirim pesan agak terlambat datang. Ia sudah merasa lapar, karena Ardi tidak kunjung tiba. Sampai di restoran hotel. Dena berjalan pelan hingga tubuhnya terpaku di pintu masuk restoran. Netranya memicing ke arah sosok yang dilihatnya mirip Ardi.Deg,"Ardi? Kenapa dia malah makan malam sendiri?" Dilihatnya Ardi hanya duduk sendiri menikmati makan dan minuman. Namun, Dena baru mau melangkah terlihat seorang wanita berjalan menuju kursi di seberang Ardi."Hah, siapa wanita itu?" Dena melihat pakaian wanita itu rapi, rambutnya digelung ke atas. Keduanya terlihat akrab saat menikmati makan.Dena merasakan setitik nyeri di dada, pun rasa sesak menyeruak hingga membuatnya susah bernapas."Kenapa kamu melakukan ini padaku, Ar? Apa karena semalam aku menolakmu." Berbagai spekulasi menari-nari di otak Dena hingga membuat kepalanya pening. Ia masih setia berdiri
Bab 49 Bangkit"Suami? Istri? Astaghfirullah." Dena menepuk jidatnya berkali-kali setelah ingat kalau mereka sudah menikah."Iya kamu istriku, tapi belum istri yang sesungguhnya karena belum melakukan ini.""Ardi?!" Dena sudah menjerit akibat sentuhan lembut dan dingin mengejutkan dari Ardi terasa di bibirnya. Dekapan erat pun menyusul menghangatkan tubuhnya, hingga keduanya bersiap melakukan ibadah yang dinantikan selama ini."Aargh. Jangan sentuh aku. Pergi!"Dena berteriak sekencang-kencangnya saat Ardi hendak memberikan sentuhan penuh cinta. Sontak saja Ardi terkejut luar biasa, ternyata istrinya masih trauma. Ia segera mendekap erat Dena yang tubuhnya masih gemetaran. Bahkan istrinya itu meronta-ronta saat ia ingin melakukan lebih jauh."Maafkan aku, Sayang. Aku tidak akan memaksamu. Tenanglah! Aku di sini melindungimu."Dena masih sesenggukan dengan kepala merebah di dada bidang suaminya. Ia bisa merasakan suaminya mendesah pelan seolah menahan sesuatu. Raut kecewa jelas terlukis
Bab 48"Mbak Kusuma ayo pulang!""Tidak! Tolong pergi! Jangan ikuti saya!" Teriakan histeris Dena semakin membuat Pak Rahmat panik. Ia tidak tahu kejadian tak terduga itu. Bahkan Dena mendadak pingsan karena teriakan disusul tangisannay yang kencang."Mbak, Mbak Kusuma, Bangun!"Pak Rahmat menepuk-nepuk lengan lalu pipi Dena tetapi tidak ada respon."Astaga! Kenapa jadi begini. Kalau terjadi apa-apa bagaimana ini."Pak Rahmat bergegas membobong Dena ke mobil. Pakaian keduanya sudah mulai basah terkena air hujan terutama Pak Rahmat. Setelah dibaringkan di kursi belakang, Pak Rahmat mencari apa saja yang bisa untuk menutupi tubuh Dena supaya tidak kedinginan. Lama mengobrak abrik bagasi hingga akhirnya Pak Rahmat menemukan sebarang kain.Pak Rahmat merasa lega, lalu berniat keluar dari mobil dan harus segera membawa Dena ke rumah sakit. Namun, baru saja hendak keluar, ia dikejutkan oleh sebuah tarikan pada kerahnya.
Bab 47 Trauma itu"Jadi, Bapak tinggalkan mereka berdua?! Kalau terjadi apa-apa dengan istri saya bagaimana?! Siapa yang bertanggung jawab, hah?!" Ardi sudah tidak bisa mengontrol emosinya. Semua mata tercengang mendengar ucapan mengejutkan Ardi."Istri?" lirih Andi."Ya, Dena Artha Kusuma adalah istri saya.""Apa?!" Semua saling pandang dengan wajah dipenuhi penyesalan.Gegas Ardi menarik Andi menuju mobil yayasan untuk mencari Dena."Ya Allah, semoga Dena baik-baik saja."Ardi tidak mempedulikan hujan lebat yang mengguyur, bahkan petir pun terdengar bersahutan. Ia menarik lengan Andi dan bergegas mencari Dena juga Pak Rahmat."Saya ikut juga, Pak!" Suara Pak RT terdengar lantang. Karena merasa bersalah telah meninggalkan mobil Pak Rahmat yang membawa Dena bersamanya."Mari, Pak!" ucap Andi karena Ardi sudah tidak sempat membalas. Akhirnya mobil itu berisi empat orang, bu kepala panti pun turut kembali mencari Dena. Ia khawatir terjadi apa-apa pada salah satu relawan yang terlihat pal
Bab 46B Kepanikan"Yang ini bagus, Mbak Tantri," sahut Ardi sambil melirik ke arah istrinya yang berdecak kesal."Dasar suami berondong. Awas saja kalau besok sampai rumah." Dena melanjutkan kegiatannya sambil sesekali mencuri pandang ke arah suaminya, manatahu suaminya tebar pesona hingga membuat Tantri salah mengartikan.Sampai waktu menjelang senja, beberapa pengunjung telah kembali pulang. Ardi dan Andi serta tim relawan membantu anak panti membawa beberapa barang kembali ke rumah panti. Namun, Dena masih membereskan tempat pameran bersama Tantri, Pak Rahmat, kepala panti dan juga anak-anak."Bu, ada info rombongan dari sekolah SD mobilnya macet di dekat hutan. Apa bisa kita beri pertolongan?" ucap Tantri dengan wajah sedikit khawatir, tangannya memegang ponsel yang baru saja menyala."Ada apa, Mbak?" Dena mendekati Tantri yang mengobrol serius dengan kepala panti."Ada mobil pengunjung yang membawa anak-a
Bab 46A KepanikanPagi itu suasana panti ramai oleh hiruk pikuk anak-anak yang semangat menyiapkan karya mereka yang akan dipamerkan di hari terkahir. Andi sudah bangun awal dan bersiap dengan seragam kaosnya. Pikirannya masih terngiang percakapan semalam dengan Ardi di kamar."Hmm, maaf nih Pak Ardi kalau saya lancang.""Ya, Mas.""Tadi...hmm, saya lihat Pak Ardi keluar dari kamar Mbak Kusuma."Uhuk, uhuk."Pak Ardi nggak apa-apa?""Nggak, Mas. Saya tadi kebetulan lewat depan kamarnya. Ada suara jeritan dari dalam. Katanya sih kecoa. Ya, saya bantu ngusir.""Oh."Andi masih belum percaya, tetapi pikiran aneh-anehnya segera terhempas begitu saja. Ia harus membantu persiapan hari ini."Mbak Kusuma, di mana?" tanya Andi sambil mengangkat dus berisi karya anak-anak panti. Teman relawan yang kebetulan lewat mengambil dus snack pun menjawab."Itu pergi sama Pak Rahmat dan bu kepala panti untuk menjemput rombongan siswa dari sekolah yang ingin kemari, Mas.""Oh, oke. Makasih infonya. Ayo k
Bab 45B Salah Sangka"Sttt!" Dena merapat dengan sigap tangannya menutup mulut Ardi. Tanpa sadar keduanya saling menatap,menyelami manik mata masing-masing. Ada kerinduan yang ingin disampaikan lewat tatapan mata.Ardi mengikis jarak hingga kening keduanya menempel."Aku mencintaimu, Na. Izinkan aku menyelami hatimu hingga tidak ada lagi lara yang tertinggal di sana. Hanya ada kamu dan aku yang akan mengukir masa depan. Menghadirkan keramaian anak-anak kita nantinya."Memilih diam mencerna setiap kata lembut yang keluar dari mulut suaminya, Dena tenggelam dalam pusaran kerinduan yang terobati dengan sentuhan. Hingga tak terasa keduanya merasakan puncak kebahagiaan dengan sentuhan. Dena menarik diri karena harus menghirup oksigen banyak-banyak. Kedua tangannya reflek menutup bibir bahkan mukanya yang sudah memerah seperti buah Cherry."Kamu cantik sekali kalau seperti ini, Na. Kita lanjutkan besok pulang dari sini ya, sekalian ho