Bab 35AHari bahagia yang dinanti Swari tiba. Kampusnya menggelar wisuda dan dia menjadi salah satu wisudawati terbaik. Sementara Satria kakaknya juga sudah lulus namun harus mengikuti wisuda tahap berikutnya karena tidak sempat ikut yudisium bulan ini.Ayah dan kedua ibunya turut hadir bersama Satria. Setelah prosesi wisuda selesai, mereka mengabadikan momen di spot yang tersedia.Dari arah kejauhan tampak Rayhan yang ditemani Ardi kakaknya membawa sebuket bunga indah serta setangkai mawar merah.Swari tersenyum mengembang melihat kehadiran muridnya. Pun juga tak mau kalah Arka hadir diantar ayahnya.Saat sang ayah melihat Ardi membawa setangkai mawar merah, nyalinya untuk bertemu Swari menciut. "Ayo, Yah. Aku nggak mau terlambat ketemu Mbak Swari!""Kamu duluan saja, Ar. Nanti ayah menyusul. Ayah perlu menelpon Mbak Tika dulu tentang kerjaan kantor," kilahnya untuk meyakinkan Arka mau meninggalkannya di mobil.Netra Hangga tak lepas dari wajah ceria Ardi yang menatap lurus ke arah
Bab 35BArdi sudah menarik tangan Dena dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya memegang setangkai mawar.Swari dan keluarganya hanya saling berpandangan dan menggelengkan kepala."Hei Ray, jangan bilang kakakmu bucin sama tante Dena," ucap Arka."Entahlah, akhir-akhir ini Mas Ardi jadi aneh suka senyum-senyum sendiri.""Ya sudah, ayo Pak kita ajak mereka makan bersama di restoran!""Ayo, Bu. Semua siap kan?" seru Pak Dahlan."Siap," jawab mereka kompak.---Di kantor, Hangga meluapkan emosinya dengan menenggelamkan diri dengan pekerjaannya. Dia lupa mengisi perutnya yang tak terasa lapar.Hingga meeting berakhir pun Tika sudah mengingatkan namun tak dihiraukannya."Pak Hangga, saya pamit duluan.""Iya, silakan.""Hmm, maaf apakah Bapak tidak pulang? Ini sudah hampir jam 7 malam.""Saya selesaikan ini dulu, Tik.""Baiklah. Saya permisi dulu.""Hmm."Tika sudah menunggui bosnya selama 2 jam karena tidak tega melihat sejak datang dan meeting tidak sempat makan.Tapi apa mau dika
Bab 36Seminggu berlalu, Pak Dahlan khusus mengajak putra putrinya menginap di rumahnya malam ini.Beliau memberikan kejutan bagi Swari yang memang tidak tahu sama sekali."Swari, coba baju ini cantik nggak? Ini kiriman dari Bu Mareta," ucap ibu sambungnya."Hah, ibu kirim ini untuk apa?""Udah dicoba dulu aja. Wah, Alhamdulillah pas dengan badanmu.""Wow, cantik nian adikku," celetuk Satria yang tiba-tiba nampak dari cermin tempat Swari berdiri."Ini sebenarnya baju untuk apa sih, Bu?" tanya Swari dengan kening berkerut karena heran."Ishhh, jangan dibiasakan begini keningnya."Ibu Satria mengusap kening Swari dengan lembut."Yang ceria dong calon pengantin. Ups, keceplosan.""Ibu..." teriak Satria langsung melarikan diri pastinya sebelum dibom bardir pertanyaan oleh adiknya."Astaghfirullah ibu hanya bercanda, kan?""Ibu serius, Ri. Besok pagi keluarga Nak Hangga kemari melangsungkan akad pernikahan."Swari menatap lekat ibu sambungnya namun tidak ada kebohongan di sana."Memang nik
Bab 37 "Sayang, ayo ikut aku!" titah Hangga yang sudah menarik tangan Swari masuk mobil."Mau kemana, Mas?""Udah ikut aja, jangan menolak!""Ishh, maksa banget sih," ucap Swari sambil mengerucutkan bibir.Hangga justru meledeknya,"Bisa nggak bibirnya tidak monyong gitu, bikin gemes tahu. Jadi nggak sabar pengin..."Plak,Swari sudah melayangkan pukulan telapak tangannya ke lengan Hangga yang duduk di kemudi mobil."Ough, sakit sayang," protes Hangga yang sudah mendapat pelototan tajam dari Swari."Masih sore sudah m*s*m sih, gini nih laki-laki dewasa."Hangga terbahak mendengar ucapan Swari."Sebenarnya kita mau kemana sih, Mas?""Lihat saja, nanti.""Tapi, aku belum pamit.""Udah aku pamitin."Setengah jam berkendara dengan mobil sportnya, Hangga telah memarkirnya di tempat yang disediakan."Masya Allah. Mas..." Swari kaget tak menyangka Hangga akhirnya mengajaknya ke Heha Sky View. Dia jadi teringat waktu itu diajak ke bukit bintang dengan alasan kalau ke Heha kawatir bertemu kol
Dena Arta Kusuma wanita berparas cantik meski usianya sudah tak lagi muda. Wanita yang masih berstatus single, cintanya harus bertepuk sebelah tangan pada seorang CEO duda yang lebih memilih gadis muda pengajar les putranya.Dena yang kecewa justru dikejar oleh laki-laki berondong.Bagaimana keputusan Dena, apakah menerima cinta laki-laki yang jauh lebih muda darinya atau bertahan dengan rasa kecewanya pada sang CEO? Prolog"Apa-apaan ini, lepasin nggak? Memangnya kamu siapa berani menyentuhku, hah?"Dena berusaha menghempaskan tangan laki-laki asing di sebuah apartemen yang baru saja di sewanya."Ikut aku!" titahnya tanpa peduli Dena yang sudah meronta. Teriakannya justru memancing perhatian beberapa orang yang berada di sekitarnya hingga membuatnya sedikit malu.Dena pun menuruti langkah lebar laki-laki tak dikenalnya menuju lift dan naik ke lantai 4."Jangan melawan atau tanganmu akan sakit!" larangnya dengan suara lantang membuat nyali Dena menciut.'Salahku apa sampai ketemu la
Bab 1 Pertemuan tak TerdugaMasih terlukis raut kesedihan di wajah cantik Dena saat mendapati kabar bahwa Hangga akan melamar Swari.Laki-laki tampan yang menjadi cinta pertamanya sejak masa kuliah hingga saat laki-laki itu berstatus duda satu putra.Namun cintanya hanya bisa bertepuk sebelah tangan karena Hangga tidak sedikitpun membalas perasaannya. Meski sudah lama ditinggal sang istri,Hangga lebih memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan sebagai CEO di perusahaan milik eyangnya sekaligus membesarkan putranya.'Apa kurangnya aku hingga kamu lebih memilih gadis itu? Tidakkah kamu tahu kalau aku menunggumu sejak lama? Kenapa gadis yang tiba-tiba datang dalam kehidupanmu yang mendapatkan cintamu?' Kedua tangan Dena mengepal sempurna dan gertakan gigipun terasa sampai ke telinga. Diusapnya cairan bening yang lolos dari mata indahnya.Brakk, pyarr.Barang-barang di sekitar beterbangan dan berurai di lantai seakan menyiratkan isi hati sang empunya ruangan.Di sebuah apartemen yang di
Bab 2 Sebuah Alasan Sebuah alasan kenapa Ardi mengejar-ngejar wanita cantik bernama Dena yakni saat ada gadis muda nyasar masuk ke apartemennya. Saat itu… Derap langkah kaki Ardi mulai melambat saat memasuki apartemennya. Ardi menghabiskan malam dengan menemani salah satu temannya yang baru saja patah hati dan memilih minuman beralkohol sebagai obat hati yang luka. Pintu berderit, Begitu password dipencentnya, tak sabar Ardi ingin segeralah merebahkan tubuhnya ke ranjang empuk di dalam kamar. Namun rasa itu pudar seiring matanya fokus pada sebuah barang di atas meja tamu serta sepasang sepatu wanita tergeletak di bawahnya. "Sial, bisa-bisanya pencuri masuk apartemenku," umpatnya. "Keluar kamu sekarang juga!" bentaknya lagi dengan perasaan kesal. Tanpa diduga seorang gadis dengan pakaian sedikit terkoyak dan ada goresan di pipi menyerang Ardi. 'Astaga, gadis ini kenapa bisa ada di sini? Jago karate lagi,' gumannya sembari menangkis pukulan. Wajah lelah dan sorotan tajam mata
Bab 3Menggeliat tubuh Ardi begitu alarm subuh memanggil. Dia segera terbangun dari tidur tak nyenyaknya.Badan terasa pegal, tengkuk leher pun kaku. Semua gegara gadis tak tahu diri yang menguasai ranjang kamarnya.Bisa saja dirinya menyusup ke dalam kamar dan menikmati ranjang empuknya seperti biasa. Namun, urung dilakukan Ardi mengingat dirinya laki-laki normal yang masih taat norma.Begitu ada alasan kewajiban mau tak mau dia harus memaksa pintu kamarnya terbuka."Aku langsung buka atau digedor saja, ya?"Ardi berperang dengan batinnya. Bagaimana kalau kondisi di dalam tidak menguntungkan baginya. Bisa saja gadis itu tidur sembarangan atau lebih parahnya tanpa busana.Bergidik ngeri, Ardi segera membuang pikiran buruknya. Diputarnya knop pintu, perlahan dia buka menyisakan pemandangan gadis polos tertidur pulas. Meski gadis ini tidak secantik wanita yang dijumpai di lift, tapi wajahnya begitu teduh dan menarik dipandang.Ardi segera membuang muka menjaga pandangannya. Meski seri
"Mas, di mana?" Suara Raihan terdengar dari seberang."Siapa, Mas." tanya Dena penasaran."Astaga, Mas Ardi di mana? Ingat Mas, Mbak Dena belum ketemu kenapa Mas Ardi sama perempuan lain. Suara siapa perempuan tadi?" teriak Raihan memaksa Ardi menjauhkan ponselnya. "Pakai baju, Sayang. Ada Raihan."Ardi lalu mengubah panggilan Raihan menjadi videocall."Ada apa, Rai?""Mas apa-apaan nggak pakai baju gitu. Mas tidur sama...""Hush, jangan sembarangan. Ini Mas sama Mbak Dena.""Hah?!" Dena menyunggingkan senyum di depan layar ponsel. "Dena! Mana Dena putriku?""Mama!" jerit Dena saat melihat wajah mama Ardi dan mamanya ada di layar menggantikan Raihan yang sudah memberi ruang bagi kedua wanita paruh baya itu. Sorot mata sendu terutama terlukis di wajah Bu Sinta--mama Dena. Mamanya beberapa hari menginap di rumah sahabatnya sekaligus besannya itu. Ia tidak tahan sendirian di rumah kare
"Na, tolong dengarkan aku! Semua bisa diselesaikan dengan baik-baik. Jangan gegabah. Jangan berpikiran sempit. Kamu tidak sendiri, Sayang. Ada aku, mama, papa, teman-teman. Kumohon, buka pintunya, Na!"Teriakan memohon dari Ardi sebagai usaha terakhir setelah dengan kalimat lembut tidak mempan, akhirnya membuahkan hasil.Cklek, Ardi bersyukur Dena mau membuka pintu. Namun, begitu ia masuk kamar mandi, Dena masih terisak. Tubuhnya menggigil karena terlalu lama mengguyur dengan air dari shower."Ya Allah, Dena! Apa yang terjadi? Kenapa kamu jadi begini?!"Ardi meraih handuk lalu mengganti baju Dena dengan bathrope. Ia memapah Dena keluar kamar mandi. Hening, tidak ada yang mau memulai pembicaraan. Ardi membiarkan istrinya tenang dengan memberi segelas teh panas buatannya."Minumlah untuk menghangatkan badanmu, Na!" Ardi memberi ruang pada Dena untuk berpikir dingin supaya tenang hatinya.Tidak berselang lama, Dena justru
Dena berniat menuju restoran untuk menikmati makan malam karena Ardi sudah mengirim pesan agak terlambat datang. Ia sudah merasa lapar, karena Ardi tidak kunjung tiba. Sampai di restoran hotel. Dena berjalan pelan hingga tubuhnya terpaku di pintu masuk restoran. Netranya memicing ke arah sosok yang dilihatnya mirip Ardi.Deg,"Ardi? Kenapa dia malah makan malam sendiri?" Dilihatnya Ardi hanya duduk sendiri menikmati makan dan minuman. Namun, Dena baru mau melangkah terlihat seorang wanita berjalan menuju kursi di seberang Ardi."Hah, siapa wanita itu?" Dena melihat pakaian wanita itu rapi, rambutnya digelung ke atas. Keduanya terlihat akrab saat menikmati makan.Dena merasakan setitik nyeri di dada, pun rasa sesak menyeruak hingga membuatnya susah bernapas."Kenapa kamu melakukan ini padaku, Ar? Apa karena semalam aku menolakmu." Berbagai spekulasi menari-nari di otak Dena hingga membuat kepalanya pening. Ia masih setia berdiri
Bab 49 Bangkit"Suami? Istri? Astaghfirullah." Dena menepuk jidatnya berkali-kali setelah ingat kalau mereka sudah menikah."Iya kamu istriku, tapi belum istri yang sesungguhnya karena belum melakukan ini.""Ardi?!" Dena sudah menjerit akibat sentuhan lembut dan dingin mengejutkan dari Ardi terasa di bibirnya. Dekapan erat pun menyusul menghangatkan tubuhnya, hingga keduanya bersiap melakukan ibadah yang dinantikan selama ini."Aargh. Jangan sentuh aku. Pergi!"Dena berteriak sekencang-kencangnya saat Ardi hendak memberikan sentuhan penuh cinta. Sontak saja Ardi terkejut luar biasa, ternyata istrinya masih trauma. Ia segera mendekap erat Dena yang tubuhnya masih gemetaran. Bahkan istrinya itu meronta-ronta saat ia ingin melakukan lebih jauh."Maafkan aku, Sayang. Aku tidak akan memaksamu. Tenanglah! Aku di sini melindungimu."Dena masih sesenggukan dengan kepala merebah di dada bidang suaminya. Ia bisa merasakan suaminya mendesah pelan seolah menahan sesuatu. Raut kecewa jelas terlukis
Bab 48"Mbak Kusuma ayo pulang!""Tidak! Tolong pergi! Jangan ikuti saya!" Teriakan histeris Dena semakin membuat Pak Rahmat panik. Ia tidak tahu kejadian tak terduga itu. Bahkan Dena mendadak pingsan karena teriakan disusul tangisannay yang kencang."Mbak, Mbak Kusuma, Bangun!"Pak Rahmat menepuk-nepuk lengan lalu pipi Dena tetapi tidak ada respon."Astaga! Kenapa jadi begini. Kalau terjadi apa-apa bagaimana ini."Pak Rahmat bergegas membobong Dena ke mobil. Pakaian keduanya sudah mulai basah terkena air hujan terutama Pak Rahmat. Setelah dibaringkan di kursi belakang, Pak Rahmat mencari apa saja yang bisa untuk menutupi tubuh Dena supaya tidak kedinginan. Lama mengobrak abrik bagasi hingga akhirnya Pak Rahmat menemukan sebarang kain.Pak Rahmat merasa lega, lalu berniat keluar dari mobil dan harus segera membawa Dena ke rumah sakit. Namun, baru saja hendak keluar, ia dikejutkan oleh sebuah tarikan pada kerahnya.
Bab 47 Trauma itu"Jadi, Bapak tinggalkan mereka berdua?! Kalau terjadi apa-apa dengan istri saya bagaimana?! Siapa yang bertanggung jawab, hah?!" Ardi sudah tidak bisa mengontrol emosinya. Semua mata tercengang mendengar ucapan mengejutkan Ardi."Istri?" lirih Andi."Ya, Dena Artha Kusuma adalah istri saya.""Apa?!" Semua saling pandang dengan wajah dipenuhi penyesalan.Gegas Ardi menarik Andi menuju mobil yayasan untuk mencari Dena."Ya Allah, semoga Dena baik-baik saja."Ardi tidak mempedulikan hujan lebat yang mengguyur, bahkan petir pun terdengar bersahutan. Ia menarik lengan Andi dan bergegas mencari Dena juga Pak Rahmat."Saya ikut juga, Pak!" Suara Pak RT terdengar lantang. Karena merasa bersalah telah meninggalkan mobil Pak Rahmat yang membawa Dena bersamanya."Mari, Pak!" ucap Andi karena Ardi sudah tidak sempat membalas. Akhirnya mobil itu berisi empat orang, bu kepala panti pun turut kembali mencari Dena. Ia khawatir terjadi apa-apa pada salah satu relawan yang terlihat pal
Bab 46B Kepanikan"Yang ini bagus, Mbak Tantri," sahut Ardi sambil melirik ke arah istrinya yang berdecak kesal."Dasar suami berondong. Awas saja kalau besok sampai rumah." Dena melanjutkan kegiatannya sambil sesekali mencuri pandang ke arah suaminya, manatahu suaminya tebar pesona hingga membuat Tantri salah mengartikan.Sampai waktu menjelang senja, beberapa pengunjung telah kembali pulang. Ardi dan Andi serta tim relawan membantu anak panti membawa beberapa barang kembali ke rumah panti. Namun, Dena masih membereskan tempat pameran bersama Tantri, Pak Rahmat, kepala panti dan juga anak-anak."Bu, ada info rombongan dari sekolah SD mobilnya macet di dekat hutan. Apa bisa kita beri pertolongan?" ucap Tantri dengan wajah sedikit khawatir, tangannya memegang ponsel yang baru saja menyala."Ada apa, Mbak?" Dena mendekati Tantri yang mengobrol serius dengan kepala panti."Ada mobil pengunjung yang membawa anak-a
Bab 46A KepanikanPagi itu suasana panti ramai oleh hiruk pikuk anak-anak yang semangat menyiapkan karya mereka yang akan dipamerkan di hari terkahir. Andi sudah bangun awal dan bersiap dengan seragam kaosnya. Pikirannya masih terngiang percakapan semalam dengan Ardi di kamar."Hmm, maaf nih Pak Ardi kalau saya lancang.""Ya, Mas.""Tadi...hmm, saya lihat Pak Ardi keluar dari kamar Mbak Kusuma."Uhuk, uhuk."Pak Ardi nggak apa-apa?""Nggak, Mas. Saya tadi kebetulan lewat depan kamarnya. Ada suara jeritan dari dalam. Katanya sih kecoa. Ya, saya bantu ngusir.""Oh."Andi masih belum percaya, tetapi pikiran aneh-anehnya segera terhempas begitu saja. Ia harus membantu persiapan hari ini."Mbak Kusuma, di mana?" tanya Andi sambil mengangkat dus berisi karya anak-anak panti. Teman relawan yang kebetulan lewat mengambil dus snack pun menjawab."Itu pergi sama Pak Rahmat dan bu kepala panti untuk menjemput rombongan siswa dari sekolah yang ingin kemari, Mas.""Oh, oke. Makasih infonya. Ayo k
Bab 45B Salah Sangka"Sttt!" Dena merapat dengan sigap tangannya menutup mulut Ardi. Tanpa sadar keduanya saling menatap,menyelami manik mata masing-masing. Ada kerinduan yang ingin disampaikan lewat tatapan mata.Ardi mengikis jarak hingga kening keduanya menempel."Aku mencintaimu, Na. Izinkan aku menyelami hatimu hingga tidak ada lagi lara yang tertinggal di sana. Hanya ada kamu dan aku yang akan mengukir masa depan. Menghadirkan keramaian anak-anak kita nantinya."Memilih diam mencerna setiap kata lembut yang keluar dari mulut suaminya, Dena tenggelam dalam pusaran kerinduan yang terobati dengan sentuhan. Hingga tak terasa keduanya merasakan puncak kebahagiaan dengan sentuhan. Dena menarik diri karena harus menghirup oksigen banyak-banyak. Kedua tangannya reflek menutup bibir bahkan mukanya yang sudah memerah seperti buah Cherry."Kamu cantik sekali kalau seperti ini, Na. Kita lanjutkan besok pulang dari sini ya, sekalian ho