Saya pun memilih diam karena saya heran ini acara perayaan atau acara mak comblang. Akhirnya saya tanyakan soal diterimanya Andara menjadi peran utama di sinetron terbarunya nanti. Andara pun bercerita segala hal bagaimana dia lolos casting. Dan bercerita tentang Raka, bagaimana selama ini dia sangat kagum sama aktor satu itu. Andara bercerita kalau dia sudah mengimpikan sejak lama untuk bisa satu frame dengan Raka.
Mendengar dia begitu memuji-muji Raka, rasa cemburu saya kembali datang. Cukup lama saya tidak merasakan ini lagi semenjak Andara berniat untuk berhenti pacaran. Setelah hampir 2 jam kami di sana, kami pulang. Setiba di apartemen Andara menelepon saya.
"Menurut kakak si Diva gimana?" tanya Andara di seberang sana.
Saya terkejut mendengar pertanyaan itu,"Gimana apanya?"
"Ya, gimana? Kakak suka nggak?"
Benar dugaan saya, Andara sengaja mengundang Diva untuk mengenalkannya pada saya.
"Apaan sih dek, dia kan temen kamu
Akan tetapi, bukannya membuat saya pulih dari kegundahan, melainkan membuat saya hampir pingsan saking ketakutannya terhadap wahana-wahana ekstrim di sana. Berbeda dengan Yongki, dia malah senang dan ingin naik wahana itu berkali-kali sampai saya Lelah dan saya paksa untuk keluar dari sana. Saat saya sedang menikmati suasana senja di pinggir pantai Ancol, sambil menikmati es kelapa muda bersama Yongki, Diva mengirim pesan kepada saya. "Kakak apa kabar?" Sungguh, saya sangat berharap pesan itu datang dari Andara, bukan dari dirinya. "Baik," balas saya pada pesannya. "Si Andara kenapa ya susah banget dihubungi? Kakak kayak aku juga nggak?" Pertanyaan itu membuat saya berpikir, ternyata bukan saya saja yang dicueki Andara. Akhirnya saya membalas pesannya dengan jawaban bahwa saya diperlakukan begitu juga oleh Andara. Akhirnya saya menelpon ibu dan Shasa, rupanya mereka juga susah menghubungi Andara dan bahkan Andara tidak pernah menghubun
Tak berapa lama kemudian, Yongki masuk ke dalam lalu membawa sebotol besar minuman dan dua gelas kosong, kemudian meletakkannya di dekat saya. "Ini obat galaunya." Saya tercengang saat melihat sebotol minuman anggur beralkohol ukuran besar teronggok di dekat saya. "Nggak, saya nggak mau." "Harus mau, biar elo lepas!" "Itu bukan solusi." "Ini solusi." "Bukan." "Solusi." "Bukan." "Solusi" Tanpa pikir panjang akhirnya saya raih botol minuman itu lalu saya buka dengan gigi saya, kemudian saya tenggak sebanyak-banyaknya. Yongki tercengang tak percaya. "Sisain gue!" Setelahnya saya tepar, tak tahu lagi apa yang saya lakukan. Saya membuka mata. Saya terkejut sudah berada di kasur empuk saya. Saya menoleh, kaget mendapati kakak pertama saya duduk di sisi kasur sambil melotot marah ke saya. Dia mengambil bantal guling lalu memukul mukul saya dengan bantal guling itu sambil mengelua
Kemudian handphone saya berdering tanpa henti. Telepon dari Andi, ayah, ibu, kedua kakak saya dan Shasa. Saya langsung mematikan handphone saya agar tidak berbunyi lagi. Pesan saya ke akun media social Andara pun belum dibacanya. Saya datang ke rumah Yongki membawa amarah. Kebetulan sekali, terdakwahnya baru keluar dari rumah memakai pakaian satpam. "Yongki!" teriak saya. Yongki menatap saya dengan terkejut. Dia buru-buru masuk ke dalam dengan takut lalu menutup pintunya dengan kuat. Saya mendekat ke arah pintu masuk lalu mencoba membuka pintu, ternyata terkunci. "Buka!" teriak saya dengan emosi. "Nggak!" teriak Yongki dari dalam. "Buka!" "Nggak!" "Kamu kan mau kerja?!" "Gue bisa izin sakit!" Saya semakin kesal. "Buka!" "Nggak!" "Hapus videonya!" "Udah keburu viral! Percuma diapus juga!" Setelah kami lelah saling meneriaki, akhirnya Yongki keluar. Dia langs
Di apartemen, saya merekam video diri saya dengan camera handphone. Dengan gugup, saya bicara menghadap camera handphone yang sudah saya letakkan di tongsis duduk. "Assalamualaikum semuanya. Saya mohon maaf atas video tentang saya yang beredar baru-baru ini. Ini semua karena keisengan orang terdekat saya. Dan saya sudah memaafkan orang yang memposting video itu. Saya akui, gambar-gambar di video itu memang foto saya dengan Andara. Tapi sebenarnya yang diceritakan dalam video itu tidak benar. Saya dan Andara tidak pacaran. Hubungan kami layaknya kakak adik, dia adik angkat saya. Kepada pihak yang merasa tidak nyaman dengan vidio itu saya minta maaf. Terima kasih. Assalamulaikum." Rekaman video itu langsung saya unggah di semua sosial media saya. Semoga ini bisa reda dan Andara yang sedang sibuk shooting bisa tenang. Seharian saya sibuk menulis naskah. Di sela menulis naskah, sekali-kali saya memperhatikan komentar netizen tentang unggah
Andara meraih handphonenya lalu menunjukkan foto lama almarhum kakakknya. Saya melihatnya sambil tercengang. Saya tak percaya, memang di foto itu saya sangat mirip dengan almarhum kakaknya. “Terus alesan ngejauhin kakak?” tanya saya yang masih penasaran. “Aku pikir, aku udah salah jadiin kakak sebagai kakak angkat aku. Aku pikir itu adalah sebuah penghianatan kepada almarhum kakak aku. Karena bagaimana pun, sayang aku ke almarhum nggak bisa digantiin ke orang lain. Makanya aku jauhin kakak, jauhin keluarga kakak juga,” isak Andara. Saya diam. Tak tahu harus berkomentar apa. “Sekarang aku sadar, mungkin Tuhan ngehadirin kakak dalam hidup aku adalah jawaban dari doa-doaku yang meminta pada-Nya untuk dikembalikan lagi almarhum kakakku ke dunia.” “Kakak emang nggak bisa ngegantiin almarhum kakak kamu, tolong jangan jauhin kakak lagi,” pinta saya kemudian. Andara mengangguk. Saya cukup terkejut mengetahui semua itu.
Saat pulang ke rumah mamahnya Andara, Mamah bercerita banyak soal almarhum. “Wajahnya memang mirip banget sama kamu,” ucap mamah pada saya. “Tapi gantengan saya kan, Mah?” canda saya. “Gantengan dia lah!” ucap Andara tak mau kalah. “Iya, percaya deh,” ucap saya. Mamah tertawa senang. “Waktu itu kenapa nggak bilang ke saya kalo wajah saya mirip sama wajah almarhum,” tanya saya ke mamah. “Sebenarnya mamah sama keluarga Andara yang lain, sudah jarang bahas almarhum karena takut Andara sedih. Makanya waktu itu mamah nggak mau bahas soal itu,” ucap mamah menjelaskan. Saya angguk-angguk. Setelah itu, mamah mengajak saya ke sebuah ruangan di rumahnya. Sebenarnya ruangan itu adalah kamar almarhum. Andara juga ikut ke sana. Saat sampai di kamar itu, saya lihat banyak sekali foto-foto almarhum kakak Andara di dinding itu. Foto-fotonya sangat mirip dengan saya. Mamah menunjukkan isi lema
Andi kembali menyeruput kopi sebentar lalu kembali meletakkannya ke atas meja. “Maksudnya?” tanya saya karena tidak mengerti. “Kalo dia udah nikah sama orang lain, terus suatu saat elo tahu kalo dia ternyata suka sama elo sebagaimana layaknya pasangan kekasih, lo pasti nyesel banget, Sob.” “Kalo dia nolak?” “Elo masih punya kesempatan untuk jadi keluarganya dia. Kalo dia emang udah anggap elo sebagai keluarga, nggak ada orang yang bisa ngebuang keluarga, separah apapun masalahnya. Kayak elo, lima tahun ngilang, buktinya orang tua elo masih sibuk nyariin elo.” Saya jadi termenung mendengar ucapan Andi. Perkataan Andi memang ada benarnya juga. “Saya pikirin dulu ya, Sob. Di posisi saya, nggak gampang memutuskan saran kamu itu,” ucap saya dengan sejujur-jujurnya pada Andi. “Terserah elo dah.” Andi pasrah. Saya diam. “Ngomong-ngomong orang kaya cuman bisa ngasih ngopi doang ya? Ma
Ketika saya sudah pulang ke aparteman, handphone saya berdering lagi. Andara menelepon saya lagi. Saya deg-degan, khawatir dia mengubah jadwal makan malam kami. “Kenapa, Dek?” tanya saya ditelepon. “Cieee yang udah punya pacar? Dibeliin cincin pula! Siapa kak? Kok nggak dikenalin sama adek sih?” Saya terkejut mendengar itu. Rupanya kabar cincin sudah sampai ke Andara. Ini pasti ulah kakak pertama yang memberitahu ibu, dan ibu memberitahu Andara. Saya menarik napas dan berpikir caranya untuk ngeles. “Kata siapa?” tanya saya penasaran. “Apa sih yang aku nggak tau. Jangan-jangan kakak ngajak aku makan malam karena mau ngenalin pacar kakak ya?” “Nggak kok,” jawab saya salah tingkah. “Yaudah, nanti pas makan malam kakak harus cerita. Awas kalo nggak. Adek shooting dulu, dadaaah!” Andara langsung menyudahi pembicaraan kami di telepon itu. Saya terduduk lemah. Jantung saya mau copot sepertinya.
DUA TAHUN KEMUDIANHampir dua tahun lebih saya kuliah di di Inggris. Saya akhirnya pulang ke Jakarta setelah mendapat undangan pernikahan dari Andara dan Raka.Di sebuah gedung megah. Acara resepsi pernikahan itu sedang berlangsung. Tamu undangan dari kalangan artis banyak yang sudah datang. Andara dan Raka tengah bersanding mengenakan gaun pengantin dari perancang terkenal. Saya tahu itu karena saya selalu mengikuti berita-berita gosipnya di channel televisi Indonesia yang saya bisa saksikan melalui dunia internet.Saya datang ke pernikahan itu membawa keluarga saya ; ayah, ibu, dua kakak saya yang masih belum nikah-nikah juga dan adik bungsu kesayangan saya ; Shasa.Ayah mengajak saya untuk pergi ke pelaminan. Sementara saya masih menunggu seseorang. Seseorang yang diinginkan Andara agar saya membawanya ke acara resepsi pernikahannya itu."Ayok." Desak ayah.Aku masih melihat-lihat ke arah pintu utama gedung itu."Bentar, yah.
Setelah itu, saya mulai menjauhi Daren dan Jimmy. Saya tak mau dekat dengan mereka, karena bila dekat dengan mereka, itu artinya saya juga akan dekat dengan Andara Siti Rohmah. Saya ingin melupakan nama itu, saya tak mau mengingatnya lagi karena saya ingin melupakan gadis yang bernama sama dengannya di Jakarta yang kini sudah menjadi artis tenar itu.Jimmy dan Daren heran melihat saya menjauhi mereka. Mereka mengejar saya sesuasi jam kuliah.“Hey, Nico. Kamu kenapa menjauhi kita?” tanya Jimmy heran.“Maaf, saya lagi sibuk,” jawab saya berbohong.“Ayolah kawan! Andara menanyakan kamu terus, sepertinya dia suka sama kamu,” ucap Daren.Hah? Dia suka sama saya? Tanya saya dalam hati. Tidak, di hati saya saat itu hanya ada Andara adik angkat saya seorang. Pikir saya. Saya tidak mau mengenal dia, saya harus melupakan Andara.Saya pun pergi dari mereka. Dan saat saya pulang ke apartemen saya, handphone saya berbu
Pagi-pagi sekali saya terbangun. Hari ini adalah hari pertama kalinya saya akan kembali kuliah. Bibi Salsa sudah menyiapkan sarapan untuk saya. Pak Tono sudah bersiap untuk mengantarkan saya ke kampus. Ya, tugas Pak Tono sekarang adalah supir pribadi saya. Dia akan menjadi supir saya sampai saya selesai kuliah di sini. “Den ganteng sudah bangun?” sapa Bibi Salsa pada saya. Dia adalah perempuan asal Makassar berumur 45 tahun. Dia sudah lama tinggal di London, menjadi pembantu di sana, namun karena majikan lamanya meninggal dunia, dia terpaksa diberhentikan di tempat lamanya dan karena ayah sedang mencarikan pembantu untuk saya, pak Tono mengenalkannya pada ayah melalui telepon dan akhirnya sekarang dia bekerja di apartemen saya. Saya tersenyum padanya. &
Saya tiba dengan bingung di Bandara tersibuk di Inggris itu. Saya celingak-celinguk di dekat koper-koper saya yang banyak sambil menunggu seseorang yang kata ayah dia akan membantu saya di kota asing itu. Sesaat kemudian, handphone saya berbunyi. Saya langsung mengangkatnya dengan lega. Itu pasti orang suruhan ayah. “Halo,” jawab saya. “Ini mas Niko ya?” tanya seseorang itu berlogat jawa. “Iya. Bapak yang disuruh ayah ngurus saya ya?” tanya saya. “Iya, mas. Ini saya udah di Hetrow. Mas di mana?” tanyanya dengan suara yang sepertinya kebingungan. Saya pun memberitahukan tem
SOEKARNO HATTA Saya berpelukan dengan Ayah, Ibu, Kedua kakak lelaki saya dan Shasa saat saya bersiap untuk boarding. Kami berada di depan pintu masuk untuk chek in. Ibu menatap wajah saya dengan sedih. "Makan yang banyak," pinta ibu padaku. Aku mengangguk. "Belajar yang serius," pinta Ayah. Aku pun mengangguk. "Hati-hati milih temen," pinta Kakak pertama. Aku juga mengangguk. "Awas kalo macem-macem," pinta Kakak kedua. "Kalo adek ulang tahun jangan sampe lupa ngucapin," pinta Shasa. Aku memangguk dengan mata berkaca-kaca. Kupeluk mereka satu persatu. "Jangan sampe lupa, nanti kalo udah di sana hubungin nomor yang Ayah kasih. Dia yang akan ngurus tempat tinggal kamu dan bantu kamu apapun di sana. Dia akan ayah gaji tiap bulan buat ngurus kamu," ucap Ayah mengingatkan. "Iya, Ayah." Saya melihat sekeliling, Andara tak muncul juga. Tak lama kemudian malah Raka y
Raka masih angguk-angguk dengan sedih di hadapan saya. "Terakhir, jangan pernah berhenti mencintainya meski kamu sudah bosan dengannya. Itupun kalo kamu mau saya anggap sebagai adik angkat saya juga," ucap saya. "Saya janji, Kak. Saya janji akan jaga Andara sebaik-baiknya," ucap Raka dengan semangat. “Bagus,” ucap saya. “Udah sah kan, saya jadi adik angkat kakak?” tanya Raka memastikan. Saya menghela napas. “Iya.” Raka tampak senang. "Nanti kalau kalian sudah siap menikah, jangan lupa kabarin saya." "Siap, Kak!" Saya pun berdiri lalu pamit padanya. Raka menjabat tangan saya dengan sedih. Saya pun pergi dari sana menahan air mata yang sedari tadi mau tumpah.Mobil yang saya kendarai berputar-putar mengitari jalanan kota Jakarta. Saya menangis sendirian sambil menyetir. Saya pun tak sadar sudah melewati jalanan yang sama berkali-kali. Lalu saya memarkirkan mob
"Kuliah?" tanya ayah memastikan. "Iya," jawab saya. Ayah berpikir sesaat kemudian bicara pada saya. "Di mana?" "Di luar negeri." Ayah semakin terkejut. “Luar negeri di mana?” "Inggris," jawab saya. "Di universitas apa dan jurusan apa?" "Universitas apa saja asal jurusan sastra," jawab saya. Ayah terdiam tak percaya. Saya pun menunggu jawaban ayah dengan penuh harap. Ini juga sekaligus membuktikan apakah ayah masih seperti dulu yang tidak suka melihat saya menggeluti sastra apa dia benar-benar sudah berubah. "Kenapa mendadak mau kuliah lagi?" tanya ayah tampak masih heran. "Saya ingin menguasai sastra dan pengen jadi pengusaha penerbitan di kemudian harinya," ucap saya dengan mantap. Mudah-mudahan kata pengusaha itu bisa membuat dia senang dan mau menguliahkan saya di Inggris. "Nggak bakal putus kuliah lagi kan?" tanya ayah memastikan. "Saya janji, akan kuliah sebaik-baikny
Andara mengerti. Kami bertiga pun melahap menu yang kami pesan. Kotak cincin yang hendak saya berikan pada Andara masih tersimpan di saku jas yang saya pakai dengan aman. Saya pun mendengarkan kisah cinta Andara dan Raka dari mereka berdua, dimulai bagaimana mereka diminta settingan hingga akhirnya pacaran beneran. Tentu dengan rasa sakit yang saya simpan. Rasa sakit yang membuat saya ingin pergi dari sana secepat mungkin. Pagi hari sekali saya duduk diam di atas kasur. Di kamar saya yang dulu. Di rumah saya. Isi kamarnya masih seperti dulu, tidak ada perubahan sama sekali. Novel-novel sastra dari berbagai penulis dunia masih berjejer rapih di rak buku saya. Kakak pertama masuk ke kamar dan duduk di sebelah saya. "Semua udah siap berangkat ke Bandung. Ayok!" pinta kakak pertama pada saya. Hari itu kami sekeluarga akan berangkat ke Bandung untuk menghadiri acara tunangan Andara dengan Raka. "Iya, bang," ucap saya lemah. Kaka
Tak lama kemudian, handphone saya berbunyi. Andara menelepon saya, dia mengabarkan sudah sampai di parkiran. Saya semakin deg-degan. Tak berapa lama kemudian Andara datang memakai setelan gaun yang indah. Dia tampak cantik sekali memakainya, saya sampai terpana. "Kakak!" panggil Andara tampak girang melihat saya. Andara mendekat ke saya dan tampak takjub melihat saya memakai setelan jas biru itu. "Kakak aku kok ganteng banget, sih?" Puji Andara."Kakak pasti mau ngenalin calon pacar ke aku kan? Mana? Nggak mungkin banget kakak ngajak aku ke tempat ini kalo bukan mau ngenalin calon pacar, kan?" tanya Andara penasaran. Saya terdiam, semakin bingung untuk menjelaskan. Saat saya hendak menjelaskan, tak lama kemudian seorang lelaki yang tak asing bagi saya, datang. Dia tampan, mengenakan setelan jas hitam, lengkap dengan dasi hitamnya. Dia tersenyum pada Andara. Saya bingung, kenapa dia datang ke sini? Apa Andara yang mengajaknya