Hari minggu yang tenang. Hari itu saya diajak Andara pergi ke Ancol. Andara membawa Ira. Kebetulan hari itu kami sama-sama sedang bebas dari pekerjaan. Kata Ira, di Ancol adalah rutinitas wajib bagi Andara bila putus cinta.
"Kenapa harus Ancol?" tanya saya pada Ira sebelum kami berangkat, saat sedang menunggu Andara selesai berdandan di kamarnya.
"Biar dia bisa teriak-teriak."
"Wahana Dufan?" Saya memastikan.
"Iya."
Mendadak saya menjadi ngeri. Karena sedari dulu, dunia fantasi lah tempat yang paling saya hindari. Bukan karena saya tidak suka tempat itu, tapi karena saya takut untuk menaiki semua wahana ekstrim di sana.
"Takut, ya?" ledek Ira sambil mentertawai saya.
"Iya," jawab saya dengan jujurnya.
Ira tertawa lagi, "Dulu aku juga begitu, tapi karena dipaksa sama Andara, lama-lama jadi biasa."
"Andara maksa?"
"Iya. Kakak juga nanti bakal dipaksa naik wahana juga kok, liat aja," ucap Ira menakuti saya.
Setelahnya saya mulai menyiapkan diri untuk menyatakan cinta pada Andara. Tapi selalu saja tak sanggup untuk mengatakannya bila berada di hadapan Andara. Dan Andi yang selalu penasaran dengan kisah saya ini selalu menekan saya untuk cepat-cepat menembaknya. "Kapan lagi?" tanya Andi pada saya dengan kecewa. "Saya masih nggak sanggup sob," ucap saya. Kali itu kami bicara di teras kostan saya. "Berarti elo beneran bodoh." "Belum." "Udah." "Belum." "Udah." "Belum udah apaan sih?" tanya Andara yang mendadak muncul di hadapan kami. Saya dan Andi kaget. "Nggak kok," ucap saya pada Andara, lalu saya tarik Andara ke dalam kost sambil bicara ke Andi. "Kamu udah mau pulang kan? Yaudah sana pulang." Saya tak ingin Andi memberitahukan perihal obrolan kami tadi pada Andara. Andi menghela napas. Saat saya dan Andara sudah di dalam kost. Terdengar suara Andi berteriak di luar sana. "Andar
"Ayah!" Lirihku dalam hati. Iya, pria yang sedang duduk bersama Andara itu adalah ayah saya. Apa yang Andara lakukan bersama ayah? Apakah dia lelaki baru yang sedang dipacari Andara yang ingin dikenalkannya pada saya? Saya benar-benar tidak percaya itu. Sesaat Andara melihat ke arah saya dan tampak senang dengan ketadangan saya. "Kakak?" Ayah juga menoleh pada saya lalu berdiri. Saya tak sanggup jika benar kalau ayah adalah kekasih baru Andara. Kemana ibu? Apa ayah sudah pisah dengan ibu? Saya pun memilih pergi dari sana. Kisah macam apa jika benar seperti dugaan saya? Andara mengejar saya. Di depan cafe, Andara menarik tangan saya. "Kakak mau kemana?" Saya menoleh pada Andara dengan marah. "Itu lelaki baru yang mau kamu kenalin ke kakak?" Saya mengucap kata ini dengan berteriak. "Jangan negative thiking dulu, Kak." "Mau cowok manapun yang mau kamu kenalin ke kakak, kakak bakal dukung, kecuali d
Tak berapa lama kami tiba di depan sebuah rumah. Ya, rumah itu memang megah. Gerbang langsung dibuka satpam saat dia melihat saya. Andara langsung memarkirkan mobil di depan garasi. Saya dan Andara turun. Saya terdiam. Andara menarik tangan saya untuk masuk ke dalam. "Ayo, Kak." "Iya." “Iya-nya jalan dong.” Kenapa Andara yang paling semangat? Pikir saya. Saya pun terpaksa berjalan menuju pintu masuk. Sudah lima tahun lebih saya meninggalkan rumah itu. Menghilang tanpa jejak. Kini dengan kekalahan dan tanpa bisa membuktikan kalau saya bisa sukses dengan menjadi penulis, saya kembali lagi. Kalau bukan karena mendengar ibu sering sakit gara-gara saya menghilang dan karena Andara, saya mungkin tak akan pulang lagi ke sini. Pintu rumah terbuka. Bibi Ijah, pembantu kesayangan saya datang dengan ternganga saat melihat saya. "Tuan ganteng!" Bibi Ijah menangis melihat saya. "Nyonya! Tuan ganteng pulang!" teriak Bibi Ijah sambil
Di dalam mobil Andara bicara banyak pada saya. “Keluarga kakak baik-baik kok. Kok bisa sih kakak kabur dari rumah?” tanya Andara penasaran lagi, padahal semua alasannya sudah saya jelasan semuanya. “Semuanya memang baik, cuman ayah doang kok yang dulunya jahat,” jawab saya. Andara menurunkan saya di depan gang ke arah kostan saya. Saya turun dari mobil. Andara kemudian dadah kepada saya lalu melajukan mobilnya menuju rumahnya. Saya masih mematung di sana, memastikan mobil Andara benar-benar menghilang dari pandangan saya. Saya pun melangkah pulang dengan lega. Lega karena ayah sudah bisa berdamai dengan mimpi-mimpi saya. Di pagi hari dan bertepatan dengan saat saya terbangun, saya langsung mencari handphone untuk memeriksa group chatting dari team penulis. Ini rutinitas yang biasa saya lakukan agar tidak ketinggalan update terbaru dari pekerjaan saya. Dan benar saja ada update terbaru di sana. Saya langsung membaca di group bahwa sitkom yang
Andara melihat ke luar kaca. Apartemen itu cukup luas. Ada tiga kamar. Ruang tamunya juga cukup luas. Andai saat itu saya dan Andara sudah berpacaran dan bukan sebagai adik kakak seperti sekarang, mungkin ini akan menjadi tempat yang romantis untuk kami. "Jadi kamu belum mau ngenalin cowok baru lagi nih ke kakak?" ledek saya pada Andara yang masih sibuk melihat pemandangan luas di bawah sana. Andara berbalik dan melihat ke arah saya. "Kayaknya aku mau stop pacaran dulu kak," ucap Andara agak sedih. Saya heran,"Kenapa?" "Aku mau fokus dulu ke karir." "Katanya mau buru-buru nikah?" "Kata siapa?" "Kemaren kan kamu sendiri yang bilang." "Itu kalo dapet pacar yang bener kak. Dan nggak mau cepet-cepet juga." Mendengar itu saya diam. Andara memegangi perutnya. "Adek laper," ucapnya polos. "Mau kakak masakin?" Andara kaget dan tampak tak percaya,"Emang kakak bisa masak?" "Ya bisal
Saya langsung ke rumahnya. Andara semakin histeris menangisnya saat melihat saya. Saya coba tenangkan dia. Ira yang ada di sana hanya diam. "Apa adek punya masalah sama orang di stasiun televisi?" tanya saya. "Nggak ada, kak. Kakak kan tau sendiri aku nggak pernah telat ke lokasi shooting dan aku juga nggak ada masalah apapun di sana." Saya pun diam. "Aku harus gimana kak?" "Yaudah, adek sabar ya. Kakak yakin nanti juga adek bakal dapet job yang lebih bagus dari ini." Hanya itu yang bisa saya ucapkan padanya. Jujur, melihat dia menangis saya ikut sedih, yang lebih sedihnya lagi kini melihat dia kehilangan sumber pendapatannya. Selama ini dia meniti karir dari bawah, dimulai dari model, bintang iklan, lalu terjun ke dunia sinetron. Hari-hari berikutnya Andara tidak sebawel biasanya. Kata Ira dia banyak mengurung diri di kamar. Namun saat Ira mengabarkan kalau tawaran iklan mulai berdatangan kepadanya, saya menjadi tenang. Andara
Saya pun memilih diam karena saya heran ini acara perayaan atau acara mak comblang. Akhirnya saya tanyakan soal diterimanya Andara menjadi peran utama di sinetron terbarunya nanti. Andara pun bercerita segala hal bagaimana dia lolos casting. Dan bercerita tentang Raka, bagaimana selama ini dia sangat kagum sama aktor satu itu. Andara bercerita kalau dia sudah mengimpikan sejak lama untuk bisa satu frame dengan Raka. Mendengar dia begitu memuji-muji Raka, rasa cemburu saya kembali datang. Cukup lama saya tidak merasakan ini lagi semenjak Andara berniat untuk berhenti pacaran. Setelah hampir 2 jam kami di sana, kami pulang. Setiba di apartemen Andara menelepon saya. "Menurut kakak si Diva gimana?" tanya Andara di seberang sana. Saya terkejut mendengar pertanyaan itu,"Gimana apanya?" "Ya, gimana? Kakak suka nggak?" Benar dugaan saya, Andara sengaja mengundang Diva untuk mengenalkannya pada saya. "Apaan sih dek, dia kan temen kamu
Akan tetapi, bukannya membuat saya pulih dari kegundahan, melainkan membuat saya hampir pingsan saking ketakutannya terhadap wahana-wahana ekstrim di sana. Berbeda dengan Yongki, dia malah senang dan ingin naik wahana itu berkali-kali sampai saya Lelah dan saya paksa untuk keluar dari sana. Saat saya sedang menikmati suasana senja di pinggir pantai Ancol, sambil menikmati es kelapa muda bersama Yongki, Diva mengirim pesan kepada saya. "Kakak apa kabar?" Sungguh, saya sangat berharap pesan itu datang dari Andara, bukan dari dirinya. "Baik," balas saya pada pesannya. "Si Andara kenapa ya susah banget dihubungi? Kakak kayak aku juga nggak?" Pertanyaan itu membuat saya berpikir, ternyata bukan saya saja yang dicueki Andara. Akhirnya saya membalas pesannya dengan jawaban bahwa saya diperlakukan begitu juga oleh Andara. Akhirnya saya menelpon ibu dan Shasa, rupanya mereka juga susah menghubungi Andara dan bahkan Andara tidak pernah menghubun
DUA TAHUN KEMUDIANHampir dua tahun lebih saya kuliah di di Inggris. Saya akhirnya pulang ke Jakarta setelah mendapat undangan pernikahan dari Andara dan Raka.Di sebuah gedung megah. Acara resepsi pernikahan itu sedang berlangsung. Tamu undangan dari kalangan artis banyak yang sudah datang. Andara dan Raka tengah bersanding mengenakan gaun pengantin dari perancang terkenal. Saya tahu itu karena saya selalu mengikuti berita-berita gosipnya di channel televisi Indonesia yang saya bisa saksikan melalui dunia internet.Saya datang ke pernikahan itu membawa keluarga saya ; ayah, ibu, dua kakak saya yang masih belum nikah-nikah juga dan adik bungsu kesayangan saya ; Shasa.Ayah mengajak saya untuk pergi ke pelaminan. Sementara saya masih menunggu seseorang. Seseorang yang diinginkan Andara agar saya membawanya ke acara resepsi pernikahannya itu."Ayok." Desak ayah.Aku masih melihat-lihat ke arah pintu utama gedung itu."Bentar, yah.
Setelah itu, saya mulai menjauhi Daren dan Jimmy. Saya tak mau dekat dengan mereka, karena bila dekat dengan mereka, itu artinya saya juga akan dekat dengan Andara Siti Rohmah. Saya ingin melupakan nama itu, saya tak mau mengingatnya lagi karena saya ingin melupakan gadis yang bernama sama dengannya di Jakarta yang kini sudah menjadi artis tenar itu.Jimmy dan Daren heran melihat saya menjauhi mereka. Mereka mengejar saya sesuasi jam kuliah.“Hey, Nico. Kamu kenapa menjauhi kita?” tanya Jimmy heran.“Maaf, saya lagi sibuk,” jawab saya berbohong.“Ayolah kawan! Andara menanyakan kamu terus, sepertinya dia suka sama kamu,” ucap Daren.Hah? Dia suka sama saya? Tanya saya dalam hati. Tidak, di hati saya saat itu hanya ada Andara adik angkat saya seorang. Pikir saya. Saya tidak mau mengenal dia, saya harus melupakan Andara.Saya pun pergi dari mereka. Dan saat saya pulang ke apartemen saya, handphone saya berbu
Pagi-pagi sekali saya terbangun. Hari ini adalah hari pertama kalinya saya akan kembali kuliah. Bibi Salsa sudah menyiapkan sarapan untuk saya. Pak Tono sudah bersiap untuk mengantarkan saya ke kampus. Ya, tugas Pak Tono sekarang adalah supir pribadi saya. Dia akan menjadi supir saya sampai saya selesai kuliah di sini. “Den ganteng sudah bangun?” sapa Bibi Salsa pada saya. Dia adalah perempuan asal Makassar berumur 45 tahun. Dia sudah lama tinggal di London, menjadi pembantu di sana, namun karena majikan lamanya meninggal dunia, dia terpaksa diberhentikan di tempat lamanya dan karena ayah sedang mencarikan pembantu untuk saya, pak Tono mengenalkannya pada ayah melalui telepon dan akhirnya sekarang dia bekerja di apartemen saya. Saya tersenyum padanya. &
Saya tiba dengan bingung di Bandara tersibuk di Inggris itu. Saya celingak-celinguk di dekat koper-koper saya yang banyak sambil menunggu seseorang yang kata ayah dia akan membantu saya di kota asing itu. Sesaat kemudian, handphone saya berbunyi. Saya langsung mengangkatnya dengan lega. Itu pasti orang suruhan ayah. “Halo,” jawab saya. “Ini mas Niko ya?” tanya seseorang itu berlogat jawa. “Iya. Bapak yang disuruh ayah ngurus saya ya?” tanya saya. “Iya, mas. Ini saya udah di Hetrow. Mas di mana?” tanyanya dengan suara yang sepertinya kebingungan. Saya pun memberitahukan tem
SOEKARNO HATTA Saya berpelukan dengan Ayah, Ibu, Kedua kakak lelaki saya dan Shasa saat saya bersiap untuk boarding. Kami berada di depan pintu masuk untuk chek in. Ibu menatap wajah saya dengan sedih. "Makan yang banyak," pinta ibu padaku. Aku mengangguk. "Belajar yang serius," pinta Ayah. Aku pun mengangguk. "Hati-hati milih temen," pinta Kakak pertama. Aku juga mengangguk. "Awas kalo macem-macem," pinta Kakak kedua. "Kalo adek ulang tahun jangan sampe lupa ngucapin," pinta Shasa. Aku memangguk dengan mata berkaca-kaca. Kupeluk mereka satu persatu. "Jangan sampe lupa, nanti kalo udah di sana hubungin nomor yang Ayah kasih. Dia yang akan ngurus tempat tinggal kamu dan bantu kamu apapun di sana. Dia akan ayah gaji tiap bulan buat ngurus kamu," ucap Ayah mengingatkan. "Iya, Ayah." Saya melihat sekeliling, Andara tak muncul juga. Tak lama kemudian malah Raka y
Raka masih angguk-angguk dengan sedih di hadapan saya. "Terakhir, jangan pernah berhenti mencintainya meski kamu sudah bosan dengannya. Itupun kalo kamu mau saya anggap sebagai adik angkat saya juga," ucap saya. "Saya janji, Kak. Saya janji akan jaga Andara sebaik-baiknya," ucap Raka dengan semangat. “Bagus,” ucap saya. “Udah sah kan, saya jadi adik angkat kakak?” tanya Raka memastikan. Saya menghela napas. “Iya.” Raka tampak senang. "Nanti kalau kalian sudah siap menikah, jangan lupa kabarin saya." "Siap, Kak!" Saya pun berdiri lalu pamit padanya. Raka menjabat tangan saya dengan sedih. Saya pun pergi dari sana menahan air mata yang sedari tadi mau tumpah.Mobil yang saya kendarai berputar-putar mengitari jalanan kota Jakarta. Saya menangis sendirian sambil menyetir. Saya pun tak sadar sudah melewati jalanan yang sama berkali-kali. Lalu saya memarkirkan mob
"Kuliah?" tanya ayah memastikan. "Iya," jawab saya. Ayah berpikir sesaat kemudian bicara pada saya. "Di mana?" "Di luar negeri." Ayah semakin terkejut. “Luar negeri di mana?” "Inggris," jawab saya. "Di universitas apa dan jurusan apa?" "Universitas apa saja asal jurusan sastra," jawab saya. Ayah terdiam tak percaya. Saya pun menunggu jawaban ayah dengan penuh harap. Ini juga sekaligus membuktikan apakah ayah masih seperti dulu yang tidak suka melihat saya menggeluti sastra apa dia benar-benar sudah berubah. "Kenapa mendadak mau kuliah lagi?" tanya ayah tampak masih heran. "Saya ingin menguasai sastra dan pengen jadi pengusaha penerbitan di kemudian harinya," ucap saya dengan mantap. Mudah-mudahan kata pengusaha itu bisa membuat dia senang dan mau menguliahkan saya di Inggris. "Nggak bakal putus kuliah lagi kan?" tanya ayah memastikan. "Saya janji, akan kuliah sebaik-baikny
Andara mengerti. Kami bertiga pun melahap menu yang kami pesan. Kotak cincin yang hendak saya berikan pada Andara masih tersimpan di saku jas yang saya pakai dengan aman. Saya pun mendengarkan kisah cinta Andara dan Raka dari mereka berdua, dimulai bagaimana mereka diminta settingan hingga akhirnya pacaran beneran. Tentu dengan rasa sakit yang saya simpan. Rasa sakit yang membuat saya ingin pergi dari sana secepat mungkin. Pagi hari sekali saya duduk diam di atas kasur. Di kamar saya yang dulu. Di rumah saya. Isi kamarnya masih seperti dulu, tidak ada perubahan sama sekali. Novel-novel sastra dari berbagai penulis dunia masih berjejer rapih di rak buku saya. Kakak pertama masuk ke kamar dan duduk di sebelah saya. "Semua udah siap berangkat ke Bandung. Ayok!" pinta kakak pertama pada saya. Hari itu kami sekeluarga akan berangkat ke Bandung untuk menghadiri acara tunangan Andara dengan Raka. "Iya, bang," ucap saya lemah. Kaka
Tak lama kemudian, handphone saya berbunyi. Andara menelepon saya, dia mengabarkan sudah sampai di parkiran. Saya semakin deg-degan. Tak berapa lama kemudian Andara datang memakai setelan gaun yang indah. Dia tampak cantik sekali memakainya, saya sampai terpana. "Kakak!" panggil Andara tampak girang melihat saya. Andara mendekat ke saya dan tampak takjub melihat saya memakai setelan jas biru itu. "Kakak aku kok ganteng banget, sih?" Puji Andara."Kakak pasti mau ngenalin calon pacar ke aku kan? Mana? Nggak mungkin banget kakak ngajak aku ke tempat ini kalo bukan mau ngenalin calon pacar, kan?" tanya Andara penasaran. Saya terdiam, semakin bingung untuk menjelaskan. Saat saya hendak menjelaskan, tak lama kemudian seorang lelaki yang tak asing bagi saya, datang. Dia tampan, mengenakan setelan jas hitam, lengkap dengan dasi hitamnya. Dia tersenyum pada Andara. Saya bingung, kenapa dia datang ke sini? Apa Andara yang mengajaknya