Akhirnya gaun yang dinginkan Andara ditemukan juga dibutiknya.
"Gila lo, Sob. Nggak nyangka pacar lo artis," bisik Cheng Lie pada saya. Saya hanya senyum-senyum sendiri, membiarkan dia berhalusinasi sendiri. Soalnya jika saya jelaskan bagaimana hubungan kami sebenarnya, pasti akan Panjang ceritanya.
Jujur saya senang melihat senyum bahagia Andara saat dia menemukan gaun yang diinginkannya itu. Saya pun senang sudah bisa membantunya menyelesaikan masalahnya. Saya yakin, suatu saat pasti ada sebuah keajaiban. Ya, suatu saat nanti Andara tahu kalau kakak angkatnya ini mencintai dia dan dia akhirnya menerima cinta saya apa adanya. Mungkin kah?
"Kakak!"
"Iya dek."
Kami bicara di telepon.
"Kakak lagi apa?"
"Kakak abis nulis."
"Udah dikirim?"
"Udah."
"Ada aku kan di sana?"
“Nggak ada.”
“Kok nggak ada?”
“Kalo peran Siti, ada.”
Peran Siti ini adalah nama peran yang dimainkann
Andara pulang sambil membawa oleh-oleh untuk kami. Andara menarik saya menuju ke kamarnya. Saya heran. Setiba di kamarnya, Andara mencari sesuatu di rak bukunya, kemudian dia mengeluarkan sebuah album foto dan menunjukkannya satu persatu kepada saya. "Ini waktu aku SMA, kak. Jangan diketawain ya," pinta Andara pada saya. Saya sebenarnya terkejut. Di foto itu Andara tampak berkulit agak gelap dan hidungnya agak pesek. Tapi biar begitu Andara masih terlihat sangat manis. "Kok beda banget sama sekarang?" tanya saya heran. "Tuntutan, Kak. Waktu aku jadi model, managerku yang lama nyuruh aku operasi hidung biar makin mancung, terus nyuruh aku suntik putih juga," ucap Andara jujur pada saya. Ya, sebagaimana yang saya ketahui, memang banyak artis-artis yang melakukan hal itu. Walau tidak semuanya, tapi kebanyakan memang begitu. Tujuannya tidak lain agar bisa terlihat menarik di layar kaca atau layar lebar. "Padahal kamu nggak operasi hidung d
Di dalam kostan, saya merenung cukup lama. Saya tidak bisa seperti ini dengan Andara. Saya sudah kelewat batas. Akhirnya, hari itu juga saya blokir nomor Andara dan saya berjanji untuk tidak menghubunginya dan menemuinya lagi. Saya mengabaikan janji saya pada mamahnya. Ini demi kebaikan. Apakah saya bisa? Sudah hampir tiga hari, saya benar-benar menghindari Andara. Saya sengaja tidur di kostan Andi untuk menghindarinya. Nomornya masih saya blokir. Saya yakin, dia pasti mendatangi kostan saya. Sebenarnya saya sedih dan merasa bersalah karena sudah mengabaikannya. Tapi sebagai manusia yang masih berjuang untuk beriman, saya paham bahwa yang saya lakukan ke Andara adalah sebuah kesalahan. Saya tidak ingin kesalahan itu berlarut-larut. Hari itu saya datang ke kantor PH untuk mengikuti rutinitas seperti biasa ; yaitu setiap dua kali dalam seminggu saya harus brainstorming dengan headwriter saya untuk mengajukan sinopsis dan membuat plot untuk episode lan
Akhirnya saya terpaksa buru-buru mengganti pakaian dan langsung menemuinya di depan gang. Benar saja, Andara sudah menunggu saya dalam mobilnya. Kami pun pergi menuju cafe. Saya diam saja. Andara fokus menyetir sambil teleponan dengan managernya si Ira. "Ini aku lagi di jalan sama Kakak." Selanjutnya, dia masih teleponan dengan Ira sampai kami tiba di parkiran. Sebagaimana dirinya dan Ira yang sesama perempuan, mereka mengobrol ngalor ngidul tak ada putus-putusnya, tapi tak ada satupun bahasan mengenai seseorang yang akan dikenalkan Andara pada saya. Padahal saya sangat perlu kisi-kisi itu. Saat itu juga Andara menyudahi teleponnya dengan Ira. Andara mengajak saya menuju lift. Ketakutan saya semakin menjadi. Sungguh saya tidak siap jika benar bahwa Andara akan mengenalkan pacar barunya kepada saya nanti. Kami pun tiba di lantai paling atas di gedung itu. Sesaat kemudian saya melihat pelayan perempuan yang bekerja di café langganan kami tiba-tiba ada di sana m
Setelah itu, pergilah kami ke tempat yang tidak seharusnya saya kunjungi. Alex memesan minuman di ruangan gelap penuh cahaya laser itu. Musik DJ mengalun, memekakkan gendang telinga. Saya pun minum. Segelas, dua gelas, tiga gelas hingga saya ambruk bersama rasa sakit hati saya melihat Andara yang tampak mesra dengan Alex. Andara tampak panik melihat saya ambruk. Setelah itu saya tidak tahu lagi apa yang terjadi. Saya tersadar saat mobil yang dikendarai Alex bersama Andara tiba di depan gang kostan saya. Alex mencoba menuntun saya. "Nggak usah, saya bisa jalan sendiri," ucap saya pada Alex. "Nggak apa-apa kak, biar aku anter sampai rumah kakak," ucap Alex pada saya. Saya merasa jijik mendengarnya memanggil saya kakak. "Iya, Kak. Biar Alex anterin kakak ya?" Jujur, kepala saya masih berat rasanya. Saya pun mengangguk. Membiarkan Alex menuntun saya berjalan menuju kostan. Di tengah jalan saya berhenti. "Di sini aja," pinta saya pada Alex.
Hari-hari berikutnya saya kembali diteror via telepon oleh Andara. Teleponnya tentang Alex semua. "Kak tau nggak, tadi Andara ngasih bunga." "Kak, Alex ngajak aku jalan-jalan ke Bali." "Kak, kok telepon aku nggak di angkat sama Alex sih." "Kak, Alex mau ngenalin aku sama papa mamanya." "Kak!" "Kaak!" "Kaaak! Saya pun menjerit di pinggir sungai Ciliwung. Membangunkan para tetangga yang sedang terlelap tidur. Saya benar-benar tidak tahu apa yang harus saya lakukan kepada hati saya yang terluka. Saya benar-benar sudah tidak tahan menahan kecemburuan itu. Kepada bintang dan rembulan di malam itu saya utarakan semua isi hati saya. Sebagaimana kita tahu, mereka tak dapat memberi saya solusi karena tak bisa bicara apalagi mendengar. Dan esoknya, saya utarakan isi hati saya ke pada pohon-pohon di taman kota. Di sana malah saya disangka orang gila. Juga pada
Hari minggu yang tenang. Hari itu saya diajak Andara pergi ke Ancol. Andara membawa Ira. Kebetulan hari itu kami sama-sama sedang bebas dari pekerjaan. Kata Ira, di Ancol adalah rutinitas wajib bagi Andara bila putus cinta. "Kenapa harus Ancol?" tanya saya pada Ira sebelum kami berangkat, saat sedang menunggu Andara selesai berdandan di kamarnya. "Biar dia bisa teriak-teriak." "Wahana Dufan?" Saya memastikan. "Iya." Mendadak saya menjadi ngeri. Karena sedari dulu, dunia fantasi lah tempat yang paling saya hindari. Bukan karena saya tidak suka tempat itu, tapi karena saya takut untuk menaiki semua wahana ekstrim di sana. "Takut, ya?" ledek Ira sambil mentertawai saya. "Iya," jawab saya dengan jujurnya. Ira tertawa lagi, "Dulu aku juga begitu, tapi karena dipaksa sama Andara, lama-lama jadi biasa." "Andara maksa?" "Iya. Kakak juga nanti bakal dipaksa naik wahana juga kok, liat aja," ucap Ira menakuti saya.
Setelahnya saya mulai menyiapkan diri untuk menyatakan cinta pada Andara. Tapi selalu saja tak sanggup untuk mengatakannya bila berada di hadapan Andara. Dan Andi yang selalu penasaran dengan kisah saya ini selalu menekan saya untuk cepat-cepat menembaknya. "Kapan lagi?" tanya Andi pada saya dengan kecewa. "Saya masih nggak sanggup sob," ucap saya. Kali itu kami bicara di teras kostan saya. "Berarti elo beneran bodoh." "Belum." "Udah." "Belum." "Udah." "Belum udah apaan sih?" tanya Andara yang mendadak muncul di hadapan kami. Saya dan Andi kaget. "Nggak kok," ucap saya pada Andara, lalu saya tarik Andara ke dalam kost sambil bicara ke Andi. "Kamu udah mau pulang kan? Yaudah sana pulang." Saya tak ingin Andi memberitahukan perihal obrolan kami tadi pada Andara. Andi menghela napas. Saat saya dan Andara sudah di dalam kost. Terdengar suara Andi berteriak di luar sana. "Andar
"Ayah!" Lirihku dalam hati. Iya, pria yang sedang duduk bersama Andara itu adalah ayah saya. Apa yang Andara lakukan bersama ayah? Apakah dia lelaki baru yang sedang dipacari Andara yang ingin dikenalkannya pada saya? Saya benar-benar tidak percaya itu. Sesaat Andara melihat ke arah saya dan tampak senang dengan ketadangan saya. "Kakak?" Ayah juga menoleh pada saya lalu berdiri. Saya tak sanggup jika benar kalau ayah adalah kekasih baru Andara. Kemana ibu? Apa ayah sudah pisah dengan ibu? Saya pun memilih pergi dari sana. Kisah macam apa jika benar seperti dugaan saya? Andara mengejar saya. Di depan cafe, Andara menarik tangan saya. "Kakak mau kemana?" Saya menoleh pada Andara dengan marah. "Itu lelaki baru yang mau kamu kenalin ke kakak?" Saya mengucap kata ini dengan berteriak. "Jangan negative thiking dulu, Kak." "Mau cowok manapun yang mau kamu kenalin ke kakak, kakak bakal dukung, kecuali d
DUA TAHUN KEMUDIANHampir dua tahun lebih saya kuliah di di Inggris. Saya akhirnya pulang ke Jakarta setelah mendapat undangan pernikahan dari Andara dan Raka.Di sebuah gedung megah. Acara resepsi pernikahan itu sedang berlangsung. Tamu undangan dari kalangan artis banyak yang sudah datang. Andara dan Raka tengah bersanding mengenakan gaun pengantin dari perancang terkenal. Saya tahu itu karena saya selalu mengikuti berita-berita gosipnya di channel televisi Indonesia yang saya bisa saksikan melalui dunia internet.Saya datang ke pernikahan itu membawa keluarga saya ; ayah, ibu, dua kakak saya yang masih belum nikah-nikah juga dan adik bungsu kesayangan saya ; Shasa.Ayah mengajak saya untuk pergi ke pelaminan. Sementara saya masih menunggu seseorang. Seseorang yang diinginkan Andara agar saya membawanya ke acara resepsi pernikahannya itu."Ayok." Desak ayah.Aku masih melihat-lihat ke arah pintu utama gedung itu."Bentar, yah.
Setelah itu, saya mulai menjauhi Daren dan Jimmy. Saya tak mau dekat dengan mereka, karena bila dekat dengan mereka, itu artinya saya juga akan dekat dengan Andara Siti Rohmah. Saya ingin melupakan nama itu, saya tak mau mengingatnya lagi karena saya ingin melupakan gadis yang bernama sama dengannya di Jakarta yang kini sudah menjadi artis tenar itu.Jimmy dan Daren heran melihat saya menjauhi mereka. Mereka mengejar saya sesuasi jam kuliah.“Hey, Nico. Kamu kenapa menjauhi kita?” tanya Jimmy heran.“Maaf, saya lagi sibuk,” jawab saya berbohong.“Ayolah kawan! Andara menanyakan kamu terus, sepertinya dia suka sama kamu,” ucap Daren.Hah? Dia suka sama saya? Tanya saya dalam hati. Tidak, di hati saya saat itu hanya ada Andara adik angkat saya seorang. Pikir saya. Saya tidak mau mengenal dia, saya harus melupakan Andara.Saya pun pergi dari mereka. Dan saat saya pulang ke apartemen saya, handphone saya berbu
Pagi-pagi sekali saya terbangun. Hari ini adalah hari pertama kalinya saya akan kembali kuliah. Bibi Salsa sudah menyiapkan sarapan untuk saya. Pak Tono sudah bersiap untuk mengantarkan saya ke kampus. Ya, tugas Pak Tono sekarang adalah supir pribadi saya. Dia akan menjadi supir saya sampai saya selesai kuliah di sini. “Den ganteng sudah bangun?” sapa Bibi Salsa pada saya. Dia adalah perempuan asal Makassar berumur 45 tahun. Dia sudah lama tinggal di London, menjadi pembantu di sana, namun karena majikan lamanya meninggal dunia, dia terpaksa diberhentikan di tempat lamanya dan karena ayah sedang mencarikan pembantu untuk saya, pak Tono mengenalkannya pada ayah melalui telepon dan akhirnya sekarang dia bekerja di apartemen saya. Saya tersenyum padanya. &
Saya tiba dengan bingung di Bandara tersibuk di Inggris itu. Saya celingak-celinguk di dekat koper-koper saya yang banyak sambil menunggu seseorang yang kata ayah dia akan membantu saya di kota asing itu. Sesaat kemudian, handphone saya berbunyi. Saya langsung mengangkatnya dengan lega. Itu pasti orang suruhan ayah. “Halo,” jawab saya. “Ini mas Niko ya?” tanya seseorang itu berlogat jawa. “Iya. Bapak yang disuruh ayah ngurus saya ya?” tanya saya. “Iya, mas. Ini saya udah di Hetrow. Mas di mana?” tanyanya dengan suara yang sepertinya kebingungan. Saya pun memberitahukan tem
SOEKARNO HATTA Saya berpelukan dengan Ayah, Ibu, Kedua kakak lelaki saya dan Shasa saat saya bersiap untuk boarding. Kami berada di depan pintu masuk untuk chek in. Ibu menatap wajah saya dengan sedih. "Makan yang banyak," pinta ibu padaku. Aku mengangguk. "Belajar yang serius," pinta Ayah. Aku pun mengangguk. "Hati-hati milih temen," pinta Kakak pertama. Aku juga mengangguk. "Awas kalo macem-macem," pinta Kakak kedua. "Kalo adek ulang tahun jangan sampe lupa ngucapin," pinta Shasa. Aku memangguk dengan mata berkaca-kaca. Kupeluk mereka satu persatu. "Jangan sampe lupa, nanti kalo udah di sana hubungin nomor yang Ayah kasih. Dia yang akan ngurus tempat tinggal kamu dan bantu kamu apapun di sana. Dia akan ayah gaji tiap bulan buat ngurus kamu," ucap Ayah mengingatkan. "Iya, Ayah." Saya melihat sekeliling, Andara tak muncul juga. Tak lama kemudian malah Raka y
Raka masih angguk-angguk dengan sedih di hadapan saya. "Terakhir, jangan pernah berhenti mencintainya meski kamu sudah bosan dengannya. Itupun kalo kamu mau saya anggap sebagai adik angkat saya juga," ucap saya. "Saya janji, Kak. Saya janji akan jaga Andara sebaik-baiknya," ucap Raka dengan semangat. “Bagus,” ucap saya. “Udah sah kan, saya jadi adik angkat kakak?” tanya Raka memastikan. Saya menghela napas. “Iya.” Raka tampak senang. "Nanti kalau kalian sudah siap menikah, jangan lupa kabarin saya." "Siap, Kak!" Saya pun berdiri lalu pamit padanya. Raka menjabat tangan saya dengan sedih. Saya pun pergi dari sana menahan air mata yang sedari tadi mau tumpah.Mobil yang saya kendarai berputar-putar mengitari jalanan kota Jakarta. Saya menangis sendirian sambil menyetir. Saya pun tak sadar sudah melewati jalanan yang sama berkali-kali. Lalu saya memarkirkan mob
"Kuliah?" tanya ayah memastikan. "Iya," jawab saya. Ayah berpikir sesaat kemudian bicara pada saya. "Di mana?" "Di luar negeri." Ayah semakin terkejut. “Luar negeri di mana?” "Inggris," jawab saya. "Di universitas apa dan jurusan apa?" "Universitas apa saja asal jurusan sastra," jawab saya. Ayah terdiam tak percaya. Saya pun menunggu jawaban ayah dengan penuh harap. Ini juga sekaligus membuktikan apakah ayah masih seperti dulu yang tidak suka melihat saya menggeluti sastra apa dia benar-benar sudah berubah. "Kenapa mendadak mau kuliah lagi?" tanya ayah tampak masih heran. "Saya ingin menguasai sastra dan pengen jadi pengusaha penerbitan di kemudian harinya," ucap saya dengan mantap. Mudah-mudahan kata pengusaha itu bisa membuat dia senang dan mau menguliahkan saya di Inggris. "Nggak bakal putus kuliah lagi kan?" tanya ayah memastikan. "Saya janji, akan kuliah sebaik-baikny
Andara mengerti. Kami bertiga pun melahap menu yang kami pesan. Kotak cincin yang hendak saya berikan pada Andara masih tersimpan di saku jas yang saya pakai dengan aman. Saya pun mendengarkan kisah cinta Andara dan Raka dari mereka berdua, dimulai bagaimana mereka diminta settingan hingga akhirnya pacaran beneran. Tentu dengan rasa sakit yang saya simpan. Rasa sakit yang membuat saya ingin pergi dari sana secepat mungkin. Pagi hari sekali saya duduk diam di atas kasur. Di kamar saya yang dulu. Di rumah saya. Isi kamarnya masih seperti dulu, tidak ada perubahan sama sekali. Novel-novel sastra dari berbagai penulis dunia masih berjejer rapih di rak buku saya. Kakak pertama masuk ke kamar dan duduk di sebelah saya. "Semua udah siap berangkat ke Bandung. Ayok!" pinta kakak pertama pada saya. Hari itu kami sekeluarga akan berangkat ke Bandung untuk menghadiri acara tunangan Andara dengan Raka. "Iya, bang," ucap saya lemah. Kaka
Tak lama kemudian, handphone saya berbunyi. Andara menelepon saya, dia mengabarkan sudah sampai di parkiran. Saya semakin deg-degan. Tak berapa lama kemudian Andara datang memakai setelan gaun yang indah. Dia tampak cantik sekali memakainya, saya sampai terpana. "Kakak!" panggil Andara tampak girang melihat saya. Andara mendekat ke saya dan tampak takjub melihat saya memakai setelan jas biru itu. "Kakak aku kok ganteng banget, sih?" Puji Andara."Kakak pasti mau ngenalin calon pacar ke aku kan? Mana? Nggak mungkin banget kakak ngajak aku ke tempat ini kalo bukan mau ngenalin calon pacar, kan?" tanya Andara penasaran. Saya terdiam, semakin bingung untuk menjelaskan. Saat saya hendak menjelaskan, tak lama kemudian seorang lelaki yang tak asing bagi saya, datang. Dia tampan, mengenakan setelan jas hitam, lengkap dengan dasi hitamnya. Dia tersenyum pada Andara. Saya bingung, kenapa dia datang ke sini? Apa Andara yang mengajaknya