"Suamiku..."
"Hmm..."
"Apa di sekolah nanti aku juga harus memanggilmu suamiku?" Zahra mencebikkan bibir. Saat ini ia dan Aaro sedang berjalan menuju ke sekolah sambil bergandengan tangan. Memang tempat tinggal mereka tak begitu jauh dari sekolah.
"Apa aku harus kembali pulang dan bekerja di bengkel saja?" Aaro malah balik bertanya membuat Zahra semakin memajukan bibirnya.
"Maksudku... saat di kelas, aku sedang ngajar, apa aku juga harus memanggilmu begitu?"
Aaro tak menjawab. Ia malah menunjuk ke arah sebuah kedai kecil yang menjual bubur ayam. "Sarapan bubur ayam, mau?"
Zahra menghela napas pelan. "Aku tidak lapar," jawabnya pelan. Namun saat dirinya menjawab seperti itu perutnya berbunyi pertanda minta di isi, membuat Zahra malu saja.
Kruuk! kruukk!
Aaro tergelak melihat wajah Zahra yang berubah merah padam karena malu. "Nah, itu lapar
"Zaa...!"Zahra memaksa berhenti saat mendengar ada yang memanggil namanya. Sekuat tenaga ia menahan tangannya yang ditarik oleh Aaro menuju UKS sekolah. "Berhenti sebentar, suamiku... ada yang manggil."Aaro menoleh untuk melihat siapa gerangan yang memanggil istrinya dan membuyarkan rencana paginya bersama Zahra."Untunglah kamu sudah masuk." Salah seorang teman Zahra menghampiri sambil berlari. "Dosen minta RPP, semua sudah, tinggal kamu yang belum. Nanti siang semua mau dikumpulin.""Apa? Nanti siang?" Zahra setengah berteriak. "Mendadak sekali.""Bukan mendadak. Itu tugas sudah lama. Semua sudah diinfokan di grup wa. Kamu nggak ada di sana. Rumah kamu dimana juga pada nggak tahu. Kemarin si Silva ke klub, katanya kamu dan ibu kamu sudah nggak tinggal di sana.""Terus gimana dong? Mana sempat aku bikin kalau nanti siang dikumpulin. Nggak bisa diundur lagi?" Zahra panik.
"Apa yang ingin kau tahu?" Aaro berjongkok di hadapan Zahra sambil menatap lembut mata istri yang sangat dicintainya itu.Saat ini mereka berada di gudang belakang sekolah. Selepas mengajar, Zahra langsung diseret oleh Aaro ke gudang, tempat favorit Aaro untuk menyendiri saat bosan dengan suasana kelas. Aaro tak ingin menunggu sampai mereka pulang dan menjelaskan segalanya kepada Zahra. Karena, ia tak mau Zahra mengambil kesimpulan sendiri dan akhirnya semakin memperburuk keadaan.Zahra diam tak menjawab. Ia memandang ke samping, melihat apa saja asal bukan Aaro. Tubuhnya mengejang sedikit saat Aaro meraih kedua tangannya dan menggenggamnya erat."Cinta..." Aaro memanggil dengan nada pelan dan lembut hampir seperti bisikan. Ohh, jika itu perempuan lain, mungkin mereka akan langsung luluh oleh panggilan Aaro. Tapi ini Zahra. Istri keras kepala, mudah ngambek, dan selalu rendah diri. "Aku minta maaf."Zahra mendengus mendengar permintaan maaf Aaro. Ka
Apa aku terlalu egois? Pikir Zahra seraya mengamati dari jauh, ibunya yang kini sudah sah menjadi istri orang, yang tak lain adalah Rommy, salah seorang sahabat ayah mertuanya.Sejujurnya, ia sama sekali tak keberatan dengan pernikahan ibunya dan om Rommy. Hanya saja, dirinya merasa sedikit tak rela saat tahu bahwa sang ibu akan diboyong suaminya untuk tinggal di Korea Selatan.Malam ini, di salah satu cafe milik keluarga Blackstone, acara akad nikah digelar. Bukan acara mewah. Hanya dihadiri oleh sahabat dan kerabat dekat saja. Sebagian, Zahra sudah kenal dan bertemu, seperti Om Damian dan putrinya. Namun, sebagian lagi, ia belum kenal betul meski wajahnya seperti sudah tak asing lagi. Ya, saat masih tinggal di kediaman Blackstone, memang kerap kali banyak tamu ayah mertuanya yang datang, baik urusan pekerjaan atau sekedar berkumpul bersama.Karena esok hari Rommy dan Fatma sudah akan terbang ke korea dan menetap di
Suara berisik alarm yang terus berbunyi akhirnya membangunkan Zahra dari tidurnya yang tak bisa dibilang nyenyak. Karena di dalam mimpi ia melihat dirinya terus berlari mengejar ibunya yang dini hari tadi terbang ke singapura. Ya, rencananya ibu dan ayah tirinya akan terbang ke korea selatan dari singapura.Meski sudah terjaga, tapi Zahra masih memilih berbaring di tempat tidur. Badannya terasa kaku semua. Selain semalam ia dan Aaro memang pulang larut dari cafe, juga karena semalaman ia masih terus menangisi ibunya sampai akhirnya tertidur.Ohh, berbicara soal Aaro, Zahra akhirnya memaksa dirinya untuk bangun dan duduk di tepi tempat tidurnya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan untuk mencari keberadaan suaminya itu. Namun dia tak terlihat dimanapun. Ahh, mungkin di bengkel bawah, batin Zahra.Agar tidak terlalu lemas dan malas, Zahra memutuskan untuk mandi terlebih dahulu, baru menyiapkan keperluannya untuk berangka
"Ini dimana?" Zahra bertanya karena ia heran, Rozi membawanya bukan lagi ke pinggiran kota, tapi sepertinya bahkan sudah keluar dari kota. Jalan yang mereka lalui semakin sepi dan jarang ada kendaraan lewat. "Apa masih jauh?""Sebentar lagi." Hanya itu jawaban Rozi tanpa memberikan penjelasan lebih jauh pada Zahra."Ehh, maaf pak Rozi, kalau tempat kosnya jauh begini, sepertinya saya cari tempat kos lain saja. Percuma juga kalau saya nggak bisa kemana-mana, bahkan untuk bekerja." Zahra sedikit jengkel karena merasa dipermainkan. Karena tadi kata Rozi, tempat kos itu letaknya di pinggiran kota. Siapa sangka ternyata malah pelosok seperti ini. "Kita kembali saja," ia menambahkan dengan nada kethus."Iya, ini sebentar lagi sampai.""Nggak. Saya batal kos di sini. Mana jalanannya sepi begini. Lebih baik kita kembali saja.""Cerewet!" Rozi habis kesabaran. "Dibilang sebentar lagi sampai, ya sabar!"
Zahra membuka mata saat merasakan dingin di punggung tangannya. Ia berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan dengan cahaya terang di sekitar."Anda sudah bangun?" Seorang perawat perempuan yang memakai baju tosca muda tersenyum padanya."Jam berapa sekarang?""Sekarang sudah pukul delapan pagi. Anda tidur cukup lama sejak dibawa kemari oleh dokter Aidan kemarin malam. Sekarang anda terlihat lebih baik, makanya dokter Aidan meminta saya untuk melepas infus anda.""Infus?" Zahra mengangkat tangan dan melihat plester bulat di punggung tangannya. "Kenapa saya harus diinfus?""Maaf, saya hanya menjalankan tugas dari dokter Aidan. Silahkan bertanya langsung pada beliau. Saya permisi."Selama beberapa saat, Zahra masih berbaring dan mencoba mengingat, apa gerangan yang terjadi, sampai dirinya harus terbaring di tempat ini dan diinfus.Ia ingat, dirinya pergi bersama Pak
"Aku akan berusaha supaya bisa diterima bekerja dan menghidupi kita berdua," Zahra berbicara lirih sambil mengusap kaca jendela di ruang ICU. Tatapannya tak pernah lepas dari sosok yang terbaring lemah dengan seluruh tubuh berbalut perban di dalam sana. Ia mengembuskan napas dengan keras saat rasa bersalah kembali menghimpit dalam dadanya.Sudah sekitar dua jam, Zahra bertahan berdiri jendela itu. Lapar dan kantuk tak ia rasa. Sesekali matanya terpejam dengan kepala bersandar di kaca. Namun, ia tetap keras kepala dan menolak untuk duduk meski tak jauh darinya terdapat kursi penunggu pasien. Ohh, tentu saja Zahra tak ingin meninggalkan Aaro sedetik saja. Ia ingin mengetahui setiap perkembangan suaminya itu. Saat suaminya mendapat suntikan obat, ditambahkan infus baru atau yang lain, Zahra tetap mengamatinya dari luar. Setidaknya, itu bisa sedikit meringankan rasa bersalahnya.Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam saat Zahra tak kuat lagi menaha
"Beneran nggak butuh apa-apa?" Zahra bertanya pada Aaro sambil melirik jam yang melingkar di tangan kirinya. "Ini hari pertamaku bekerja, aku tak mau terlambat, tapi..."Zahra mendesah pelan dan menatap Aaro bingung, "aku tahu, aku seharusnya ada di sini, menemanimu."Aaro tersenyum menenangkan. "Pergilah. Setelah aku sembuh, aku janji, kau tak perlu melakukan ini lagi."Zahra mengangguk pelan. "Oke," jawabnya sambil berjalan mendekati Aaro untuk berpamitan. Ia mencium punggung tangan Aaro dengan cepat karena ingin segera berangkat. Menurutnya, kesan pertama sangat menentukan, jadi ia ingin memberi kesan yang baik pada masa training-nya kali ini. Namun, saat hendak menegakkan badan, Aaro menarik tengkuknya secara tiba-tiba, membuatnya terkejut dan hilang keseimbangan. Ia jatuh membungkuk di atas Aaro."Apa yan..." Zahra tak dapat menyelesaikan ucapannya karena Aaro sudah membungkam mulutnya dengan ciuman. Ia m
Tangan mereka saling bertautan saat berjalan beriringan untuk menyapa kerabat dan Sabahat yang datang di acara resepsi pernikahan sederhana mereka ini. Resepsi yang diadakan secara dadakan oleh ayah mereka, Rommy dan Aidan. Bertempat di sebuah resort di pinggiran kota Batam yang berhadapan langsung dengan negara Singapura.Siang ini, rombongan sahabat dan keluarga mendarat di bandara Hang Nadim dan langsung menuju ke resort yang sudah dibooking seluruhnya. Kamar-kamar pun sudah dibagi dan sore ini, perayaan mereka digelar outdoor di dermaga resort. Suara debur ombak, suasana senja dan kelap kelip lampu dari Singapura yang terlihat jelas menjadi latar yang sangat untuk acara ini.Aaro membimbing Zahra untuk mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan doa yang diberikan oleh keluarga dan sahabat-sahabat keluarga mereka. Sungguh membahagiakan mereka semua bisa hadir meski undangan yang dikirim ayahnya begitu mendadak. Bukan undangan, teta
Rommy mengetuk kamar Zahra beberapa kali untuk membangunkan putrinya itu, tapi belum juga ada jawaban. Ia mulai khawatir terjadi sesuatu dengan putri tirinya itu mengingat apa yang sering terjadi sebelumnya. Ia pun mencoba membuka pintu kamar Zahra yang ternyata dikunci dari dalam.Rommy heran karena tidak biasanya Zahra tidur dengan pintu kamar terkunci. Untungnya, dirinya selalu antisipasi dengan menyediakan kunci cadangan. Tanpa pikir panjang, Rommy mengambil kunci cadangan yang ia simpan di lemari penyimpanan khusus dakam kamarnya.Perasaannya sudah tak karuan saat kembali melangkah cepat ke kamar Zahra dan membuka pintunya. Kamar Zahra gelap karena semua korden masih tertutup rapat hingga Rommy pun menyalakan lampu terlebih dahulu sebelum melangkah ke jendela dan membuka semua kordennya. Setelahnya, ia membalikkan badan dengan maksud membangunkan Zahra, tapi pemandangan di tempat tidur yang ia lihat sungguh membuatnya terkejut.Rommy tak perlu bert
Aaro menunggu Zahra kembali dari kamar mandi sambil bersembunyi di balik pintu kamar Zahra. Kamar Zahra tidak dilengkapi dengan kamar mandi dalam karena memang bukan kamar utama.Sesekali, Aaro mengintip untuk melihat apakah Zahra sudah akan kembali ke kamar, tapi rupanya dia masih berada di dalam kamar mandi.Baru beberapa menit, Aaro sudah berdecak tak sabar dan hampir saja berderap menerobos ke dalam kamar mandi untuk menyusul Zahra jika saat itu dirinya tak melihat bahwa Rommy sedang menonton TV di ruang tengah.Aaro menyandarkan punggungnya ke dinding di belakang pintu sambil merapatkan kedua lengannya ke samping tubuhnya. Ia takut jika tiba-tiba saja dirinya nekat keluar dari tempat persembunyiannya dan menyongsong Zahra di depan kamar mandi. Ohh, rasa rindu yang sudah menggelegak di dalam dirinya membuat akal sehatnya sulit untuk dikendalikan.Setelah hampir tiga puluh menit berlalu, Aaro bersorak dalam
Aaro terjengkang ke belakang saat Zahra tiba-tiba berdiri dan mendorongnya dengan keras. Selama beberapa saat dirinya hanya bisa diam dan terkejut. Namun, saat menyadari bahwa Zahra berusaha kabur darinya, ia pun bergegas berdiri dan berlari mengejar."Cinta!" Aaro berteriak sambil berlari cepat mengejar Zahra yang sudah berada jauh di depannya dan menghilang dari pandangan. Aaro mempercepat larinya agar bisa menyusul sang istri, tapi saat sampai di belokan, ia tak lagi bisa melihat Zahra.Aaro mengatur napas sambil mengedarkan pandangan ke sekitar. Zahra tak mungkin pergi jauh. Ia yakin sekali jika istrinya itu masih berada di sekitarnya dan bersembunyi karena ia sudah hafal betul bahwa Zahra tak mungkin bisa kabur dengan dengan cepat tanpa jatuh atau tersandung kakinya sendiri. Jadi, saat ini Aaro berdiri diam sambil mengamati area di sekelilingnya, mencari tempat yang sangat memungkinkan untuk dijadikan persembunyian istrinya itu. Namun,
Aaro menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur selepas berendam air hangat untuk melepas penat. Ia melipat kedua tangan di belakang kepala sambil menatap langit-langit kamar. Bayangan Zahra terbaring di kamar mandi bersimbah darah terus menghantui pikirannya. Seharusnya, saat ini ia masih terus mencari tahu keberadaan Zahra, bukan malah buang-buang waktu dengan datang ke pulau kecil ini. Bisa jadi, ketika dirinya berhenti mencari, Zahra akan pergi semakin jauh dan tak terjangkau.Tiba-tiba saja Aaro sadar, bahwa dirinya tak bisa tinggal lebih lama lagi di Batam. Ia harus segera kembali dan mulai melacak keberadaan Zahra. Huft! Aaro mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya kemudian bangkit dari tempat tidur untuk mengambil ponsel yang masih ada meja depan TV.Aaro menghubungi sang ayah dan mengatakan bahwa dirinya ingin pulang saja besok. Ia menyampaikan banyak alasan yang semua tentunya berhubungan dengan pencarian Zahra, tapi sial, a
"Melamun lagi?"Zahra meboleh dan melihat ayah tirinya melangkah pelan menghampirinya. Zahra tersenyum malu karena sekali lagi terpergok melamun."Bosan ya?" Rommy terkekeh sambil duduk di kursi di hadapan Zahra. Saat ini mereka berada di Batam, selain untuk mempermudah akses saat Zahra harus melakukan kontrol ke Singapura, juga karena Rommy baru saja menerima sebuah tawaran kontrak di salah satu rumah sakit di Batam. Ia tak pikir panjang dan langsung menerima tawaran itu karena memang untuk sementara waktu dirinya belum bisa kembali ke Korea Selatan untuk mendampingi proses pemulihan Zahra. Dari Batam, hanya membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh menit saja untuk menyeberang ke Singapura. Ditambah saat ini istrinya, Fatma sedang hamil muda dan sering mengalami mual yang hebat hingga belum memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh."Kurang nyaman ya apartemennya?" Rommy bertanya dengan nada meminta maaf, "di sini yang l
Rommy mengepalkan sebelah tangannya dengan wajah geram melihat Zahra terbaring lemah di IGD, sementara sebelah tangannya yang lain masih merangkul pundak istrinya yang bergetar oleh tangis. Zahra mengalami pendarahan hebat hingga kehilangan bayinya. Beruntung rumah sakit ini menyediakan golongan darah yang sesuai untuknya, sehingga bisa segera diberikan transfusi. Bagaimana jadinya jika tidak ada? Itulah mengapa Fatma masih begitu terpukul melihat kondisi putrinya.Siang ini mereka baru saja sampai dari Korea Selatan untuk menjenguk Zahra yang katanya harus bed rest karena kandungan lemah, tapi yang mereka dapati ternyata jauh lebih parah daripada itu. Tentu saja ini membuat Fatma begitu sedih dan Rommy sebagai ayah tiri Zahra--sudah menganggapnya seperti putri kandung sendiri-- murka.Kepala Rommy memutar berbagai rencana dan juga apa-apa saja yang harus dilakukan demi kesembuhan dan pemulihan Zahra baik fisik maupun psikis. Diriny
Satu bulan lebih sudah berlalu, Aaro masih merasa sangat berduka. Setiap harinya hanya ia habiskan dengan melamun, menangis dan menyalahkan diri sendiri. Terkadang ia sampai tak sadarkan diri akibat terlalu tertekan oleh rasa sedih dan juga rasa bersalah.Selama itu, semua bisnis dan tanggung jawab Aaro diambil alih pengelolaannya oleh ayah dan juga kakak-kakak lelakinya. Entah sampai kapan, karena Aaro terlihat tak lagi memiliki semangat hidup. Bahkan ketika ia diminta menjaga Alea di klinik pun, ia melakukannya hanya sambil lalu saja. Kebanyakan dia hanya diam dan terus merindukan Zahra. Kesedihan karena kondisi Alea yang masih belum juga membaik ternyata tak sesakit saat mengetahui Zahra tak ada lagi bersamanya.Aaro melangkah tanpa arah di dalam rumah ayahnya—selama masa berduka ini, dirinya masih tinggal bersama orangtuanya dan belum kembali ke bengkel—dan sampailah di garasi. Tatapannya jatuh pada motor miliknya yang khusus ia beli agar lebih sesuai dengan Zahra. I
Tubuh Aaro lemas. Rasanya tak ada lagi tenaga dan semangat yang tersisa. Ia jatuh berlutut di lantai, di samping sosok tubuh yang terbaring di atas tempat tidur di ruang IGD dengan seluruh tubuh mulai kaki sampai ujung kepala tertutup kain putih.Tak ada air mata dan isak tangis. Hanya rasa kebas dan hampa seakan seluruh organ dalam tubuhnya telah dicabut paksa. Syok. Ia ingin berdiri dan memeluk tubuh yang terbujur kaku itu, tapi seluruh sel dalam tubuhnya seakan mati dan berhenti bekerja.Saat dua orang mengapit lengannya dan membawanya keluar dari ruang IGD, ia tak kuasa melawan. Dirinya masih terlalu terkejut dengan keadaan yang ada. Rasanya, baru beberapa jam yang lalu dirinya bersama dengan Zahra, tapi sekarang ...."Apa instruksi Aidan?" Seseorang berbicara dari sebelah kiri Aaro."Sebentar, aku bacakan lagi pesannya." Pria di sebelah kanan Aaro menjawab sambil merogoh saku celananya untuk mengeluarkan