Semalaman suntuk Revita tidak bisa tidur! Semalam Gavin menutup panggilan telepon begitu saja lalu pergi. Di saat masih ada Mahesa di rumah wanita itu. Revita mencoba menghubunginya kembali, tapi panggilannya tidak diangkat. "Ada apa?" tanya Mahesa melihat kepanikan Revita setelah menerima telepon. Dia menoleh ke belakang, mengikuti arah pandang Revita. Tidak ada siapa pun di sana selain mobilnya yang teronggok sendirian. Dan juga mobil yang baru saja pergi. Tatapnya menyipit dan kembali menghadap Revita. "Apa itu Gavin?" "Mas, sebaiknya kamu pulang. Aku mau istirahat," ucap Revita lantas berbalik menuju pintu. Namun, dengan cepat Mahesa mencekal lengannya. "Tunggu. Apa itu tadi yang barusan pergi mobil Gavin?" tanya pria itu sekali lagi. Revita memutar tangan, mencoba melepaskan diri. "Nggak penting itu siapa! Tapi aku harap ini terakhir kalinya kamu datang ke sini!" "Revita, kalau dia sampai nyakiti kamu--" "Gavin nggak akan pernah nyakitin aku!" sentak Revita jengkel, lalu s
BEBERAPA HARI LALU==============Mendadak Gavin muak dengan senyum yang Mahesa tunjukkan. Siang ini dia menyambangi ruangan pamannya itu. Dan sepertinya pria berkumis tipis itu tahu tujuan Gavin mendatanginya. Mahesa tetap terlihat ramah seperti biasa. Seolah tidak sedang melakukan sesuatu yang membuat Gavin jengkel. "Ada yang bisa aku bantu, Keponakan?" tanya Mahesa, lalu mempersilakan Gavin duduk di sofanya. Dia sendiri langsung duduk menyilangkan kaki, menatap sang ponakan sambil terus mempertahankan senyum ramah. "Apa hubungan Om Mahes dan Revita?" tanya Gavin to the point. "Jangan bilang cuma mantan atasan dan bawahan." Senyum Mahesa surut secara perlahan. Dia sudah menduga, Gavin akan menanyakan tentang Revita cepat atau lambat. Dan Mahesa tidak berniat menyembunyikan apa pun lagi. "Revita pacarku saat dia di Surabaya." Mahesa mengucapkan itu dengan nada tenang. Meski begitu dia bisa melihat dua tangan Gavin tampak mengepal erat. "Revita sudah tiga tahun ini di Jakarta. It
Revita meremas tangannya dengan pandangan menunduk. Gavin sudah tahu semua sebelum dia menjelaskan. Ada sesuatu yang terasa meremas hati Revita, mendapat pandangan dingin dari pria yang dia cintai. Revita sadar dirinya bukan orang suci, hanya saja mendapat tatapan penghakiman dari orang yang dia percaya, hatinya terasa begitu nyeri. "Aku bisa menjelaskan," ucap Revita, menelan ludah. Dia tahu segalanya tidak akan berakhir baik. "Menjelaskan kalau kamu pernah menjalin hubungan dengan pria beristri yang ternyata pamanku?" tukas Gavin cepat. "Demi Tuhan aku nggak pernah tahu kalau dia lelaki beristri. Kalau aku tahu aku nggak akan pernah menerimanya." Terlepas dari itu, rasa cemburu terus mengganggu Gavin. Tahu bahwa Revita mau membuka hati lagi untuk pria lain itu artinya wanita itu sudah sukses melupakannya. Tidak seperti dirinya yang terjebak perasaannya sendiri selama delapan tahun ini. "Do you love him?" tanya Gavin dengan suara lirih. "Jangan bilang tidak. Satu tahun kamu bers
Revita menarik napas panjang beberapa kali. Mencoba menekan kesedihannya. Berulang kali dia merapal dalam hati, meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Meski ucapan Gavin masih terus terngiang dan bikin hatinya berdenyut nyeri. Dari awal dirinya tahu resiko ini. Revita hanya tidak menyangka saja pikiran Gavin padanya sesempit itu. Revita baru akan membuka aplikasi taksi online ketika sebuah mobil tampak menepi, secara refleks kakinya mundur. Dahinya mengernyit saat mobil berjenis sedan itu akhirnya berhenti tepat di depan tempatnya berdiri. Saat kaca mobil itu turun, lampu penerangan dalam mobil membuatnya tahu wajah seseorang di balik kemudi. "Revita, kamu ngapain malam-malam sendirian di sini?" tanya pria berkacamata yang tak lain adalah manajernya, Ferdy. "Pak Ferdy?" "Ayo masuk. Saya antar kamu balik. Bahaya perempuan malam-malam sendirian.""Tapi saya mau pesan taksi online.""Lebih aman ikut mobil saya, Revita."Wanita itu tercenung sejenak sebelum akhirnya memut
"Pak, ponselnya geter terus tuh!" Suara Vania membuyarkan lamunan Gavin. Pria bermata cokelat itu melirik sekilas ponsel yang tergeletak di meja. Lantas menghela napas ketika tahu yang melakukan panggilan telepon ibunya. "Hari ini ada meeting penting lagi yang harus saya hadiri, Van?" tanya Gavin, mengabaikan panggilan telepon itu. "Pukul dua siang ntar ada rapat bersama tim marketing membahas tentang pencapaian promo yang sedang berjalan, Pak. Bisa diundur kalau Anda ada keperluan lain," sahut Vania. Beberapa hari belakangan bosnya itu seperti orang yang kehilangan gairah. Meski tidak pernah melakukan kesalahan dalam tugas, tapi ekspresi pria itu benar-benar terlihat suram. Gavin mengangguk lantas menutup pena setelah menandatangani halaman terakhir sebuah dokumen yang dia pekuri. "Oke. Pending sampai besok. Saya harus pergi sekarang," ujarnya lantas berdiri dan menyambar jasnya di hanging stand yang terletak di belakang kursi. "Anda mau pergi bersama Revita?" tanya Vania lagi.
"Kamu nggak mau main itu? Mumpung sepi loh." Reina menyorot indoor playground yang tak jauh dari tempatnya duduk dengan alis mengerut. "Plese deh, Om. Aku udah tujuh tahun dan mau delapan tahun. Masa disuruh main playground? Memangnya aku anak Tk?" sahut Reina dengan bibir maju. Membuat Gavin serta merta tertawa melihat wajah lucu gadis itu. Saat ini keduanya berada di salah satu restoran keluarga yang juga menyediakan arena playground. Gavin memesan chicken steak dengan lelehan saus pedas di atasnya. Sementara Reina memilih mix plate karena dia bilang perutnya masih kenyang. "Om lupa kalau kamu udah besar. Jadi sekarang kamu sukanya apa?" tanya Gavin sembari memotong steak di depannya. "Uhm, aku sekarang lagi belajar menggambar digital, Om." "It sounds great. Pakai media apa?" Reina mencomot sosis dan mencoleknya ke wadah saus tomat. "Di sekolah pake tablet. Tapi kalau di rumah pinjam HP mama." "Pake HP kurang maksimal dong." Reina mengangguk. "Tapi cuma itu yang ada di
"Ma?" Wanita dengan tatanan rambut rapi itu menoleh dengan wajah cemas saat Gavin datang. Ada kekhawatiran yang tercetak kental di matanya. "Ada apa?" tanya Gavin sembari mendekat. Tidak biasanya dia melihat ibunya gelisah. Melinda seorang wanita angkuh yang tidak takut apa pun. "Mama hampir tak percaya ini," ucap Melinda. "Rencanaku bisa kacau kalau berita ini menyebar." Gavin menyipitkan mata. Tidak mengerti maksud ucapan Nyonya Besar keluarga Adhiyaksa itu. "Kamu sengaja menutupi ini dari mama kan?" Kali ini mata berbulu lentik itu menyorot Gavin tajam. Sorot kegelisahan itu berubah dalam sekejap menjadi sorot penuh amarah. "Apa yang Mama bicarakan?" tanya Gavin bingung. Namun detik berikutnya dia cukup terkesiap saat Melinda melempar sebuah dokumen ke arahnya. Dahi Gavin mengernyit, menatap dokumen itu. Akan tetapi sejurus kemudian dia langsung paham apa yang terjadi. Gavin tidak menyangka sang mama bisa secepat ini mendapat informasi tentang Reina. "Wanita itu pasti senga
"Makasih ya, Pak! Sering-sering aja begini!" Lalu tawa berderai diikuti satu per satu langkah memasuki lobi. "Doakan saja saya banyak rezeki." "Oh pasti dong, Pak!" Gavin menoleh sejenak ke arah rombongan staf yang baru saja masuk. Dirinya dan beberapa orang-orangnya yang tengah sibuk dengan klien penting sedikit terdistraksi oleh suara-suara tersebut. Tatap cokelatnya melihat rombongan staf RnD yang tengah berjalan sambil bercanda. Terlihat Revita berada juga di antara mereka. Namun yang membuat matanya lantas menyipit, ada Mahesa di belakang wanita itu sejajar dengan langkah Ferdy. "Eh, itu Pak Gavin," seru salah seorang dari mereka. Itu suara Dany, pria yang sampai saat ini gigih mengajak Vania kencan, meski belum ada hasil. "Jangan ribut woy. Kalem, suara lo pada, bisa ganggu," cetus Ilham memperingatkan. "Rev..." Arum di sisi Revita menyikut lengan wanita itu. "Pak Gavin," bisiknya. "kok sekarang dia jarang ke kantor kita?" Revita melirik sejenak ke arah rombongan Gavin d
Berjalan sambil bergandengan tangan di Charless street pada musim gugur akan menjadi momen romantis yang tidak akan pernah Revita lupa. Berbaur di pemandangan jalan yang mempesona si kawasan pinggir kota paling tua dan makmur, Boston. Untuk ke-empat kalinya Gavin mengajak Revita dan anak-anak ke kota ini dan wanita itu akui tidak pernah bosan berada di tempat ini. "Ini kali pertama kita ke sini pas musim gugur. Kalau tau bakal seindah ini aku pasti sudah minta ke sini di bulan-bulan musim gugur sebelumnya," ujar Revita dengan bibir maju. Sudah empat kali berkunjung, dan dia baru melihat musim secantik ini. Kakinya yang terbungkus boots panjang berjalan menapaki trotoar yang terbuat dari batu kerikil. Matanya mengedar dengan senyum yang mengembang memperhatikan barisan rumah bergaya federal. Yang menarik, rumah-rumah di sini memiliki pengetuk pintu dari kuningan yang dipoles alih-alih bel wifi atau listrik. Gavin bilang itu adalah simbol tak resmi kawasan pinggir kota ini. "Musim g
Begitu membuka pintu kosan, Revita langsung melihat wajah putrinya yang tersenyum lebar. Anak itu segera menghambur ke pelukannya. Di belakang Reina, Gavin melambaikan tangan seraya tersenyum manis. "Mama udah siap?" tanya Reina, kepalanya meneleng untuk melihat barang-barang di belakang punggung ibunya. Hanya ada satu koper besar dan tas jinjing berukuran sedang. "Isi rumah nggak dibawa, Ma?" Revita terkekeh sembari menggeleng. "Barang-barang itu kan bukan milik kita, Na. Ada-ada aja kamu."Gavin sendiri langsung mengambil alih bawaan sang istri dan segera memasukkannya ke bagasi mobil. Akhirnya hari yang dia tunggu tiba. Revita dan Reina akan tinggal bersamanya menjadi satu keluarga utuh. "Itu apa?" tanya Gavin melihat kotak dengan ukuran lumayan besar yang dibungkus kado. Revita mengikuti arah pandang Gavin. "Itu dari teman-teman di pabrik. Belum aku buka sih." "Dibawa juga?" "Iya. Kado perpisahan." Selain koper milik dirinya, ada juga koper milik Reina di bagasi mobil Gavin
Mata Revita mengerjap. Mungkin yang Indila katakan benar, tapi wanita itu tidak boleh pesimis. Mahesa hanya belum melupakan Revita, tapi bukan berarti tidak bisa melupakan. Revita tersenyum menatap wanita manis di depannya. "Dengan lo terus di sampingnya, gue yakin dia bisa segera lupain gue. Apalagi lo deket sama Dony. Sekedar informasi, meski dia dulu deketin gue, dia nggak pernah loh ngenalin anaknya ke gue. Tapi ke lo? Nah itu tandanya dia serius sama lo." Wajah mendung Indila hilang seketika. Berganti dengan wajah penuh senyum. "Lo bisa aja, Re," katanya cengengesan. "Gue yakin sih bentar lagi lo bakal dilamar," goda Revita seraya menaik-turunkan alisnya. "Nggaklah. Gue bakal kasih waktu ke dia buat terima kenyataan bahwa lo itu milik keponakannya." Kedua wanita itu lantas tertawa. Lalu saling berpelukan. Tepat saat itu Revita seolah menyadari sesuatu. "Tunggu-tunggu." Revita melepas pelukannya dan mengangkat tangan sejenak. Dia merasa ada yang aneh di sini. "Jadi, lo mau p
Perombakan kesekretariatan ternyata lumayan mengundang perhatian. Bukan hanya itu, Gavin juga memecat beberapa sekretaris yang diduga berkomplot menjebak dirinya, termasuk Ferial. Tidak peduli dikatakan presdir kejam atau apa. Baginya perbuatan Ferial dan teman-temannya sudah melampaui batas. Kejadian mabuknya Ferial membuat Gavin tahu betapa busuknya perempuan itu. Paginya, begitu wanita itu sadar, Gavin memintanya untuk pulang ke Indonesia. Sempat ada drama dan permohonan maaf dari Ferial, tapi Gavin tak peduli dan tetap mengirim wanita itu kembali ke Jakarta. Alhasil seminar dua hari dan rapat terakhir dia lakukan sendiri tanpa dampingan sekretaris. "Jadi, apa yang bikin kamu memecat mereka?" tanya Mahesa saat pria itu berkunjung ke kantor Gavin. Kabar itu cukup bikin heboh. "Mereka kerjanya tidak becus," sahut Gavin sambil terus menandatangani dokumen di mejanya. Menarik kursi di depan meja, Mahesa pun duduk. "Apa yang mereka lakukan?" "Aku yakin Om sudah tau apa yang terjadi
"Mas?" Rasa kantuk dan kesal hilang seketika saat Revita menemukan suaminya sudah berdiri di depan pintu kosan. Dia mengucek mata untuk memastikan penglihatannya tidak salah. Ini sudah hampir pukul satu malam. Kenapa Gavin ada di sini? "Kaget ya? Biarin aku masuk dulu, Re. Aku capek." Gavin hendak masuk kamar, tapi segera Revita tahan. "Tunggu-tunggu, kamu beneran Mas Gavin, kan? Bukan demit yang nyamar jadi suamiku?" Detik berikutnya Revita terpekik karena mendapat sentilan di dahi. Dia segera mengusap dahinya yang kesakitan. "Demit mana ada yang seganteng suami kamu." Dengan pelan Gavin mendorong Revita masuk, begitu pun dirinya yang lantas ikut masuk dan menutup pintu kamar kosan. "Tapi, Mas. Kamu kan lagi ada di Malaysia. Kok sekarang udah ada di sini aja? Mana malam-malam lagi datangnya." Rasanya Revita belum puas mendapat jawaban dari pria itu. "Kamu kabur ya?" Melepas sepatu, Gavin pun juga melepas kemeja beserta celana panjangnya. "Seminar sudah selesai. Bu
"Berapa hari?" Selain meeting ada seminar kewirausahaan yang harus Gavin hadiri selama dua hari. Kebetulan dia akan menjadi salah satu pengisi materi di hari kedua seminar yang diadakan di Kuala Lumpur tersebut. "Mungkin 3 sampai 4 hari, Sayang." "Hm, lama." Reina cemberut. "Mama weekend katanya masuk kerja. Masa papa juga belum balik?"Gavin menyentuh kepala Reina. "Papa usahakan weekend sudah kembali," ucapnya tersenyum. "Pak, sudah waktunya berangkat!" Di dekat mobil, Ferial kembali mengingatkan. Mata cokelat Reina langsung melirik tak suka. "Ih, aku nggak suka sama sekretaris papa yang itu. Kenapa bukan Tante Vania aja sih?" "Tante Vania ada pekerjaan lain.""Ya ganti aja jangan yang itu. Kelihatannya genit. Mentang-mentang cantik. Papa nggak takut mama cemburu?" "Uhm—""Papa mau ke Malaysia bareng dia kan?"Gavin mengangguk ragu. Semoga ini bukan masalah. "Tapi kami ke sana cuma bekerja. Dia di sana cuma membantu pekerjaan papa. Sekaligus papa lagi nguji dia layak atau ngg
Alis Gavin naik sebelah ketika melihat sekretaris bernama Ferial datang menjemputnya. Dia tidak berharap orang baru yang akan menemani perjalanan bisnisnya. Namun sepertinya dia tidak memiliki pilihan lain. Anggap saja ini ujian pertama sekretaris itu. Jika gagal, Gavin bisa punya alasan untuk mendepaknya dari kesekretariatan. "Tidak ada yang memberitahu saya kalau kamu yang akan menemani saya ke Malaysia," ucap Gavin seraya masuk ke mobil mewah fasilitas kantor. Ferial tersenyum manis, lalu ikut masuk ke mobil setelah memastikan bosnya itu duduk nyaman di dalam sana. "Saya sudah memberitahukan itu ke Pak Gavin. Di reminder juga ada. Mungkin Pak Gavin lupa."Sekilas Gavin memindai outfit yang wanita muda itu kenakan. Wanita itu mengenakan floral dress sebatas lutut yang dilapisi blazer hitam. Dress dengan potongan flowly itu agak naik ke atas saat dia duduk. Warna krem dress itu seolah tengah berlomba dengan warna kulit putih Ferial yang secerah mutiara. Gavin tidak mengerti kenapa
"Selamat pagi, Pak."Gavin mengangkat wajah dari tumpukan kertas yang sedang dia baca ketika sapaan asing seseorang terdengar. Di depannya berdiri seorang wanita muda yang terlihat cantik dan energik. Alisnya terangkat sebelah karena tidak mengenali sosok itu. "Kamu siapa?" tanya Gavin tanpa membalas sapaan wanita muda itu. "Saya Ferial, Pak. Saya di sini menggantikan Mbak Vania." "Memang Vania ke mana?" "Mbak Vania mendampingi CEO baru kita, Pak." Gavin mengangguk ragu. Sejujurnya dia masih ingin Vania yang menemaninya di posisi sekarang sebagai presdir baru. Ya rapat pemegang saham menunjuknya menjadi presdir menggantikan Melinda yang dulu menjabat sebagai presdir pasif. Gavin sendiri memilih tetap ngantor karena masih banyak yang harus dia pastikan keberlangsungan beberapa proyeknya. "Selain saya ada tiga sekretaris lain yang akan membantu pekerjaan Anda, Pak.""Ya, terima kasih," sahut Gavin lantas kembali memperhatikan kertas-kertas di mejanya. Dia pikir sekretaris bernama
*WARNING 21+*===========Pangkal alis Revita berkedut. Bibirnya menggeram lirih lalu lama-lama badannya menggeliat. Entah sekarang pukul berapa. Yang jelas sudah larut, karena kesunyian terasa begitu pekat. Setengah sadar dia menyingkirkan tangan tak sopan yang membuat tidurnya terganggu. "Aku ngantuk, Mas," gumamnya tak jelas, lalu kembali terlelap. Tidak ada sahutan, tapi tangan itu makin tak mau berhenti bergerak. Ketika Revita mengubah posisi menjadi miring, tangan itu pun ikut mengejar. Mencari celah agar bisa menyusup ke balik piyama yang wanita itu kenakan. "Mas," gumam Revita lagi, ketika tangan itu berhasil menyusup masuk dan meremas payudaranya. Karena masih sangat mengantuk, akhirnya Revita membiarkan saja. Tapi lama-lama pergerakan itu membuat Revita tak nyaman. Apalagi ketika puncak dadanya dimainkan. Tubuhnya yang sensitif sontak bereaksi. Dia melenguh pelan. Dalam tidur berusaha menikmati apa yang suaminya lakukan. "Bangun, Sayang," bisik Gavin, sembari terus memb