"Dia tidak mengenali kamu?" Revita mengangguk. Setelah pulang dari Orchad Road, wanita itu menceritakan semuanya pada Gavin. "Apa aku sekarang beda dari aku yang berusia 19 tahun?" Revita bertanya itu dengan raut serius, tapi Gavin malah senyum-senyum tak jelas. Seketika dua alis wanita itu mengeriting kesal. "Nggak heran sih mama nggak ngenalin kamu.""Maksudnya?"Gavin mencondongkan badan mendekati Revita dan berbisik. "Kamu sekarang jauh lebih cantik dan ..." Dia sengaja menggantung kata-katanya, lantas mengecup kekasihnya itu sebelum berbisik lagi, "... Seksi." Revita langsung menjauhkan diri dan sedikit mendorong tubuh Gavin menjauh. "Jangan bercanda." Jujur, sekujur tubuhnya mendadak merinding mendengar bisikan di dekat telinganya itu. Membuatnya teringat kejadian semalam. Sial! "Aku serius. Kapan aku bercanda sama kamu." Didekapnya tubuh Revita. Hidungnya yang bangir lantas mengendus-ngendus leher wanita itu. "Kita menikah saja ya?" "Mas..." "Pulang dari sini kita kete
Selama cuti dua hari, Arum memang mengerjakan tugas Revita. Namun hanya beberapa yang bisa wanita itu tangani, mengingat pekerjaan Arum juga tak kalah banyak. Sehingga begitu Revita kembali ngantor, pekerjaannya pun menumpuk. Bahkan saat jam makan siang, dia nyambi bekerja. Menolak ajakan makan bersama Gavin. "Memang dua hari bersama nggak bikin bosen?" tanya Revita kala Gavin meneleponnya. "Mana mungkin aku bosen sama kamu? Gini aja deh, kalau kamu nggak mau aku ajak makan siang. Sore nanti ke apartemenku."Gavin akan makan siang bersama seorang klien. Ya kali Revita ikut! Wanita itu sudah akan membuka mulut, tapi suara lelaki itu di seberang sana mendahului lagi. "Aku nggak terima penolakan." "Hm, ya. Oke," sahut Revita pasrah, sambil memikirkan alasan apa yang akan dia berikan pada ibunya kalau dia akan pulang terlambat. "Oke, pekerjaanku lagi banyak banget nih. Aku tutup dulu." "Give me a Kiss, please." Revita mengernyit bingung. "Ini kan telponan?" Kendati di kantor orang-o
Tidak ada yang tahu kalau saat ini detak jantung Revita sudah seperti ingin meloncat dari tempatnya. Dia terus menunduk, pura-pura sibuk dengan makanannya, selagi Gavin bicara dengan Mahesa. "Aku cari Pak Ferdy. Kupikir dia ada. Dan nggak sengaja malah ketemu Revita di pantri." Itu suara Mahesa. Yang cuma dibalas gumaman tak jelas oleh Gavin. Revita di tempatnya makin tak karuan saat mendengar Mahesa pamit dan suara langkahnya makin menjauh. Sekarang di pantri tinggal dirinya dan Gavin. Hanya saja beberapa detik lamanya, dia tidak merasakan pria itu mendekat, bikin perasaannya makin waswas. "Kamu bicara apa saja sama Om Mahes?" Nyaris saja Revita terlonjak dari tempat duduk ketika suara berat Gavin mengudara. Dia menoleh dan memaksakan diri menarik sudut bibir ke atas, membentuk seulas senyum. "Soal kerjaan aja," sahut Revita bohong. Dia lantas segera mengalihkan tatap ke makanannya lagi. Sebenarnya dia bingung karena Gavin masih bertahan berdiri di dekat pintu alih-alih mendekat
Gavin tengah serius mendengar penjelasan salah satu koleganya yang dia temui di lobi ketika tanpa sengaja tatapnya menemukan Mahesa keluar dari arah toilet lobi sambil membenarkan dasi. Mata cokelatnya menyipit dan terus mengawasi pria itu yang entah kenapa gelagatnya terasa aneh. Tidak berapa lama dari tempat yang sama, Revita muncul dengan langkah tergesa serta wajah yang terus menunduk. Wanita itu bergerak ke arah lift. "Sebentar," ucap Gavin menghentikan koleganya yang sedang menjelaskan. Dia menyeret langkah, agar bisa melihat ruang tempat lift dari jaraknya saat ini. Dari sini dia bisa melihat Mahesa mempersilahkan Revita memasuki lift lebih dulu, baru pria itu menyusul kemudian. Gavin tidak ingin memiliki prasangka buruk. Hanya saja melihat mereka tengah bersama dua kali memunculkan tanda tanya besar di kepalanya. Kali ini Gavin tidak akan percaya kalau mereka bertemu tanpa sengaja. "Pak Gavin, kita harus segera berangkat," ucap koleganya memperingatkan. "Oh iya, Pak Lucca
Semalaman suntuk Revita tidak bisa tidur! Semalam Gavin menutup panggilan telepon begitu saja lalu pergi. Di saat masih ada Mahesa di rumah wanita itu. Revita mencoba menghubunginya kembali, tapi panggilannya tidak diangkat. "Ada apa?" tanya Mahesa melihat kepanikan Revita setelah menerima telepon. Dia menoleh ke belakang, mengikuti arah pandang Revita. Tidak ada siapa pun di sana selain mobilnya yang teronggok sendirian. Dan juga mobil yang baru saja pergi. Tatapnya menyipit dan kembali menghadap Revita. "Apa itu Gavin?" "Mas, sebaiknya kamu pulang. Aku mau istirahat," ucap Revita lantas berbalik menuju pintu. Namun, dengan cepat Mahesa mencekal lengannya. "Tunggu. Apa itu tadi yang barusan pergi mobil Gavin?" tanya pria itu sekali lagi. Revita memutar tangan, mencoba melepaskan diri. "Nggak penting itu siapa! Tapi aku harap ini terakhir kalinya kamu datang ke sini!" "Revita, kalau dia sampai nyakiti kamu--" "Gavin nggak akan pernah nyakitin aku!" sentak Revita jengkel, lalu s
BEBERAPA HARI LALU==============Mendadak Gavin muak dengan senyum yang Mahesa tunjukkan. Siang ini dia menyambangi ruangan pamannya itu. Dan sepertinya pria berkumis tipis itu tahu tujuan Gavin mendatanginya. Mahesa tetap terlihat ramah seperti biasa. Seolah tidak sedang melakukan sesuatu yang membuat Gavin jengkel. "Ada yang bisa aku bantu, Keponakan?" tanya Mahesa, lalu mempersilakan Gavin duduk di sofanya. Dia sendiri langsung duduk menyilangkan kaki, menatap sang ponakan sambil terus mempertahankan senyum ramah. "Apa hubungan Om Mahes dan Revita?" tanya Gavin to the point. "Jangan bilang cuma mantan atasan dan bawahan." Senyum Mahesa surut secara perlahan. Dia sudah menduga, Gavin akan menanyakan tentang Revita cepat atau lambat. Dan Mahesa tidak berniat menyembunyikan apa pun lagi. "Revita pacarku saat dia di Surabaya." Mahesa mengucapkan itu dengan nada tenang. Meski begitu dia bisa melihat dua tangan Gavin tampak mengepal erat. "Revita sudah tiga tahun ini di Jakarta. It
Revita meremas tangannya dengan pandangan menunduk. Gavin sudah tahu semua sebelum dia menjelaskan. Ada sesuatu yang terasa meremas hati Revita, mendapat pandangan dingin dari pria yang dia cintai. Revita sadar dirinya bukan orang suci, hanya saja mendapat tatapan penghakiman dari orang yang dia percaya, hatinya terasa begitu nyeri. "Aku bisa menjelaskan," ucap Revita, menelan ludah. Dia tahu segalanya tidak akan berakhir baik. "Menjelaskan kalau kamu pernah menjalin hubungan dengan pria beristri yang ternyata pamanku?" tukas Gavin cepat. "Demi Tuhan aku nggak pernah tahu kalau dia lelaki beristri. Kalau aku tahu aku nggak akan pernah menerimanya." Terlepas dari itu, rasa cemburu terus mengganggu Gavin. Tahu bahwa Revita mau membuka hati lagi untuk pria lain itu artinya wanita itu sudah sukses melupakannya. Tidak seperti dirinya yang terjebak perasaannya sendiri selama delapan tahun ini. "Do you love him?" tanya Gavin dengan suara lirih. "Jangan bilang tidak. Satu tahun kamu bers
Revita menarik napas panjang beberapa kali. Mencoba menekan kesedihannya. Berulang kali dia merapal dalam hati, meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Meski ucapan Gavin masih terus terngiang dan bikin hatinya berdenyut nyeri. Dari awal dirinya tahu resiko ini. Revita hanya tidak menyangka saja pikiran Gavin padanya sesempit itu. Revita baru akan membuka aplikasi taksi online ketika sebuah mobil tampak menepi, secara refleks kakinya mundur. Dahinya mengernyit saat mobil berjenis sedan itu akhirnya berhenti tepat di depan tempatnya berdiri. Saat kaca mobil itu turun, lampu penerangan dalam mobil membuatnya tahu wajah seseorang di balik kemudi. "Revita, kamu ngapain malam-malam sendirian di sini?" tanya pria berkacamata yang tak lain adalah manajernya, Ferdy. "Pak Ferdy?" "Ayo masuk. Saya antar kamu balik. Bahaya perempuan malam-malam sendirian.""Tapi saya mau pesan taksi online.""Lebih aman ikut mobil saya, Revita."Wanita itu tercenung sejenak sebelum akhirnya memut
Keduanya saling mendesahkan nama satu sama lain. Sesekali mengerang ketika rasa nikmat itu menyerang. Peluh yang menetes seakan menjadi bukti panasnya permainan mereka saat ini. Kata-kata cinta terus berhamburan dari bibir Gavin tiap tatapannya beradu dengan tatapan Revita. Bergulung bersama hasrat, keduanya saling memberi dan menerima. Namun sedang nikmat-nikmatnya mereguk kasih, suara bel pintu terdengar. Bel yang tentu menghentikan kegiatan mereka selama beberapa saat. Gavin dan Revita saling tatap. "Siapa, Mas?" tanya Revita sedikit melebarkan mata. Ekpresi nikmatnya beberapa saat lalu berganti dengan ekspresi terkejut. "Nggak tau, mungkin maintenance," sahut Gavin mengedikkan bahu, lalu kembali menggerakkan pinggul. Namun di bawahnya, Revita tampak tak berhasrat lagi. Terlebih ketika bunyi bel kedua terdengar. Dia langsung memukul pelan bahu Gavin yang cuek dan malah terus mengerang sambil memejamkan mata menikmati kegiatannya. "Mas, itu lihat dulu. Kayaknya bukan maintenanc
"Ya Tuhan, yang mau nikah siapa yang repot siapa." Sebuah keluhan meluncur dari seorang wanita yang selalu tampil cantik di kantor pusat Bumi Indah. Dia sekretaris Gavin yang sejak satu minggu lalu ditugaskan untuk mengurus segala tetek bengek pernikahan bosnya. Orens jus dingin mendekat ke arahnya karena dorongan tangan seorang lelaki yang sejak tadi mendengar curhatannya. "Minum dulu. Biar kepala lo lebih fresh." "Thanks ya, Dan." Dengan segera Vania menyeruput es dingin itu. "Emang siapa sih yang mau nikah. Kok lo yang sibuk?" Pria di depan Vania yang tak lain dan tak bukan adalah Dany eks rekan kerja Revita, bertanya. Ya setelah sekian lama, akhirnya dia memiliki kesempatan untuk pedekate dengan sekretaris Gavin tersebut. "Bos guelah! Siapa lagi yang hobinya nyusahin orang selain dia.""Bos lo? Pak Gavin? Pak Gavin mau nikah sama siapa?" "Temen lo-lah. Siapa lagi? Dia kan cinta mati sama temen lo." Otak Dany otomatis nyambung ke Revita. Tapi bukankah mereka sudah lama pisah
Mata Reina melirik pintu yang terbuka dari luar. Dia menemukan seutas senyum seseorang yang tidak pernah muncul lagi selama dirinya dirawat. Mahesa. Pria itu datang membawa boneka dan buket berisi cokelat. "Selamat siang, Cantik," sapa Mahesa sembari masuk. Namun reaksi Reina melihat pria itu tampak kurang senang. Dia ingat bagaimana kesalnya pada lelaki itu sesaat sebelum terjadinya kecelakaan. Secara tak langsung pria itu yang membuatnya begini."Gimana keadaanmu, Sayang?" tanya Mahesa ramah, meski disuguhi muka berlipat anak itu. "Baik. Ngapain Om Hesa ke sini?" sahut Reina tidak peduli. Dia kembali sibuk menggambar di tablet yang baru dia dapatkan kemarin. "Jenguk kamu, of course. And they're for you." Bahkan ketika Mahesa memamerkan bawaannya, Reina hanya meliriknya sekilas. "Thank you," sahutnya lirih. "Taroh aja di situ, Om." Mahesa mengangguk-angguk. Senyum di bibirnya tak selebar awal tadi. Dia lantas menuruti permintaan Reina untuk meletakkan hadiahnya di atas nakas.
Kembali Revita terpedaya dan seperti hilang kewarasan. Bahkan dirinya tidak bisa menjelaskan bagaimana semua bisa terjadi. Dia hanya menuruti gerak tubuh yang tidak sinkron dengan isi kepalanya. Pengendalian dirinya sangat payah jika berdekatan dengan Gavin. Haruskah dia menyalahkan Gavin? Seperti sebelumnya, dia mungkin harus tetap menjaga jarak. Gara-gara ini Indila terjebak lama di rumah sakit. Revita merasa tak enak hati membiarkan wanita itu menunggu lama. Saat dirinya datang, wanita itu bahkan sudah jatuh tertidur. Gavin sendiri langsung kembali ke Jakarta setelah mengantarnya ke rumah sakit karena ada hal yang harus lelaki itu urus terkait pekerjaan yang sudah dia tinggal selama beberapa hari ini. "Lo udah datang?" Revita meringis saat Indila terjaga. "Maaf ya udah bikin lo nunggu lama." Bangkit duduk, Indila menguap lalu mengucek matanya. "Sendiri aja? Nggak sama Pak Gavin?" "Dia pulang ke Jakarta ada hal yang harus dia urus." Indila mengangguk-angguk lalu melangkah gont
"Sakit, Na?" Lega luar biasa baru saja Revita dapat saat Reina akhirnya sadar dan dokter sudah memeriksa keadaan anak itu. Gadis kecil itu hanya mengangguk saat ditanya. "Kamu mau sesuatu? Biar Mama ambilkan," tanya Revita lagi. Dan lagi-lagi juga Reina menggeleng. Di saat yang bersamaan, Gavin keluar dari kamar mandi. Wajahnya terlihat begitu segar dan tampan. Dia langsung menyedot perhatian Reina. "Pa, minum," ucap anak itu. Yang membuat Revita di sisi ranjang kontan menaikkan kedua alis. Anak itu mengabaikan tawarannya, tapi begitu Gavin datang minta minum. Revita memejamkan mata lalu berusaha tersenyum, meski hatinya merasa sudah diduakan sang putri. "Ooh, Tuan Putri mau minum. Bentar ya, papa ambilin," sahut Gavin, mengerlingkan sebelah mata dengan genit. Revita sedikit menyingkir untuk memberikan Gavin akses mendekati Reina. Dia bergeser ke ujung tempat tidur memberi ruang pada Gavin duduk di kursinya. Tatapannya terus memperhatikan bagaimana cara Gavin memanjakan Reina.
Kaki Revita seperti sudah tidak menapak bumi lagi ketika tenaga medis menjelaskan tentang kondisi putrinya. Rasa panik dan khawatir berlebih menggumpal di kepala saat mereka bilang harus segera melakukan cito atau operasi gawat darurat. Penjelasan mereka terlalu kabur untuk Revita. Bahkan wanita itu tidak bisa bereaksi apa pun. "Pasien juga perlu melakukan transfusi darah segera, Pak."Revita menatap Gavin dengan segera. Dia sadar golongan darahnya dengan Reina berbeda. Itu artinya Gavinlah--"Golongan darah saya O, Dok. Anda bisa mengambil darah saya sebanyak yang anak saya butuhkan." Lagi-lagi Revita tidak bereaksi. "Baik, silakan Bapak ikut perawat untuk diperiksa lebih dulu." Gavin menghadap Revita begitu dokter kembali memasuki ruang tindakan. Dia sama khawatirnya seperti Revita. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit wanita itu terus berlinang air mata. Dan sekarang wajahnya tampak begitu pucat. "Nana akan baik-baik saja," ucap Gavin menenangkan. "Kita percayakan pada medis, d
Bukan kencan atau apa pun. Revita hanya ingin mempertegas semuanya. Jadi, saat Mahesa bilang ingin mengajaknya makan malam secara khusus, dia mengiyakan. Sejujurnya beberapa hari ini Revita sudah tidak nyaman juga merasa tidak enak dengan kemunculan pria itu tiap kali dirinya pulang kerja. Mahesa bukan pengangguran. Pria itu mengaku pulang dari kantor langsung bertolak ke tempat Revita yang letaknya jauh di luar kota. Bertemu hanya sebentar, lalu keesokan paginya sudah kembali ke Jakarta. Empat kali dalam satu Minggu! Itu berlebihan menurut Revita. "Ada tol. Kamu nggak perlu cemas," ujar pria itu membela diri saat Revita komplain soal intensitas kedatangannya."Tapi itu cuma bikin kamu capek, Mas.""Apa aku terlihat seperti orang capek?"Perjuangan pria itu tidak bisa Revita anggap remeh. Kadang tanpa sadar dia jatuh iba dan otaknya berpikir untuk mempertimbangkan pria itu. Namun hatinya jelas menolak, karena pria itu bukanlah orang yang Revita harap menjadi rumahnya. Hingga sampai
Usaha yang tidak mudah bagi Gavin untuk melobi para pemegang saham yang sebagian besar sudah tidak tinggal lagi di dalam negeri. Dan ketika dia berhasil menemui mereka pun tidak segampang itu memersuasi mereka agar mau suka rela memberikan sahamnya. Meski dia menjanjikan waktu berjangka dan kemajuan perusahaan, ternyata itu juga belum cukup meyakinkan mereka. Alhasil Gavin harus rela menghabiskan waktu sedikit lebih lama dari yang dia prediksi. Bahkan ketika Mannaf ikut turun tangan tidak membuat masalah itu cepat selesai. "Setidaknya kamu sudah menggenggam separuhnya. Sementara ibu kamu hanya punya 25 persen. Papa rasa itu sudah lebih dari cukup untuk menurunkan ego dia," ucap Mannaf ketika putra sulungnya itu mengunjungi rumahnya yang ada di Beacon Hill, Boston. Gavin mengangguk. Papanya benar, tinggal usaha untuk membuat perusahaan lebih maju dari sebelumnya. Beberapa pabrik baru sudah mulai beroperasi dan kantor distribusi juga sudah diperluas. Meski tidak memakan biaya yang se
Revita bergegas mengayunkan langkah menuju kosan ketika melihat mobil milik Gavin terparkir di tanah lapang. Dia yang baru pulang dari pabrik mengernyit bingung. Jika weekend dia akan maklum dengan keberadaan lelaki itu di sini. Masalahnya sekarang hari kerja, dan masih pukul empat sore. Kenapa pria itu ada di sini? Mendekati kamar kosan, Revita melihat sepatu pria itu yang tergeletak rapi di dekat pintu. Tanpa alasan yang jelas hatinya berdesir, bahkan Revita merasa tubuhnya merinding. Dia kembali melangkah mendekat hingga suara tawa Reina dan Gavin masuk ke pendengarannya. Dia sengaja tidak langsung masuk dan hanya berdiri di teras kosan. "Kapan, Pa?" "Sabtu ini. Ada yang harus papa selesaikan." "Lama enggak?" "Uhm, papa nggak tau. Mudah-mudahan kerjaan di sana cepat beres jadi papa bisa segera pulang." Dari percakapan itu Revita bisa menyimpulkan jika Gavin akan pergi. Tapi ke mana? "Boston itu jauh, Pa?" Boston. Pria itu akan pergi ke Boston. Negara yang sama saat dulu Gav