Bibir mereka kembali beradu. Lidah keduanya bahkan saling tertaut. Sebentar menjauh, untuk kemudian saling merapat lagi. Gavin bisa merasakan udara sekitar meningkat seiring cumbuannya yang makin panas. Dari bibir, ciumannya turun ke rahang, membuat Revita mengerang lirih. Pria itu menyasar leher jenjang mulus di depannya. Meninggalkan jejak basah berulang-ulang. Lidahnya terus mencecap rasa manis yang memabukkan di sana. Sementara tangannya pun tak tinggal diam. Pelan-pelan menyusup dari balik ujung kemeja Revita dan membelai ringan pinggang wanita itu. Sementara tangan lainnya meraba bagian lain yang tak kalah sensitif. Kembali Gavin menyambar bibir Revita, kala wanita itu melakukan aksi penolakan saat tangan besarnya menyentuh dada yang masih tertutup kain kemeja. Pria itu sama sekali tidak memberi Revita kesempatan untuk menjauh. Dia terus mendesak, dengan sentuhan yang kian intens. "Mas..." lirih Revita dengan tatapan sayu. Tangannya menahan lengan Gavin yang sudah meremas pe
Orchad Road tidak pernah sepi meskipun di weekday. Penggemar window shopping tidak akan melewatkan tempat ini jika sedang berada di Singapura. Sebenarnya Revita tidak terlalu suka berbelanja. Apalagi untuk sekedar menyenangkan diri sendiri. Jika orang lain gemar memberi self reward, tapi tidak dengan Revita. Hidup keras membuatnya harus mengutamakan prioritas. Namun kali ini, Gavin membebaskan dia beli apa pun yang wanita itu suka di salah satu mall yang ada di Orchad Road, tapi akibatnya Revita malah kebingungan sendiri. Selama ini, dia selalu memerlukan beberapa pertimbangan sebelum memutuskan membeli sesuatu. "Kamu lihat-lihat aja dulu. Baju, tas, sepatu, atau skin care? Kamu bisa membeli apa pun, Sayang."Dari pada memikirkan diri sendiri, kepala Revita malah teringat teman-temannya. Khususnya Arum, karena selama Revita cuti wanita itu yang menghandle pekerjaannya. Dia tengah memilih produk parfum saat Gavin mencolek lengannya. Pria itu memberi kode bahwa dirinya harus menerima
"Dia tidak mengenali kamu?" Revita mengangguk. Setelah pulang dari Orchad Road, wanita itu menceritakan semuanya pada Gavin. "Apa aku sekarang beda dari aku yang berusia 19 tahun?" Revita bertanya itu dengan raut serius, tapi Gavin malah senyum-senyum tak jelas. Seketika dua alis wanita itu mengeriting kesal. "Nggak heran sih mama nggak ngenalin kamu.""Maksudnya?"Gavin mencondongkan badan mendekati Revita dan berbisik. "Kamu sekarang jauh lebih cantik dan ..." Dia sengaja menggantung kata-katanya, lantas mengecup kekasihnya itu sebelum berbisik lagi, "... Seksi." Revita langsung menjauhkan diri dan sedikit mendorong tubuh Gavin menjauh. "Jangan bercanda." Jujur, sekujur tubuhnya mendadak merinding mendengar bisikan di dekat telinganya itu. Membuatnya teringat kejadian semalam. Sial! "Aku serius. Kapan aku bercanda sama kamu." Didekapnya tubuh Revita. Hidungnya yang bangir lantas mengendus-ngendus leher wanita itu. "Kita menikah saja ya?" "Mas..." "Pulang dari sini kita kete
Selama cuti dua hari, Arum memang mengerjakan tugas Revita. Namun hanya beberapa yang bisa wanita itu tangani, mengingat pekerjaan Arum juga tak kalah banyak. Sehingga begitu Revita kembali ngantor, pekerjaannya pun menumpuk. Bahkan saat jam makan siang, dia nyambi bekerja. Menolak ajakan makan bersama Gavin. "Memang dua hari bersama nggak bikin bosen?" tanya Revita kala Gavin meneleponnya. "Mana mungkin aku bosen sama kamu? Gini aja deh, kalau kamu nggak mau aku ajak makan siang. Sore nanti ke apartemenku."Gavin akan makan siang bersama seorang klien. Ya kali Revita ikut! Wanita itu sudah akan membuka mulut, tapi suara lelaki itu di seberang sana mendahului lagi. "Aku nggak terima penolakan." "Hm, ya. Oke," sahut Revita pasrah, sambil memikirkan alasan apa yang akan dia berikan pada ibunya kalau dia akan pulang terlambat. "Oke, pekerjaanku lagi banyak banget nih. Aku tutup dulu." "Give me a Kiss, please." Revita mengernyit bingung. "Ini kan telponan?" Kendati di kantor orang-o
Tidak ada yang tahu kalau saat ini detak jantung Revita sudah seperti ingin meloncat dari tempatnya. Dia terus menunduk, pura-pura sibuk dengan makanannya, selagi Gavin bicara dengan Mahesa. "Aku cari Pak Ferdy. Kupikir dia ada. Dan nggak sengaja malah ketemu Revita di pantri." Itu suara Mahesa. Yang cuma dibalas gumaman tak jelas oleh Gavin. Revita di tempatnya makin tak karuan saat mendengar Mahesa pamit dan suara langkahnya makin menjauh. Sekarang di pantri tinggal dirinya dan Gavin. Hanya saja beberapa detik lamanya, dia tidak merasakan pria itu mendekat, bikin perasaannya makin waswas. "Kamu bicara apa saja sama Om Mahes?" Nyaris saja Revita terlonjak dari tempat duduk ketika suara berat Gavin mengudara. Dia menoleh dan memaksakan diri menarik sudut bibir ke atas, membentuk seulas senyum. "Soal kerjaan aja," sahut Revita bohong. Dia lantas segera mengalihkan tatap ke makanannya lagi. Sebenarnya dia bingung karena Gavin masih bertahan berdiri di dekat pintu alih-alih mendekat
Gavin tengah serius mendengar penjelasan salah satu koleganya yang dia temui di lobi ketika tanpa sengaja tatapnya menemukan Mahesa keluar dari arah toilet lobi sambil membenarkan dasi. Mata cokelatnya menyipit dan terus mengawasi pria itu yang entah kenapa gelagatnya terasa aneh. Tidak berapa lama dari tempat yang sama, Revita muncul dengan langkah tergesa serta wajah yang terus menunduk. Wanita itu bergerak ke arah lift. "Sebentar," ucap Gavin menghentikan koleganya yang sedang menjelaskan. Dia menyeret langkah, agar bisa melihat ruang tempat lift dari jaraknya saat ini. Dari sini dia bisa melihat Mahesa mempersilahkan Revita memasuki lift lebih dulu, baru pria itu menyusul kemudian. Gavin tidak ingin memiliki prasangka buruk. Hanya saja melihat mereka tengah bersama dua kali memunculkan tanda tanya besar di kepalanya. Kali ini Gavin tidak akan percaya kalau mereka bertemu tanpa sengaja. "Pak Gavin, kita harus segera berangkat," ucap koleganya memperingatkan. "Oh iya, Pak Lucca
Semalaman suntuk Revita tidak bisa tidur! Semalam Gavin menutup panggilan telepon begitu saja lalu pergi. Di saat masih ada Mahesa di rumah wanita itu. Revita mencoba menghubunginya kembali, tapi panggilannya tidak diangkat. "Ada apa?" tanya Mahesa melihat kepanikan Revita setelah menerima telepon. Dia menoleh ke belakang, mengikuti arah pandang Revita. Tidak ada siapa pun di sana selain mobilnya yang teronggok sendirian. Dan juga mobil yang baru saja pergi. Tatapnya menyipit dan kembali menghadap Revita. "Apa itu Gavin?" "Mas, sebaiknya kamu pulang. Aku mau istirahat," ucap Revita lantas berbalik menuju pintu. Namun, dengan cepat Mahesa mencekal lengannya. "Tunggu. Apa itu tadi yang barusan pergi mobil Gavin?" tanya pria itu sekali lagi. Revita memutar tangan, mencoba melepaskan diri. "Nggak penting itu siapa! Tapi aku harap ini terakhir kalinya kamu datang ke sini!" "Revita, kalau dia sampai nyakiti kamu--" "Gavin nggak akan pernah nyakitin aku!" sentak Revita jengkel, lalu s
BEBERAPA HARI LALU==============Mendadak Gavin muak dengan senyum yang Mahesa tunjukkan. Siang ini dia menyambangi ruangan pamannya itu. Dan sepertinya pria berkumis tipis itu tahu tujuan Gavin mendatanginya. Mahesa tetap terlihat ramah seperti biasa. Seolah tidak sedang melakukan sesuatu yang membuat Gavin jengkel. "Ada yang bisa aku bantu, Keponakan?" tanya Mahesa, lalu mempersilakan Gavin duduk di sofanya. Dia sendiri langsung duduk menyilangkan kaki, menatap sang ponakan sambil terus mempertahankan senyum ramah. "Apa hubungan Om Mahes dan Revita?" tanya Gavin to the point. "Jangan bilang cuma mantan atasan dan bawahan." Senyum Mahesa surut secara perlahan. Dia sudah menduga, Gavin akan menanyakan tentang Revita cepat atau lambat. Dan Mahesa tidak berniat menyembunyikan apa pun lagi. "Revita pacarku saat dia di Surabaya." Mahesa mengucapkan itu dengan nada tenang. Meski begitu dia bisa melihat dua tangan Gavin tampak mengepal erat. "Revita sudah tiga tahun ini di Jakarta. It
Berjalan sambil bergandengan tangan di Charless street pada musim gugur akan menjadi momen romantis yang tidak akan pernah Revita lupa. Berbaur di pemandangan jalan yang mempesona si kawasan pinggir kota paling tua dan makmur, Boston. Untuk ke-empat kalinya Gavin mengajak Revita dan anak-anak ke kota ini dan wanita itu akui tidak pernah bosan berada di tempat ini. "Ini kali pertama kita ke sini pas musim gugur. Kalau tau bakal seindah ini aku pasti sudah minta ke sini di bulan-bulan musim gugur sebelumnya," ujar Revita dengan bibir maju. Sudah empat kali berkunjung, dan dia baru melihat musim secantik ini. Kakinya yang terbungkus boots panjang berjalan menapaki trotoar yang terbuat dari batu kerikil. Matanya mengedar dengan senyum yang mengembang memperhatikan barisan rumah bergaya federal. Yang menarik, rumah-rumah di sini memiliki pengetuk pintu dari kuningan yang dipoles alih-alih bel wifi atau listrik. Gavin bilang itu adalah simbol tak resmi kawasan pinggir kota ini. "Musim g
Begitu membuka pintu kosan, Revita langsung melihat wajah putrinya yang tersenyum lebar. Anak itu segera menghambur ke pelukannya. Di belakang Reina, Gavin melambaikan tangan seraya tersenyum manis. "Mama udah siap?" tanya Reina, kepalanya meneleng untuk melihat barang-barang di belakang punggung ibunya. Hanya ada satu koper besar dan tas jinjing berukuran sedang. "Isi rumah nggak dibawa, Ma?" Revita terkekeh sembari menggeleng. "Barang-barang itu kan bukan milik kita, Na. Ada-ada aja kamu."Gavin sendiri langsung mengambil alih bawaan sang istri dan segera memasukkannya ke bagasi mobil. Akhirnya hari yang dia tunggu tiba. Revita dan Reina akan tinggal bersamanya menjadi satu keluarga utuh. "Itu apa?" tanya Gavin melihat kotak dengan ukuran lumayan besar yang dibungkus kado. Revita mengikuti arah pandang Gavin. "Itu dari teman-teman di pabrik. Belum aku buka sih." "Dibawa juga?" "Iya. Kado perpisahan." Selain koper milik dirinya, ada juga koper milik Reina di bagasi mobil Gavin
Mata Revita mengerjap. Mungkin yang Indila katakan benar, tapi wanita itu tidak boleh pesimis. Mahesa hanya belum melupakan Revita, tapi bukan berarti tidak bisa melupakan. Revita tersenyum menatap wanita manis di depannya. "Dengan lo terus di sampingnya, gue yakin dia bisa segera lupain gue. Apalagi lo deket sama Dony. Sekedar informasi, meski dia dulu deketin gue, dia nggak pernah loh ngenalin anaknya ke gue. Tapi ke lo? Nah itu tandanya dia serius sama lo." Wajah mendung Indila hilang seketika. Berganti dengan wajah penuh senyum. "Lo bisa aja, Re," katanya cengengesan. "Gue yakin sih bentar lagi lo bakal dilamar," goda Revita seraya menaik-turunkan alisnya. "Nggaklah. Gue bakal kasih waktu ke dia buat terima kenyataan bahwa lo itu milik keponakannya." Kedua wanita itu lantas tertawa. Lalu saling berpelukan. Tepat saat itu Revita seolah menyadari sesuatu. "Tunggu-tunggu." Revita melepas pelukannya dan mengangkat tangan sejenak. Dia merasa ada yang aneh di sini. "Jadi, lo mau p
Perombakan kesekretariatan ternyata lumayan mengundang perhatian. Bukan hanya itu, Gavin juga memecat beberapa sekretaris yang diduga berkomplot menjebak dirinya, termasuk Ferial. Tidak peduli dikatakan presdir kejam atau apa. Baginya perbuatan Ferial dan teman-temannya sudah melampaui batas. Kejadian mabuknya Ferial membuat Gavin tahu betapa busuknya perempuan itu. Paginya, begitu wanita itu sadar, Gavin memintanya untuk pulang ke Indonesia. Sempat ada drama dan permohonan maaf dari Ferial, tapi Gavin tak peduli dan tetap mengirim wanita itu kembali ke Jakarta. Alhasil seminar dua hari dan rapat terakhir dia lakukan sendiri tanpa dampingan sekretaris. "Jadi, apa yang bikin kamu memecat mereka?" tanya Mahesa saat pria itu berkunjung ke kantor Gavin. Kabar itu cukup bikin heboh. "Mereka kerjanya tidak becus," sahut Gavin sambil terus menandatangani dokumen di mejanya. Menarik kursi di depan meja, Mahesa pun duduk. "Apa yang mereka lakukan?" "Aku yakin Om sudah tau apa yang terjadi
"Mas?" Rasa kantuk dan kesal hilang seketika saat Revita menemukan suaminya sudah berdiri di depan pintu kosan. Dia mengucek mata untuk memastikan penglihatannya tidak salah. Ini sudah hampir pukul satu malam. Kenapa Gavin ada di sini? "Kaget ya? Biarin aku masuk dulu, Re. Aku capek." Gavin hendak masuk kamar, tapi segera Revita tahan. "Tunggu-tunggu, kamu beneran Mas Gavin, kan? Bukan demit yang nyamar jadi suamiku?" Detik berikutnya Revita terpekik karena mendapat sentilan di dahi. Dia segera mengusap dahinya yang kesakitan. "Demit mana ada yang seganteng suami kamu." Dengan pelan Gavin mendorong Revita masuk, begitu pun dirinya yang lantas ikut masuk dan menutup pintu kamar kosan. "Tapi, Mas. Kamu kan lagi ada di Malaysia. Kok sekarang udah ada di sini aja? Mana malam-malam lagi datangnya." Rasanya Revita belum puas mendapat jawaban dari pria itu. "Kamu kabur ya?" Melepas sepatu, Gavin pun juga melepas kemeja beserta celana panjangnya. "Seminar sudah selesai. Bu
"Berapa hari?" Selain meeting ada seminar kewirausahaan yang harus Gavin hadiri selama dua hari. Kebetulan dia akan menjadi salah satu pengisi materi di hari kedua seminar yang diadakan di Kuala Lumpur tersebut. "Mungkin 3 sampai 4 hari, Sayang." "Hm, lama." Reina cemberut. "Mama weekend katanya masuk kerja. Masa papa juga belum balik?"Gavin menyentuh kepala Reina. "Papa usahakan weekend sudah kembali," ucapnya tersenyum. "Pak, sudah waktunya berangkat!" Di dekat mobil, Ferial kembali mengingatkan. Mata cokelat Reina langsung melirik tak suka. "Ih, aku nggak suka sama sekretaris papa yang itu. Kenapa bukan Tante Vania aja sih?" "Tante Vania ada pekerjaan lain.""Ya ganti aja jangan yang itu. Kelihatannya genit. Mentang-mentang cantik. Papa nggak takut mama cemburu?" "Uhm—""Papa mau ke Malaysia bareng dia kan?"Gavin mengangguk ragu. Semoga ini bukan masalah. "Tapi kami ke sana cuma bekerja. Dia di sana cuma membantu pekerjaan papa. Sekaligus papa lagi nguji dia layak atau ngg
Alis Gavin naik sebelah ketika melihat sekretaris bernama Ferial datang menjemputnya. Dia tidak berharap orang baru yang akan menemani perjalanan bisnisnya. Namun sepertinya dia tidak memiliki pilihan lain. Anggap saja ini ujian pertama sekretaris itu. Jika gagal, Gavin bisa punya alasan untuk mendepaknya dari kesekretariatan. "Tidak ada yang memberitahu saya kalau kamu yang akan menemani saya ke Malaysia," ucap Gavin seraya masuk ke mobil mewah fasilitas kantor. Ferial tersenyum manis, lalu ikut masuk ke mobil setelah memastikan bosnya itu duduk nyaman di dalam sana. "Saya sudah memberitahukan itu ke Pak Gavin. Di reminder juga ada. Mungkin Pak Gavin lupa."Sekilas Gavin memindai outfit yang wanita muda itu kenakan. Wanita itu mengenakan floral dress sebatas lutut yang dilapisi blazer hitam. Dress dengan potongan flowly itu agak naik ke atas saat dia duduk. Warna krem dress itu seolah tengah berlomba dengan warna kulit putih Ferial yang secerah mutiara. Gavin tidak mengerti kenapa
"Selamat pagi, Pak."Gavin mengangkat wajah dari tumpukan kertas yang sedang dia baca ketika sapaan asing seseorang terdengar. Di depannya berdiri seorang wanita muda yang terlihat cantik dan energik. Alisnya terangkat sebelah karena tidak mengenali sosok itu. "Kamu siapa?" tanya Gavin tanpa membalas sapaan wanita muda itu. "Saya Ferial, Pak. Saya di sini menggantikan Mbak Vania." "Memang Vania ke mana?" "Mbak Vania mendampingi CEO baru kita, Pak." Gavin mengangguk ragu. Sejujurnya dia masih ingin Vania yang menemaninya di posisi sekarang sebagai presdir baru. Ya rapat pemegang saham menunjuknya menjadi presdir menggantikan Melinda yang dulu menjabat sebagai presdir pasif. Gavin sendiri memilih tetap ngantor karena masih banyak yang harus dia pastikan keberlangsungan beberapa proyeknya. "Selain saya ada tiga sekretaris lain yang akan membantu pekerjaan Anda, Pak.""Ya, terima kasih," sahut Gavin lantas kembali memperhatikan kertas-kertas di mejanya. Dia pikir sekretaris bernama
*WARNING 21+*===========Pangkal alis Revita berkedut. Bibirnya menggeram lirih lalu lama-lama badannya menggeliat. Entah sekarang pukul berapa. Yang jelas sudah larut, karena kesunyian terasa begitu pekat. Setengah sadar dia menyingkirkan tangan tak sopan yang membuat tidurnya terganggu. "Aku ngantuk, Mas," gumamnya tak jelas, lalu kembali terlelap. Tidak ada sahutan, tapi tangan itu makin tak mau berhenti bergerak. Ketika Revita mengubah posisi menjadi miring, tangan itu pun ikut mengejar. Mencari celah agar bisa menyusup ke balik piyama yang wanita itu kenakan. "Mas," gumam Revita lagi, ketika tangan itu berhasil menyusup masuk dan meremas payudaranya. Karena masih sangat mengantuk, akhirnya Revita membiarkan saja. Tapi lama-lama pergerakan itu membuat Revita tak nyaman. Apalagi ketika puncak dadanya dimainkan. Tubuhnya yang sensitif sontak bereaksi. Dia melenguh pelan. Dalam tidur berusaha menikmati apa yang suaminya lakukan. "Bangun, Sayang," bisik Gavin, sembari terus memb