Gavin benar-benar kehilangan kata-kata dengan tingkah adiknya. Ucapan wanita itu yang katanya cuma ingin memperlihatkan wanita bernama Indila itu omong kosong. Nyatanya, dengan seenaknya Selena menyeret Gavin menuju kantin. Dan dengan seenak jidat sendiri langsung mengambil posisi di meja yang sama dengan Indila. Terang saja kedatangan mereka yang tiba-tiba itu membuat Indila dan rekannya kaget. Mereka tidak bisa menolak ketika Selena meminta izin duduk di meja yang sama. "Mbak Selena kok bisa ikut makan di kantin?" tanya Indila heran, tatapnya melirik sekilas pria di sebelah Selena yang memasang wajah datar. Dia tahu pria itu. "Memang saya nggak boleh makan di kantin ini ya?" tanya Selena balik dengan mata menyipit serta bibir meringis. Di depannya Indila kontan menggeleng. "Bukan begitu, Mbak. Ini baru pertama kali saya lihat Mbak Selena makan di kantin pabrik. Iya, kan, Mbar?" Indila bahkan memastikan itu pada teman yang duduk di sebelahnya. Dan temannya itu langsung mengangguk
Dengan langkah perlahan, dia mendekati anak itu. Sudah enam bulan berlalu, dalam jarak dekat begini Gavin bisa melihat Reina jauh lebih besar dari yang terakhir dia lihat. Demi apa pun rindu yang dia pendam selama ini kembali menyeruak, menggetarkan sekujur tubuhnya secara tiba-tiba. Ini seperti sebuah keajaiban di tengah rasa putus asa dan pasrah karena pencariannya selama setengah tahun ini tidak membuahkan hasil. Rasanya masih tidak percaya dia bisa melihat anak itu lagi. Langkah Gavin masih terayun pelan. Matanya tak lepas memandangi anak tujuh--ah tidak, Reina sekarang sudah berusia delapan tahun. Mata Gavin memanas dan agak perih, sementara bibirnya mengatup rapat-rapat menahan getar saat dirinya tepat berada di depan anak itu. "Nggak ada stok. Semuanya pesanan teman-teman sekolah. Kan aku udah bilang kalau mau beli, pesen dulu," ujar Reina tanpa menoleh sedikit pun. Dia masih begitu sibuk dengan kegiatannya. Anak itu tidak sadar dengan kedatangan Gavin. Sedangkan Gavin mera
Seperti telah mendapatkan angin segar, rasanya jiwanya yang mati suri mendadak bangkit kembali. Hari-hari yang Gavin lalui menjadi lebih bersemangat. Dia kembali bisa melempar senyum saat ada bawahan yang menyapanya. Semua ini karena Reina, putrinya. Pertemuan yang tidak terduga itu seperti memberinya harapan lagi. "Masku sayang..." Sapaan itu membuat bola mata Gavin bergulir dari layar laptop menuju pintu ruangannya. Selena. Wanita itu pasti penasaran dengan cerita momen saat dirinya mengantar Indila pulang. Dengan senyum lebar, Selena mendekati meja kerja Gavin. "kamu belum cerita pas waktu antar pulang Indila."Di tempatnya Gavin berdecak. "Akan kupastikan itu pertama dan terakhir kalinya aku mengantar dia pulang. Tempat kosnya jauh banget, Sel. Kalau nggak ingat wibawa mungkin aku sudah ngomel-ngomel."Seketika tawa Selena pecah. Dasar nggak sopan! "Emang beneran jauh banget ya, Mas?" "Nggak tau kenapa Indila memilih tempat itu. Kurasa dia berangkat dari rumah subuh kalau tem
Derai tawa terdengar renyah ketika kaki Gavin melangkah hendak menuju belakang rumah. Asisten rumah tangga keluarganya mengatakan bahwa Melinda sedang menerima tamu di taman belakang. Langkahnya mendadak berhenti ketika mendengar suara familiar yang berhaha-hihi dengan sang ibu. "Kamu memang hebat, Talia."Ah, ya! Ternyata Talia yang bersama Melinda. Sudah lama sekali Gavin tidak bertemu wanita itu. Gavin tidak ingin terlibat obrolan dengan mereka atau sang ibu akan berusaha menjodohkan mereka lagi. Dia pun memutuskan putar arah hendak menjauhi taman belakang. Namun saat hendak melangkah ucapan Melinda yang tidak sengaja terdengar menahan ayunan kakinya. "Revita, wanita jalang itu hanya akan menjadi kotoran di keluarga kami jika tetap bersama Gavin." Kalimat sang ibu total menghentikan langkah Gavin. Secara perlahan, Gavin membalikkan badan. Dari posisinya dia sedikit merapatkan diri untuk mendengarkan pembicaraan mereka lebih dalam. "Kalau bukan karena akal cerdik kamu, dia pa
"Aku nggak nyangka mama bisa melakukan hal sejahat itu. Bahkan pernikahan anaknya sendiri dia sabotase." Selena masih saja mengomel tentang perbuatan Melinda. Dia yang selama ini masih bisa memaklumi sikap menyebalkan sang ibu ikut-ikutan jengkel dengan tingkah wanita paruh baya itu. Dia melirik Gavin yang masih saja terpekur di atas kursi. Mendadak rasa iba hinggap pada kakak pertamanya itu. "Mas, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?" tanya wanita itu hati-hati. Menghela napas, Gavin mengangkat wajah. "Seperti sebelumnya. Membujuk Revita dan minta maaf padanya lagi." Kembali dia membuang napas. Sebenarnya dia tidak yakin. Terlalu banyak rasa kecewa yang dia taburkan pada wanita itu. Meski tidak secara langsung, tapi segala penderitaan yang wanita itu lalui, dialah yang menjadi penyebabnya. Karena mencintai seorang Gavin, Revita menanggung banyak penderitaan. Tidak cukup hanya Revita, Reina pun ikut terkena imbasnya. Selena menunduk. Dia menyesal lantaran sempat menyalahkan R
Kesal, kecewa, dan bahagia seolah jadi satu melingkupi hati gadis delapan tahun itu. Kesal karena merasa dibohongi selama ini, kecewa karena merasa ayahnya yang ternyata masih hidup membiarkan dirinya menderita, dan bahagia lantaran tahu fakta bahwa sebenarnya dia masih memiliki ayah. Namun rasa kesal dan kecewa itu terkalahkan dengan rasa bahagia. Tidak Reina pungkiri, hati kecilnya sangat merindukan sosok seorang ayah. Apalagi ternyata ayahnya adalah pria baik yang selama ini dia harapkan menjadi suami ibunya. Reina masih sesenggukan di pelukan Gavin. Dua lengannya memeluk erat leher pria itu. Duduk di pangkuan ayah biologisnya itu. Namun saat ini keduanya sudah berada di dalam ruang petak kosan alih-alih di luar seperti tadi. "Kenapa mama merahasiakan ini?" tanya gadis itu dengan napas tersengal. "Apa kalian nggak pernah memikirkan perasaanku? Kenapa kalian sejahat ini?" Tangan besar Gavin masih mengusap lembut kepala dan punggung putrinya. Berusaha menenangkan anak yang masih
"Sahamku di perusahan nggak seberapa, Mas." "Itu lebih baik daripada nggak ada sama sekali." "Tapi aku ikut rencana kamu aja. Aku juga masih sakit hati sama mama." "Aku tahu. Gimana kabar anak-anak kamu?" Gavin menemui Mike di bengkel tempat pria itu bekerja. Ya, dari dulu Mike suka dengan otomotif dan bercita-cita punya bengkel sendiri. Tapi jelas bertentangan dengan keinginan Melinda. Sejak dulu memang Mike yang paling sering memberontak di antara tiga bersaudara itu. Dan bengkel mobil ini menjadi bukti bahwa Mike serius menekuni bidang yang dia sukai, yang mana Gavin ikut menjadi investornya. "Mereka baik. Kamu udah lama nggak ke rumah. Mereka kadang nanyain kamu." Terakhir tiga bulan lalu Gavin datang ke rumah Mike. Saat pernikahannya gagal bahkan Mike datang ke apartemennya. "Nanti aku mampir. Progress bengkel gimana?" tanya Gavin lagi seraya mengedarkan pandang mengelilingi area bengkel yang menurutnya makin lengkap itu. Beberapa mobil tampak sedang ditanga
Revita yang tengah menekuri ponsel guna memesan ojek online tersentak saat pinggangnya merasakan cubitan kecil. Dia refleks menoleh, dan mendapati rekan kerjanya sudah berdiri di sebelahnya sambil nyengir. "Si Om Ganteng kumis tipis nggak jemput nih? Ini kan malam Sabtu," goda Evi. Yang wanita itu maksud adalah Mahesa. Meski Revita larang, pria itu kadang menjemputnya di mini market saat weekend. Revita memutar bola mata. "Jangan mulai deh, Vi. Dia cuma teman."Evi menelengkan kepala dengan kerling mata jahil. "Pria matang dan cuma teman. Ayolah, pria seperti dia terlalu sayang kalau cuma dianggap teman. Tapi kalau lo nggak mau, gimana kalau si Om itu buat gue aja.""Gue sih terserah aja. Asal dia mau sama lo." Wanita berkucir kuda di samping Revita berdecak sambil menggoyangkan kepala. "Bener nih ya. Jangan nyesel loh kalau dia gue gebet."Revita hanya menggeleng sambil mengulum senyum. Dia kembali memperhatikan layar ponsel. Aplikasi masih belum menemukan driver. "Hmm, pantas s
"Pulau ini sudah aku booking buat hari ini dan besok." Revita sama sekali tidak diizinkan untuk mengurus soal pernikahan. Entah bagaimana caranya Gavin bisa mempersiapkan semua ini hanya dalam waktu sesingkat itu. Dua Minggu sesuai janjinya. Pria itu bahkan mengaku semua akomodasi sudah siap untuk yang akan datang hari ini dan besok. Karena undangannya bersifat terbatas, jadi tamu harus bisa memilih kapan dia datang. Gavin dan Revita sendiri sudah sampai di pulau sejak kemarin sore. Untuk meninjau semua persiapan. Reina akan menyusul hari ini bersama Indila dan keluarga adik-adik Gavin. "Aku beneran nggak nyangka kamu bisa secepat ini mempersiapkan semua." Rambut Revita yang menjuntai berkibar-kibar tertiup angin pagi laut. Saat ini keduanya sedang menikmati sarapan pagi di balkon vila yang tepat menghadap pantai. "Satu hal lagi yang bikin aku terkejut." "Apa?" Selama beberapa saat keduanya berpandangan. Revita yang tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya sejak sore tersenyum le
*WARNING*BACA KALAU UDAH BUKA PUASA, GAES. ======================Tak pernah terpikirkan bahwa dia akan mengancam ibunya sendiri. Gavin menarik napas panjang, begitu Melinda hilang dari pandangan. Tapi dia benar-benar lelah dengan semua yang sudah ibunya lakukan. Jangan salahkan dirinya kalau saat ini berbuat sedikit lebih kejam. Seandainya saja sang mama mau berkompromi, tentu wanita itu akan tetap menjadi satu-satunya orang yang dia hormati sekaligus sayangi. Perlahan tangan Gavin mendorong pintu kamar. Di saat bersamaan, Revita yang duduk dengan menekuk kaki di atas tempat tidur mendongak. Keadaan wanita itu masih kacau. Hanya saja saat ini dia sudah mengenakan kaus lagi. Tepatnya kaus milik Gavin. Revita melempar senyum kecil saat Gavin terlebih dulu memberinya senyum. "Mama kamu sudah pulang?" tanya Revita saat Gavin melangkah mendekat. Pria itu mengangguk lantas beranjak duduk di depan Revita. "Udah.""Dia tahu aku di sini?"Kepala Gavin menggeleng. Melihat wajah Revita yan
Keduanya saling mendesahkan nama satu sama lain. Sesekali mengerang ketika rasa nikmat itu menyerang. Peluh yang menetes seakan menjadi bukti panasnya permainan mereka saat ini. Kata-kata cinta terus berhamburan dari bibir Gavin tiap tatapannya beradu dengan tatapan Revita. Bergulung bersama hasrat, keduanya saling memberi dan menerima. Namun sedang nikmat-nikmatnya mereguk kasih, suara bel pintu terdengar. Bel yang tentu menghentikan kegiatan mereka selama beberapa saat. Gavin dan Revita saling tatap. "Siapa, Mas?" tanya Revita sedikit melebarkan mata. Ekpresi nikmatnya beberapa saat lalu berganti dengan ekspresi terkejut. "Nggak tau, mungkin maintenance," sahut Gavin mengedikkan bahu, lalu kembali menggerakkan pinggul. Namun di bawahnya, Revita tampak tak berhasrat lagi. Terlebih ketika bunyi bel kedua terdengar. Dia langsung memukul pelan bahu Gavin yang cuek dan malah terus mengerang sambil memejamkan mata menikmati kegiatannya. "Mas, itu lihat dulu. Kayaknya bukan maintenanc
"Ya Tuhan, yang mau nikah siapa yang repot siapa." Sebuah keluhan meluncur dari seorang wanita yang selalu tampil cantik di kantor pusat Bumi Indah. Dia sekretaris Gavin yang sejak satu minggu lalu ditugaskan untuk mengurus segala tetek bengek pernikahan bosnya. Orens jus dingin mendekat ke arahnya karena dorongan tangan seorang lelaki yang sejak tadi mendengar curhatannya. "Minum dulu. Biar kepala lo lebih fresh." "Thanks ya, Dan." Dengan segera Vania menyeruput es dingin itu. "Emang siapa sih yang mau nikah. Kok lo yang sibuk?" Pria di depan Vania yang tak lain dan tak bukan adalah Dany eks rekan kerja Revita, bertanya. Ya setelah sekian lama, akhirnya dia memiliki kesempatan untuk pedekate dengan sekretaris Gavin tersebut. "Bos guelah! Siapa lagi yang hobinya nyusahin orang selain dia.""Bos lo? Pak Gavin? Pak Gavin mau nikah sama siapa?" "Temen lo-lah. Siapa lagi? Dia kan cinta mati sama temen lo." Otak Dany otomatis nyambung ke Revita. Tapi bukankah mereka sudah lama pisah
Mata Reina melirik pintu yang terbuka dari luar. Dia menemukan seutas senyum seseorang yang tidak pernah muncul lagi selama dirinya dirawat. Mahesa. Pria itu datang membawa boneka dan buket berisi cokelat. "Selamat siang, Cantik," sapa Mahesa sembari masuk. Namun reaksi Reina melihat pria itu tampak kurang senang. Dia ingat bagaimana kesalnya pada lelaki itu sesaat sebelum terjadinya kecelakaan. Secara tak langsung pria itu yang membuatnya begini."Gimana keadaanmu, Sayang?" tanya Mahesa ramah, meski disuguhi muka berlipat anak itu. "Baik. Ngapain Om Hesa ke sini?" sahut Reina tidak peduli. Dia kembali sibuk menggambar di tablet yang baru dia dapatkan kemarin. "Jenguk kamu, of course. And they're for you." Bahkan ketika Mahesa memamerkan bawaannya, Reina hanya meliriknya sekilas. "Thank you," sahutnya lirih. "Taroh aja di situ, Om." Mahesa mengangguk-angguk. Senyum di bibirnya tak selebar awal tadi. Dia lantas menuruti permintaan Reina untuk meletakkan hadiahnya di atas nakas.
Kembali Revita terpedaya dan seperti hilang kewarasan. Bahkan dirinya tidak bisa menjelaskan bagaimana semua bisa terjadi. Dia hanya menuruti gerak tubuh yang tidak sinkron dengan isi kepalanya. Pengendalian dirinya sangat payah jika berdekatan dengan Gavin. Haruskah dia menyalahkan Gavin? Seperti sebelumnya, dia mungkin harus tetap menjaga jarak. Gara-gara ini Indila terjebak lama di rumah sakit. Revita merasa tak enak hati membiarkan wanita itu menunggu lama. Saat dirinya datang, wanita itu bahkan sudah jatuh tertidur. Gavin sendiri langsung kembali ke Jakarta setelah mengantarnya ke rumah sakit karena ada hal yang harus lelaki itu urus terkait pekerjaan yang sudah dia tinggal selama beberapa hari ini. "Lo udah datang?" Revita meringis saat Indila terjaga. "Maaf ya udah bikin lo nunggu lama." Bangkit duduk, Indila menguap lalu mengucek matanya. "Sendiri aja? Nggak sama Pak Gavin?" "Dia pulang ke Jakarta ada hal yang harus dia urus." Indila mengangguk-angguk lalu melangkah gont
"Sakit, Na?" Lega luar biasa baru saja Revita dapat saat Reina akhirnya sadar dan dokter sudah memeriksa keadaan anak itu. Gadis kecil itu hanya mengangguk saat ditanya. "Kamu mau sesuatu? Biar Mama ambilkan," tanya Revita lagi. Dan lagi-lagi juga Reina menggeleng. Di saat yang bersamaan, Gavin keluar dari kamar mandi. Wajahnya terlihat begitu segar dan tampan. Dia langsung menyedot perhatian Reina. "Pa, minum," ucap anak itu. Yang membuat Revita di sisi ranjang kontan menaikkan kedua alis. Anak itu mengabaikan tawarannya, tapi begitu Gavin datang minta minum. Revita memejamkan mata lalu berusaha tersenyum, meski hatinya merasa sudah diduakan sang putri. "Ooh, Tuan Putri mau minum. Bentar ya, papa ambilin," sahut Gavin, mengerlingkan sebelah mata dengan genit. Revita sedikit menyingkir untuk memberikan Gavin akses mendekati Reina. Dia bergeser ke ujung tempat tidur memberi ruang pada Gavin duduk di kursinya. Tatapannya terus memperhatikan bagaimana cara Gavin memanjakan Reina.
Kaki Revita seperti sudah tidak menapak bumi lagi ketika tenaga medis menjelaskan tentang kondisi putrinya. Rasa panik dan khawatir berlebih menggumpal di kepala saat mereka bilang harus segera melakukan cito atau operasi gawat darurat. Penjelasan mereka terlalu kabur untuk Revita. Bahkan wanita itu tidak bisa bereaksi apa pun. "Pasien juga perlu melakukan transfusi darah segera, Pak."Revita menatap Gavin dengan segera. Dia sadar golongan darahnya dengan Reina berbeda. Itu artinya Gavinlah--"Golongan darah saya O, Dok. Anda bisa mengambil darah saya sebanyak yang anak saya butuhkan." Lagi-lagi Revita tidak bereaksi. "Baik, silakan Bapak ikut perawat untuk diperiksa lebih dulu." Gavin menghadap Revita begitu dokter kembali memasuki ruang tindakan. Dia sama khawatirnya seperti Revita. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit wanita itu terus berlinang air mata. Dan sekarang wajahnya tampak begitu pucat. "Nana akan baik-baik saja," ucap Gavin menenangkan. "Kita percayakan pada medis, d
Bukan kencan atau apa pun. Revita hanya ingin mempertegas semuanya. Jadi, saat Mahesa bilang ingin mengajaknya makan malam secara khusus, dia mengiyakan. Sejujurnya beberapa hari ini Revita sudah tidak nyaman juga merasa tidak enak dengan kemunculan pria itu tiap kali dirinya pulang kerja. Mahesa bukan pengangguran. Pria itu mengaku pulang dari kantor langsung bertolak ke tempat Revita yang letaknya jauh di luar kota. Bertemu hanya sebentar, lalu keesokan paginya sudah kembali ke Jakarta. Empat kali dalam satu Minggu! Itu berlebihan menurut Revita. "Ada tol. Kamu nggak perlu cemas," ujar pria itu membela diri saat Revita komplain soal intensitas kedatangannya."Tapi itu cuma bikin kamu capek, Mas.""Apa aku terlihat seperti orang capek?"Perjuangan pria itu tidak bisa Revita anggap remeh. Kadang tanpa sadar dia jatuh iba dan otaknya berpikir untuk mempertimbangkan pria itu. Namun hatinya jelas menolak, karena pria itu bukanlah orang yang Revita harap menjadi rumahnya. Hingga sampai