Revita terduduk lemas di kursi ruang tamu dengan tubuh gemetar. Pandangannya agak buram karena tertutup kabut air mata yang sepertinya sulit dibendung lagi. Hanya satu kali kedipan saja, maka cairan bening itu akan luruh dari kelopak matanya. Bukan hanya sesak, tapi dadanya juga terasa nyeri dan sakit. Berbagai macam praduga terus berlalu lalang di benaknya. Di satu sisi dia yakin Gavin tidak mungkin melakukan hal gila itu lagi, tapi di sisi lain dia juga merasa ragu. Dan telinganya terus saja mendengar bisik-bisik prasangka yang makin menipiskan rasa percayanya pada calon suaminya itu. 'Pukul 7 malam. Kami janjian bertemu di Gerniez Resto. Datang saja kalau kamu masih nggak yakin sama kata-kata saya.' Tangan Revita bergetar saat memegang ponsel. Meski tidak ada nama si pengirim pesan, dia tahu itu pesan dari Talia. Kepala Revita makin berdenyut di buatnya. Tubuhnya pun terasa menggigil. Hanya membayangkan, tapi sanggup membuat jiwanya terguncang begini. Revita berjalan gont
"Boleh tau kenapa kamu menangis?" Pertanyaan itu meluncur setelah Revita berhasil menyeka air mata dan mencuci mukanya. Wanita itu tidak ingin menambah masalah dengan menceritakan masalah yang dia alami pada orang lain. Apalagi itu Mahesa. "Aku nggak apa-apa. Aku harus pulang." Tetap diam dan pergi itu keputusan terbaik. "Kalian bertengkar?" tanya Mahesa lagi, seperti tidak ingin melepas Revita begitu saja. Kakinya terayun maju. Mendekati Revita yang kini memunggunginya. "Aku sudah cukup mengalah pada bocah itu. Tapi kalau dia masih saja menyakiti kamu---" "Sudah kubilang aku nggak apa-apa," potong Revita cepat. "Aku pergi," tandasnya tidak ingin berlama-lama lagi. Kakinya baru dua langkah berjalan saat Mahesa kembali bersuara. "Aku antar kamu pulang!" Revita ingin mengabaikan, tapi Mahesa mengejarnya. "Mungkin ini terakhir kali aku bisa ngantar kamu pulang. Mulai besok aku sudah nggak punya kesempatan lagi. Jadi, biar aku antar kamu." Melihat tidak ada reaksi
Dahi Gavin mengernyit saat kembali melihat pesannya semalam masih saja belum terkirim. Sekarang sudah pukul setengah delapan. Dirinya bahkan sudah sampai di pelataran kantor urusan agama. Dan seorang supir yang dia tugaskan menjemput Revita juga sudah berangkat. Menutup pintu mobil, dia pun bergerak keluar sambil mencoba menghubungi Revita. Nomor ponselnya tidak aktif. Dua kali sampai tiga kali dia mencoba, tetap saja operator yang menjawab panggilannya. Gavin mencoba tetap tenang dan berpikir positif. Toh sebentar lagi dia yakin supir akan membawa calon pengantinnya. Dia masih terus berusaha menghubungii Revita saat Selena datang. Di belakang mobil adiknya itu, menyusul mobil yang Gavin tahu milik Ferdy. Seperti yang Gavin minta, Selena membawa jas baru miliknya. "Wah, calon pengantin ganteng banget. Pake jas ini pasti tambah ganteng," seru Selena. Suami Selena pun ikut datang lantaran Gavin memintanya untuk menjadi saksi sama seperti Ferdy. "Revita belum datang?" tanya Adriana,
ENAM BULAN KEMUDIAN=====================Jari-jari itu mengetuk meja beberapa kali. Tatapnya masih lurus menyaksikan layar monitor di ujung ruangan. Sementara telinganya mendengar seksama paparan presensi bagian marketing di depan monitor tersebut. Semangat si presensi tidak membuat pria berjas yang duduk di ujung meja itu terlihat antusias. Wajahnya masih sedatar biasanya. Mulutnya merapat. Hingga pada point yang membuatnya terlihat kurang puas, dia lantas bersuara. "Bagaimana evaluasi produk yang gagal kemarin?" Si presensi terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu. "Masih tahap penelitian, Pak. Progresnya akan kami serahkan langsung ke Bapak.""Sudah dari dua bulan lalu. Seharusnya saya menerima laporan final kurang dari satu bulan. Kerja kalian sangat lambat."Profit perusahaan yang naik secara signifikan ternyata tak mampu membuat sang pemimpin menyunggingkan senyum, meski segaris. Ah, apa sih yang bisa membuat dia senang? "Kita tutup meeting kali ini. Besok lanjutkan l
Gavin benar-benar kehilangan kata-kata dengan tingkah adiknya. Ucapan wanita itu yang katanya cuma ingin memperlihatkan wanita bernama Indila itu omong kosong. Nyatanya, dengan seenaknya Selena menyeret Gavin menuju kantin. Dan dengan seenak jidat sendiri langsung mengambil posisi di meja yang sama dengan Indila. Terang saja kedatangan mereka yang tiba-tiba itu membuat Indila dan rekannya kaget. Mereka tidak bisa menolak ketika Selena meminta izin duduk di meja yang sama. "Mbak Selena kok bisa ikut makan di kantin?" tanya Indila heran, tatapnya melirik sekilas pria di sebelah Selena yang memasang wajah datar. Dia tahu pria itu. "Memang saya nggak boleh makan di kantin ini ya?" tanya Selena balik dengan mata menyipit serta bibir meringis. Di depannya Indila kontan menggeleng. "Bukan begitu, Mbak. Ini baru pertama kali saya lihat Mbak Selena makan di kantin pabrik. Iya, kan, Mbar?" Indila bahkan memastikan itu pada teman yang duduk di sebelahnya. Dan temannya itu langsung mengangguk
Dengan langkah perlahan, dia mendekati anak itu. Sudah enam bulan berlalu, dalam jarak dekat begini Gavin bisa melihat Reina jauh lebih besar dari yang terakhir dia lihat. Demi apa pun rindu yang dia pendam selama ini kembali menyeruak, menggetarkan sekujur tubuhnya secara tiba-tiba. Ini seperti sebuah keajaiban di tengah rasa putus asa dan pasrah karena pencariannya selama setengah tahun ini tidak membuahkan hasil. Rasanya masih tidak percaya dia bisa melihat anak itu lagi. Langkah Gavin masih terayun pelan. Matanya tak lepas memandangi anak tujuh--ah tidak, Reina sekarang sudah berusia delapan tahun. Mata Gavin memanas dan agak perih, sementara bibirnya mengatup rapat-rapat menahan getar saat dirinya tepat berada di depan anak itu. "Nggak ada stok. Semuanya pesanan teman-teman sekolah. Kan aku udah bilang kalau mau beli, pesen dulu," ujar Reina tanpa menoleh sedikit pun. Dia masih begitu sibuk dengan kegiatannya. Anak itu tidak sadar dengan kedatangan Gavin. Sedangkan Gavin mera
Seperti telah mendapatkan angin segar, rasanya jiwanya yang mati suri mendadak bangkit kembali. Hari-hari yang Gavin lalui menjadi lebih bersemangat. Dia kembali bisa melempar senyum saat ada bawahan yang menyapanya. Semua ini karena Reina, putrinya. Pertemuan yang tidak terduga itu seperti memberinya harapan lagi. "Masku sayang..." Sapaan itu membuat bola mata Gavin bergulir dari layar laptop menuju pintu ruangannya. Selena. Wanita itu pasti penasaran dengan cerita momen saat dirinya mengantar Indila pulang. Dengan senyum lebar, Selena mendekati meja kerja Gavin. "kamu belum cerita pas waktu antar pulang Indila."Di tempatnya Gavin berdecak. "Akan kupastikan itu pertama dan terakhir kalinya aku mengantar dia pulang. Tempat kosnya jauh banget, Sel. Kalau nggak ingat wibawa mungkin aku sudah ngomel-ngomel."Seketika tawa Selena pecah. Dasar nggak sopan! "Emang beneran jauh banget ya, Mas?" "Nggak tau kenapa Indila memilih tempat itu. Kurasa dia berangkat dari rumah subuh kalau tem
Derai tawa terdengar renyah ketika kaki Gavin melangkah hendak menuju belakang rumah. Asisten rumah tangga keluarganya mengatakan bahwa Melinda sedang menerima tamu di taman belakang. Langkahnya mendadak berhenti ketika mendengar suara familiar yang berhaha-hihi dengan sang ibu. "Kamu memang hebat, Talia."Ah, ya! Ternyata Talia yang bersama Melinda. Sudah lama sekali Gavin tidak bertemu wanita itu. Gavin tidak ingin terlibat obrolan dengan mereka atau sang ibu akan berusaha menjodohkan mereka lagi. Dia pun memutuskan putar arah hendak menjauhi taman belakang. Namun saat hendak melangkah ucapan Melinda yang tidak sengaja terdengar menahan ayunan kakinya. "Revita, wanita jalang itu hanya akan menjadi kotoran di keluarga kami jika tetap bersama Gavin." Kalimat sang ibu total menghentikan langkah Gavin. Secara perlahan, Gavin membalikkan badan. Dari posisinya dia sedikit merapatkan diri untuk mendengarkan pembicaraan mereka lebih dalam. "Kalau bukan karena akal cerdik kamu, dia pa
Mungkin nggak ada yang selega dari ucapan kata 'sah' bagi Gavin. Kalau tidak ingat bahwa di sini banyak orang, ingin rasanya dia melompat saking girangnya. Karena saat ini dirinya sudah resmi menjadi suami Revita, dan wanita itu pun resmi jadi istrinya. Untuk segala cobaan yang sudah dia lalui, bukan hal berlebihan kalau semua patut dirayakan kan? "Cheers!" Gelas bertangkai panjang diangkat tinggi-tinggi, sebagai wujud selamat bahagia atas pernikahan mereka. "Jadi, kalian berencana bulan madu ke mana?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Indila yang sejak tadi mencari keberadaan seseorang. "Sebenarnya aku ingin mengajak ke Amrik, tapi ternyata dia nggak mau," sahut Gavin sambil melirik sang istri yang berdiri di sebelahnya. Yang dilirik terkekeh, dan mengusap lembut dagu pria itu. "Itu kejauhan, Mas." "Ayolah, Re. Jangan bilang lo mau bulan madu ke Bali?" tebak Indila sebelum menyesap minumannya. "Bali. Why not? Itu tempat sempurna juga buat honeymoon kan?" "Benar." Adriana meny
Gaun rancangan Hendrik Gunawan membelit indah tubuh ramping Revita pagi ini. Tidak seperti pengantin pada umumnya yang mengenakan kebaya dan sanggul sebagai riasan rambut, Revita hanya mengenakan gaun simpel tapi terlihat sangat elegan dan berkelas. Revita bahkan tidak memanggil MUA terkenal untuk merias wajahnya. Selena dan Adriana-lah yang didapuk menjadi penata riasnya. Adriana menghandle urusan rambut, sementara Selena menangani urusan makeup. "Makeup sederhana saja udah bikin kamu secantik ini, Re," puji Selena sembari memulas pewarna bibir. "Orang kalau udah cantik dari sononya emang gini. Awesome stunning," sambut Adriana. Revita terkekeh pelan. Kedua wanita itu terlalu memuji secara berlebihan. Padahal mereka-lah yang memiliki kecantikan luar biasa. "Liat deh, rambut aja samapai berkilau gini. Kamu perawatan di mana sih?" tanya Adriana yang sudah mulai memegang rambut Revita untuk dia tata. "Aku nggak perawatan. Buang-buang duit aja. Sampo sama conditioner di rumah juga c
"Pulau ini sudah aku booking buat hari ini dan besok." Revita sama sekali tidak diizinkan untuk mengurus soal pernikahan. Entah bagaimana caranya Gavin bisa mempersiapkan semua ini hanya dalam waktu sesingkat itu. Dua Minggu sesuai janjinya. Pria itu bahkan mengaku semua akomodasi sudah siap untuk yang akan datang hari ini dan besok. Karena undangannya bersifat terbatas, jadi tamu harus bisa memilih kapan dia datang. Gavin dan Revita sendiri sudah sampai di pulau sejak kemarin sore. Untuk meninjau semua persiapan. Reina akan menyusul hari ini bersama Indila dan keluarga adik-adik Gavin. "Aku beneran nggak nyangka kamu bisa secepat ini mempersiapkan semua." Rambut Revita yang menjuntai berkibar-kibar tertiup angin pagi laut. Saat ini keduanya sedang menikmati sarapan pagi di balkon vila yang tepat menghadap pantai. "Satu hal lagi yang bikin aku terkejut." "Apa?" Selama beberapa saat keduanya berpandangan. Revita yang tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya sejak sore tersenyum le
*WARNING*BACA KALAU UDAH BUKA PUASA, GAES. ======================Tak pernah terpikirkan bahwa dia akan mengancam ibunya sendiri. Gavin menarik napas panjang, begitu Melinda hilang dari pandangan. Tapi dia benar-benar lelah dengan semua yang sudah ibunya lakukan. Jangan salahkan dirinya kalau saat ini berbuat sedikit lebih kejam. Seandainya saja sang mama mau berkompromi, tentu wanita itu akan tetap menjadi satu-satunya orang yang dia hormati sekaligus sayangi. Perlahan tangan Gavin mendorong pintu kamar. Di saat bersamaan, Revita yang duduk dengan menekuk kaki di atas tempat tidur mendongak. Keadaan wanita itu masih kacau. Hanya saja saat ini dia sudah mengenakan kaus lagi. Tepatnya kaus milik Gavin. Revita melempar senyum kecil saat Gavin terlebih dulu memberinya senyum. "Mama kamu sudah pulang?" tanya Revita saat Gavin melangkah mendekat. Pria itu mengangguk lantas beranjak duduk di depan Revita. "Udah.""Dia tahu aku di sini?"Kepala Gavin menggeleng. Melihat wajah Revita yan
Keduanya saling mendesahkan nama satu sama lain. Sesekali mengerang ketika rasa nikmat itu menyerang. Peluh yang menetes seakan menjadi bukti panasnya permainan mereka saat ini. Kata-kata cinta terus berhamburan dari bibir Gavin tiap tatapannya beradu dengan tatapan Revita. Bergulung bersama hasrat, keduanya saling memberi dan menerima. Namun sedang nikmat-nikmatnya mereguk kasih, suara bel pintu terdengar. Bel yang tentu menghentikan kegiatan mereka selama beberapa saat. Gavin dan Revita saling tatap. "Siapa, Mas?" tanya Revita sedikit melebarkan mata. Ekpresi nikmatnya beberapa saat lalu berganti dengan ekspresi terkejut. "Nggak tau, mungkin maintenance," sahut Gavin mengedikkan bahu, lalu kembali menggerakkan pinggul. Namun di bawahnya, Revita tampak tak berhasrat lagi. Terlebih ketika bunyi bel kedua terdengar. Dia langsung memukul pelan bahu Gavin yang cuek dan malah terus mengerang sambil memejamkan mata menikmati kegiatannya. "Mas, itu lihat dulu. Kayaknya bukan maintenanc
"Ya Tuhan, yang mau nikah siapa yang repot siapa." Sebuah keluhan meluncur dari seorang wanita yang selalu tampil cantik di kantor pusat Bumi Indah. Dia sekretaris Gavin yang sejak satu minggu lalu ditugaskan untuk mengurus segala tetek bengek pernikahan bosnya. Orens jus dingin mendekat ke arahnya karena dorongan tangan seorang lelaki yang sejak tadi mendengar curhatannya. "Minum dulu. Biar kepala lo lebih fresh." "Thanks ya, Dan." Dengan segera Vania menyeruput es dingin itu. "Emang siapa sih yang mau nikah. Kok lo yang sibuk?" Pria di depan Vania yang tak lain dan tak bukan adalah Dany eks rekan kerja Revita, bertanya. Ya setelah sekian lama, akhirnya dia memiliki kesempatan untuk pedekate dengan sekretaris Gavin tersebut. "Bos guelah! Siapa lagi yang hobinya nyusahin orang selain dia.""Bos lo? Pak Gavin? Pak Gavin mau nikah sama siapa?" "Temen lo-lah. Siapa lagi? Dia kan cinta mati sama temen lo." Otak Dany otomatis nyambung ke Revita. Tapi bukankah mereka sudah lama pisah
Mata Reina melirik pintu yang terbuka dari luar. Dia menemukan seutas senyum seseorang yang tidak pernah muncul lagi selama dirinya dirawat. Mahesa. Pria itu datang membawa boneka dan buket berisi cokelat. "Selamat siang, Cantik," sapa Mahesa sembari masuk. Namun reaksi Reina melihat pria itu tampak kurang senang. Dia ingat bagaimana kesalnya pada lelaki itu sesaat sebelum terjadinya kecelakaan. Secara tak langsung pria itu yang membuatnya begini."Gimana keadaanmu, Sayang?" tanya Mahesa ramah, meski disuguhi muka berlipat anak itu. "Baik. Ngapain Om Hesa ke sini?" sahut Reina tidak peduli. Dia kembali sibuk menggambar di tablet yang baru dia dapatkan kemarin. "Jenguk kamu, of course. And they're for you." Bahkan ketika Mahesa memamerkan bawaannya, Reina hanya meliriknya sekilas. "Thank you," sahutnya lirih. "Taroh aja di situ, Om." Mahesa mengangguk-angguk. Senyum di bibirnya tak selebar awal tadi. Dia lantas menuruti permintaan Reina untuk meletakkan hadiahnya di atas nakas.
Kembali Revita terpedaya dan seperti hilang kewarasan. Bahkan dirinya tidak bisa menjelaskan bagaimana semua bisa terjadi. Dia hanya menuruti gerak tubuh yang tidak sinkron dengan isi kepalanya. Pengendalian dirinya sangat payah jika berdekatan dengan Gavin. Haruskah dia menyalahkan Gavin? Seperti sebelumnya, dia mungkin harus tetap menjaga jarak. Gara-gara ini Indila terjebak lama di rumah sakit. Revita merasa tak enak hati membiarkan wanita itu menunggu lama. Saat dirinya datang, wanita itu bahkan sudah jatuh tertidur. Gavin sendiri langsung kembali ke Jakarta setelah mengantarnya ke rumah sakit karena ada hal yang harus lelaki itu urus terkait pekerjaan yang sudah dia tinggal selama beberapa hari ini. "Lo udah datang?" Revita meringis saat Indila terjaga. "Maaf ya udah bikin lo nunggu lama." Bangkit duduk, Indila menguap lalu mengucek matanya. "Sendiri aja? Nggak sama Pak Gavin?" "Dia pulang ke Jakarta ada hal yang harus dia urus." Indila mengangguk-angguk lalu melangkah gont
"Sakit, Na?" Lega luar biasa baru saja Revita dapat saat Reina akhirnya sadar dan dokter sudah memeriksa keadaan anak itu. Gadis kecil itu hanya mengangguk saat ditanya. "Kamu mau sesuatu? Biar Mama ambilkan," tanya Revita lagi. Dan lagi-lagi juga Reina menggeleng. Di saat yang bersamaan, Gavin keluar dari kamar mandi. Wajahnya terlihat begitu segar dan tampan. Dia langsung menyedot perhatian Reina. "Pa, minum," ucap anak itu. Yang membuat Revita di sisi ranjang kontan menaikkan kedua alis. Anak itu mengabaikan tawarannya, tapi begitu Gavin datang minta minum. Revita memejamkan mata lalu berusaha tersenyum, meski hatinya merasa sudah diduakan sang putri. "Ooh, Tuan Putri mau minum. Bentar ya, papa ambilin," sahut Gavin, mengerlingkan sebelah mata dengan genit. Revita sedikit menyingkir untuk memberikan Gavin akses mendekati Reina. Dia bergeser ke ujung tempat tidur memberi ruang pada Gavin duduk di kursinya. Tatapannya terus memperhatikan bagaimana cara Gavin memanjakan Reina.