Ponsel di sebuah meja berukuran lebar terus bergetar. Sedikit menyita perhatian seorang pria yang duduk di balik meja tersebut. Hanya sebuah lirikan kecil tidak berarti dari sepasang iris cokelat itu, lantas dia cuek lagi. Penanya terus bergoyang di atas berlembar-lembar kertas. Beberapa dokumen baru selesai ditandatangani, dan dia harus menyelesaikan setumpuk dokumen lainnya. "Ponselnya nggak diangkat dulu aja, Pak?" tanya seorang wanita cantik yang berdiri di hadapan pria itu. "Biarkan saja," sahut pria itu terlalu irit membuat si wanita sedikit mengerutkan bibir. "Pak Gavin nggak lupa, kan kalau malam ini ada makan malam di Sarinah?" Wanita itu mengingatkan dan cukup membuat perhatian pria yang disebut Gavin itu teralihkan dari lembar kertas. "Kamu jadi alarm ibu saya atau gimana?" tanya Gavin tak suka. "Saya sudah cukup pusing dapat pesan reminder dari ibu saya. Jadi, kamu nggak perlu memberi saya peringatan lagi. Ngerti?" Wanita dengan setelan blazer di hadapan Gavin mering
Melinda berjalan cepat menyusuri koridor kantor Gavin siang itu. Nyonya besar pemilik PT. Bumi Indah Tbk memasang wajah masam. Bahkan sapaan para karyawan tidak dia hiraukan. Rambutnya yang sebatas leher terlihat rapi dan mengkilap. Anggota tubuhnya berhias mutiara asli dari Laut Jepang. Outfit yang dia kenakan juga memiliki nilai jutaan rupiah. Yang melekat di tubuh wanita paruh baya itu tidak ada yang murah. Vania yang melihat kedatangan wanita itu sontak berdiri. Dadanya agak deg-degan. Tidak biasanya Nyonya besar menyambangi kantor Gavin, kecuali pria itu susah ditemui. "Selamat siang, Bu," sapa Vania seramah mungkin."Gavin mana?" tanya Melinda dengan dagu terangkat. "Pak Gavin ada di ruangannya, Bu. Mari saya antar."Melinda mengangkat tangan sebelum Vania beranjak dari meja kerja. "Tidak usah. Saya bisa masuk sendiri." Wanita itu membuka pintu ruang direktur tanpa mengetuk terlebih dulu. Sontak hal itu membuat Gavin mendongak. Pria bermata cokelat itu menarik napas meliha
Tidak sulit bagi Gavin mengorek informasi tentang Revita. Dia bisa dengan mudah mendapatkan CV lamaran wanita itu yang sudah tersimpan di arsip HRD. Dia juga sedikit menanyakan sekelumit tentang Revita pada atasan yang membawahi wanita itu langsung.Dari data yang dia terima, Revita baru menandatangani surat keputusan pengangkatan karyawan permanen di anak cabang perusahaan Bumi Indah enam bulan lalu. Sebelumnya dia hanya karyawan kontrak selama dua tahun berturut-turut. Dari yang awalnya operator produksi, naik menjadi staf leader karena menurut mereka kinerja wanita itu bagus dan cekatan. Gavin tersenyum dan membenarkan hal itu. Dia masih ingat bagaimana si mungil Revita selalu membantu Bi Ayun, ibu wanita itu, dulu saat masih bekerja di rumah besar keluarga Adhiyaksa. Saat membuka lembar riwayat pendidikan, Gavin mengernyit karena pendidikan terakhir wanita itu hanya sampai tamatan SMA, padahal setahu pria itu Revita saat itu tengah berkuliah. "Apa dia putus kuliah?" gumamnya sa
Dirinya seperti diusir. Entah kesalahan apa yang sudah dia lakukan sehingga tiba-tiba saja Minggu kemarin dipanggil ke ruang HR dan diminta pindah ke pusat. Revita masih terkejut dengan keputusan itu. Jadi, begitu tahu kabar itu dia langsung memberondong supervisor yang membawahinya langsung. "Saya melakukan kesalahan, Pak? Kalau iya, tolong beritahu salah ya, Pak. Biar saya bisa memperbaiki," tanya Revita yang merasa aneh. Keputusan HR sedikit membuatnya panik. Pak Taufik, Supervisor itu terkekeh. "Kamu nggak melakukan salah apa-apa, Revita. Justru ini bagus dong kamu pindah ke cabang karena kerja kamu bagus. Di sana kamu nggak perlu berjibaku dengan target harian. Kerjaan juga lebih enak, dan kamu tidak perlu mengantuk lagi kerja sif malam."Mungkin benar, tapi Revita masih tetap heran dan aneh. "Banyak yang ingin pindah ke cabang termasuk saya." Pak Taufik meletakkan tangan di samping mulutnya, badannya sedikit condong ke depan dan berbisik. "Sekedar informasi, di sana gajinya l
Sudah hari ke sepuluh Revita bekerja di kantor pusat. Dia lumayan sudah bisa menguasai pekerjaan dengan baik. Suasana kantor yang nyaman membuatnya merasa diterima. Jujur, wanita dengan poni menyamping itu menikmati bekerja di sini. Seperti impiannya dulu yang ingin menjadi pekerja kantoran. Bibir nude Revita menyunggingkan senyum. Meski harus melalui berbagai rintangan, akhirnya Tuhan memberinya kesempatan untuk bekerja di perkantoran. Hanya saja, dia agak minder karena dari semua timnya, cuma dia yang lulusan SMA. Itu yang masih menjadi pertanyaan besar kenapa dia berada di departemen ini. Lalu bunga mawar yang sering nangkring di mejanya. Jujur, itu sedikit mengganggu dan mulai membuat risih. Tidak ada yang mengakui bunga itu. Revita dibuat penasaran tiap harinya. Langkah Revita bergegas memasuki departemennya. Hari ini ada briefing penting perkara produk baru yang sedang diriset oleh timnya. Meskipun di sini dia hanya bertugas sebagai admin data, dalam rapat kecil dia wajib iku
DELAPAN TAHUN LALU=====================Sayup-sayup Gavin mendengar suara musik dari arah belakang rumah ketika dia berjalan ke dapur. Tangannya masih memegang gelas bekas minum saat dia mendengar suara seseorang berseru. Keningnya berkerut samar, lalu kepalanya menoleh. Suara asing, tapi dia yakin itu bukan suara kedua asisten rumah tangga ibunya. Gavin lantas menyeret kaki menuju belakang rumah. Dia berjalan pelan melewati ruang belakang, meninggalkan dapur. Pintu belakang rumah terbuka. Makin dekat suara musik serta seruan seseorang makin terdengar keras. Ketika dia berdiri di ambang pintu, mata cokelatnya menemukan seorang gadis yang tengah berjingkrak-jingkrak di depan tali jemuran. Bukan jingkrak-jingkrak biasa. Gerakan tubuhnya berirama mengikuti alunan musik. Tubuh mungilnya meliuk, sesekali menghentak. Tangannya terangkat lalu bergoyang dengan lincah selaras dengan kakinya.Gavin sampai berkedip beberapa kali melihat pertunjukan itu. Seorang gadis tengah menjemur pakaian s
"Masak apa?" Revita berjengit ketika seseorang bertanya. Dia hapal suara itu. Suara yang beberapa hari belakangan sering menyapanya. Gadis 19 tahun itu menoleh pelan dan mendapati Gavin sudah duduk di atas bar stool. Tangan pria itu melingkari sebuah gelas panjang yang isinya kosong. "Mie rebus," sahut Revita pelan. Benaknya mulai tidak nyaman karena kemunculan anak majikannya yang tiba-tiba. Sekarang sudah pukul sepuluh dan dia pikir orang rumah sudah terlelap. Perut lapar membuatnya harus pergi ke dapur, tapi tidak ada yang bisa dia temukan kecuali mie instan. "Kamu nggak masalah mie rebus di jam segini?" tanya Gavin, salah satu alis tebalnya naik. Revita yang saat ini sudah mengenakan piyama tidur menggeleng. "Nggak apa-apa, saya lapar."Ada seringai kecil dari sudut bibir Gavin. Meskipun suka mie instan biasanya dia akan membatasi. Di atas pukul 7 malam, biasanya Gavin menghentikan aktivitas makan. Namun, malam ini pengecualian. "Bisa buatkan aku satu juga?" tanya Gavin, mera
Seharian ini Revita gelisah. Wanita 27 tahun yang memangku posisi sebagai admin data itu masih memikirkan kejadian siang tadi. Di mana rombongan petinggi perusahaan datang menyambangi departemennya. Dia menyesali kebodohannya. Bagaimana mungkin selama hampir tiga tahun bekerja di anak cabang perusahaan ini, dia tidak mengetahui owner-nya? Revita memejamkan mata, memijit dahinya yang berdenyut. Gavin Adhiyaksa adalah salah satu orang yang paling tidak ingin Revita temui, tapi akan lain cerita kalau dia sendiri yang malah menghampirinya. Sejak memutuskan kembali ke kota ini, Revita hidup dengan damai. Pikiran untuk berhubungan atau pun bertemu dengan keluarga Adhiyaksa sama sekali tak terlintas. Lagi pula, dia sudah melupakan semuanya. Lukanya dan mungkin sakit hatinya. Mungkin. Namun, kejadian siang tadi seolah sanggup mengembalikan rasa sakit itu. "Lo baik-baik aja, Rev?" tanya Arum, yang mejanya tepat di seberang Revita, berhadapan. Dia sedikit memanjangkan leher untuk melihat kond
"Anjir! Ini Seriusan?!" Mengabaikan kehebohan para stafnya, Ferdy hanya nyengir kecil. Dia membenarkan kacamata dan berkata, "jangan lupa pada datang. Biar bisa jadi saksi." Dany dan Rafa saling pandang, dan detik berikutnya keduanya menangis bombay dengan sangat lebay. Sangat berisik, sampai Arum menbenturkan kepala keduanya dengan sebal. "Kita keduluan Pak Ferdy! Hwaaaa!" seru Dany. "Si jomblo akut akhirnya laku!" timpal Rafa. Yang langsung mendapat pelototan dari sang manajer. Tapi Rafa seolah tak peduli. Dia malah berpelukan dengan Dany. "Biasa aja dong kalian!" seru Arum sebal. Meskipun dia juga sebenarnya kaget karena sang manajer tiba-tiba melempar undangan pernikahan. "Pak Ferdy nggak ngehamilin anak orang kan?" tanya Dona dengan wajah polos. Membuat Ferdy langsung mengelus dada. "Astaghfirullah! Ya nggak lah, Don!" Ilham di samping Dona sampai mendelik pada wanita itu. "Mulut kamu loh, Yang!" "Sori, Pak." Dona meringis. "Abis ini kayak suprise dadakan banget," ujarny
Revita tahu sejak malam di Bali itu, semuanya tidak baik-baik saja. Dia merasa ada yang Gavin sembunyikan. Sikap pria itu memang masih baik seperti biasa, tapi ada sesuatu yang bisa Revita rasakan perbedaannya. Terakhir berkas-berkas yang pria itu minta untuk mendaftar pernikahan hanya bisa Revita titipkan kepada Vania. Sekretaris itu bilang, Gavin sedang melakukan perjalanan bisnis dadakan ke Thailand dan Vietnam. "Revita..."Sebuah suara membuat langkah Revita berhenti dan menoleh. Dari tempatnya dia bisa melihat Selena berjalan ke arahnya. "Masih istirahat ya?" tanya wanita itu begitu tepat berdiri di depannya. "Iya. Kamu mau ketemu Gavin ya?" tanya Revita. Ya apalagi urusan Selena jika sudah mampir ke kantor pusat selain bertemu dengan kakaknya? "Nggak. Kan Mas Gavin lagi ke Thailand." Wajah cantik di depan Revita tersenyum. "Re, mau nggak kita ngopi sebentar? Mumpung masih ada jam istirahat."Mengingat masih ada waktu sekitar setengah jam lagi, Revita mengamini ajakan Selena.
"Nana!" Gavin tersentak kaget ketika dengan tiba-tiba Revita mendorong dadanya, di tengah cumbuan mereka. Pria itu sempat syok selama beberapa saat. Lagi nikmat-nikmatnya, main potong aja. "Nana aman, Re. Dia sama Selena dan Adriana." Revita mengerjap. Dia makin mendorong Gavin menjauh, hingga penyatuan mereka terlepas. Tangannya menyambar selimut dengan segera. "Kita harus jemput Nana, Mas." Kali ini Gavin yang mengerjap bingung. "Sekarang? Tapi Re, ini sudah malam. Dan aku yakin Nana pasti sudah tidur.""Dia pasti nyari kita."Membuang napas kasar, Gavin pun terpaksa turun dari ranjang. Dia bergerak meraih ponselnya yang tergeletak begitu saja di lantai bersama dengan celananya. "Biar aku telpon Selena," putusnya kemudian. Dia menunduk dan menatap miris miliknya yang masih menegang sempurna, sambil menunggu panggilannya diangkat. Tidak berapa lama, suara Selana terdengar. "Ada apa, Mas?" tanya Selena di sana terdengar khawatir. "Nggak ada. Aku cuma mau mastiin keadaan Nana, u
Beberapa waktu tidak berjumpa membuat Revita lupa jika pria di depannya ini adalah bagian dari keluarga besar Adhiyaksa. Dia sama sekali tidak mengantipasi kehadiran pria ini sebelumnya. Sehingga kemunculan dia secara tiba-tiba ini membuatnya sangat terkejut. Mahesa. Dia ada di depan Revita sekarang. Menyeringai dengan wajah penuh rasa tak percaya melihat Revita ada di tempat ini. "Aku benar-benar nggak ngerti lagi dengan jalan pikiran kamu," ucap pria itu. Revita menelan ludah. Lalu memalingkan tatap dengan resah. Dia mengerti apa yang Mahesa maksud. "Sudah aku bilang kan ini akan sulit? Dan kamu malah memunculkan Nana di sini. Sekali lagi aku katakan, Re. Kamu nggak akan bisa bersama Gavin. Resikonya terlalu besar." Mahesa menatap sedih wanita di depannya. Lalu berjalan maju. "Dan lebih dari itu, apa kamu lupa dengan yang sudah dia lakukan? Dengan mudah kamu maafin dia?" tanya Mahesa tak percaya. Sedangkan padanya, wanita itu seolah sulit memaafkan. "Mas, tolong jangan ikut ca
Tawa renyah itu masuk ke telinga Revita tanpa sengaja saat wanita itu baru saja kembali dari toilet. Segerombolan sepupu Gavin. Revita yang akan melanjutkan langkah untuk kembali ke tempat acara urung saat dia mendengar namanya dan nama Gavin disebut. Seharusnya dia bersikap masa bodo, tapi yang dia lakukan malah berhenti. Bersembunyi untuk mendengar apa yang mereka bicarakan. "... Hebat ya dia!" Potongan kalimat itu baru saja Revita dengar, saat dia menempelkan punggung di dinding. Mereka tidak akan tahu keberadaannya di sini. "Hebat? Yang bena saja! Itu trik murahan yang sering orang sebangsanya lakukan. Menjebak laki-laki kaya supaya mau menikahinya. Hellow! Dia anak pembantu btw. Anak pembantu macam apa yang berani deketin anak majikan, kalau bukan tipe pelacur dan pelakor?" Revita sontak memegangi dadanya yang terasa berdenyut. Dia tahu siapa yang sedang mereka bicarakan. Dirinya tentu saja. Suara tawa kembali terdengar. "Dan begonya, Gavin mau-mau aja tanggung jawab.""Hei,
"Gavin benar-benar menantangku. Sekarang dia terang-terangan membawa perempuan miskin itu ke depan kita. Di depan keluarga besar kita." Wajah ayu Melinda tampak mengeras saat melihat putranya berdampingan dengan Revita. Di sisinya Mannaf mendesah. "Jangan kamu hancurkan acara kita. Jaga sikap kamu," ucap pria tua itu yang juga menatap lurus keberadaan sang putra. "Seharusnya dia sadar kalau ini bukan tempatnya. Aku nggak percaya putramu berani membawanya ke sini. Pantas saja dia menolak menginap di vila ini." Suara Melinda makin terdengar geram. Dia bahkan tidak repot menunjukkan muka masamnya. "Aku sudah memilihkan wanita baik-baik seperti Talia, malah lebih memilih wanita yang asal usulnya nggak jelas itu." "Wanita itu cantik. Nggak heran kalau Gavin tergila-gila sama dia.""Cantik apanya? Jelas-jelas Talia masih lebih cantik. Aku yakin Gavin sudah terkena jampi-jampi perempuan itu." Melinda membuang napas dari hidung dengan kasar. Lalu mendengus kesal. Tatapnya lantas menemukan
Revita masih mematut diri di depan cermin dengan dada berdebar. Akhirnya malam ini tiba. Malam anniversary pernikahan orang tua Gavin. Semoga acara itu tidak akan hancur karena kedatangannya. Revita mengenakan one shoulder dress di bawah lutut berwarna biru gelap. Gaun itu memiliki potongan rok asimetris yang kainnya jatuh di bagian bawah. Warna pekat yang sangat kontras dengan kulit putih Revita membuat gaun itu sangat cocok dipakai wanita itu. Kata Gavin dia yang memesannya langsung dari butik, kembar dengan milik Reina. Hanya beda ukuran saja. Revita membiarkan rambut panjangnya tergerai dan dibuat bergelombang. Sisi kiri hanya diberi jepitan minimalis. Paduan yang sempurna dengan makeup tipis yang menyapu wajahnya. "Manis." Sebuah kecupan mendarat di sisi bahu Revita yang terbuka. Lalu senyum Gavin dari pantulan cermin langsung bisa Revita tangkap. "Apa ini udah cukup, Mas? Atau aku kelihatan norak?" tanyanya dengan nada khawatir. "Lebih dari cukup, Sayang. Dan yang norak d
Langit Jakarta malam ini begitu pekat. Satu titik cahaya bintang pun tidak terlihat. Revita bertanya-tanya entah di belahan bumi mana mereka menampakkan diri. Di atas ayunan yang letaknya di teras balkon unit Gavin, Revita tampak tenang menyeruput cokelat hangat yang baru saja dia bikin. Setelah memastikan Reina tertidur pulas, dia pun beranjak ke balkon. Duduk sambil merenungi apa yang sudah dia lalui selama ini. Namun yang menyebabkan dia akhirnya menyeduh cokelat adalah ajakan Gavin untuk menghadiri wedding anniversary orang tua lelaki itu. Revita memang sudah sepakat ikut, tapi tetap saja masih menyisakan rasa khawatir yang berlebihan. Bukan hanya orang tua Gavin, di sana pasti akan hadir keluarga besar lelaki itu. "Kamu belum tidur?" Suara berat dan empuk itu sedikit membuat Revita tersentak. Dia pikir Gavin sudah terlelap. Wanita itu menggeleng, lantas memperhatikan pria itu berjalan mendekat sambil membawa cangkir. Dari aromanya itu kopi. "Kamu ngopi malam-malam?" tanya Re
Gavin tersenyum lebar sembari mengulurkan tangan saat Revita mendekat padanya. Beberapa hari ini dia sengaja memarkirkan mobil di lantai basement kantor supaya wanita itu mau pulang bersama. Revita memang sudah menerima maafnya kembali, tapi demi keamanan dan kenyamanan wanita itu, Gavin menuruti keinginan Revita untuk merahasiakan hubungan spesial ini di area kantor. "Jam segini Nana biasanya udah naik bus jemputan kan?" tanya Gavin ketika Revita menyambut uluran tangannya. "Iya, kita tunggu di rumah aja nggak apa-apa kan?" Tanpa banyak protes Gavin setuju. Keduanya lantas segera memasuki mobil sebelum ada teman sekantor Revita yang memergoki. Revita sampai harus mengenakan face mask demi agar tidak ada yang tahu keberadaannya di mobil Gavin. Jika naik ojek online biasanya Revita akan sampai lebih dulu daripada Reina. Namun sore ini anak itu lebih dulu sampai. Reina masih terlihat masih mengenakan seragam dan agak terkejut melihat ibunya itu pulang bersama Gavin. Kepala anak itu