Api menyala begitu besar. Membuat asap yang cukup tebal membumbung ke udara. Aku tak peduli jika ada tetangga yang terbangun. Mereka ingin melayangkan protes pun, silakan!
Kemarahanku yang memuncak, membuatku begitu liar tak terkendali. Enam tahun aku menjadi istri Mas Faisal. Rela mendekatkan diri pada mertua yang dari awal memang kurang bersahabat. Nekat resign dari pekerjaan demi mengikuti program hamil sampai kami berdua pun akhirnya dikaruniai seorang putri yang cantik jelita. Ternyata, pengorbananku hanya dianggap seonggok sampah tiada guna oleh Mas Faisal.
Apa yang dia inginkan dari pernikahannya dengan Adelia? Mengapa dia harus menyembunyikan semua dariku, lalu tiba-tiba memberi tahu dalam keadaan yang sangat tidak tepat begini? Mereka mau menghancurkan mentalku ketika anakku jatuh sakit, begitu? Maaf! Aku tak akan jatuh hanya karena ucapan Adelia dan Mas Faisal yang bernada mengancam itu.
Saat melemparkan gobi pertama ke dalam drum yang masih menyala besar apinya, ponsel di dalam saku dasterku bergetar. Kutepuk-tepuk telapak tangan demi mengenyahkan debu dari atas sisinya. Langsung kurogoh saku dan melihat siapa yang menelepon.
Wow, ternyata Ummi. Ibu kandung Mas Faisal yang tak lain adalah mertuaku sendiri. Beliau baru mau meneleponku selarut ini. Saat aku memasang status foto Syifa sedang dikompres, dia hanya melihat status tersebut tanpa membubuhkan komentar ataupun menelepon menanyakan kondisi sang cucu. Pasti sekarang dia langsung bereaksi saat melihat video pembakaran barusan.
“Karmila! Apa-apaan statusmu? Apa yang kamu bakar, Mil?” Suara Ummi memekakan telingaku. Wanita yang hampir memasuki usia 60 tahun ini terdengar marah-marah dan ngegas.
“Ummi, apa kabarnya? Sehat, Mi? Sudah seminggu aku tidak main ke rumah. Maaf ya, Mi. Syifa akhir-akhir ini kurang fit. Ini juga baru demam. Eh, tapi Ummi pasti tahu, kan? Orang tadi jam tujuh malam saja lihat statusku, kok.” Sengaja kusindir mertuaku di depan gejolak cahaya api yang lambat laun merambatkan suhu panasnya. Semakin mendidih saja hatiku. Baru kusadari, ternyata keluarga suamiku toxic!
“Jawab pertanyaanku tadi! Jangan malah mengalihkan pembicaraan. Apa maksud statusmu itu, Mil? Kenapa kamu sampai membawa nama Adelia segala?!” Ummi menjerit. Tak lama, terdengarlah suara Abi yang meninggi di sebelahnya.
“Mi, sudah malam ini! Jangan teriak-teriak! Sini, biar Abi yang bicara!” Suara Abi semakin jelas terdengar. Dia pasti telah mengambil alih ponsel dari sang istri. Baik Ummi maupun Abi, dua-duanya tak ada yang sangat akrab padaku. Hubungan kami bisa dibilang sangat datar. Syifalah yang membuat aku terpaksa semakin mendekatkan diri kepada mereka, meskipun respons keduanya tetap biasa saja padaku.
“Apa yang kamu bakar, Karmila? Mana suamimu?”
“Yang kubakar? Semua ijazah Mas Faisal, Bi.”
“Apa?! Kamu sudah gila? Apa-apaan kamu? Apa masalahnya? Mana suamimu!” Abi ternyata sama saja. Dia malah bereaksi lebih keras dari Ummi. Kedua lansia itu pasti memuncak emosinya.
“Iya, aku sudah gila. Anakku sakit. Suamiku malah berbohong. Dia bilang perjalanan dinas luar kota. Nyatanya? Sekarang sedang bersama Adelia. Perempuan itu malah meneleponku dan marah-marah. Bilang aku jangan lebay karena meminta suamiku pulang demi mengobati anak kami. Jadi, apa tanggapan Abi? Apa jangan-jangan, kalian sudah tahu jika suamiku menikah lagi?”
Suara di seberangku tiba-tiba senyap. Tak ada jawaban. Abi sepertinya terdiam dengan kalimat penjelasan yang panjang lebar kuutarakan.
“Kenapa diam saja, Bi? Ayo, katakan sesuatu! Kalian sudah tahu kalau suamiku menikahi anak Tante Silvia itu? Kalian yang menikahkannya? Jawab!”
“Berkacalah sebelum bertanya! Renungkan kesalahanmu apa. Kami akan melaporkan ke polisi atas tindakan pembakaran ijazahmu ini, Karmila.” Jawaban Abi yang dingin langsung menghunjam jantungku. Jiwaku terkoyak. Sakit sekali. Begitu tega seorang bapak mertua mengatakan hal di luar nalar kepada mantu yang selama ini telah banyak berkorban untuk anak lelaki semata wayangnya.
Tak berpikir lama, aku segera menyalakan fitur rekam suara untuk percakapan via telepon demi berjaga-jaga. Siapa tahu, ada kata-kata Abi yang bisa kujadikan bukti. Klu sudah mulai terungkap soalnya. Dia menyuruhku berkaca segala. Itu artinya … dia pasti sudah tahu tentang pernikahan tersebut! “Subhanallah! Kata-kata Abi sangat indah didengar. Persis penuturan motivator di televisi. Memangnya aku salah apa hingga harus bercermin segala? Lapor polisi? Aku yang akan melaporkan ke polisi terlebih dahulu atas tuduhan perzinahan dan penelantaran keluarga!” Aku memekik sinis. Meluahkan segala kedongkolan di dalam hati yang kini terluka. Kalian mau lapor polisi? Memangnya aku tidak bisa? “Jaga bicaramu, Mila! Semenjak menganggur, kelakuanmu tambah menjadi-jadi! Ternyata kami tidak salah memilih untuk menjadikan Adelia ma
“Terima kasih atas doanya, Abi. Semoga kalian sekeluarga selalu sehat dan jauh dari mara bahaya.” Getir lidahku berucap. Kutahan kalimatku agar sebisa mungkin tak balik menyumpahi Abi. Untuk apa? Bukankah doa yang jelek akan kembali kepada si pendoa? Cukuplah bagiku berlindung pada Allah agar aku dan Syifa dijauhkan dari bala serta diberikan umur yang berkah. “Doa perempuan berhati busuk tidak akan dikabulkan oleh Allah! Malaikat sudah melaknatmu sebab durhaka pada suami!” Seenak jidatnya Abi berkata padaku. Seolah-olah dialah panitia surga. Orang kalau sudah merasa paling suci, memang mudah mencap orang lains sebagai pendosa. Hidupnya sibuk menilai, seakan manusia lain itu muridnya yang tengah ujian. Menjijikan! “
[Seorang istri apabila sudah kelewat batas sikapnya, tidak bisa dididik jadi perempuan salehah, dan tidak bersyukur WAJIB hukumnya dicerai.] Itulah sederet kalimat yang diunggah Mas Faisal di status Facebook miliknya. Degupan jantungku kian melesat cepat. Terhenyak aku dalam segala perasaan yang sulit digambarkan. Astaghfirullah, Mas Faisal … sekarang kamu mulai playing victim di sosial media. Menguak sebuah fitnah, seakan-akan akulah yang bersalah. Tega! Ini kejam namanya. Lekas kukeluarkan jendela chat WA bersama Anisa barusan. Kubuka Facebook milikku dan mulai mencari update status Mas Faisal di lini masaku. Nihil. Tak ada. Kuputuskan untuk mengetik namanya di kolom pencari
[Terima kasih atas malam ini, Sayangku. You’re my sunshine, my moon, my everything.] Caption itu terpampang jelas di atas foto yang menggambarkan dua tangan saling menggenggam. Tangan Adelia yang putih mulus dan mengenakan perhiasan berlian di jari manisnya tersebut sedang menggenggam tangan seorang pria berkulit langsat dengan sebuah arloji bertali kulit. Bagaimana aku tak sampai meneteskan air mata, tatkala melihat arloji pemberianku tengah dipakai Mas Faisal saat berselingkuh dengan perempuan lain. Iya, aku memang perempuan bodoh! Mau menangisi lelaki seperti Mas Faisal yang entah sejak kapan telah membohongiku. Ketika kuingat-ingat dengan pasti, sudah sekitar setahun belakangan ini suamiku memang kerap melakukan perjalanan dinas. Tak pernah terbesit sedikit pun bahwa perjalanan dinas yang dia lakukan adalah fiktif bela
Bagian 8 Dengan seribu keyakinan, aku pun mengangguk. Mas Faisal, bersiaplah menjadi artis dadakan setelah ini. Maafkan aku bila satu negara akan menghujatmu habis-habisan. “Baik, Ma. Aku minta kepada Mama untuk mendoakanku agar aku kuat menjalani ini semua, Ma. Mereka sudah sangat keterlaluan. Bahkan … Abi berkata jika suamiku dan Adelia sudah memiliki surat nikah resmi. Mana mungkin?! Mereka pasti telah mendapatkan surat bodong itu dari oknum yang disuap. Kejam Mas Faisal dan semua keluargnya. Bahkan sepupunya yang lain, Mas Kamal, juga ikut-ikutan berkomentar di F******k. Menyuruh Mas Faisal untuk melepaskanku segala. Sekarang sudah ketahuan bila satu keluarga memang kompak untuk menjatuhkanku, Ma.” Terdengar tarikan napas dalam dari ujung sana. Mama pasti sesak sekali mendengar pengakuanku. Maaf, Ma. Ceritaku harus melukai
Bagian 9 Puas! Aku sangat puas sekarang. Segala bukti telah kuunggah demi mempermalukan Mas Faisal sekeluarga. Aku tak akan mundur barang sejengkal pun. Hidupku kini untuk menang, meski di depan mata sempat terbayang meja hijau dan UU ITE yang cukup beracun apabila telah menyerang. Pasrah! Lillah! Semua kulakukan semata-mata untuk melindungi harga diriku dan anakku. Azan Subuh pun berkumandang. Terdengar syahdu sekaligus nyaring. Disiarkan melalui pengeras suara masjid yang berlokasi tak jauh dari rumahku. Demi mendengarkan penyeru untuk salat itu, aku pun bangkit. Kutapaki lantai dengan tegar. Sementara itu, ponsel yang kini kembali kumasukkan ke saku bergetar-getar terus menerus. Ada notifikasi masuk, pikirku. Namun, tak kupedulikan. Ponsel secepat kilat lalu kum
Bagian 10 Ternyata, tak hanya panggilan tak terjawab dari Mas Faisal dan orangtuanya saja, ada banyak chat masuk di ponselku yang menanggapi status berisi video TikTok viral tersebut. Kucoba buat menenangkan diri sesaat. Segera mematikan paket dataku buat sementara waktu, kemudian keluar dari aplikasi WA. Tutup matamu dulu untuk pemberitahuan keviralan itu, Mila. Cepat selesaikan semua formulir ini dan mulailah mengadu pada polisi! Gemetar tanganku membuka folder di mana kusimpan foto scan KTP. Setelah mendapatkannya, kutulis cepat NIK dan alamat lengkap yang tertera di kartu identitasku tersebut. Kulanjutkan mengisi data-data lainnya dan memilih jenis pengaduan. Tindak pidana, ya, itulah kolom yang kulingkari. Ketika aku hendak beringsut dari meja dengan
Bagian 11 Puas mencaci maki dan mengancamku habis-habisan, lelaki tak bertanggung jawab itu akhirnya memutuskan percakapan kami. Hatiku masih mengemban sakit. Ternyata, begini rasanya diludahi oleh lelaki yang semakan sepenanggungan dengan kita. Di mana kebaikan serta ketulusan yang pernah Mas Faisal lakukan padaku? Apakah dia telah melupakan semua kenangan manis dalam keluarga kecil kami? Yang masih membuatku tak habis pikir adalah rasa geram Mas Faisal sebab tak menemukan surat tanah dan BPKB beserta motornya di rumah. Dia bahkan sama sekali tak menanyakan kabar Syifa yang baru saja mengalami demam tadi malam. Tak secuil pun meluncur dalam kalimatnya untuk menanyakan ke mana Syifa kubawa. Allahu Akbar! Suamiku … ternyata lenyap sudah kasih sayangmu kepada kami hanya dalam sekejap. Sungguh, harta benda milik Adelia yang sangat kecil bila dibanding rahmat dan kekayaan Allah itu mampu membusukkan hati se
Bab 88 Kebahagiaan Tanpa Tepi Sebulan Setelah Kelahiran Anak Pertama Sofyan Setelah melalui banyak cobaan yang berat, akhirnya rumah tangga Sofyan dan Karmila kini terlihat adem ayem. Apalagi usai mendapatkan seorang anak lelaki lucu yang diberi nama Shakeel. Bocah kecil yang lahir sebulan lalu dengan bobot 3,8 kilogram dan panjang 52 sentimeter itu sangat lucu, putih, dan menggemaskan. Siapa pun sayang kepada Shakeel. Baik dari pihak keluarga Mila, maupun keluarga dari pihak Sofyan. Tak sampai di situ saja, keluarga dari mantan suaminya Mila, yakni Faisal pun juga sangat menyayangi dan menyanjung-nyanjung Shakeel yang kian gempal setiap harinya. Faisal kini sudah sembuh total dari penyakit mentalnya. Pria itu hanya dirawat selama beberapa bulan saja di rumah sakit jiwa. Setelah mendapatkan pengobatan yang teratur dan berkualitas, pria itu sudah dapat kembali beraktifitas seperti layaknya manusia normal yang lain. Tubuh Faisal yang
Bab 87POV SofyanPesan-pesan “Sabar ya, Pak,” ujarku sambil meraih tangan keriput milik Pak Beno. Lelaki tua itu menatapku lesu. Senyum di wajahnya tak tampak. Seperti matahari yang tersembunyi di balik kepungan awan hitam. “Anakku enam, Yan. Dua perempuan, tiga lelaki. Dokter spesialis paru, dokter umum, dosen, pengusaha, polisi, dan lawyer. Tidak ada yang pengangguran. Mereka sibuk sekali dengan urusan masing-masing.” Pak Beno mulai terbuka. Aku tak menduga juga bahwa kami berdua bisa berbicara dengan sangat leluasa begini. Aku pun semakin tergelitik untuk mendengarkan kisah selanjutnya. “Tiga tahun lalu, aku mengalami depresi. Pemicunya adalah kematian istriku. Dia belahan jiwa satu-satunya yang paling mengerti dengan apa yang kubutuhkan di dunia ini,” ucapnya sembari menerawang jauh. “Aku mulai sulit untuk tidur, tidak mau makan, kehilangan selera untuk merawat diri, dan yang lebih parahnya lagi, mood-ku naik
Bab 86POV SofyanSebuah Kisah Tatapan kosong Faisal dia akhiri dengan kerling mata yang sendu. Dia pandangi Syifa tanpa berkedip sedikit pun. Tangannya berusaha meraih wajah anak itu dengan jari jemari yang gemetaran. “Syifa … Ayah … ingin pulang, Nak,” ulangnya pelan. Syifa langsung menoleh kepadaku. Anak itu kelihatan bingung. Bibirnya pun mulai melengkung terbalik, seolah-olah akan mencetuskan sebuah kesedihan. “Pa ….” Syifa memanggilku. Dia menggantung kata-katanya dengan ekspresi yang tertekan. “Iya, iya,” jawabku sambil mengayunkan telapak tangan ke bawah dengan gerakan perlahan. Aku juga bingung mau menjawab apa. Aku ini memang pria penolong yang kata orang-orang sangat baik hati. Namun, apa mungkin jika aku menampung Faisal di rumah kami jika pria itu sudah sehat? Tidak mungkin, kan? Itu namanya bodoh. Sebaik-baiknya seorang pria, mana ada yang mau berlapang dada menampung mantan suami dari is
Bab 85POV SofyanPerjumpaan Penuh Sesal “Astaga! Bapak kenapa? Nggak apa-apa, kan?” Seorang bruder alias perawat lelaki sigap menahan kedua bahuku saat tubuh ini limbung akibat menabrak badan si bruder. Pria berseragam serba hijau itu memperhatikan rautku yang kini penuh dengan cemas. Debaran di dadaku pun terasa terus mencelat naik, tanpa mau diajak berkompromi. Sementara itu, Syifa tak juga mau melepaskan pelukan eratnya di pinggangku sambil merengek ketakutan. “Papa! Syifa takut, Pa! Napasku terengah-engah. Bayangan akan sosok Pak Beno yang tiba-tiba datang dengan gerakan mencurigakan, serta isak tangis Faisal yang deras seperti hujan badai itu, kini terus mengitari kepala. Aku rasanya ingin cepat-cepat meninggalkan bangsal ini. “S-saya nggak apa-apa, Mas!” sahutku terengah dengan ekspresi yang panik kepada bruder bertubuh jangkung dengan kulit sawo matang itu. “Kenapa Bapak teriak sambil lari begitu? Apa Pak
Bab 84POV SofyanBangsal Seroja Pak Wahyu mengantar kami ke bangsal Seroja di mana Faisal kini dirawat. Ternyata, letak kamarnya tidak begitu jauh dari pos satpam tadi. Ruangan dengan pintu tinggi bercat hijau tua itu pun keberadaannya hanya satu meter dari ruang jaga perawat yang terlihat ada tiga orang bruder tengah berjaga sambil sibuk mengerjakan laporan. Pintu hijau dengan tinggi sekitar dua meter itu tampak tertutup rapat. Sebelum meninggalkan kami, Pak Wahyu sempat berpesan. Ucapan pria berkulit gelap itu terdengar sedikit mengerikan, hingga membuat bulu kuduk ini merinding. “Pak, maaf, ruangan Seroja ini ada dua orang penghuninya. Satunya Pak Faisal, satunya lagi Pak Beno. Pak Beno ini sebenarnya sudah sembuh, cuma … suka cari perhatian. Kalau semisal agak mengganggu, segera keluar aja ya, Pak,” bisiknya kepadaku. Bibir hitam tebal Pak Wahyu tersenyum simpul. Lirikan matanya kelihatan menunjukkan sedikit rasa khawatir. Tentu saj
Bab 83POV SofyanPermintaan Maaf Kami saling diam di dalam kabin mobil yang seketika berubah jadi panas usai meledaknya tangisan Syifa. Aku tak lagi membujuk anak sambungku tersebut. Kupilih untuk bungkam saja, alih-alih memohon maaf kepadanya agar dia tak lagi bersedih. Sepertinya, gara-gara sikap dinginku itu, Syifa jadi benar-benar merajuk. Hingga mobilku telah parkir di depan pintu masuk RSJ tempat Faisal dirawat pun, Syifa tak juga mengajakku bicara. Aku tetap mencoba tenang, meski sebenarnya hati berontak. Mobil pun berhasil terparkir dengan baik di tengah-tengah antara mobil SUV berwarna hitam dan sedan antik warna merah darah. Kuhela napas dalam sambil melepaskan sabuk pengaman dari pundak. Sekilas, kutoleh Syifa dengan ekor mata.&nbs
Bab 82POV SofyanLelaki Juga Punya Hati “Lain kali kita ke sana ya, Syifa.” Kucoba untuk menghibur kekecewaannya Syifa, meskipun di palung hatiku sendiri masih terasa menganga luka akibat rasa cemburu itu. Sambil mengerucutkan bibir, Syifa mengangguk. Bocah TK itu terkadang menguji sabarku dengan segenap kepolosannya. Aku tahu jika dia tak punya niat buruk untuk sengaja menyakiti hati papa sambungnya ini. Maka dari itu, akulah yang harus mengalah. Sebagai orang dewasa yang berakal sehat, aku harus banyak-banyak memahami Syifa dan seisi dunianya. Walaupun sekali lagi kuberi tahu, bahwa perasaanku sebagai pria tak sebaja yang banyak orang-orang kira. “Semoga lai
Bab 81POV SofyanKutahan Laju Cemburu Berbekal tiga bungkus sate kambing tanpa nasi dan tiga potong ayam krispi bagian dada plus tiga bungkus nasi hangat, aku berangkat menjemput Syifa ke sekolahannya. Pekerjaanku sudah kuselesaikan. Termasuk memberikan koreksi yang cukup banyak kepada Bayu sebelum pemuda itu maju seminar proposal esok lusa. Untuk beberapa hari ke depan, aktifitas mengajarku mungkin memang agak terganggu. Tugas mengajar lebih banyak kulimpahkan kepada asdosku. Mahasiswa juga sudah kuberikan beberapa tugas yang bisa dikumpulkan via email maupun Google Classroom. Semua ini terpaksa kulakukan sebab harus menjaga Mila. Aku tidak bisa mempasrahkan penjagaannya kepada Bi Dilah secara penuh. Bi Dilah juga sudah lumayan repot karena harus merawat rumah, memasak, mencuci, bahkan sesekali mengurus Syifa yang terkadang saat belajar masih perlu ditemani. Aku ingin sekali mengajak ibuku atau mamanya Mila datang ke sini. Tujuannya se
Bab 80POV SofyanHatiku Tak Baik-baik Saja Lelaki mana yang betah hatinya tatkala harus membiarkan anak sambungnya, kembali dekat dengan mantan suami dari istri sendiri. Begitulah yang sedang kurasakan sekarang. Jujur saja, perasaanku sebenarnya tidak baik-baik saja ketika Syifa lagi-lagi mengajakku untuk menemui Faisal di rumah sakit jiwa alias RSJ. Bukankah Sofyan adalah sosok pria baik hati yang selalu rendah diri dan berlapang dada dengan segala kejadian di muka bumi ini? Mungkin kalimat panjang itu tak seratus persen salah, tetapi juga tak seratus persennya benar. Aku memang tipikal lelaki baik yang selalu saja senang menolong berbagai kesulitan orang-orang di lingkungan sekitarku. Siapa pun orangnya, apabila tengah terjepit dalam situasi yang sulit, maka aku akan senang hati menolong. Tak pernah sedikit pun terbesit di benak untuk mendapatkan imbal jasa atas segala yang kuberikan pada orang lain. Seperti itu jugalah kira-kira gambarannya keti