Bagian 26
“Ng-nggak,” sahutku jujur agak gugup. Aku betul-betul tak mengenal perempuan cantik berpakaian serba branded ini. Pun, gadis muda fashionistas di sebelahnya. Siapa mereka?
“Saya Tiffany Utama. Ini anak pertama saya, Rasya Utama. Kami yang melaporkan Adelia ke polisi.” Wanita cantik dengan wajah super mulus itu menjabat tanganku. Terasa halus telapak tangannya. Kilauan cincin berlian yang dia kenakan di jemari manis tangan kanannya tersebut sudah sangat menjelaskan bahwa dia bukanlah sembarang orang.
“Masyaallah!” ucapku spontan. Aku tak menduga bahwa perempuan baik hati inilah yang semakin membukakan jalan lebar bagiku untuk mendapatkan keadilan. Lewat bantuan tangannya jugalah, Adelia dan Mas Faisal semakin terpuruk di
Bagian 27 Telepon dari Ummi kutolak. Tak sudi bagiku untuk mengangkatnya. Aku lekas menghadap ke arah Bu Tiffany dan tersenyum kecil. “Silakan diangkat saja dulu, Mbak Karmila,” ujarnya. “Nggak, Bu. Telepon tidak penting,” sahutku. “Oh. Jadi gimana, Mbak? Setuju, kan, naik pesawat dengan kami besok?” Bu Tiffany malah mengulangi pertanyaannya. Membuatku lagi-lagi dilanda deg-degan. Masa iya, harus naik business class segala? Ponselku malah bergetar lagi. Kutengok, Ummi lagi-lagi memanggil. Cepat ku-rejec
Bagian 28 “Ya Allah, ini baju segini banyak untuk apa?!” Aku histeris melihat tumpukan belanjaan yang harus dibawa pakai troli segala tersebut. Eh, Mas Sofyan yang tengah sibuk memilihkan Syifa gaun, malah tertawa. “Santai aja, Mil. Ini nggak cuma buat Syifa, kok. Aku juga beli kaus sama celana kolor buat di rumah. Aku beli kaus oblong banyak juga untuk anak-anak Bi Dilah.” Mendengar jawaban Mas Sofyan, sesaat aku terperangah. Sedikit malu karena sudah ke-GR-an. Eh, ternyata dia belanja juga. Syukurlah, benakku. “Oh, syukur kalau begitu. Kirain Syifa main nyomot aja,” ucapku seraya menarik pelan tangan Syifa. 
Bagian 29 “S-saya … janji. Tidak akan mengulangi semuanya … l-la-gi.” Terbata-bata Adelia berucap. Janji tinggal janji semata. Semua wartawan di depannya malah semakin menggila saja. Serbuan cemooh dari mulut mereka terdengar hingga ke televisi. “Halah! Janjimu busuk, Del!” umpat Shintya geram. “Paling-paling, kalau keluar dari sel dia ngulah lagi!” timpal Bi Dilah. “Sudahlah. Kita doakan saja yang terbaik.” Mama, seperti biasa akan menenangkan kami agar tak berkomentar terlalu berlebihan. Namun, kegeraman kami tetap saja membara. Apalagi aku. Mulutku memang hanya diam, tapi sedari tadi kedua tanganku saling meremas kuat saking kes
Bagian 30 Kami semua berkumpul pagi-pagi sekali di ruang makan. Hidangan sudah siap sedia oleh tangan Bi Dilah yang cekatan. Aku dan Shintya juga ikut menemani beliau memasak sejak Subuh buta. Sengaja kami awal sekali bangun serta bersiap-siap sebab pukul 09.45 pagi pesawat kami sudah take off. Sementara pukul 07.30 ada waktu minimal untuk check in di bandara. Sekarang masih pukul 05.15 dan siap buat mengisi perut sebelum naik taksi ke bandara. Suasana di ruang makan masih agak tegang. Antara aku dan Mama, pastinya. Sejak kejadian tadi malam, aku belum juga teguran dengan beliau. Beliau yang lebih duluan cuek sekaligus mendiamiku. Aku pun belum mau juga mengajaknya berbicara. Bukan apa-apa. Aku masih agak jengkel. Sebab, kurasa bukanlah sebuah salah besar yang kuperbuat tadi malam. Aku masih agak keberatan dengan sikap Mama yang memarahi
Bagian 31Wartawan yang lain pun langsung menyerbu. Mereka semakin membabi buta bertanya. Namun, Mas Sofyan langsung menarik lenganku. Pria itu mengajak kami untuk menerobos kerumunan. “Maaf ya, semuanya. Kami harus beristirahat dulu. Besok kita ketemu lagi di Trens TV, ya,” ucap Mas Sofyan sopan sambil melambaikan tangannya ke depan para wartawan. “Mas, satu pertanyaan lagi. Kalau dibilang pebinor, Mas terima tidak? Soalnya, kan, Ibu Karmila masih bersuami.” Ya Allah, pertanyaan dari wartawan pria yang mengacung-acungkan kamera ponselnya tersebut membuatku sakit hati luar biasa. Akan tetapi, kami tak menggubrisnya. Aku terus berjalan dengan posisi tangan kiri yang menggandeng Syifa, sedang tangan kananku digandeng oleh Mas Sofyan. Ka
Bagian 32POV Author “Yak, jumpa kembali dalam Curahan Hati Wanita, Nggak Pake Rahsia-rahasiaan. Ahh!” Feni Melati selaku pembawa acara reality show CHW bangkit dari sofanya sambil membuat gerakan bibir seperti mendesah. Memang begitu geriknya apabila usai mengucapkan slogan acara mereka. ‘Nggak Pake Rahasia-rahasiaan, aah!’ Wanita bertubuh langsing dengan rambut lurus sepundak itu lalu menatap kamera dengan pulasan senyum yang menawan. Presenter berusia 42 tahun dengan celana panjang berwarna putih dan blus lengan terompet warna magenta itu lalu mulai berceloteh manja. “Gimana keadaannya pagi ini Buibu dan Pakbapak yang masih setia menonton saluran kebanggaan Indonesia, Trens TV selalu dinanti? Baik-baik pastinya, ya. Nggak ker
Bagian 33POV Author Haru yang biru terbit dalam sepanjang acara CHW di Trens TV. Cerita yang dituturkan oleh Tiffany panjang lebar telah membuat berjuta pasang mata kaum hawa yang tengah menonton di layar kaca, menitikan air mata sedih. Tak sedikit juga dari mereka yang geram dan langsung menjadikannya perbincangan hangat di sosial media. Taggar bertuliskan #SaveTiffany pun trending nomor tiga di Twitter dalam waktu singkat. Padahal, acara CHW masih berlangsung. Sungguh, Trens TV memang tak salah memilih bintang tamu Usai Tiffany bercerita, kini giliran Karmila. Perempuan yang hari ini mengenakan hijab syari menutupi hingga perutnya tersebut mulai menuturkan awal mula kejadian. Dimulai dari Faisal yang pamit untuk pergi perjalanan dinas, hingga telepon dari sang mertua. Bahkan, tim CHW yang telah mengumpulkan bukti rekam
Bagian 34POV Sofyan “Sofyan, kenapa tidak bilang Ibu kalau kamu mau masuk tivi? Semua teman-teman Ibu menelepon dan minta penjelasan! Astaga, kamu ini ada masalah apa sebenarnya? Kenapa tiba-tiba tersangkut ke masalah rumah tangga orang segala?” Ibuku menelepon sesaat setelah acara di Trens TV selesai. Aku yang baru saja hendak mengganti kostum di ruang wardrobe, langsung minta izin pada tim penata busana untuk menyingkir ke toilet yang kebetulan tak begitu jauh dari sini. Dadaku berdegup-degup tak keruan. Bagaimana tidak, ini menyangkut masalah Ibu. Wanita yang paling kucinta dan memang tak kuceritakan tentang masalah yang sedang mendera. Pun mengenai sosok Mila yang sejak lama diam-diam kukagumi. Beliau pasti akan marah besar sebab mengetahui semuanya malah lewat media, bukan dariku.&
Bab 88 Kebahagiaan Tanpa Tepi Sebulan Setelah Kelahiran Anak Pertama Sofyan Setelah melalui banyak cobaan yang berat, akhirnya rumah tangga Sofyan dan Karmila kini terlihat adem ayem. Apalagi usai mendapatkan seorang anak lelaki lucu yang diberi nama Shakeel. Bocah kecil yang lahir sebulan lalu dengan bobot 3,8 kilogram dan panjang 52 sentimeter itu sangat lucu, putih, dan menggemaskan. Siapa pun sayang kepada Shakeel. Baik dari pihak keluarga Mila, maupun keluarga dari pihak Sofyan. Tak sampai di situ saja, keluarga dari mantan suaminya Mila, yakni Faisal pun juga sangat menyayangi dan menyanjung-nyanjung Shakeel yang kian gempal setiap harinya. Faisal kini sudah sembuh total dari penyakit mentalnya. Pria itu hanya dirawat selama beberapa bulan saja di rumah sakit jiwa. Setelah mendapatkan pengobatan yang teratur dan berkualitas, pria itu sudah dapat kembali beraktifitas seperti layaknya manusia normal yang lain. Tubuh Faisal yang
Bab 87POV SofyanPesan-pesan “Sabar ya, Pak,” ujarku sambil meraih tangan keriput milik Pak Beno. Lelaki tua itu menatapku lesu. Senyum di wajahnya tak tampak. Seperti matahari yang tersembunyi di balik kepungan awan hitam. “Anakku enam, Yan. Dua perempuan, tiga lelaki. Dokter spesialis paru, dokter umum, dosen, pengusaha, polisi, dan lawyer. Tidak ada yang pengangguran. Mereka sibuk sekali dengan urusan masing-masing.” Pak Beno mulai terbuka. Aku tak menduga juga bahwa kami berdua bisa berbicara dengan sangat leluasa begini. Aku pun semakin tergelitik untuk mendengarkan kisah selanjutnya. “Tiga tahun lalu, aku mengalami depresi. Pemicunya adalah kematian istriku. Dia belahan jiwa satu-satunya yang paling mengerti dengan apa yang kubutuhkan di dunia ini,” ucapnya sembari menerawang jauh. “Aku mulai sulit untuk tidur, tidak mau makan, kehilangan selera untuk merawat diri, dan yang lebih parahnya lagi, mood-ku naik
Bab 86POV SofyanSebuah Kisah Tatapan kosong Faisal dia akhiri dengan kerling mata yang sendu. Dia pandangi Syifa tanpa berkedip sedikit pun. Tangannya berusaha meraih wajah anak itu dengan jari jemari yang gemetaran. “Syifa … Ayah … ingin pulang, Nak,” ulangnya pelan. Syifa langsung menoleh kepadaku. Anak itu kelihatan bingung. Bibirnya pun mulai melengkung terbalik, seolah-olah akan mencetuskan sebuah kesedihan. “Pa ….” Syifa memanggilku. Dia menggantung kata-katanya dengan ekspresi yang tertekan. “Iya, iya,” jawabku sambil mengayunkan telapak tangan ke bawah dengan gerakan perlahan. Aku juga bingung mau menjawab apa. Aku ini memang pria penolong yang kata orang-orang sangat baik hati. Namun, apa mungkin jika aku menampung Faisal di rumah kami jika pria itu sudah sehat? Tidak mungkin, kan? Itu namanya bodoh. Sebaik-baiknya seorang pria, mana ada yang mau berlapang dada menampung mantan suami dari is
Bab 85POV SofyanPerjumpaan Penuh Sesal “Astaga! Bapak kenapa? Nggak apa-apa, kan?” Seorang bruder alias perawat lelaki sigap menahan kedua bahuku saat tubuh ini limbung akibat menabrak badan si bruder. Pria berseragam serba hijau itu memperhatikan rautku yang kini penuh dengan cemas. Debaran di dadaku pun terasa terus mencelat naik, tanpa mau diajak berkompromi. Sementara itu, Syifa tak juga mau melepaskan pelukan eratnya di pinggangku sambil merengek ketakutan. “Papa! Syifa takut, Pa! Napasku terengah-engah. Bayangan akan sosok Pak Beno yang tiba-tiba datang dengan gerakan mencurigakan, serta isak tangis Faisal yang deras seperti hujan badai itu, kini terus mengitari kepala. Aku rasanya ingin cepat-cepat meninggalkan bangsal ini. “S-saya nggak apa-apa, Mas!” sahutku terengah dengan ekspresi yang panik kepada bruder bertubuh jangkung dengan kulit sawo matang itu. “Kenapa Bapak teriak sambil lari begitu? Apa Pak
Bab 84POV SofyanBangsal Seroja Pak Wahyu mengantar kami ke bangsal Seroja di mana Faisal kini dirawat. Ternyata, letak kamarnya tidak begitu jauh dari pos satpam tadi. Ruangan dengan pintu tinggi bercat hijau tua itu pun keberadaannya hanya satu meter dari ruang jaga perawat yang terlihat ada tiga orang bruder tengah berjaga sambil sibuk mengerjakan laporan. Pintu hijau dengan tinggi sekitar dua meter itu tampak tertutup rapat. Sebelum meninggalkan kami, Pak Wahyu sempat berpesan. Ucapan pria berkulit gelap itu terdengar sedikit mengerikan, hingga membuat bulu kuduk ini merinding. “Pak, maaf, ruangan Seroja ini ada dua orang penghuninya. Satunya Pak Faisal, satunya lagi Pak Beno. Pak Beno ini sebenarnya sudah sembuh, cuma … suka cari perhatian. Kalau semisal agak mengganggu, segera keluar aja ya, Pak,” bisiknya kepadaku. Bibir hitam tebal Pak Wahyu tersenyum simpul. Lirikan matanya kelihatan menunjukkan sedikit rasa khawatir. Tentu saj
Bab 83POV SofyanPermintaan Maaf Kami saling diam di dalam kabin mobil yang seketika berubah jadi panas usai meledaknya tangisan Syifa. Aku tak lagi membujuk anak sambungku tersebut. Kupilih untuk bungkam saja, alih-alih memohon maaf kepadanya agar dia tak lagi bersedih. Sepertinya, gara-gara sikap dinginku itu, Syifa jadi benar-benar merajuk. Hingga mobilku telah parkir di depan pintu masuk RSJ tempat Faisal dirawat pun, Syifa tak juga mengajakku bicara. Aku tetap mencoba tenang, meski sebenarnya hati berontak. Mobil pun berhasil terparkir dengan baik di tengah-tengah antara mobil SUV berwarna hitam dan sedan antik warna merah darah. Kuhela napas dalam sambil melepaskan sabuk pengaman dari pundak. Sekilas, kutoleh Syifa dengan ekor mata.&nbs
Bab 82POV SofyanLelaki Juga Punya Hati “Lain kali kita ke sana ya, Syifa.” Kucoba untuk menghibur kekecewaannya Syifa, meskipun di palung hatiku sendiri masih terasa menganga luka akibat rasa cemburu itu. Sambil mengerucutkan bibir, Syifa mengangguk. Bocah TK itu terkadang menguji sabarku dengan segenap kepolosannya. Aku tahu jika dia tak punya niat buruk untuk sengaja menyakiti hati papa sambungnya ini. Maka dari itu, akulah yang harus mengalah. Sebagai orang dewasa yang berakal sehat, aku harus banyak-banyak memahami Syifa dan seisi dunianya. Walaupun sekali lagi kuberi tahu, bahwa perasaanku sebagai pria tak sebaja yang banyak orang-orang kira. “Semoga lai
Bab 81POV SofyanKutahan Laju Cemburu Berbekal tiga bungkus sate kambing tanpa nasi dan tiga potong ayam krispi bagian dada plus tiga bungkus nasi hangat, aku berangkat menjemput Syifa ke sekolahannya. Pekerjaanku sudah kuselesaikan. Termasuk memberikan koreksi yang cukup banyak kepada Bayu sebelum pemuda itu maju seminar proposal esok lusa. Untuk beberapa hari ke depan, aktifitas mengajarku mungkin memang agak terganggu. Tugas mengajar lebih banyak kulimpahkan kepada asdosku. Mahasiswa juga sudah kuberikan beberapa tugas yang bisa dikumpulkan via email maupun Google Classroom. Semua ini terpaksa kulakukan sebab harus menjaga Mila. Aku tidak bisa mempasrahkan penjagaannya kepada Bi Dilah secara penuh. Bi Dilah juga sudah lumayan repot karena harus merawat rumah, memasak, mencuci, bahkan sesekali mengurus Syifa yang terkadang saat belajar masih perlu ditemani. Aku ingin sekali mengajak ibuku atau mamanya Mila datang ke sini. Tujuannya se
Bab 80POV SofyanHatiku Tak Baik-baik Saja Lelaki mana yang betah hatinya tatkala harus membiarkan anak sambungnya, kembali dekat dengan mantan suami dari istri sendiri. Begitulah yang sedang kurasakan sekarang. Jujur saja, perasaanku sebenarnya tidak baik-baik saja ketika Syifa lagi-lagi mengajakku untuk menemui Faisal di rumah sakit jiwa alias RSJ. Bukankah Sofyan adalah sosok pria baik hati yang selalu rendah diri dan berlapang dada dengan segala kejadian di muka bumi ini? Mungkin kalimat panjang itu tak seratus persen salah, tetapi juga tak seratus persennya benar. Aku memang tipikal lelaki baik yang selalu saja senang menolong berbagai kesulitan orang-orang di lingkungan sekitarku. Siapa pun orangnya, apabila tengah terjepit dalam situasi yang sulit, maka aku akan senang hati menolong. Tak pernah sedikit pun terbesit di benak untuk mendapatkan imbal jasa atas segala yang kuberikan pada orang lain. Seperti itu jugalah kira-kira gambarannya keti