Tengah malam, aku terbangun karena merasa gelisah. Dari tadi benda pusakaku tidak mau tidur, kalau seperti ini harus segera di jinakkan. Aku turun dari ranjang, berjalan pelan keluar kamar, berharap udara malam bisa menenangkan dan setidaknya membuatnya tertidur. Tapi kaki ini malah membawaku ke pintu kamar Mama Siska. Aku memutar gagang pintu perlahan—tidak terkunci. Jantungku berdegup lebih kencang saat aku masuk, menutup pintu tanpa suara.Mama Siska tidur pulas, cahaya bulan dari celah jendela menerangi wajahnya yang lembut. Gaun tidurnya tersingkap sedikit di pahanya, menonjolkan pesonanya yang sederhana tapi memikat. Aku mendekat, duduk di sisi ranjang, memandangnya dengan campuran sayang dan hasrat menggebu.“Sayang,” bisikku, tanganku menyentuh pipinya pelan.Dia menggeliat, matanya membuka perlahan, terkejut tapi tidak marah.“Raka? Kenapa kamu di sini?” bisiknya, suaranya lembut tapi cemas.“Aku nggak bisa tidur, sayang. Cuma… pengen deket sama kamu,” kataku, suaraku parau.
"Kamu capek sayang? Aku kencengin lagi ya?" Tanyaku.Mama Siska mengatur nafasnya, dia tidak menjawab. Aku angkat tubuhnya dan aku gendong dari depan, posisi ini rasanya semakin nikmat. Aku cengkram erat tubuhnya, aku gerakkan pinggulku dengan kecepatan penuh.Gerakanku mulai mengendor, aku mengatur nafasku dulu keringat sudah membasahi seluruh tubuhku. Kita saling berciuman, wajah Mama Siska sampai basah oleh keringat tapi dia terlihat semakin seksi. Setelah tenagaku kembali, aku kembali menggerakkan pinggulku.Entah sudah berapa lama permainan kita, rasanya tak ada sedikitpun rasa capek. Kini aku baringkan tubuhnya di tepi ranjang, aku rapatkan tubuhku dan kembali mencium bibirnya. Gerakanku semakin kencang, rasanya aku sudah berada di titik puncak. Gerakanku semakin tidak menentu, tanpa sadar sampai berteriak tapi masih aku tahan dan akhirnya kenikmatan datang dan semuanya berakhir.Aku menjatuhkan tubuhku di atas tubuhnya, nafsuku masih tersengal-sengal dan Mama Siska memelukku er
Aku memarkir motor di depan rumah, tapi mataku langsung tertuju pada motor asing yang terparkir di halaman. 'Milik siapa ini?' batinku, merasa ada yang aneh. Aku masuk, dan suara tawa lembut Mama Siska dari ruang tamu membuatku berhenti. Di sofa, dia duduk berhadapan dengan seorang pria berusia 40-an, berpakaian rapi, wajahnya ramah tapi terlalu akrab untuk seleraku. Mereka terlihat asyik mengobrol, tertawa seperti punya rahasia sendiri.“Raka, kamu pulang!” seru Mama Siska, berdiri saat melihatku. “Ini Pak Budi, temen sekolah Mama dulu. Budi, ini Raka, menantuku” katanya, tersenyum hangat.Aku menjabat tangan pria itu, mencoba tersenyum. Cara mereka berbicara, tatapan akrab Budi, dan tawa kecil Mama Siska membuatku cemburu. Aku pamit ke kamar, tapi dari pintu, aku melirik mereka lagi. Budi menyentuh lengan Mama Siska saat bercerita, dan aku mengepalkan tangan, berjalan cepat ke kamar.Di kasur, aku merebahkan diri, mencoba menenangkan diri. 'Dia cuma temen, Raka. Jangan lebay,' ba
"Kalau misalnya tadi Nayla memergokiku, aku tidak tahu apa yang terjadi.." gumamku dalam hati.Aku menarik selimut, berharap besok mendapat kabar baik dan hidupku akan berubah.Pagi hari tiba, cahaya pagi menyelinap melalui celah jendela, tapi pikiranku penuh dengan rencana: Tiara harus membayar kebohongannya, dan aku akan memastikan itu terjadi dengan cara yang tidak akan dia lupakan. Foto dan video dari Alicia adalah senjata utamaku, tapi aku perlu strategi matang untuk membongkar perselingkuhannya di depan orang banyak—momen yang akan membuatnya merasakan malu yang sama seperti yang kurasakan.Aku mandi, lalu setelah itu mengenakan kemeja biru tua dan celana jeans, lalu bergabung dengan Mama Siska dan Nayla di meja makan. Mama Siska tersenyum lembut, tapi ada kekhawatiran di matanya karena aku belum bisa mengatakan masalahku padanya.“Raka, semangat, semoga kerjanya lancar hari ini, ya?” katanya, menyodorkan sepiring nasi goreng.“Iya, Ma. Makasih,” jawabku, berusaha tersenyum. Na
Makan malam berlangsung dengan ceria berkat Nayla, yang tak henti bercerita tentang teman kampusnya yang salah kirim email ke dosen. Ada saja ceritanya, setiap hari tidak pernah absen. Aku tersenyum, menimpali secukupnya, tapi pikiranku sibuk: bukti perselingkuhan Tiara di folder tersembunyiku, rencana untuk membongkarnya di ulang tahunnya beberapa bulan lagi, dan pertanyaan tentang masa laluku yang mulai mengusik karena Claire. Mama Siska memperhatikanku, matanya penuh perhatian, tapi aku hanya mengangguk saat dia bertanya apakah aku baik-baik saja. Setelah makan, aku membantu mencuci piring, mencuri senyum kecil dari Mama Siska sebelum pamit ke kamar, berusaha menenangkan hati yang penuh rahasia.Pagi tiba, dan aku melaju ke kantor dengan semangat baru. Di ruang kerja, Claire sudah ada, duduk di meja meeting dengan laptop terbuka. Tapi ada yang berbeda—matanya, biasanya hangat dan penuh antusiasme, kini terlihat ragu, seperti menyimpan beban.“Morning, Raka. Ready for today’s revisi
Pagi harinya, aku pergi ke kantor lebih awal seperti biasanya. Pagi ini Tiara juga katanya harus pagi-pagi sekali ke kantor, entahlah apa aku harus percaya atau tidak. Nayla sendiri agak siang ke kampusnya, dan berencana akan pergi ke salon bersama Mama Siska sebelum ke kampus.Aku duduk di meja kerjaku, menatap layar laptop, tapi pikiranku tidak di sana. Sikap Claire yang tiba-tiba berubah sejak kemarin membuatku gelisah. Dia yang biasanya hangat, sering tersenyum, dan suka mengajakku ngobrol santai, kini hanya bicara soal pekerjaan, menjaga jarak dengan tatapan yang sulit dibaca. Apakah aku melakukan sesuatu yang salah? Atau ada kaitannya dengan kejadian di apartemennya, saat aku tiba-tiba tertidur? Luka kecil di lenganku masih terasa samar, menambah kecurigaanku.Pagi itu, saat aku menyerahkan revisi storyboard ke Claire, dia hanya mengangguk singkat. “Thanks, Raka. I’ll review it,” katanya, suaranya datar, lalu kembali ke laptopnya.Tidak ada obrolan ringan, tidak ada senyum. Aku
Perasaanku tidak menentu, aku berharap yang terbaik saja. Ternyata Claire sudah mengatur semuanya, dari hari-hari sebelumnya. Berkat teknologi yang canggih, hasil keakuratan DNA bisa di lakukan meskipun pamannya Claire berada di Paris.Aku memarkir motor di depan rumah, pikiranku masih penuh dengan kunjungan ke rumah sakit tadi sore bersama Claire. Formulir tes DNA yang kutandatangani terasa seperti langkah besar, tapi aku belum tahu apa artinya—apakah aku benar-benar terkait dengan paman Claire? Aku menghela napas, masuk ke rumah, dan aroma masakan Mama Siska langsung menyambut. Tapi yang membuatku terpana adalah penampilan Mama Siska. Rambutnya yang biasanya panjang kini dipotong sebahu, dengan poni lembut yang membingkai wajahnya. Dia mengenakan daster sederhana, tapi entah kenapa, dia terlihat lebih muda, lebih memikat.“Raka, kamu sudah pulang! Makan malam udah siap,” katanya, tersenyum, tidak menyadari aku memandangnya terpesona.Aku buru-buru mengalihkan pandangan saat Tiara mu
Selama perjalanan menuju rumah, hatiku merasa bahagia aku tidak sabar ingin segera bertemu dengan mereka. Akhirnya sampai di rumah, aku memarkirkan motorku. Aku masuk ke rumah, aroma masakan Mama Siska dari dapur langsung menyambut. Mama Siska sedang menata meja makan, rambut barunya yang sebahu membuatnya tampak berbeda. Tiara duduk di sofa, mengobrol dengan Nayla, wajahnya ceria.“Mas, pulang! Aku nunggu dari tadi, lho,” kata Tiara, berlari memelukku.Aku membalas pelukannya, memasang senyum terbaikku.“Oh ya, makasih ya. Laper, nih, Mama masak apa?” tanyaku, pura-pura santai.“Capcay, pepes ikan, lalapan sama sambel, Nak. Ayo, makan!” seru Mama Siska, tersenyum hangat."Dengernya aja udah laper, paling enak makan sambel." kataku buru-buru ke kamar segera mandi.Malam ini, makan malam terasa lebih berbeda mungkin karena suasana hatiku yang lagi seneng. Meski masalah dengan Tiara masih menggantung, kebahagiaan bertemu keluargaku memberi semangat baru. Aku bercanda dengan Nayla, yang
"Ma, nanti kalau kamu tidak sibuk, aku ingin ajak kamu jalan!" kataku tiba-tiba, lebih hati-hati takut ada yang denger."Boleh saja, kamu mau ajak kemana?" tanyanya menatapku, lalu kembali mencuci piring."Ada tempat yang sangat bagus, nanti aku ajak kesana. sebenarnya besok libur tapi aku sudah ada janji sama teman kantor, sore nya Liana ngajak jalan juga." aku merasa tidak enak pada Mama Siska.Mama Siska telah selesai mencuci piringnya, dia mengelap tangannya dengan sapu tangan lalu tiba-tiba memegang tanganku."Kamu jangan khhwawir Raka, aku mengerti. Cukup melihatmu sehat dan tersenyum juga sudah cukup bagiku. lagipula kita setiap hari ketemu kan?"Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba Nayla muncul dan posisi kita sedang saling berpegangan tangan. Sontak, Mama Siska langsung melepaskan tangannya. "Ma, aku minta cream pelembab ya?" katanya, Nayla buru-buru pergi.Aku rasa Nayla tadi melihat jika kita saling berpegangan tangan. Aku dan Mama Siska jadi ketakutan dan tegang, "Ma, aku
Selama perjalanan menuju rumah, hatiku merasa bahagia aku tidak sabar ingin segera bertemu dengan mereka. Akhirnya sampai di rumah, aku memarkirkan motorku. Aku masuk ke rumah, aroma masakan Mama Siska dari dapur langsung menyambut. Mama Siska sedang menata meja makan, rambut barunya yang sebahu membuatnya tampak berbeda. Tiara duduk di sofa, mengobrol dengan Nayla, wajahnya ceria.“Mas, pulang! Aku nunggu dari tadi, lho,” kata Tiara, berlari memelukku.Aku membalas pelukannya, memasang senyum terbaikku.“Oh ya, makasih ya. Laper, nih, Mama masak apa?” tanyaku, pura-pura santai.“Capcay, pepes ikan, lalapan sama sambel, Nak. Ayo, makan!” seru Mama Siska, tersenyum hangat."Dengernya aja udah laper, paling enak makan sambel." kataku buru-buru ke kamar segera mandi.Malam ini, makan malam terasa lebih berbeda mungkin karena suasana hatiku yang lagi seneng. Meski masalah dengan Tiara masih menggantung, kebahagiaan bertemu keluargaku memberi semangat baru. Aku bercanda dengan Nayla, yang
Perasaanku tidak menentu, aku berharap yang terbaik saja. Ternyata Claire sudah mengatur semuanya, dari hari-hari sebelumnya. Berkat teknologi yang canggih, hasil keakuratan DNA bisa di lakukan meskipun pamannya Claire berada di Paris.Aku memarkir motor di depan rumah, pikiranku masih penuh dengan kunjungan ke rumah sakit tadi sore bersama Claire. Formulir tes DNA yang kutandatangani terasa seperti langkah besar, tapi aku belum tahu apa artinya—apakah aku benar-benar terkait dengan paman Claire? Aku menghela napas, masuk ke rumah, dan aroma masakan Mama Siska langsung menyambut. Tapi yang membuatku terpana adalah penampilan Mama Siska. Rambutnya yang biasanya panjang kini dipotong sebahu, dengan poni lembut yang membingkai wajahnya. Dia mengenakan daster sederhana, tapi entah kenapa, dia terlihat lebih muda, lebih memikat.“Raka, kamu sudah pulang! Makan malam udah siap,” katanya, tersenyum, tidak menyadari aku memandangnya terpesona.Aku buru-buru mengalihkan pandangan saat Tiara mu
Pagi harinya, aku pergi ke kantor lebih awal seperti biasanya. Pagi ini Tiara juga katanya harus pagi-pagi sekali ke kantor, entahlah apa aku harus percaya atau tidak. Nayla sendiri agak siang ke kampusnya, dan berencana akan pergi ke salon bersama Mama Siska sebelum ke kampus.Aku duduk di meja kerjaku, menatap layar laptop, tapi pikiranku tidak di sana. Sikap Claire yang tiba-tiba berubah sejak kemarin membuatku gelisah. Dia yang biasanya hangat, sering tersenyum, dan suka mengajakku ngobrol santai, kini hanya bicara soal pekerjaan, menjaga jarak dengan tatapan yang sulit dibaca. Apakah aku melakukan sesuatu yang salah? Atau ada kaitannya dengan kejadian di apartemennya, saat aku tiba-tiba tertidur? Luka kecil di lenganku masih terasa samar, menambah kecurigaanku.Pagi itu, saat aku menyerahkan revisi storyboard ke Claire, dia hanya mengangguk singkat. “Thanks, Raka. I’ll review it,” katanya, suaranya datar, lalu kembali ke laptopnya.Tidak ada obrolan ringan, tidak ada senyum. Aku
Makan malam berlangsung dengan ceria berkat Nayla, yang tak henti bercerita tentang teman kampusnya yang salah kirim email ke dosen. Ada saja ceritanya, setiap hari tidak pernah absen. Aku tersenyum, menimpali secukupnya, tapi pikiranku sibuk: bukti perselingkuhan Tiara di folder tersembunyiku, rencana untuk membongkarnya di ulang tahunnya beberapa bulan lagi, dan pertanyaan tentang masa laluku yang mulai mengusik karena Claire. Mama Siska memperhatikanku, matanya penuh perhatian, tapi aku hanya mengangguk saat dia bertanya apakah aku baik-baik saja. Setelah makan, aku membantu mencuci piring, mencuri senyum kecil dari Mama Siska sebelum pamit ke kamar, berusaha menenangkan hati yang penuh rahasia.Pagi tiba, dan aku melaju ke kantor dengan semangat baru. Di ruang kerja, Claire sudah ada, duduk di meja meeting dengan laptop terbuka. Tapi ada yang berbeda—matanya, biasanya hangat dan penuh antusiasme, kini terlihat ragu, seperti menyimpan beban.“Morning, Raka. Ready for today’s revisi
"Kalau misalnya tadi Nayla memergokiku, aku tidak tahu apa yang terjadi.." gumamku dalam hati.Aku menarik selimut, berharap besok mendapat kabar baik dan hidupku akan berubah.Pagi hari tiba, cahaya pagi menyelinap melalui celah jendela, tapi pikiranku penuh dengan rencana: Tiara harus membayar kebohongannya, dan aku akan memastikan itu terjadi dengan cara yang tidak akan dia lupakan. Foto dan video dari Alicia adalah senjata utamaku, tapi aku perlu strategi matang untuk membongkar perselingkuhannya di depan orang banyak—momen yang akan membuatnya merasakan malu yang sama seperti yang kurasakan.Aku mandi, lalu setelah itu mengenakan kemeja biru tua dan celana jeans, lalu bergabung dengan Mama Siska dan Nayla di meja makan. Mama Siska tersenyum lembut, tapi ada kekhawatiran di matanya karena aku belum bisa mengatakan masalahku padanya.“Raka, semangat, semoga kerjanya lancar hari ini, ya?” katanya, menyodorkan sepiring nasi goreng.“Iya, Ma. Makasih,” jawabku, berusaha tersenyum. Na
Aku memarkir motor di depan rumah, tapi mataku langsung tertuju pada motor asing yang terparkir di halaman. 'Milik siapa ini?' batinku, merasa ada yang aneh. Aku masuk, dan suara tawa lembut Mama Siska dari ruang tamu membuatku berhenti. Di sofa, dia duduk berhadapan dengan seorang pria berusia 40-an, berpakaian rapi, wajahnya ramah tapi terlalu akrab untuk seleraku. Mereka terlihat asyik mengobrol, tertawa seperti punya rahasia sendiri.“Raka, kamu pulang!” seru Mama Siska, berdiri saat melihatku. “Ini Pak Budi, temen sekolah Mama dulu. Budi, ini Raka, menantuku” katanya, tersenyum hangat.Aku menjabat tangan pria itu, mencoba tersenyum. Cara mereka berbicara, tatapan akrab Budi, dan tawa kecil Mama Siska membuatku cemburu. Aku pamit ke kamar, tapi dari pintu, aku melirik mereka lagi. Budi menyentuh lengan Mama Siska saat bercerita, dan aku mengepalkan tangan, berjalan cepat ke kamar.Di kasur, aku merebahkan diri, mencoba menenangkan diri. 'Dia cuma temen, Raka. Jangan lebay,' ba
"Kamu capek sayang? Aku kencengin lagi ya?" Tanyaku.Mama Siska mengatur nafasnya, dia tidak menjawab. Aku angkat tubuhnya dan aku gendong dari depan, posisi ini rasanya semakin nikmat. Aku cengkram erat tubuhnya, aku gerakkan pinggulku dengan kecepatan penuh.Gerakanku mulai mengendor, aku mengatur nafasku dulu keringat sudah membasahi seluruh tubuhku. Kita saling berciuman, wajah Mama Siska sampai basah oleh keringat tapi dia terlihat semakin seksi. Setelah tenagaku kembali, aku kembali menggerakkan pinggulku.Entah sudah berapa lama permainan kita, rasanya tak ada sedikitpun rasa capek. Kini aku baringkan tubuhnya di tepi ranjang, aku rapatkan tubuhku dan kembali mencium bibirnya. Gerakanku semakin kencang, rasanya aku sudah berada di titik puncak. Gerakanku semakin tidak menentu, tanpa sadar sampai berteriak tapi masih aku tahan dan akhirnya kenikmatan datang dan semuanya berakhir.Aku menjatuhkan tubuhku di atas tubuhnya, nafsuku masih tersengal-sengal dan Mama Siska memelukku er
Tengah malam, aku terbangun karena merasa gelisah. Dari tadi benda pusakaku tidak mau tidur, kalau seperti ini harus segera di jinakkan. Aku turun dari ranjang, berjalan pelan keluar kamar, berharap udara malam bisa menenangkan dan setidaknya membuatnya tertidur. Tapi kaki ini malah membawaku ke pintu kamar Mama Siska. Aku memutar gagang pintu perlahan—tidak terkunci. Jantungku berdegup lebih kencang saat aku masuk, menutup pintu tanpa suara.Mama Siska tidur pulas, cahaya bulan dari celah jendela menerangi wajahnya yang lembut. Gaun tidurnya tersingkap sedikit di pahanya, menonjolkan pesonanya yang sederhana tapi memikat. Aku mendekat, duduk di sisi ranjang, memandangnya dengan campuran sayang dan hasrat menggebu.“Sayang,” bisikku, tanganku menyentuh pipinya pelan.Dia menggeliat, matanya membuka perlahan, terkejut tapi tidak marah.“Raka? Kenapa kamu di sini?” bisiknya, suaranya lembut tapi cemas.“Aku nggak bisa tidur, sayang. Cuma… pengen deket sama kamu,” kataku, suaraku parau.