“Aku ... aku siap!”Secepat kilat Jun menarik kerah kemeja Nasco, karena mereka harus bersembunyi, sebab dia merasakan ada pergerakan didekat mereka.“Jun, di sini banyak perangkap,” bisik Nasco panik. Kepalanya memutar ke kiri dan kanan mencari-cari di mana letak jebakan yang kapan lalu, pernah dia lihat meledak begitu saja saat dia tidak sengaja mampir untuk menyapa ayahnya yang waktu itu masih hidup.“Tidak. Tidak ada perangkap yang terpasang.” Jun menggeleng, padahal itu belum tentu benar. Cuma firasat. Perlu meyakinkan Nasco agar pria itu tidak berisik dan bisa tetap berada disampingnya tanpa mengeluh, apalagi protes.“Kau yakin? Kau bisa memastikannya?”“Tutup mulut, Nas. Aku sedang memastikan siapa tamu yang mendatangi kakakmu.”“Sepertinya—oh, Jun! Lihat!” Nasco menunjuk ke arah pintu samping rumahnya, bukan depan. Seorang wanita berambut pendek dengan gaya berpakaian minim, keluar dari sana dan berjalan menuju mobil.Xana Herby!Dugaan Jun benar, tepat!Apa pun kini menjadi m
Xana menatap pagar kayu kokoh yang tingginya sebatas pinggang orang dewasa sebagai satu-satunya jalan keluar lain, menurut Nasco. Dia melihat sekilas ke kaca spion bagian dalam dan saling bertemu mata dengan Jun.“Terobos saja, Xana.”Perintah Jun langsung dilaksanakan oleh Xana tanpa menjawab. Sebenarnya hatinya ketar ketir tidak karuan. Dia bukan belum pernah berada dalam situasi ini, tapi tertangkap basah oleh Jun berada di kediaman Tubala membuatnya tidak enak hati.Apalagi Jun bisa menarik kesimpulan semaunya, sesuka hati. Sebab pria itu menolak mendengar apa yang ingin dijelaskannya tadi.Hal inilah yang paling ditakuti Xana. Jun salah paham padanya. Membentang jarak dan mereka tidak akan lagi bisa seperti dulu.“Awas di depan!” Nasco berteriak memperingatkan, karena mobil hampir melompat ke danau tidak jauh dari halaman belakang rumahnya.Xana tidak fokus. Tidak bisa. Akhirnya dia membuat mereka menabrak pohon ditepi danau. Nasco terlempar ke depan dengan kepala membentur jok.
Karena saran dari Jun, baik Xana dan Nasco sama-sama berpencar untuk berbaur di keramaian.Mereka bertingkah seolah tidak panik. Tidak sulit bagi Jun dan Xana untuk bersikap tenang seolah jadi bagian dari kerumunan orang-orang yang lalu lalang dipinggir jalan, berebutan pakaian branded diskon dan mengantre sandwich didekat taman. Berletak persis di depan seberang gerbang perumahan.Jun menemukan titik temu, karena Xana sudah mengambil posisi di salah satu bangku taman bersama para ibu-ibu yang menemani anak mereka bermain. Ada beberapa kereta bayi didekat Xana. Ketika wanita itu berdiri dan setengah membungkuk menyapa para bayi, saat itulah dia melangkah mendekati Xana.Nasco masih kebingungan dan cemas tidak menentu, saat dia malah membuat kekacauan dengan menabrak seorang gadis usia awal dua puluhan yang baru selesai mengantre sandwich.“Hampiri Nasco. Kau tahu apa yang harus dilakukan.” Jun bicara setengah berbisik pada Xana yang langsung mematuhi perintah. Matanya mengawasi keadaa
Terbiasa curiga, waspada di setiap kesempatan, Jun akhirnya lepas dari semua itu setelah memastikan bahwa orang yang dia maksud bukanlah musuh yang mengikuti.Mengambil rute jalan pulang mengitari kota untuk menghilangkan jejak, Jun memilih taksi super lambat agar memudahkannya memperhatikan sekitar.Saat hampir pada pemberhentian terakhir, Jun melihat mantan kakak iparnya tengah berjalan tergesa-gesa dalam kerumunan pejalan kaki yang sibuk di jam pulang kerja, sambil menunduk.Buru-buru turun, Jun yakin bahwa itu memang Shima Naomi. Dia mempercepat langkah, namun tetap pada ritme santai beraturan.Tangannya menangkap pergelangan Shima yang langsung berbalik dengan raut terkejut bukan main.Cengkeraman yang tadinya ingin ditepis, segera ditahan karena pria yang menahan langkahnya adalah Jun Hongli, mantan adik iparnya.“Jangan bicara apa pun.” Jun melepas cengkeramannya sambil melihat tempat yang sekiranya aman untuk mereka berbincang. Termasuk tentang segala hal yang bersifat amat ra
Jun mengantarkan Shima ke Wells Saint sebelum sore. Masih belum jam empat saat mereka tiba. Shima langsung mengambil kunci tempat penyimpanan, setelah memberikan sebuah bukti berupa kartu nama yang mengartikan nomor lemari dan kepemilikan sah telah berpindah ke tangannya pada si resepsionis.“Ayah melarangmu membuka isi kopernya?” Jun melirik koper berukuran kecil yang ditenteng di tangan kanan Shima. Mereka sudah keluar dari Well Saint semenit lalu.“Tidak ada larangan apa pun. Ayah cuma memintaku pergi membawa koper ini. Sampai di tempat tujuan mana yang ingin kudatangi, ayah memintaku menyimpannya lagi seperti sebelumnya.”“Tidak tertarik untuk melihat isinya?” Jun menghasut, tanpa maksud buruk. Mereka bisa bersama-sama melihat isinya, lalu menutupnya kembali dan meletakkannya pada tempat seharusnya.Shima menatap Jun dengan ketidakpenasarannya pada apa pun, selain ingin pergi sejauh mungkin dari sana. Dia tidak peduli, sebenarnya. Tapi, apa salahnya tahu tentang isi di dalam koper
Shima terbangun dengan tubuh seakan remuk dan tanpa Jun di sisinya. Kembali memejamkan matanya, dia yakin percintaan mereka selalu panas dan tidak pernah terasa bosan.Jun mungkin sedang di toilet. Membuang apa yang ingin dibuang atau berada dalam kamar mandi, berendam sampai ketiduran. Itu yang dipikirkan Shima, sebab dia tidak mau repot-repot membuka matanya yang masih lengket untuk bangun dari tempat tidur guna mencari pria itu.Sungguh melelahkan hari-harinya sendirian setelah sekejap saja ditinggal oleh ayahnya. Dia ingin tidur kembali sampai siang. Pasti sebentar lagi Jun datang dengan senampan berisi sarapan atau menggendongnya untuk segera dimandikan. Oh, nyaman dan menenangkan.Apa bisa setiap hari mereka seperti itu saja?Perasaannya kini tidak akan goyah lagi. Kun dan Jun bukan pilihan. Dia lebih menginginkan satu orang saja dalam hidupnya. Pria itu sudah pasti Jun Hongli. Tidak mungkin Kun Yongli setelah semua yang telah dia ketahui dari Alaric.Sebenarnya, bukan cuma itu
James Isaac menyeringai lebar di ambang pintu kamar mandi yang terbuka. Kemudian berjongkok di depan Shima yang terkejut bukan main, karena rasa takut akan orang asing yang tidak dikenal.Mustahil tidak ada yang mengenal wajah pasaran James Isaac, pemilik dan pemimpin dari Empty Corp yang terlalu sering muncul di televisi dan majalah bisnis.Shima hanya tidak terlalu memperhatikan. Apalagi dalam situasi yang mengerikan seperti ini. Dia lupa segalanya, termasuk pada koper dan Jun. Pikirannya kosong.Perasaan takutnya hampir sama dengan ketika dia kehilangan ibunya waktu itu. Rasa takut yang membuatnya kesulitan bernapas.“Di mana kopernya, Shima Naomi?” James yang sebenarnya masih tidak terlalu tua, tapi wajah kejam yang membuatnya terlihat berumur, mendekatkan bibirnya ke telinga Shima. “Jika tidak bersedia buka mulut, aku bisa membunuhmu dengan siksaan sedikit demi sedikit yang menyakitkan. Kau mau begitu?”Shima mematung dengan hanya kedua matanya saja yang mengerjap-ngerjap. Dia ti
Tidak mendengarkan penjelasan Remi, Jun tetap meninggalkan kantor polisi tanpa pengawalan untuk pergi memastikan bahwa Rona masih hidup.Entah bagaimana dia yakin bahwa Rona tidak mati bersama Lani. Ada campur tangan James yang pasti mengacaukan keadaan. Membuat kebenaran jadi simpang siur.Dalam dua puluh satu menit, Jun sudah ada di antara puing-puing sisa pembakaran rumah yang menjadi tempat untuk memanipulasi kematian Rona dan Lani.Dia sengaja datang ke sana untuk menampakkan diri dan memancing siapa yang akan datang menemuinya tanpa ragu-ragu.“Jun?”Jun hafal betul suara pria yang menyebut namanya dengan nada keheranan seperti itu. Kakaknya, Kun Yongli.“Bukan bos-mu yang datang langsung?” Jun berbalik agar posisinya kini berhadapan langsung dengan lawan bicaranya.“Kenapa kau pikir dia yang akan datang?” Kun seperti ingin menertawakan adiknya. “James itu pria yang tidak suka mengurusi hal kecil atau besar sekali pun. Dia cuma mau datang untuk hal-hal yang dianggap perlu.”Jun
“Apa kau tidak lelah denganku, Jun?”Bukan lelah, malah Jun merasa tidak boleh mengenal apa itu lelah saat bersama Cosi. Hal itu justru menjadikannya seperti sekarang ini. Bahkan tanggungjawabnya terasa makin ringan dijalankan.“Jika aku lelah, aku yang memulai pasti akan mengakhiri. Tidak perlu alasan lain selain aku ingin menyerah. Namun tidak kulakukan. Itu artinya kau bisa menyimpulkan sendiri apa aku lelah denganmu atau tidak.” Jun berkata sambil menarik selimut untuk menutupi mereka bersama, tapi Cosi menahan tangannya.“Kau rindu padanya?”Jun terdiam sejenak, sampai akhirnya balik bertanya. “Sebelum kujawab. Aku ingin tahu, dari mana kau tahu bahwa aku sudah mengetahui tentang kunjunganmu ke rumah Sid?”Cosi menggenggam erat tangan Jun tanpa berani menatap mata pria itu, sebab dia takut jika nanti sampai melihat ekspresi Jun yang sedang membicarakan Sid. Raut wajah penuh kerinduan, tersiksa karena tidak bisa berjumpa.“Karena kau terlihat semakin kosong, Jun.”“Kau menebak?”Co
Cosi berhasil mengguncang Sid, sampai ke tulang-tulangnya. Wanita muda itu jatuh sakit keesokan harinya. Dalam keadaan hamil muda yang diketahui Matrix, dia dirawat di rumah sakit terdekat nyaris sepekan.Selama itu Sid terus mempertimbangkan banyak hal, segalanya. Meski Cosi datang dengan kabar yang sangat mengejutkan dirinya, apa dia berhak untuk merusak kebahagiaan pria yang dicintainya? Apa ini salah Jun? Tidak. Bahkan Jun tidak tahu menahu tentang benih di pertemuan terakhir yang ditanamkan telah menjadi calon bayi.Lalu, bagaimana dengan Cosi? Wanita itu menjadi tidak tenang setiap malam menjelang Jun masuk ke kamarnya. Dia cemas andai suami keduanya itu tahu tentang semua perbuatannya pada Sid.Namun dibalik rasa takutnya itu Cosi yakin, bahwa Sid tidak memiliki keberanian apa pun. Dia sudah mengancam akan mengupayakan segala cara jika Sid sampai berani bertindak untuk semua hal. Apa saja. Apa pun yang menyangkut tentang Jun adalah urusannya. Dia tidak ragu-ragu saat bertindak.
Sid suka berkebun di belakang rumah, setelah Matrix setiap pagi pergi berolahraga lari keluar masuk hutan.Dia sedang mual dan muntah saat Cosi muncul dengan raut wajah murung. Melihat Sid benar seperti foto yang dilihatnya dari Fla.Sid merasa tidak asing dengan wajah wanita dihadapannya. Namun tidak ingat pernah melihat, apalagi berinteraksi di mana dan kapan.Cepat-cepat membersihkan mulut dan mencuci wajahnya dari air yang mengalir di keran, Sid segera menegakkan tubuhnya untuk menghampiri Cosi dan menyapa dengan ramah.“Halo, Anda mencari—”Satu tamparan untuk Sid. Mendarat cepat dan kuat, hingga membuat wajah wanita itu sepenuhnya terlempar ke sisi arah samping.Telinga Sid yang berdenging seketika mengingatkannya pada siapa wanita yang rasanya tidak asing itu. Istrinya Kun Yongli. Kakak ipar dari pria yang dicintainya dan dicintainya.Tapi, kenapa?“Ternyata tidak rugi jauh-jauh aku datang ke sini.” Cosi mengepalkan tangan kanan yang tadi digunakan untuk menampar Sid. Meski gem
Sejak kapan ponsel Jun ada pada Cosi? Dan sejak kapan juga mereka boleh ikut campur sejauh itu antara satu sama lain?Sampai pada titik ini, sekalipun Jun belum pernah melanggar. Justru dia berusaha untuk menjauhi hal-hal yang bisa membuat kesepakatan jadi tidak bermakna lagi, jika salah satu dari mereka ada yang curang.Cosi menjadi satu-satunya pihak yang bermain curang, tidak aman.Jun membaca pesan balasan dari Sid. Sekilas, dari notifikasi.Sid: Hari-hariku tidak menyenangkan tanpa Anda, Pak Jun. Sejauh ini Ayah masih baik-baik saja. Aku rindu padamu.Menyimpan ponsel di sisi kanan yang bukan berarti aman, tapi tidak akan dijangkau Cosi lagi, Jun sekarang menghela napas nyaris teramat pelan.“Saatnya tidur, Cosi.”Ajaib. Cosi menurut. Namun tetap dalam posisi memunggungi Jun. Wanita hamil itu merajuk. Tentu saja.Kehilangan minat untuk membalas pesan dari Cosi, Jun memilih memejamkan mata. Ada alasan kenapa belakangan ini dia mulai memburu semua pekerjaan, bahkan siap menyelesaik
Dan setelah sekian lama rasanya, walau mungkin tidak selama dugaan mereka, Jun dan Kun berpelukan. Tidak berkata-kata. Hanya berpelukan dengan bergantian menepuk-nepuk punggung sebagai ciri khas para pria saat saling ingin memberikan dukungan satu sama lain.***Sid menangis keras dalam pelukan Jun. Harus berpisah. Dia dan ayahnya akan berangkat ke ujung dunia, besok. Negara yang jauh, desa terpencil.Dan rupanya Matrix tidak cuma sekedar memenuhi janjinya pada Kun, tapi memberitahu rahasia besar pada putrinya, pagi ini sebelum Sid pergi menemui Jun.“Karena aku adalah seorang peneliti, bukan hal yang mengejutkan bahwa aku tanpa sengaja terminum racun.Dan racun itu memicu kanker yang selama ini cukup pasif di dalam tubuhku, karena sebelumnya, aku bisa menanggulanginya berkat ilmu yang kupunya.Namun yang kali ini terlambat kusadari. Kankernya sudah menyebar ke seluruh tubuhku. Sulit kujelaskan padamu, sebab kau tidak turun ke duniaku. Yang ingin kuberitahukan adalah tentang hidupku y
Tidak ada kata menolak bagi Jun. Juga tidak perlu berpikir. Ini seperti sebuah keharusan. Tanggungjawab.Namun penting baginya untuk tidak melukai perasaan Kun.Lakukan cepat. Sebelum kakaknya kembali.Bibir dan pelukan mereka baru terlepas, ketika Kun masuk dengan terburu-buru. Terkesan menyimpan emosi.“Apa-apaan ini?” Kun meletakkan lembaran hasil tes ke pangkuan Cosi. “Bisa kalian jelaskan padaku?”Jun coba meraih kertas itu lebih dulu, tapi Cosi lebih cepat.“Ini salahku.”Kun dan Jun bersamaan menatap Cosi. Di benak mereka yang berbeda, pemikiran tertuju pada hal yang sama. Cosi melanggar kesepakatan.“Aku melarang Jun menggunakan pengaman. Biasanya, aku selalu minum pil pencegah kehamilan setelah melakukan hubungan. Namun beberapa waktu lalu, aku melupakannya.”Bukan lupa, tapi sengaja. Jun yakin itu. Namun dia akan diam saja sampai Kun mengambil keputusan. Kehamilan Cosi baru berusia satu minggu. Berarti artinya tidak lama setelah wanita itu mengungkapkan keinginan untuk memil
Fla bukan menghindari Jun, tapi memang begitu cemas andaikan atasannya itu kehilangan ‘minat’ padanya. Jaga jarak adalah cara teraman agar membuat suasana yang biasanya nyaman, menjadi canggung seketika.“Bisa tolong panggilkan Manajer Fla?” Jun membutuhkan wanita itu sekarang. Meminta salah satu karyawan lain agar memanggilkan Fla untuknya.“Ada yang bisa kubantu, Pak?” Harap dan cemas disingkirkan oleh Fla. Sikap profesional kerja harus diutamakan.Jun mengangkat wajah dari tatapannya pada dokumen dihadapannya. “Tidak biasanya kau begini. Atau mungkin saja aku yang keliru. Periksa laporanmu di sini. Temukan kesalahannya.”Fla melangkah lebih dekat ke mejanya Jun. Membungkukkan setengah tubuh dan memeriksa apa yang di maksud oleh pria itu.“Pak ... maaf. Ini kesalahanku. Akan kuperbaiki.”Jun mengangguk. Membiarkan Fla menarik laporan di mejanya dan dibawa pergi.Dugaan Fla berkata bahwa Jun sepertinya akan kembali menjadi atasan yang dikenalnya sebelum pria itu mengalami kecelakaan.
Tiba di rumah, Jun pikir semua orang pergi ke mana sepagi itu, rupanya Cosi ada di dapur sendirian.“Di mana ibu?”“Bersepeda keliling perumahan bersama El dan Kun.” Cosi tidak mengalihkan perhatiannya dari adonan untuk membuat pancake.Jun bersiap meninggalkan dapur, tapi ucapan Cosi menunda langkahnya.“Kemari dan ciumlah aku, Jun.” Cosi melepaskan fokus dari apa yang tadi dikerjakannya, berbalik tubuh kemudian bersandar dekat wastafel untuk menunggu.Jun menghampiri dalam sekejap. Cosi dengan cepat meraih wajah suami pemuasnya itu lebih dulu.“Oh, Jun. Aku merindukan bibir ini.” Segenap perasaan Cosi mencumbu dan menghisap.Awalnya Jun pasif, tapi ketika Cosi mulai meraba tubuhnya, dia terbawa hasrat menggebu yang sama besar. Setara, seimbang.“Bercintalah denganku, Jun.” Cosi berjinjit cuma untuk meminta hal itu selagi memberi bekas di leher sang suami pemuas.“Mereka akan kembali sebentar lagi.” Bukan alasan. Memang itu kenyataannya. Sekarang hampir jam delapan, Kun tidak mungkin
Itu ... benar.Jun tidak dapat mengendalikan dirinya saat tengah menghadapi tubuh Sid. Terlalu bebas dan menyenangkan.“Kau—maaf, Sidney aku ....”“Lanjutkan, Pak. Jangan berhenti karena Anda telah mengetahui bahwa aku masih perawan.”Jun menggeleng muram. “Aku telah merampasnya darimu. Harusnya kutanyakan—”“Jangan, Pak Jun. Jangan salahkan diri Anda. Aku yang menginginkan Anda. Aku ingin tidur dengan Anda. Siapa yang salah? Tidak ada. Kemarilah, Pak. Kumohon jangan berhenti. Satukan diri kita lagi. Seperti tadi.” Sid mengulurkan tangan, sebab Jun menjauh darinya. Jantungnya berdebar karena tidak ingin berpisah.Jun masih tertegun. Bajingan! Dia telah mengambil keperawanan Sid dengan santainya.“Pak Jun. Sayangku,” lirih Sid dengan keberanian yang diusahakannya sepenuh hati. Dia menyukai, bahkan sangat mencinta pria yang tengah berada di atas tubuhnya itu. Ungkapan cinta pertamanya lewat sebutan, panggilan.Jun mendekat. Tidak tega karena dipanggil dengan begitu putus asanya oleh Sid