Shima berhasil tergoda oleh Jun, ketika akhirnya mereka bercinta di dalam mobil di garasi rumah Kun.Keterlaluan memang. Namun mau bagaimana lagi? Jun dan Shima mengutamakan nafsu. Lagipula, di mana Kun ketika istrinya digoda oleh adik kandungnya sendiri?Pria itu bahkan tidak peduli pada apa pun yang terkait tentang Shima, kecuali untuk pernikahan palsu mereka yang perlu dicemaskan, kalau-kalau ada yang curiga, terutama orang tua dari kedua belah pihak.Sudah tengah malam, ketika dengan napas terengah keduanya mencapai klimaks pertama.“Sudah, Jun.” Shima memegangi lengan Jun yang sama berkeringatnya seperti dia.“Kenapa, hmm? Tidak menyenangkan lagi untukmu?” Jun berusaha berpikir, di mana letak kesalahannya.“Kau ini.” Shima memukul dada Jun. “Ini garasi mobil kakakmu. Kau mau dia masuk dan melihat kita di sini?”“Bagaimana jika kita biarkan saja?”“Kau gila!” Shima memaksa diri bangun dari sulitnya setengah terlipat di jok belakang.“Iya, iya. Maaf.” Menahan Shima dengan rangkulan
“Karena aku ingin mengubah beberapa peraturan yang ada di antara kita. Dan aku berharap kesepakatan bersama seperti sebelumnya.”Tatapan Kun mengunci Shima yang mengerjap-ngerjap bingung, takjub. Padahal, mereka bertekad bersama untuk bertahan selama satu tahun.Hanya satu tahun yang berarti bersisa tujuh bulan lagi.“Ayo, kita bicara.” Tidak mau menunggu lama, Kun menarik tangan Shima dan membawanya ke tepi tempat tidur.Shima menurut. Diam dan duduk. Menunggu dengan debaran yang mengganggu.Berharap sungguh bisa melihat tubuh suaminya lebih sering seperti ini. Tidak munafik, Shima begitu ingin menyentuhnya.Meski Kun dan Jun itu kakak adik, apa yang berbeda dari keduanya? Shima penasaran.Kurang ajar memang.“Ini perlu ditulis. Bahkan harus ada stempel yang membuktikan keabsahannya.” Kun berdiri. Berjalan ke sana kemari mencari semua yang dia dibutuhkan.Yang bisa dilakukan Shima hanya menatap dan memperhatikan apa yang dikerjakan suaminya.“Okay. Ini dia.” Semangat Kun terlihat dar
Menjalankan rutinitas yang biasa dilakukan para suami istri itu, pasti menyenangkan.Awalnya, Shima pikir, mereka akan mandi bersama dengan ketelanjangan penuh dan bercinta dengan perlahan-lahan.Tidak.Apa?Ya, tidak. Tidak ada yang terjadi.Ajakan Kun mandi bersama itu memang bukan cuma gertakan. Bahkan tanpa malu-malu mereka melepas pakaian. Berendam dengan busa yang menutupi ketelanjangan satu sama lain. Mereka di sana selama dua puluh menit. Bahkan sempat terlibat pembicaraan basa-basi.Setiap tanpa sengaja kulit mereka bertemu dan saling tersentuh, mengantarkan sengatan gairah untuk Shima.Rupanya, itu tidak berlaku bagi Kun. Pria itu tidak menunjukkan tanda-tanda kenaikan hasrat yang membakar sedikit demi sedikit, seolah Shima bukan lah lawan jenis yang bisa memuaskan gairah seksualnya.Tidak menyadarinya diawal, Shima merasa tersinggung ketika mereka akhirnya menarik selimut bersamaan dan kembali pada kegiatan utama di malam hari. Tidur.Menjengkelkan seperti apa pun itu, Shima
Shima ragu-ragu. Masih tegak berdiri di depan pintu kamar Jun di lantai dua.Dia menunduk menatap lantai. Memikirkan kemungkinan untuk meletakkan nampan berisi segelas susu panas itu di sana, lalu mengirimi Jun pesan bahwa susunya ada di depan pintu.Selagi berpikir begitu, Shima terkejut dan spontan mundur. Menatap Jun yang baru saja membuka pintu. Bertepatan sekali. Apa itu cuma kebetulan?“Terima kasih.” Mengambil nampan dari tangan Shima, Jun mundur, lalu menutup pintu.Shima masih berdiri tegak di sana dan merasa angin dari gerak pintu yang ditutup Jun, mengenai wajahnya.Sudah? Begitu saja? Beraninya dia bersikap begitu pada kakak iparnya?Entah bagaimana menjelaskannya, Shima kesal. Dia buru-buru turun dan nyaris salah menginjak anak tangga. Berpegangan pada railing dengan erat sambil mengomel.“Dia itu kenapa? Tidak sopan.”Jelas sekali tadi Jun sudah mengucapkan terima kasih padanya. Jadi, apa yang salah?Shima berencana membersihkan meja makan secepatnya, sebelum berangkat k
Tiga puluh menit setelah Karenina pergi, Jun keluar kamar dan turun menuju dapur.Tidak melihat Shima ada di sana, dia sama sekali tidak berniat mencari, apalagi menemui wanita itu.“Sudah lebih baik?”Jun sengaja tidak berbalik, ketika tiba-tiba suara Shima terdengar dari balik punggungnya. Dia tidak segera menjawab. Cuma diam menunggu.“Sepertinya, suaramu juga hilang, ya?” ejek Shima. Sekarang dia tidak peduli jika harus terlihat mengesalkan dengan langsung menempelkan telapak tangannya ke kening Jun.“Ya. Sudah lebih baik.” Daripada menepis tangan Shima, Jun memilih untuk memiringkan kepala. Menghindari tangan Shima yang masih berada di udara.“Makan siang apa yang kau inginkan?” Pura-pura tidak tersinggung atas sikap Jun, Shima berjalan menuju lemari es.“Kau.” Hasrat Jun masih sama, meski dia sedang tidak ingin bersikap lunak pada kakak iparnya.Tangan Shima masih mencengkeram pintu lemari es yang sudah dibuka. Berbalik dengan tatapan penuh selidik. “Bukannya kau sudah mendapatk
Bercinta ketika salah satu dari mereka sedang mengalami demam, terasa sedikit asing, tapi ada sesuatu yang membara dalam dua tubuh yang menyatu.Ketika diri Jun berada di dalam diri Shima, di situ lah ada kehangatan yang terasa dua kali lipat mengendap dan mengikat.Jun mendesah dengan suara berat dan panas. Denyut di kepalanya semakin menjadi, ketika dia memaksa menghentak agar penyatuan kian dalam.“Jun ....” Shima bergetar. Getar yang menghantarkan nikmat. Menempelnya kulit mereka dalam ketelanjangan, justru membuatnya candu. Ini tidak wajar.“Sakiti aku, Shima.” Tidak pernah meminta hal seperti itu ketika bercinta dengan lawan jenis, Jun tahu bahwa Shima berbeda. Dalam tingkatan yang mungkin bisa dia percayai atau karena deman menjadikannya ingin merasakan banyak rasa sakit.“Sakiti? Bagaimana ....” Shima bingung, tapi Jun segera memberi akses padanya.“Cakar punggungku. Benamkan kuku-kukumu lebih dalam lebih dari yang pernah kau lakukan padaku.”Sejenak, mungkin cuma sedetik, ada
Kun!Dia akhirnya yang memulai. Mencium bibir Shima sekilas, ketika mata mereka tetap saling menatap.Ciuman terlepas, tapi Shima mendatangkan gairah baru dengan memberikan kecupan kedua yang membelit satu sama lain.Kun berjalan maju, Shima mundur. Bibir mereka tidak terlepas. Kun menuntun langkah mereka berdua ke kamarnya.Terlepas.Mengambil napas dalam suasana terselimuti hasrat satu sama lain.Kembali menyatu, tanpa pikir panjang. Setelah tidak begitu terengah-engah. Sayangnya, Kun tidak berani meraba tubuh istrinya yang adalah hak sepenuhnya milik dirinya.Shima menunggu dalam ketidakpastian. Menunggu Kun bertindak. Gila memang. Dia baru saja bercinta dengan adiknya, tapi berharap bisa disentuh oleh kakaknya.Tidak. Mana mungkin ini salahnya? Dia tidak sepenuhnya salah. Jun yang memikat dan menggodanya lebih dulu. Dia bisa apa?Tentu saja kau bisa menolak, Shima Naomi!Ah, entah lah!“Rencananya, aku ingin mengajakmu lari keliling perumahan.” Jadi sangat canggung, Kun menyadari
“Tentu sa—”“Kak!”Shima dan Kun spontan terlonjak. Di luar, Jun menggedor pintu, bukannya mengetuk.Kun merasa tidak enak hati pada Shima atas kelakuan adiknya. Cepat-cepat dia berdiri sambil berkata. “Sebentar, ya?”Shima mengangguk, jadi ikut tidak enak hati. Dalam ketelanjangan itu, dia meraih selimut untuk menyembunyikan diri.Pintu terbuka. Kun keluar dan menutup pintu dibelakangnya.“Ada apa, Jun?”Wajah tidak bersahabat Jun, sama dengan suaranya yang kemudian bertanya. “Di mana kakak ipar?”“Dia ... di dalam. Ada apa?” Kun penasaran. Jika kemarin-kemarin tidak, maka sekarang dia akan pasang antena kecurigaan di dua sisi kepalanya.“Suruh dia menyelesaikan janjinya padaku.”“Janji? Janji apa?”“Shima berjanji akan membuatkanku sup kacang merah. Aku sudah menunggu sejak tadi. Saat aku turun untuk memeriksa, di meja makan malah tidak ada apa pun.”Kun salah tingkah. Itu sikap merasa bersalah karena saat Shima sedang berada di dapur, dia malah menggoda istrinya hingga akhirnya mer
“Apa kau tidak lelah denganku, Jun?”Bukan lelah, malah Jun merasa tidak boleh mengenal apa itu lelah saat bersama Cosi. Hal itu justru menjadikannya seperti sekarang ini. Bahkan tanggungjawabnya terasa makin ringan dijalankan.“Jika aku lelah, aku yang memulai pasti akan mengakhiri. Tidak perlu alasan lain selain aku ingin menyerah. Namun tidak kulakukan. Itu artinya kau bisa menyimpulkan sendiri apa aku lelah denganmu atau tidak.” Jun berkata sambil menarik selimut untuk menutupi mereka bersama, tapi Cosi menahan tangannya.“Kau rindu padanya?”Jun terdiam sejenak, sampai akhirnya balik bertanya. “Sebelum kujawab. Aku ingin tahu, dari mana kau tahu bahwa aku sudah mengetahui tentang kunjunganmu ke rumah Sid?”Cosi menggenggam erat tangan Jun tanpa berani menatap mata pria itu, sebab dia takut jika nanti sampai melihat ekspresi Jun yang sedang membicarakan Sid. Raut wajah penuh kerinduan, tersiksa karena tidak bisa berjumpa.“Karena kau terlihat semakin kosong, Jun.”“Kau menebak?”Co
Cosi berhasil mengguncang Sid, sampai ke tulang-tulangnya. Wanita muda itu jatuh sakit keesokan harinya. Dalam keadaan hamil muda yang diketahui Matrix, dia dirawat di rumah sakit terdekat nyaris sepekan.Selama itu Sid terus mempertimbangkan banyak hal, segalanya. Meski Cosi datang dengan kabar yang sangat mengejutkan dirinya, apa dia berhak untuk merusak kebahagiaan pria yang dicintainya? Apa ini salah Jun? Tidak. Bahkan Jun tidak tahu menahu tentang benih di pertemuan terakhir yang ditanamkan telah menjadi calon bayi.Lalu, bagaimana dengan Cosi? Wanita itu menjadi tidak tenang setiap malam menjelang Jun masuk ke kamarnya. Dia cemas andai suami keduanya itu tahu tentang semua perbuatannya pada Sid.Namun dibalik rasa takutnya itu Cosi yakin, bahwa Sid tidak memiliki keberanian apa pun. Dia sudah mengancam akan mengupayakan segala cara jika Sid sampai berani bertindak untuk semua hal. Apa saja. Apa pun yang menyangkut tentang Jun adalah urusannya. Dia tidak ragu-ragu saat bertindak.
Sid suka berkebun di belakang rumah, setelah Matrix setiap pagi pergi berolahraga lari keluar masuk hutan.Dia sedang mual dan muntah saat Cosi muncul dengan raut wajah murung. Melihat Sid benar seperti foto yang dilihatnya dari Fla.Sid merasa tidak asing dengan wajah wanita dihadapannya. Namun tidak ingat pernah melihat, apalagi berinteraksi di mana dan kapan.Cepat-cepat membersihkan mulut dan mencuci wajahnya dari air yang mengalir di keran, Sid segera menegakkan tubuhnya untuk menghampiri Cosi dan menyapa dengan ramah.“Halo, Anda mencari—”Satu tamparan untuk Sid. Mendarat cepat dan kuat, hingga membuat wajah wanita itu sepenuhnya terlempar ke sisi arah samping.Telinga Sid yang berdenging seketika mengingatkannya pada siapa wanita yang rasanya tidak asing itu. Istrinya Kun Yongli. Kakak ipar dari pria yang dicintainya dan dicintainya.Tapi, kenapa?“Ternyata tidak rugi jauh-jauh aku datang ke sini.” Cosi mengepalkan tangan kanan yang tadi digunakan untuk menampar Sid. Meski gem
Sejak kapan ponsel Jun ada pada Cosi? Dan sejak kapan juga mereka boleh ikut campur sejauh itu antara satu sama lain?Sampai pada titik ini, sekalipun Jun belum pernah melanggar. Justru dia berusaha untuk menjauhi hal-hal yang bisa membuat kesepakatan jadi tidak bermakna lagi, jika salah satu dari mereka ada yang curang.Cosi menjadi satu-satunya pihak yang bermain curang, tidak aman.Jun membaca pesan balasan dari Sid. Sekilas, dari notifikasi.Sid: Hari-hariku tidak menyenangkan tanpa Anda, Pak Jun. Sejauh ini Ayah masih baik-baik saja. Aku rindu padamu.Menyimpan ponsel di sisi kanan yang bukan berarti aman, tapi tidak akan dijangkau Cosi lagi, Jun sekarang menghela napas nyaris teramat pelan.“Saatnya tidur, Cosi.”Ajaib. Cosi menurut. Namun tetap dalam posisi memunggungi Jun. Wanita hamil itu merajuk. Tentu saja.Kehilangan minat untuk membalas pesan dari Cosi, Jun memilih memejamkan mata. Ada alasan kenapa belakangan ini dia mulai memburu semua pekerjaan, bahkan siap menyelesaik
Dan setelah sekian lama rasanya, walau mungkin tidak selama dugaan mereka, Jun dan Kun berpelukan. Tidak berkata-kata. Hanya berpelukan dengan bergantian menepuk-nepuk punggung sebagai ciri khas para pria saat saling ingin memberikan dukungan satu sama lain.***Sid menangis keras dalam pelukan Jun. Harus berpisah. Dia dan ayahnya akan berangkat ke ujung dunia, besok. Negara yang jauh, desa terpencil.Dan rupanya Matrix tidak cuma sekedar memenuhi janjinya pada Kun, tapi memberitahu rahasia besar pada putrinya, pagi ini sebelum Sid pergi menemui Jun.“Karena aku adalah seorang peneliti, bukan hal yang mengejutkan bahwa aku tanpa sengaja terminum racun.Dan racun itu memicu kanker yang selama ini cukup pasif di dalam tubuhku, karena sebelumnya, aku bisa menanggulanginya berkat ilmu yang kupunya.Namun yang kali ini terlambat kusadari. Kankernya sudah menyebar ke seluruh tubuhku. Sulit kujelaskan padamu, sebab kau tidak turun ke duniaku. Yang ingin kuberitahukan adalah tentang hidupku y
Tidak ada kata menolak bagi Jun. Juga tidak perlu berpikir. Ini seperti sebuah keharusan. Tanggungjawab.Namun penting baginya untuk tidak melukai perasaan Kun.Lakukan cepat. Sebelum kakaknya kembali.Bibir dan pelukan mereka baru terlepas, ketika Kun masuk dengan terburu-buru. Terkesan menyimpan emosi.“Apa-apaan ini?” Kun meletakkan lembaran hasil tes ke pangkuan Cosi. “Bisa kalian jelaskan padaku?”Jun coba meraih kertas itu lebih dulu, tapi Cosi lebih cepat.“Ini salahku.”Kun dan Jun bersamaan menatap Cosi. Di benak mereka yang berbeda, pemikiran tertuju pada hal yang sama. Cosi melanggar kesepakatan.“Aku melarang Jun menggunakan pengaman. Biasanya, aku selalu minum pil pencegah kehamilan setelah melakukan hubungan. Namun beberapa waktu lalu, aku melupakannya.”Bukan lupa, tapi sengaja. Jun yakin itu. Namun dia akan diam saja sampai Kun mengambil keputusan. Kehamilan Cosi baru berusia satu minggu. Berarti artinya tidak lama setelah wanita itu mengungkapkan keinginan untuk memil
Fla bukan menghindari Jun, tapi memang begitu cemas andaikan atasannya itu kehilangan ‘minat’ padanya. Jaga jarak adalah cara teraman agar membuat suasana yang biasanya nyaman, menjadi canggung seketika.“Bisa tolong panggilkan Manajer Fla?” Jun membutuhkan wanita itu sekarang. Meminta salah satu karyawan lain agar memanggilkan Fla untuknya.“Ada yang bisa kubantu, Pak?” Harap dan cemas disingkirkan oleh Fla. Sikap profesional kerja harus diutamakan.Jun mengangkat wajah dari tatapannya pada dokumen dihadapannya. “Tidak biasanya kau begini. Atau mungkin saja aku yang keliru. Periksa laporanmu di sini. Temukan kesalahannya.”Fla melangkah lebih dekat ke mejanya Jun. Membungkukkan setengah tubuh dan memeriksa apa yang di maksud oleh pria itu.“Pak ... maaf. Ini kesalahanku. Akan kuperbaiki.”Jun mengangguk. Membiarkan Fla menarik laporan di mejanya dan dibawa pergi.Dugaan Fla berkata bahwa Jun sepertinya akan kembali menjadi atasan yang dikenalnya sebelum pria itu mengalami kecelakaan.
Tiba di rumah, Jun pikir semua orang pergi ke mana sepagi itu, rupanya Cosi ada di dapur sendirian.“Di mana ibu?”“Bersepeda keliling perumahan bersama El dan Kun.” Cosi tidak mengalihkan perhatiannya dari adonan untuk membuat pancake.Jun bersiap meninggalkan dapur, tapi ucapan Cosi menunda langkahnya.“Kemari dan ciumlah aku, Jun.” Cosi melepaskan fokus dari apa yang tadi dikerjakannya, berbalik tubuh kemudian bersandar dekat wastafel untuk menunggu.Jun menghampiri dalam sekejap. Cosi dengan cepat meraih wajah suami pemuasnya itu lebih dulu.“Oh, Jun. Aku merindukan bibir ini.” Segenap perasaan Cosi mencumbu dan menghisap.Awalnya Jun pasif, tapi ketika Cosi mulai meraba tubuhnya, dia terbawa hasrat menggebu yang sama besar. Setara, seimbang.“Bercintalah denganku, Jun.” Cosi berjinjit cuma untuk meminta hal itu selagi memberi bekas di leher sang suami pemuas.“Mereka akan kembali sebentar lagi.” Bukan alasan. Memang itu kenyataannya. Sekarang hampir jam delapan, Kun tidak mungkin
Itu ... benar.Jun tidak dapat mengendalikan dirinya saat tengah menghadapi tubuh Sid. Terlalu bebas dan menyenangkan.“Kau—maaf, Sidney aku ....”“Lanjutkan, Pak. Jangan berhenti karena Anda telah mengetahui bahwa aku masih perawan.”Jun menggeleng muram. “Aku telah merampasnya darimu. Harusnya kutanyakan—”“Jangan, Pak Jun. Jangan salahkan diri Anda. Aku yang menginginkan Anda. Aku ingin tidur dengan Anda. Siapa yang salah? Tidak ada. Kemarilah, Pak. Kumohon jangan berhenti. Satukan diri kita lagi. Seperti tadi.” Sid mengulurkan tangan, sebab Jun menjauh darinya. Jantungnya berdebar karena tidak ingin berpisah.Jun masih tertegun. Bajingan! Dia telah mengambil keperawanan Sid dengan santainya.“Pak Jun. Sayangku,” lirih Sid dengan keberanian yang diusahakannya sepenuh hati. Dia menyukai, bahkan sangat mencinta pria yang tengah berada di atas tubuhnya itu. Ungkapan cinta pertamanya lewat sebutan, panggilan.Jun mendekat. Tidak tega karena dipanggil dengan begitu putus asanya oleh Sid