"Nya, lebih baik Nyonya istirahat di kamar. Saya buatkan teh hangat ya." Bik Surti datang menghampiri Yati berdiri terpaku di ruang tamu. Dia papah majikannya itu ke dalam kamar. Setelah merebahkan tubuh Yati di tempat tidur, lalu dia bergegas bertolak ke dapur.Kondisi rumah memang lengang, Bryan dan Dennis sedang ada pekerjaan di luar kota. Jika kedua anak lelaki Yati mengetahui hal ini jelas mereka akan sangat marah pada papanya.Ponsel bu Wera kembali berdering."Siapa, Bu? Nomor yang tadi?""Tidak, Ras. Beda. Biarkan sajalah!"Namun, hal yang sama pun terjadi seperti Syahrial tadi. Nomor itu terus saja menelepon hingga lima kali."Angkat saja, Bu! Mungkin penting," usul Laras kemudian"Gimana kalau mereka?""Hmm ... angkat ajalah, Bu. Siapa tahu bukan."Wera pun menuruti usulan Laras, mengangkat telepon yang kebetulan masih belum putus asa menghubungi dirinya."Halo.""Apa ini dengan ibu Wera? Kami dari pihak rumah sakit mau mengabarkan jika saudara Ibra, ibu Nani, juga saudari L
"Kenapa tidak coba pak Bryan sama pak Ibra saja, Pak. Siapa tahu golongan darah mereka sama.""Saya maunya mereka berdua tidak tahu akan hal ini, Pak," ucap Syahrial dalam hati."Mereka lagi sibuk, Pak. Tidak enak kalau diganggu."Mobil Pajero menepi memasuki area rumah sakit. Pak Tono langsung menurunkan Syahrial di depan IGD, lalu setelahnya mencari tempat parkir. Tak lama kemudian, mobil Alpard yang ditumpangi Yati pun juga sampai di area rumah sakit."Parkir dekat mobil bapak aja, Pak Bud!" titah Yati yang seorang diri duduk kursi penumpang bagian tengah."Baik, Bu.""Mana bapak, Pak Ton? Sudah masuk?"Pak Tono yang tengah mengecek ponsel tersentak karena tak menyadari majikannya berdiri di sebelah pintu kemudi. "Astagfirullah, kaget saya, Bu." Buru-buru pak Tono keluar dari mobil."Iya, Bu. Bapak sudah masuk, tadi saya langsung turunin di depan IGD.""Oh, oke. Kalian berdua tunggu di sini, saya masuk dulu.""Baik, Bu." Pak Tono juga Pak Budi serempak menjawab lalu saling berpand
"Ma, kamu ikutin aku?""Menurutmu?""Buat apa?""Kamu tidak perlu banyak tanya. Buat apa? Kenapa? Di mana letak harga diri keluargamu? Bahkan kamu lupa ada orang asing sekaligus perusak di sini. Untuk urusan kita, biar di rumah saja dibahas. Privasi antara aku dan kamu lebih berharga dari perempuan j*lang ini.""Oke, Ma. Aku minta maaf. Tapi urusan ku belum selesai. Liana --.""Oh jadi Liana nama anak perempuanmu itu?""Iya, dia butuh darah.""Ya sudah, donor kan saja darahmu, Pa. Biasanya kalau ayah biologis sama. Itupun jika benar kamu ayah biologisnya."Aku tidak bisa, Ma. Mau tidak mau aku harus suruh Bryan dan Ibra ke sini.""Mbak, apa maksudnya bicara seperti itu? Mbak pikir saya suka gonta-ganti pasangan?""Saya tidak berkata demikian, ya. Kamu sendiri yang berujar. Berarti benar? Kamu suka gonta-ganti, mana tahu kasusnya sama. Lagi puyeng liat yang bening dikit, langsung jual diri.
"Maafkan perilaku Ibra ya, Bu," pinta bu Yani saat melepaskan pelukan perlahan lalu kemudian menyapa Kinara dan memeluknya.""Ya Allah, Ibra. Kenapa bisa seperti ini, Nak? Ya Allah." Kondisi Ibra yang sangat memperihatinkan semakin membuat air mata bu Yani mengucur deras. Luka dimana-mana. Wajahnya di beberapa titik sudah ditutupi dengan perban. Bagian mata juga sembab membiru. Dan, Ibra masih juga belum sadar dari pingsannya. Sudah berlalu dua jam dari kecelakaan."Kinara.""Itu nanti saja kita bahas ya, Bu. Fokus sama kondisi Ibra dulu.""Jadi ibu, ibunya bapak Ibra?" tanya dokter Fani."Iya, Bu. Saya ibunya.""Bisa ikut saya sebentar, Bu?'"Boleh, Dok."Bu Yani mengikuti langkah dokter Fani ke ruangannya. Sementara Gina tinggal bersama bu Wera juga Kinara. Tak lupa anak sulung bu Yani bersalaman dengan bu Wera juga Kinara.Saat bu Yani keluar dari ruangan IGD tampak dua lelaki sedang berbicara serius
"Kamu ikut Nenek saja ke dalam ya! Biar om yang cari mama.""Benar kata om nya, Ki. Mending kita di dalam aja nunggu, dingin juga di luar.""Tapi om janji ya, harus nyari mama sampai ketemu.""Iya, om janji." Dennis pun mengulurkan jari kelingkingnya. Awalnya, Kinara tampak ragu. Namun, bu Yani ikut meyakinkan bahwa Dennis bisa menepati janjinya. Barulah Kinara menautkan jari kelingkingnya."Aku titip Kinara, ya, Bu. Satu lagi, jangan sampai bu Wera tahu, ya. Aku takut dia kaget dan drop.""Iya, Nak."Kemudian, Dennis pun menekuk lututnya hingga sejajar berhadapan dengan Kinara."Ki, jangan bilang-bilang sama nenek Wera, ya. Kan nenek lagi sakit. Nanti ... kalau nenek kaget, nenek bisa tambah parah sakitnya. Pokoknya Kinara diam aja ya!""Baik, Om."Bu Yani dan Kinara melangkah menuju ruang IGD. "Ya Allah, maaf jika aku terpaksa mengajarkan berbohong," ucap Dennis dalam hati.
Dennis mengangguk. Bu Wera, Laras, juga Kinara berpamitan dengan Syahrial. Meski mereka tak diperlakukan sopan. Terakhir, berpamitan dengan bu Yani yang terpaksa tinggal di rumah sakit untuk menemani Ibra."Maafkan mantan suamimu ya, Ras," bisik bu Yani saat mereka berpelukan."In syaa Allah aku sudah memaafkannya jauh hari, Bu."***"Jadi, apa yang ingin kamu katakan, Den?" tanya Laras saat mereka sudah sampai di rumah Laras. Bu Wera juga Kinara sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah."Apa berhubungan dengan yang dikatakan papa kamu tadi, Den?" Laras menatap tak senang."I-iya, Ras. Aku ... aku juga baru tahu ka-kalau pel@kor itu anak papa juga.""Rupanya, banyak hal yang aku tidak tahu soal kamu ya, Den. Kita teman dekat. Pantas saja selama ini kamu tidak terbuka sama aku dan Dinda. Rupanya kamu menyimpan banyak rahasia.""Berarti kamu tahu saat mas Ibra berkhianat lima tahun dulu? Kenapa kamu pura-pura me
"Oh tidak, tidak. Tidak ada masalah. Kenapa nelpon?""Enggak, cuma ngasih tahu kalau aku nggak jadi pulang hari ini. Biar papa nggak cemas, makanya aku kasih tahu.""Oh, oke. Sudah telpon mamamu?""Sudah, sebelum telpon papa, aku telpon mama.""Terus?""Terus apa, Pa?""Iya, maksud papa, apa kata mamamu?""Mama jawab iya aja. Emangnya kenapa, Pa? Ada masalah ya?""Iya, Bry. Papa tadi dapat kabar, anak teman papa butuh darah. Kebetulan darahnya sama dengan kamu. Kamu bisa donor?""Anak teman papa? Kok bisa sama golongan darahnya? Laki-lkai ata perempuan, Pa?""Perempuan, iyalah, namanya golongan darah wajarlah sama. Kamu bisa tidak, Bry?""Hmm ... kurang tahu aku, Pa. Kalau begadang mana mungkin bisa donor. Pendonornya kan musti istirahat yang cukup dan segala macamnya. Kenapa nggak darah papa aja yang di donor?""Mana bisa, Bry. Papa sudah tua mana bisa. Kamu bisa bantu papa c
"Silakan. Aku antar ya.""Den, duduk dulu. Aku mau liat Kinara dulu, dia sakit."Dennis mengangguk cemas. Perasaannya sungguh tidak tenang. Namun, diperbolehkan masuk sedikit memberi kelegaan pada hatinya.Sebelum menuju kamar Kinara, Dinda pun bersalaman terlebih dahulu dengan bu Wera karena kebetulan lewat depan ibunya Laras."Din, kok bawa Dennis sih ke sini. Aku yakin, kamu pasti dijadiin tumbal 'kan sama dia. Kali ini aku minta sama kamu. Apapun itu, jangan paksa aku untuk percaya. Dia tak sebaik yang kita pikir, Din," bisik Laras tak lama masuk ke dalam kamar. Sesampainya di kamar, mereka menemukan kondisi Kinara sedang tertidur."Ras, aku ke sini emang karena Dennis. Semalam ....""Din, maaf telepon malam-malam. Penting!"Dinda yang kala itu masih asyik menonton televisi dengan suaminya, agak curiga karena Dennis menghubunginya sudah dini hari. Sebelum mengangkat telepon, Dinda sudah terlebih dahulu meminta izin b
"Iya, tapi saya kurang tahu apa isinya, karena privasi."Dua hari lalu, Ibra memang menitipkan surat tersebut pada petugas."Kalau boleh tahu siapa yang menjemputnya, Pak?""Tidak ada, Mbak. Tidak ada yang menjemput.""Begitu, ya. Hmm ... apa bapak menanyakan di mana rumah papa saya?""Tidak, Mbak.""Baik lah, Pak. Terima kasih. Maaf sudah menganggu."Kinara berjalan tak berdaya menuju area parkir.Saat sudah di dalam mobil barulah dia membuka surat yang diberikan pak Mulyono tadi. Dan, setelah dibuka, rupanya ada beberapa tiga lembar kertas.Surat yang berisikan permintaan maaf Ibra karena sudah menyakiti Laras, Kinara, dan Arkana. Panjang lebar dia tuliskan dan di lembar terakhir rupanya ada surat kuasa, dia menyerahkan kuasa pada Arkana untuk menjadi wali nikahnya minggu depan."Maafkan, aku, Pa ...." teriaknya sembari menundukkan kepalanya di stir mobil.Tiba-tiba air mata Kinara lolos deras dari bola matanya yang indah."Gimana, Ki? Apa kata papamu?" desak Laras saat dia baru saja
Terbongkar Setelah 10 Tahun PernikahanBab 43Arkana mengemudikan mobil sportnya dengan kecepatan lumayan kencang. "Bro, gue titip absen ya!" titahnya pada Gio, teman yang bisa dikatakan cukup dekat dengannya. Arkana menghubungi Gio saat mobil yang dikemudi sudah terparkir."Kemana lu? Tumbenan mau cabut di kelasnya bu Rania?""Ada urusan lah pokoknya. Titip, ya!""Iya, kalau bisa. Kalau enggak ya takdir lu terdaftar absen."Setelah menutup sambungan telepon, Arkana menaruh ponsel canggihnya itu ke dalam tas kulit model salempang.Dengan sigap dia berjalan menuju ruang untuk melapor."Pak, bisa kah saya bertemu dengan bapak Ibra?" tanya Arkana tanpa basa-basi saat petugas menanyakan maksud kedatangannya."Tapi antri ya, Dik. Soalnya tadi bapak Ibra sudah ada yang besuk. Kalau boleh tahu adik siapanya?""Kira-kira berapa lama antrinya, Pak? Saya ... saya ... anaknya, Pak." Arkana memang ragu menjawab, entah apa yang membuat dia ragu walaupun beberapa detik kemudian dia tegas menjawab
Laras, Bryan, dan Liana hampir berdiri dengan serentak saat Ibra ingin kembali di bawa ke luar ruang sidang."Jangan berbangga hati kamu, Laras. Ini bukanlah akhir selagi aku masih hidup." Tatapan dendam itulah yang tersirat saat mantan suami ini saling bertatapan."Dan, kamu Bryan. Jangan menjadi manusia sok suci. Kamu tak lebih dari pengkhianat ulung. Jangan terlalu berbangga diri karena mereka memilihmu. Ingat! Suatu saat nanti, jika anak itu butuh aku, jangan harap." Tak hanya pada Laras, Ibra juga mengancam Bryan. Entah apa maksud dari yang diucapkannya itu. "Semoga kamu memanfaatkan waktu untuk bertaubat, Mas!" ucap Liana. Sisi lain, dia juga prihatin dengan kondisi yang menimpa Ibra. Sedikit banyaknya, dengan apa yang terjadi, tentu dia masih bersalah dengan apa yang dia perbuat. Kalau bukan karena dirinya, pasti perjalanan yang ditempuh tidak akan se-runyam dan menyakitkan seperti ini."Ck! Kamu Liana. Jangan pikir saya lupa apa yang kamu perbuat. Apa yang kamu hancurkan, sam
Terbongkar Setelah 10 Tahun PernikahanBab 42"Tenang, Bry. Jangan pikir macam-macam dulu." Bryan kemudian menepis yang ada dalam pikirannya.Setelah menghela napas panjang, Bryan pun melanjutkan langkahnya menuju meja administrasi. Dia memesan kamar VVIP pokoknya demi kenyamanan Kinara. Lagian sejauh ini, uangnya juga tidak seberapa dibanding rezeki yang dia peroleh."Mama!" sentak Laras saat mendapati mertuanya datang ke rumah sakit."Kenapa bisa begini, Ras?" lirih Yati.Yati pun mencium kening Kinara sembari menangis. Untung Kinara masih lelap dalam tidurnya. Pedih juga bagi Yati mendapat kabar dari Bryan. Tadi, saat Laras ke ruangan dr. Rani, Bryan memutuskan untuk memberi kabar pada mamanya."Mama kok bisa tahu?" tanya Laras heran."Bryan yang nelpon. Kenapa kamu tidak kasih tahu mama, Ras?" Mereka berdua agak berjarak berdiri dari ranjang pasien yang ditiduri Kinara. Takut dia terjaga."Panjang ceritanya, Ma. Tapi aku bersyukur kalau Kinara selamat.""Kamu juga tadi kata Bryan
"Iya, boleh, Bu?" tanyanya lagi."Tidak apa, Ras. Periksa aja, demi kamu juga. Jangan sepele 'kan," tukas Bryan. "E-e, iya, Uda," sahut Laras gugup."Bu, kita usg ya!" titah sang dokter setelah memeriksa."Keluarga Kinara! Keluarga Kinara! Keluarga Kinara!" Rasa gugup tadi berubah saat Laras mendengar seruan itu. "Bentar, Dok. Saya seperti mendengar seruan panggilan untuk keluarga Kinara. Kamu dengar nggak, Uda?""Keluarga Kinara ... Keluarga Kinara ....""Iya, Bu. Itu panggilan untuk keluarga Kinara," jawab sang dokter. "Saya lihat anak dulu, Dok. Makasih, Dok." Laras yang sudah beringsut turun dari ranjang pasien dari pertama kali mendengar seruan itu berlari keluar ruangan."Nanti saya dan istri ke sini lagi, Dok. Makasih sebelumnya, Dok.""Baik, Pak."Bryan pun menyusul Laras kemudian."Aku sangat menyayangkan dia menyembunyikan sesuatu," gumam sang dokter sembari menggelengkan kepalanya."Bu ... Bu ... Bu ... tunggu!" seru Laras saat melihat petugas IGD ingin masuk ke dalam."
Terbongkar Setelah 10 Tahun PernikahanBab 41Pintu kamar Kinara akhir terbuka juga saat pak Tony dan pak Budi tidak henti berusaha. Kadang menggunakan tubuhnya, sesekali menggunakan kaki. Puncaknya, saat keduanya menghempaskan tubuh dengan lebih kuat dari sebelumnya. Sampai-sampai lelaki berdua itu hilang kendali dan ikut masuk ke dalam kamar saat pintu kamar terbuka lebar. Napas kedua sopir itu jelas sudah tersengal-sengal, akan tetapi akan gurat puas. Sedangkan Laras berlari sigap bersama Bryan ke dalam kamar. Tak lupa asisten rumah tangga bik Minah dan bik Teti menyusul langkah majikannya dari belakang.Semua pasang mata yang ada di dalam kamar terbelalak bersamaan. Mata mereka tertuju pada obyek yang sama."Kinara ...," pekik Laras saat mendapati anak sulungnya tergeletak. Dia berlari lalu berjongkok, memegang kedua pangkal lengan anaknya. Dia guncang, akan tetapi tidak ada reaksi sama sekali. Ada darah yang membuat hati Laras semakin terasa tersayat. Pergelangan tangan selama
"Innalillahi Wainnailaihi Raji'un."Laras menceritakan pada Liana semua hal sebelum kepergian Dennis."Ya Allah, Kak. Padahal mas Dennis orangnya baik.""Iya, Li. Aku titip doa buat dia ya.""In syaa Allah, Kak."Setelah selesai menikmati hidangan barulah Laras mengecek ponselnya. Puluhan panggilan telepon dari suaminya terpampang nyata di layar ponselnya."Uda, maaf. Nadanya silence.""Kamu sama siapa sekarang?""Kenapa Uda Bryan nanya seperti itu, ya?" tanyanya dalam hati."Aku sudah di restoran tempat kamu makan. Maaf aku terpaksa ngelacak kamu. Aku tidak ingin kamu kenapa-kenapa, Ras. Kamu lagi sama siapa?""Aku sama Liana, Uda." Laras dengan jujur."Urusan apa? Kamu harus hati-hati!""Nanti aku ceritakan di rumah ya, Uda. Ini udah selesai kok. Abis ini aku mau antar Liana dulu. Baru langsung pulang. Kamu jadi ikut nanti?""Iya, aku ikut."Percakapan mereka lewat sambungan telepon berakhir tak lama kemudian."Mas Bryan marah ya, Kak?" tanya Liana saat Laras menaruh ponselnya di da
Terbongkar Setelah 10 Tahun PernikahanBab 40"Ya sudah, Kak. Tapi tunggu sebentar biar aku rapikan dulu jualan ini.""Aku bantu ya, Li.""Makasih, Kak."Liana semakin malu, semakin rasa bersalah pun menghantui detik demi detik. Sesekali mereka saling menatap, akan tetapi tidak sampai beradu pandang. Liana yang semakin diselimuti rasa bersalah, lain hal dengan Laras yang merasa prihatin dengan kondisi serta nasib adik sepupu jauhnya itu."Kita naik mobil ya. Kruk-nya kita tinggal aja atau bawa?"Langkah Liana terhenti saat berjalan menghampiri Laras yang berdiri sekitar lima langkah dari dirinya."Kenapa, Kak? Kakak malu ya?""Malu? Malu apa maksud kamu, Li?" tanya Laras seiring kerutan di kening perempuan yang tengah memakai stelan gamis polos berwarna maroon itu. Tidak sungguh tidak mengerti apa yang dimaksud Liana."Iya, kakak malu 'kan karena aku pake alat bantu jalan ini. Lebih baik kita nggak usah pergi, Kak. Aku takut nanti kakak malu saat mereka melihat kita berjalan bagi bumi
Mata Liana terasa memanas saat kata demi kata terlontarkan dari mulut Ibra. Kembali pada penyesalan, kata-kata yang dia dengar tentu tabur tuai atas perbuatannya dulu. Mata yang memanas itu perlahan menerbitkan air bening. Menggenang di bawah mata tanpa kedipan bulir bening itu lolos begitu saja. Sesak dada jangan ditanya lagi."Mas, aku tahu aku salah. Tapi apa yang kamu tuduhkan itu semua tidak benar.""Stop, kamu jangan mendekatiku. Aku tidak ingin ketiban sial lagi!" bentak Ibra saat Liana baru ingin melangkahkan kakinya."Aku hanya ingin mengetahui gimana kondisimu. Sangat kaget ketika tahu kamu masuk rumah sakit lagi. Itu luka apa, Mas?" tanya Liana."Tidak usah sok peduli. Sekarang kamu pasti tertawa kan karena aku kembali masuk rumah sakit.""Bukan, Mas. Bukan.""Permisi, ada apa ini?" Seorang petugas medis akhirnya menghampiri mantan sepasang insan yang pernah merajut kasih ini. Suara Ibra yang tak terkendali membuat salah satu petugas memutuskan untuk menemuinya."Pak Ibra.