Jangan lupa! Dukung penulis dengan vote, ya. Love sekebon <3
Emma berbalik ke arah toilet untuk mengambil pakaiannya. Ia ingin segera mengenakan kemeja dan rok miliknya, lalu pergi dari laki-laki tua bangka di hadapannya. Dalam hati, Emma merutuki diri sendiri yang tak pernah belajar dari pengalaman. Ia hanya ingin mencari uang dengan jalan yang benar. Namun, siapa sangka lagi-lagi dirinya harus terjebak bersama laki-laki mesum. George bergegas mengejar, kemudian menggendong Emma ke atas ranjang. Laki-laki tanpa sehelai kain pada tubuhnya sudah telanjur bergairah melihat tubuh perempuan dewasa yang masih tampak sempurna. Belum lagi, penolakan semakin membuat dirinya terpacu untuk memenuhi milik Emma. “Lepaskan aku!” teriak Emma. Ia memukul dan mendorong tubuh George yang sudah menindih tubuhnya, tetapi sebelah tangan George mencengkeram kedua tangannya. Emma terus berteriak dan memberontak karena tak ada waktu baginya untuk terisak-isak. Selain bertubuh gagah, laki-laki tua bangka itu juga mempunyai tubuh lebih besar dari Emma. Hanya butuh
Nate hendak makan malam bersama Mia di W Bar yang berada di lantai enam. Ia dan Mia baru saja keluar dari lift saat pintu lift sebelahnya juga terbuka. Rupanya, bukan hanya Nate dan Mia yang akan menikmati makan malam sembari disuguhkan pemandangan kota Chicago dari rooftop lantai enam, melainkan beberapa pasangan lain.Mata Nate menangkap sosok seorang perempuan berada di dalam lift yang dilewati olehnya. Di saat beberapa pasangan lain sudah keluar dari lift dan mengosongkan lift tersebut, perempuan itu tertinggal sendiri di dalam lift. Tentu saja, perempuan mengenakan kemeja merah muda dan rok pendek berwarna hitam menarik perhatian Nate.“Emma?” gumam Nate dalam hati.Jantung Nate berdetak sangat kencang saat melihat lift bergerak naik, alih-alih turun. Nate dengan cepat mengantarkan Mia ke arah W Bar dan meminta Mia menunggu dirinya di sana. Sementara laki-laki itu bergegas kembali ke arah lift. Ia memantau ke lantai berapa lift tadi membawa Emma.Jantung yang telah berdetak kenca
Emma sedang tak memakai pakaian yang layak, bahkan tak memakai alas kaki. Ia meninggalkan semuanya di kamar George. Lebih tepatnya, di dalam toilet kamar George. Perempuan itu terpaksa ikut dengan Nate menuju sebuah kamar suite seharga ribuan dolar per malam. Sebuah kamar suite dengan kelas tertinggi yang berada di lantai delapan belas. Ia pernah hampir datang ke sana saat laki-laki itu memberi pilihan sulit antara masuk penjara atau bertemu di hotel. Sekarang, dirinya benar-benar datang justru untuk bersembunyi. “Duduklah di sini,” pinta Nate seraya mengarahkan Emma pada sofa di ruang tamu. Emma beberapa kali mengusap air mata dengan punggung tangannya. Perempuan tangguh itu pun sesekali bisa lemah kala berhadapan dengan kejadian menakutkan. Bagaimana tak menakutkan ketika dirinya digendong ke atas ranjang oleh laki-laki yang tak mengenakan sehelai kain pun di tubuhnya. “Minum ini.” Nate memberikan sebotol air mineral yang baru diambil dari kulkas. Emma tak mengambil air mineral
Mia tiba di lantai delapan belas tepat ketika pintu lift di sebelah lift yang tadi membawa dirinya hampir tertutup. Lift sebelah itu membawa tunangannya bersama perempuan lain. Kedua tangannya mengepal erat karena pasangan di dalam lift bahkan tak menghiraukan dirinya. “Argh!” pekiknya saat lift mulai bergerak turun. Niat hati ingin membuat Nate benci pada sang mantan istri. Namun, justru membuat keduanya semakin tak bisa dipisahkan. “Sialan kau, Emma!” umpatnya. Mia mengambil ponsel dari dalam dompet bermerek yang dihadiahkan oleh Nate. Perempuan itu sengaja memakai semua pemberian tunangannya saat makan malam untuk membuat terkesan. Akan tetapi, justru malah ditinggalkan. “Dasar perempuan jala—” Mia tak melanjutkan kata-katanya karena Josephine mengangkat panggilan teleponnya. “Halo, Mrs Mordha.” “Mia, apa kau tahu baru jam setengah tiga pagi di sini?” protes Josephine disusul suara menguap dari balik ponsel. Mia mengubah nada suaranya menjadi tersedu-sedu. “Maafkan aku, Mrs M
Satu laki-laki yang mengetuk pintu dan satu lagi laki-laki yang membuka pintu. Keduanya saling beradu sorot mata tajam dengan wajah merah padam. Seolah-olah mereka berdua menyimpan dendam satu sama lain. Terlebih lagi, laki-laki di hadapan David. Ia menggertakan gigi sembari mengepalkan tangan karena tak percaya dengan yang dilihat olehnya. “Apa kau ada gangguan pendengaran?!” ketus laki-laki yang mengetuk pintu. “Aku tanya, apa yang kau lakukan di sini?” “Kau yang bertamu ke sini!” David mengingatkan dengan nada kasar. “Seharusnya kau yang menjawabku!” “Bertamu?” Laki-laki yang menjadi lawan bicara David bertanya-tanya dalam hati. “Apa dia … tinggal di sini?” Emma bergegas menuju pintu rumah saat mendengar keributan. Tangannya membuka daun pintu agar terbuka semakin lebar, lalu wajahnya muncul dari sebelah tubuh David. “Nate?” sebut Emma tak percaya. Perempuan itu menutup mulut dengan sebelah tangannya. “Bagaimana dia bisa tahu rumahku?” batinnya. Emma menoleh pada teman yang
“Apa kau sudah menikahi Uncle Dave, Mom?” Laki-laki kecil dan mungil bertanya sembari mengejapkan mata beberapa kali. Laki-laki kecil yang pintar berucap dan sangat kritis itu memiliki nama Ethan Sean Melgren. Sang buah hati yang usianya sekarang sudah lebih dari lima tahun. Dia putra satu-satunya yang menjadi harta sekaligus kekuatan bagi Emma. Nama tengah dan belakang Ethan diambil dari nama sang kakek. Ethan memiliki tubuh sedikit lebih tinggi daripada anak seusianya. Wajah mungil dengan mata cokelat seperti mata milik sang ibu serta bulu mata melengkung ke atas. Dia sungguh laki-laki yang sangat tampan dan akan semakin tampan saat besar nanti. “Prft.” Emma lalu tertawa mendengar pertanyaan sang buah hati. “Tentu saja tidak, Baby. Kenapa kau bertanya seperti itu, hm?” “Bukankah ini tempat tinggal Uncle Dave?” tanya Ethan dengan tatapan penuh menyelisik. Pada saat menginjak usia lima tahun, Ethan beberapa kali menanyakan tentang ayahnya. Laki-laki bertubuh kecil itu diberi penge
Nate duduk di ruang kerjanya dengan wajah geram. Sebelah tangannya sibuk membolak-balik kertas, sedangkan sebelah lagi menggerakkan tetikus optis. Matanya melihat layar laptop di hadapannya, tetapi hatinya masih sangat kesal. Bagaimana tak kesal jika dua minggu tak mengetahui keberadaan perempuan yang mampu menggetarkan hatinya.Nate memutuskan ingin mengambil hati Emma sembari mencari tahu yang sebenarnya terjadi enam tahun lalu. Laki-laki itu bahkan hampir mengemis agar perempuan yang dinikahi olehnya kembali padanya dan berjanji akan mengembalikan semua seperti sedia kala. Namun, permintaannya ditolak mentah-mentah.Sang CEO sekaligus pewaris tunggal dari Mordha Oil & Gas Company itu tak ingin menyerah. Iya, kata menyerah tak ada dalam kamusnya. Setelah membuat keributan di rumah Emma, Nate baru datang lagi keesokan harinya karena di hari yang sama ada pekerjaan mendesak. Sayangnya, Nate tak dapat lagi menemui pujaan hati karena rumah kecil itu sudah tak berpeng
“Emma …,” panggil suara laki-laki dari belakangnya. Emma terdiam karena suara di belakangnya sembari mencoba menebak-nebak siapa pemilik suara berat dan dalam. Hampir mirip seperti suara Nate, tetapi sedikit berbeda. “Kau … Emma, ‘kan?” Laki-laki itu memastikan. Emma sedikit demi sedikit menoleh ke arah asal suara. Matanya lebih dulu menatap kemeja biru gelap yang menutupi tubuh tegap dan kuat. Ia mengira-ngira laki-laki itu memiliki tinggi yang sama dengan Nate jika dilihat dari tinggi bahu di hadapannya. Perempuan yang hendak masuk ke dalam restoran ayam cepat saji itu menelan air liur. “Dia bukan Nate karena aku hapal suaranya,” batinnya. “Lalu … dia siapa?” Laki-laki berambut pirang agak gelap sedikit meninggikan suara. “Melgren!” tegurnya. “Jangan pura-pura tak mengenaliku!” Emma perlahan-lahan mengangkat kepala sampai mata cokelat tua beradu tatap dengan sepasang iris mata biru pucat. Perempuan itu mengejapkan mata beberapa kali dengan mulut sedikit terbuka karena laki-laki