Varisha menarik napas dalam-dalam sambil menyilangkan tangannya di depan dadanya. Karena ia merasa terjebak dan tak ingin membuat situasinya semakin rumit, akhirnya ia mengikuti langkah Arshaka dan memasuki kamar pribadi pria itu.Mereka berdua berdiri di tengah kamar yang luas dengan warna-warna netral yang tenang. Arshaka berjalan ke tempat tidurnya dan duduk di pinggiran. Dia mengepalkan tangannya untuk melepaskan perban dari luka di perutnya.Arshaka menatap Varisha yang masih berdiri, menunggu instruksi selanjutnya. Arshaka merasakan detak jantungnya yang berdebar kencang, dan itu adalah sensasi yang sangat aneh baginya. Selama hidupnya, dia selalu dapat mengendalikan situasi. Tetapi sekarang, ada kebingungan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya, dan dia tidak tahu bagaimana harus menanganinya.Varisha akhirnya bergerak mendekat. Dia mencoba menutupi perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba muncul dalam dirinya. Sementara Arshaka mengangkat baju yang telah dilepaskan sebagian unt
Di dalam kamar mandi yang bermandikan cahaya lembut, Varisha dengan telaten memerhatikan rambut Arshaka. Ia meremas setiap helai dengan penuh ketelitian, berusaha menciptakan momen yang nyaman meski di tengah situasi yang penuh ketegangan. Air dingin mengalir di antara jari-jarinya, menciptakan sensasi yang menenangkan.Sementara Sentuhan tangan Varisha yang telaten dan perhatian memberikan kehangatan yang sangat dibutuhkan oleh Arshaka. Walaupun ia terus berusaha mengalihkan perhatiannya, sulit baginya untuk tidak merasa nyaman dan tenang dalam keadaan yang seharusnya menjadi aneh dan kikuk. Arshaka merasa adanya ketegangan yang mengendur antara mereka berdua seiring berjalannya waktu.Di tengah ketenangan itu, ada kilatan tajam di mata Arshaka yang mencoba menembus tembok pertahanan yang Varisha bangun. Kesan di wajahnya menandakan sebuah pertanyaan, sebuah pertanyaan yang cukup tidak terduga."Apa kamu akan memperhatikan semua pria seperti ini?" tanya Arshaka dengan suara yang tena
Varisha tersenyum setelah mendengar kata-kata khas yang keluar dari mulut Arshaka. Wajahnya yang tadi serius mulai berseri-seri, dan ia menjawab dengan suara yang tenang, "Saya dan pak Cakra tidak memiliki hubungan seperti yang Anda bayangkan. Saya menghormatinya karena beliau pernah menyelamatkan dan membantu saya dalam situasi yang sulit, tapi tidak lebih dari itu."Arshaka merasa ada kelegaan dalam hatinya ketika mendengar kata-kata itu. Dia menatap Varisha dengan tajam, seakan mencari kebohongan di mata wanita itu. Namun, Varisha hanya membalas tatapannya dengan ketegasan yang membuat Arshaka merasa yakin akan kebenarannya."Tapi kenapa kamu baru memberitahu saya sekarang?" tanya Arshaka, mencoba menggali lebih dalam.Varisha terdiam sejenak, mengumpulkan kata-kata dengan hati-hati. "Sebelumnya, saya merasa tidak perlu menjelaskan apapun kepada Anda. Saya yakin Anda hanya akan membenarkan segalanya dari sudut pandang Anda sendiri."Arshaka membenarkan kata-kata Varisha dalam hati
Perjalanan ke Singapura menjadi suatu pengalaman yang sangat intens bagi Varisha. Ia tak pernah membayangkan bahwa ia akan mengikuti Arshaka dalam perjalanan bisnis seperti ini.Selama perjalanan pesawat, keduanya tidak banyak berbicara. Arshaka seakan tenggelam dalam urusannya, dan Varisha, sebagai sekretaris sementara, harus bekerja dengan cepat untuk menyusun jadwal dan dokumen-dokumen yang diperlukan.Setibanya di Singapura, Varisha harus bekerja lebih keras. Rapat pertama dimulai segera setelah mereka tiba. Arshaka ditemani oleh Varisha dalam setiap pertemuan. Ketika ia melihat daftar hadir rapat, ia tidak bisa menahan kagum melihat nama-nama pengusaha sukses dan eksekutif perusahaan besar yang menghadiri pertemuan ini. Ini benar-benar adalah proyek bisnis yang besar, dan Arshaka sangat serius dalam menjalankannya.Varisha duduk di sebelah Arshaka, memantau setiap perkembangan dalam rapat. Dalam diam, ia mencatat poin-poin penting yang dibahas, memastikan segala detail tercatat d
Hari berjalan dengan sangat cepat. Varisha merasa seperti ia berada dalam aliran kerja yang tak pernah berhenti. Arshaka terus bergerak, dengan jadwal yang sangat padat. Setelah bertemu dengan beberapa klien penting, mereka berakhir dengan menginap di salah satu kamar suite mewah di hotel di Singapura.Setelah makan malam selesai, Arshaka kembali membenamkan diri dalam pekerjaan, kali ini di ruang tengah antara dua kamar tidur mereka. Pria itu masih terus memeriksa dokumen-dokumen dan menjawab email-email penting.Dengan berani, Varisha mendekati Arshaka dan mulai meraih beberapa dokumen di meja. "Pak, saya akan menyelesaikan beberapa pekerjaan ini. Jadi, lebih baik Anda istirahat." katanya dengan lembut.Arshaka menoleh, masih terlihat serius. “Tidak perlu, Varisha. Kamu juga sudah bekerja keras hari ini. Saya akan menyelesaikannya sebentar lagi dan beristirahat. Jadi, lebih baik kamu juga beristirahat sekarang,” Varisha mencoba untuk lebih tegas dan tanpa rasa bersalah menutup lapt
Pikiran Varisha bergerak begitu cepat, hampir secepat denyutan jantungnya yang tidak teratur. Perasaan cemas dan gelisah merambat dalam dirinya, membuat perutnya terasa tidak nyaman. Dengan mata masih terpejam, Varisha melihat kembali momen ciuman itu. Ciuman yang luar biasa, penuh kelembutan, tetapi juga penuh dengan konsekuensi yang mungkin tak terhindarkan. Semua yang telah terjadi antara dirinya dan Arshaka adalah kesalahan besar, dan mungkin Varisha akan mengutuk dirinya sendiri jika hal tersebut terulang kembali. Varisha belum pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Perasaan yang campur aduk, perasaan ingin dan tidak ingin dalam satu waktu. Rasa penyesalan dan penasaran yang berkecamuk di dalamnya. Sejenak, Varisha merasa seperti hanyut dalam hasrat yang tidak seharusnya ia sentuh.Hasrat yang memuncak dalam ciuman mereka mengingatkannya pada betapa mudahnya ia hanyut dalam emosi. Bagaimana bisa dia menyambut getaran yang Arshaka berikan, seorang pria yang seharusnya
Matahari bersinar cerah di langit, memantulkan sinarnya melalui jendela kamar. Cahaya yang memasuki ruangan itu cukup terang hingga menyadarkan Varisha dari tidurnya. Dengan setengah sadar, ia mengerjapkan matanya beberapa kali, berusaha beradaptasi dengan kecerahan tiba-tiba di dalam kamar. Saat ia melihat jam di sebelah tempat tidurnya yang menunjukkan pukul satu siang, Varisha terlonjak kaget. Sebuah loncatan refleks membuatnya duduk dengan cepat, dan terkejut menyadari bahwa ia masih berada di kamar Arshaka. Rasa panik muncul saat ia memikirkan bagaimana ia tertidur begitu lama, melewatkan waktu kerja dan tanggung jawabnya.Varisha merutuki dirinya sendiri karena telah tertidur semalam saat menjaga Arshaka. Ia berharap tidak terlalu lama tertidur, mengingat seharusnya ia hanya tidur sebentar.Namun, tak ada waktu untuk membiarkan penyesalannya melanda lebih lama, karena tiba-tiba beberapa staf hotel memasuki kamarnya membawa makan siang yang sudah disiapkan, serta beberapa set pa
Makan malam berlangsung dengan ketegangan yang semakin terasa, meskipun luaran mereka masing-masing tetap terlihat tenang. Arshaka tetap menjaga senyumannya, mencoba menjalin hubungan yang lebih baik dengan Varisha. Namun, ia merasakan seolah ada sesuatu yang tersembunyi di balik ketegangan mata wanita itu, sesuatu yang mengganggu pikiran Varisha."Pak, saya pikir sudah saatnya saya berhenti bekerja untuk Anda," ujar Varisha dengan tegas sambil menatap Arshaka dengan serius.Arshaka terdiam sejenak, matanya masih menatap Varisha dengan intensitas. "Kenapa? Apa pekerjaan yang saya berikan terlalu berat untukmu?" tanyanya dengan nada serius.Varisha menjawab dengan ketegasan yang nyata, "Bukan itu masalahnya.”“Saya hanya merasa saya sudah tidak bisa melakukannya. Tapi, Anda tidak perlu khawatir karena saya tidak akan lari dari tanggung jawab saya begitu saja. Saya akan membayar semua biaya pengobatan dan pemeriksaan medis Anda.” Arshaka memandangnya dengan perasaan campuran, bagian da
Matahari pagi bersinar lembut memasuki ruangan, memberikan sentuhan hangat pada wajah Arshaka yang baru saja terbangun. Saat matanya terbuka perlahan, ia mencoba mengumpulkan ingatan tentang malam sebelumnya. Ruangan masih terasa hangat dan akrab, sementara aroma malam yang terakhir kali ia rasakan masih melayang di udara.Arshaka merasakan sesuatu yang tidak biasa di sekelilingnya. Pandangannya melesat ke lantai, di mana pakaiannya tergeletak dengan keadaan asal-asalan. Ia menyadari bahwa ia masih berada di sofa, terbalut selimut. Serpihan ingatan mulai menyusun diri dalam benaknya, dan tiba-tiba, semuanya menjadi jelas. Malam yang penuh gairah bersama Sophia, ciuman yang membara, dan sentuhan-sentuhan yang melibatkan jiwa dan raga mereka.Arshaka segera mengenakan pakaiannya dengan cepat, seolah-olah ingin melepaskan diri dari kenangan yang begitu intens. Tatapan matanya mengedarkan pandangannya di sekitar ruangan, mencari keberadaan Sophia. Namun, yang ditemukannya hanyalah selemba
Arshaka merasa begitu lelah, hampir seperti semua energinya telah dihisap oleh rutinitas harian yang tak kunjung berakhir. Dengan langkah berat, ia melangkah menuju ruang tamu, melempar tubuhnya di atas sofa dengan begitu lepas. Langit Spanyol sudah menggelap, menciptakan suasana kesunyian sejenak sebelum malam tiba.Dia menutup mata, mencoba untuk melepaskan diri dari segala beban pikiran yang menyertainya sepanjang hari. Namun, ketika ketukan pintu mulai mengejutkan kedamaiannya, Arshaka menggeram kesal. Dia paling tidak suka diganggu ketika sedang lelah seperti ini. Beberapa detik berlalu, dan ketukan itu masih berlanjut tanpa henti, mengganggu istirahatnya yang begitu dia nantikan.Dengan perlahan, Arshaka membuka mata dan menarik napas panjang. Dia berusaha mengabaikan ketukan pintu itu, mengharapkan bahwa orang di luar akan menyadari bahwa dia membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Namun, semakin lama dia mencoba untuk mengesampingkan suara ketukan, semakin tak tertahankan men
Sudah satu bulan sejak Marissa menghilang bersama Sophia. Arshaka masih belum bisa menemukan mereka. Entah di mana Sophia membawa putrinya itu pergi. Rasanya sudah tidak ada lagi ketenangan dalam keluarga mereka. Setiap kali ia melihat Varisha menangis saat masuk ke kamar Marissa, perasaannya pun ikut tersiksa. Apa lagi ketika menemukan secarik kertas yang berisi tulisan tangan Marissa, rasa penyesalan dan bersalah selalu berkecamuk di hati mereka.“Rissa akan baik-baik saja, Ma. Rissa yang meminta Tante Sophia membawa Rissa. Mama dan Daddy harus bahagia. Oh ya, tolong jaga Mama dan adik-adik Rissa ya, Dad. Dan Mama jangan menangis terus. Rissa sayang kalian.”Varisha membaca tulisan itu setiap hari sambil berdoa dalam hatinya agar Tuhan mengembalikan Marissa padanya. “Kenapa akhirnya jadi seperti ini, Mas?” tanya Varisha dengan lirih sambil menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. “Ini akan menjadi urusan saya, Sha. Saya akan mencari Rissa sampai ketemu. Sampai ke ujung dunia pun
Langkah Sophia tercekat di depan pintu ruang perawatan Varisha. Wanita itu menggigit bibir bawahnya dengan kuat agar air mampu menahan air matanya yang sudah berada di pelupuk mata. Pemandangan di hadapannya terasa sangat menyesakkan hatinya. Sophia memang tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Tetapi dirinya bisa tahu jika cinta mereka lah yang sedang berbicara. Ia melihat sendiri bagaimana sorot mata penuh cinta yang Varisha berikan pada Arshaka. Meskipun dirinya tidak bisa melihat sosok Arshaka dengan jelas, namun dirinya juga tahu jika pria itu merasakan yang sama.Air mata Sophia sudah tidak mampu terbendung lagi. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan, mencoba menahan isak tangisnya agar tidak terdengar. Rasanya begitu sakit ketika melihat pria yang dicintainya mendekap tubuh perempuan lain yang sebenarnya lebih berhak atas pria itu. Sophia berbalik dan melangkah dengan berat, ia hanya ingin menjauh dari tempat itu. Namun, melarikan diri dari sana tidak semudah itu keti
Bulir-bulir bening di mata Arshaka kembali menetes ketika masuk ke dalam ruang perawatan Varisha. Wanita itu terbaring lemah di ranjangnya, wajahnya sedikit pucat, namun senyumnya yang hangat masih terukir setia di bibir indahnya. “Hey,” sapa Varisha dengan lemah. Binar-binar kerinduan terlihat jelas di matanya ketika melihat wajah pria yang dicintainya mendekat ke arahnya.“Saya ingin memeluk dan menciummu,” ujar Arshaka secara jujur. Tetapi yang dilakukannya hanyalah memegang tangan Varisha dan meremasnya lembut.Varisha tersenyum lembut, dibelainya wajah suaminya dengan segala kerinduannya. Diusapnya sisa-sisa air mata di pipinya. “Bagaimana keadaanmu, Mas?” “Tidak lebih baik tanpa kamu, Sayang. Setiap hari saya selalu menunggu hari ini, hari di mana kita bisa bertemu lagi. Hari dimana saya bisa melihat wajahmu lagi,” lirih Arshaka lalu mencium tangan Varisha dengan penuh kasih sayang.Sebisa mungkin Varisha menahan air matanya agar tidak jatuh. Rasanya tidak ada hukuman yang leb
Varisha menoleh ke arah pintu kamarnya saat Marissa masuk dengan raut wajah murung. Raut wajah yang seringkali Varisha lihat ketika Marissa baru saja bertemu dengan Arshaka dan Sophia. Sakit sekali rasanya melihat kesedihan yang terpancar dalam wajah putrinya itu. Namun, tidak ada yang bisa Varisha lakukan selain menabahkan hatinya dan terus memberi perhatian. Meskipun awalnya sulit karena Marissa tidak bisa menerima begitu saja penjelasan Varisha saat itu. Ketika sebulan setelah Marissa sembuh, Arshaka sudah tidak tinggal bersama mereka dan beberapa hari kemudian datang bersama wanita lain.“Kenapa Daddy tidak tinggal lagi bersama kita, Ma? Kenapa Daddy pergi?” tanya Marissa dengan lirih dan kecewa. “Daddy tidak pergi, Rissa. Daddy hanya tidak tinggal lagi bersama kita.” “Tapi kenapa, Ma? Kenapa Daddy tidak mau tinggal di sini?” tuntut Marissa dengan suara meninggi. “Daddy mau tinggal di sini, Rissa. Tapi dia tidak bisa,” teriak Varisha dalam hatinya. “Daddy tidak tinggal di sin
Operasi pencangkokan ginjal itu berlangsung dengan sukses dan lancar. Satu ginjal Sophia sudah berada di dalam tubuh Marissa.Sementara itu keadaan Sophia sudah berangsur membaik pascabedah. Kondisi tubuhnya cepat pulih. Begitu Sophia memperoleh kembali kesadarannya, Arshaka sudah berada di samping wanita itu. Varisha sendiri lah yang memintanya menemani Sophia kalau wanita itu sudah sadar. “Terima kasih, Soph. Terima kasih karena kau telah membantu anakku. Satu ginjalmu sudah berada di tubuhnya.”Sophia tersenyum dengan lemah. Ia sangat senang karena Arshaka lah orang yang pertama kali ia lihat setelah bangun. “Bagaimana keadaannya sekarang?”“Dia belum sadar. Tapi dokter mengatakan kalau dia akan segera pulih.”“Semoga ginjalku diterima baik oleh tubuhnya,” ujar Sophia dengan lemah.“Pengorbananmu tidak akan sia-sia, Soph,” balas Arshaka dengan tenang. Namun tetap saja pria itu tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Pilihan sulit yang Sophia berikan membuatnya tersiksa. Tetapi i
Varisha kembali ke rumah setelah seharian menemani Marissa di rumah sakit. Besok adalah hari yang sangat-sangat ditunggu olehnya. Hari tercerah di mana Marissa akan menjalani tahapan baru dalam kehidupannya. Jadi, dirinya memutuskan untuk istirahat karena mertuanya dan Arini yang memaksanya. Awalnya Varisha menolak, tetapi sejak tahu dirinya hamil, Varisha berusaha untuk tidak memaksakan diri dan menjaga kondisinya. Tetapi entah mengapa, hari itu rasanya ia begitu gelisah. Apa lagi saat Arshaka masih juga belum pulang. Pria itu belum memberi kabar, ponselnya tidak aktif, dan Arshaka sama sekali tidak muncul di rumah sakit. Alhasil, Varisha kembali ke rumah dengan taxi. Varisha mencoba memejamkan matanya. Namun, semuanya terasa sia-sia. Pikirannya terlalu berisik, perasaannya tak karuan. Semuanya menjadi serba salah. Pandangannya beralih ke sampingnya, kosong dan dingin. Arshaka sama sekali belum pulang dan tidak dapat dihubungi. Rasa cemas mulai menghampirinya. Varisha langsung me
Varisha terus memikirkan kata-kata Sophia yang sangat mengusik benaknya. Tidurnya menjadi tak nyenyak dan gelisah. “Ada apa, Sayang? Susah tidur?” tanya Arshaka yang langsung berbalik ke arahnya. Varisha tidak menjawab dan hanya mengangguk. Arshaka mendekatkan tubuhnya dan membawa tubuh istrinya ke dalam pelukan hangatnya. Kalau biasanya Varisha merasa nyaman dan mungkin langsung tertidur. Kali ini, pelukan itu seakan tidak mempan untuknya. “Kenapa? Masih mikir tentang pendonor Marissa?” tuntut Arshaka seolah menyadari kegelisahan istrinya.Pertanyaan Arshaka membuat Varisha semakin gelisah. “Kamu… kamu sudah tahu siapa yang mendonorkan ginjalnya untuk Marissa?” tanya Varisha sambil menahan suaranya yang gemetar.Arshaka menggeleng pelan. “Masih belum. Rey masih belum kasih kabar.” “Mas…” panggil Varisha lembut. “Iya, Sayang,” balas Arshaka.“Kalau misal suatu saat aku ninggalin kamu… apa yang akan kamu lakukan?” “Jujur dulu saya marah sekali saat kamu meninggalkan saya begitu s