Setelah keputusan untuk berpisah, Laras berusaha mencari ketenangan dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Namun, meskipun ia telah berdamai dengan kenyataan bahwa hubungannya dengan Dimas telah berakhir, rasa penasaran yang tak tertahankan terus menghantuinya.
Ada bagian dari dirinya yang merasa perlu mengetahui lebih dalam tentang hubungan Dimas dan Nina—tentang bagaimana semua ini sebenarnya dimulai, dan apakah ada tanda-tanda yang selama ini ia abaikan.
Beberapa hari kemudian, Laras akhirnya memutuskan untuk menggali informasi lebih dalam. Ia tidak melakukannya karena ingin kembali pada Dimas atau mencari pembenaran untuk keputusannya, tetapi lebih sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang selama ini terus berputar di kepalanya.
Ia merasa bahwa dengan mengetahui kebenaran, meskipun menyakitkan, ia bi
Sejak berita tentang perpisahan Laras dan Dimas sampai ke telinga anak-anak, terutama Sarah, suasana di rumah menjadi semakin tegang. Sarah, yang dulunya adalah anak yang ceria dan penurut, kini mulai menunjukkan perubahan sikap yang mencolok. Laras menyadari bahwa putri sulungnya ini sangat terpengaruh oleh keretakan rumah tangga mereka, dan dampaknya mulai terlihat dalam kesehariannya.Sarah sering kali pulang sekolah dengan wajah cemberut, langsung mengurung diri di kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Laras tahu bahwa putrinya sedang mengalami masa yang sulit, dan ia berusaha untuk tetap sabar dan memahami perasaannya. Namun, semakin hari, Sarah menjadi semakin sulit diatur. Ia sering membantah, mengabaikan nasihat ibunya, bahkan mulai menunjukkan sikap pemberontakan yang belum pernah Laras lihat sebelumn
Laras merasakan kelelahan yang luar biasa. Setiap hari, ia harus menghadapi berbagai persoalan yang tak kunjung usai. Persidangan yang berlarut-larut dengan Dimas dan Nina, sikap memberontak dari Sarah yang semakin sulit dikendalikan, dan tuntutan sehari-hari sebagai seorang ibu tunggal yang harus mengurus dua anak lainnya, semuanya menumpuk menjadi beban yang terasa semakin tak tertahankan.Malam itu, Laras duduk sendirian di dapur setelah anak-anak tidur. Ia menatap secangkir teh yang belum sempat ia minum, merasakan kepedihan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Kepalanya berdenyut, badannya lelah, tetapi pikirannya terus berputar, mengingat setiap konflik dan pertengkaran yang baru-baru ini terjadi. Sarah semakin berontak, Naya yang sering menangis melihat pertengkaran ibunya dengan kakaknya, dan Raka
“Kamu sadar nggak, Laras, ini sudah terlalu jauh?” tanya Andi, suaranya nyaris berbisik.Laras mengangkat wajahnya, matanya tampak lelah dan penuh luka yang tersembunyi di balik senyuman yang dipaksakan. Keduanya duduk di sebuah kedai kopi yang sepi, di pojok kota tempat mereka biasa bertemu ketika Laras butuh pelarian dari kekacauan yang Dimas bawa dalam hidupnya.Andi menatap Laras penuh simpati. Ia tahu, masalah ini sudah menggerogoti perempuan yang selalu ia kagumi dalam diam. Namun, entah kenapa, Laras masih saja terlihat ragu untuk benar-benar melepaskan Dimas, meskipun pengkhianatan itu jelas telah menghancurkan hatinya.“Aku juga nggak nyangka semuanya akan begini, Andi,” jawab Laras akhirnya, suaranya bergetar. “Seakan-akan semua yang kubangun... rapuh. Seperti pasir yang tersa
“Kamu tahu, Ras, aku nggak akan kemana-mana,” suara Andi terdengar lembut di seberang telepon, membungkus hati Laras yang tengah bergemuruh.Laras menghela napas panjang, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang menghantui pikirannya. Setiap kali ia mendengar suara Andi, ada rasa damai yang memenuhi hatinya, seolah-olah menemukan tempat perlindungan di tengah badai yang tak kunjung reda. Suara Andi selalu berhasil membuatnya merasa diterima, seolah tak ada yang perlu disembunyikan, seolah ia bisa melepaskan semua kepenatan tanpa takut dihakimi.“Aku tahu, Andi. Kamu selalu di sana, dan aku… aku nggak tahu harus bilang apa,” jawab Laras, suaranya bergetar samar. “Aku nggak mau kamu terlalu terbebani sama semua masalahku.”Di ujun
“Mama, kenapa Papa jarang di rumah?” suara kecil Raka yang penuh kebingungan mengambang di udara, membuat hati Laras serasa dihantam oleh kenyataan yang ia coba hindari selama ini.Laras menatap putranya yang baru berusia dua tahun itu dengan perasaan campur aduk. Raka menatapnya dengan mata bulat yang besar, penuh kepolosan dan rasa ingin tahu yang begitu tulus. Ia tahu, di usia sekecil itu, Raka mungkin belum sepenuhnya mengerti tentang absennya Dimas dari rumah. Namun, anak sekecil itu memiliki hati yang peka, dan setiap ketidakhadiran atau perubahan dalam rutinitas akan dengan mudah ia sadari.“Papa lagi sibuk kerja, Sayang,” jawab Laras, mencoba tersenyum. Senyum yang terasa getir, seolah bibirnya sulit melengkung tanpa ada rasa sakit di baliknya.
Sore itu, Laras berdiri terpaku di depan kafe kecil di pinggir kota, dadanya terasa sesak. Ia tidak sengaja menemukan tempat ini saat ia berbelanja kebutuhan rumah tangga, namun pandangannya terpaku pada pemandangan di dalam kafe, tepat di sudut ruangan yang jauh dari pandangan umum.Di sana, Dimas duduk berhadapan dengan Nina, wanita yang telah mengguncang kehidupannya. Laras mengamati mereka dari balik kaca, bersembunyi di balik tiang toko di dekatnya. Meskipun hatinya berdebar-debar dan telinganya berdengung, ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk tetap melihat apa yang terjadi di hadapannya.Dimas terlihat berbicara dengan nada serius, sementara Nina terlihat sesekali menyeka air mata dengan saputangan. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi dari cara mereka salin
“Kamu beneran mau pergi?” Laras menatap Andi dengan mata penuh tanya, tapi jauh di dalam hatinya ia tahu jawabannya. Andi mengangguk perlahan, menatapnya dengan pandangan yang lembut namun penuh ketegasan.Keduanya duduk di taman kota yang sepi, sebuah tempat yang selama ini menjadi tempat pelarian Laras saat ingin bicara dengan Andi, saat dunia terasa begitu menghimpitnya. Namun, kali ini, ada keheningan yang berat di antara mereka, keheningan yang menyimpan begitu banyak kata tak terucap, begitu banyak perasaan yang terpendam.“Aku pikir… ini saat yang tepat, Laras,” kata Andi akhirnya, suaranya terdengar lembut namun penuh keputusan. “Kamu tahu aku selalu ada untukmu. Tapi sekarang, kamu perlu waktu untuk diri sendiri, untuk menyelesaikan semuanya tanpa… gangguan dari
Pagi itu, Laras duduk sendirian di taman, menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya. Ia menunggu Andi, meskipun pertemuan ini terasa berat. Setelah beberapa minggu berlalu sejak Andi mengatakan ingin menjauh, Andi tiba-tiba menghubunginya dan meminta bertemu. Laras menerima ajakan itu dengan perasaan campur aduk—ada kerinduan, ada juga rasa takut.Tak lama kemudian, Andi muncul di hadapannya dengan senyum lembut yang begitu Laras kenal. Senyum yang selama ini membuatnya merasa diterima, dipahami, dan dihargai. Senyum yang selalu berhasil membuat dunianya terasa sedikit lebih ringan.“Hai,” sapa Andi pelan, matanya penuh perhatian.Laras tersenyum tipis, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang tak biasa. “Hai, Andi. Kamu baik-baik aja?
“Laras, kamu sudah mempertimbangkan semuanya?” suara Andi terdengar pelan, hampir seperti bisikan, seolah ia tak ingin mengguncang ketenangan yang rapuh di ruang tamu rumah Laras yang sepi malam itu.Andi menatap Laras dengan cermat, pandangannya penuh empati yang lembut tapi kuat, seperti pagar yang bisa ia sandarkan tanpa takut runtuh.Laras duduk dengan wajah tertunduk, jari-jarinya bergerak pelan memutar cangkir teh yang sudah dingin di genggamannya. Hening menyelimuti mereka sejenak. Pandangan Laras menerawang, seolah melihat jauh ke depan, ke sebuah masa depan yang samar-samar.Pikirannya bercabang; satu arah menuju harapan baru di luar negeri, sementara cabang lain tertuju pada Dimas, anak-anak, dan perasaan bersalah yang diam-diam menggerogoti dadanya.“Aku…,” Laras menelan ludah, mengatur napasnya yang berat. “Aku enggak tahu, Andi. Tawaran ini… terlalu besar untuk diabaikan, tapi di saat yang sama&hell
Malam itu, Laras duduk sendirian di kamarnya, memandang langit malam yang gelap melalui jendela. Suara riuh kota terdengar samar di kejauhan, tetapi di dalam ruangan, hanya ada keheningan. Dalam diam, Laras merenungkan perdebatan terakhirnya dengan Dimas. Kata-kata yang saling terlontar masih terngiang di telinganya, setiap kalimat penuh dengan emosi dan luka yang belum tersembuhkan.Selama ini, hidupnya seperti terjebak dalam lingkaran tak berujung, selalu kembali ke kenangan bersama Dimas dan anak-anak mereka. Meski mereka telah bercerai, bagian dari dirinya terus bergantung pada masa lalu, berusaha untuk menemukan kenyamanan dalam bayang-bayang kehidupan yang pernah mereka bangun. Namun, semakin ia memikirkan percakapan itu, semakin jelas pula bahwa ia tidak bisa t
Malam itu, udara di ruang tamu terasa tegang. Laras dan Dimas duduk berseberangan, masing-masing dengan ekspresi wajah yang menunjukkan ketegangan. Mereka baru saja menyelesaikan makan malam bersama anak-anak, tetapi begitu mereka mengantar anak-anak ke kamar, percakapan yang sudah lama ditunda pun pecah.“Kamu tidak bisa serius, Laras,” kata Dimas, suaranya terdengar dingin dan penuh kekesalan. “Kamu tidak bisa begitu saja membawa anak-anak pergi ke luar negeri tanpa mempertimbangkan perasaan mereka… atau perasaanku.”Laras menghela napas panjang, mencoba menahan emosinya. Ia tahu bahwa percakapan ini tidak akan mudah, tetapi ia tidak menyangka akan seintens ini. “Dimas, ini bukan tentang menjauhkan anak-anak darimu. Ini adalah kes
Pagi itu, Laras bangun dengan perasaan kosong yang sulit dijelaskan. Suara gemericik hujan yang biasanya menenangkan, kali ini hanya membuatnya semakin tenggelam dalam perasaan hampa. Beberapa hari terakhir, Andi tidak memberi kabar. Ponselnya sepi, dan pesan-pesan Laras hanya dibalas singkat atau bahkan diabaikan. Laras merasakan ada sesuatu yang hilang, seperti kehilangan bagian dari dirinya yang selama ini membuatnya merasa kuat.Sore harinya, Laras menerima pesan dari Andi. Hanya satu kalimat, tetapi cukup untuk membuat dunia Laras seakan terhenti."Laras, aku akan pergi menerima pekerjaan di luar kota. Jaga dirimu baik-baik."Laras membaca pesan itu berulang kali, berharap ada kesalahan, berharap ada pesan lain yang menjelaskan lebih banyak. Namun, tidak a
Di suatu sore yang tenang, Sarah duduk di taman belakang rumah, memandangi langit senja dengan pikiran yang melayang jauh. Segala hal yang telah terjadi dalam keluarga mereka—perceraian orang tuanya, masalah dengan Nina, dan sekarang perasaan tidak stabil di rumah—membuat Sarah merasa kehilangan arah. Dia merasa seolah-olah menjalani hidup yang penuh dengan hal-hal yang tidak pernah ia duga. Namun, di tengah semua itu, ada satu hal yang terus mengganggu pikirannya: adiknya, Naya.Sejak masalah keluarga mereka semakin rumit, Sarah tahu bahwa hubungan dengan adik perempuannya itu ikut terpengaruh. Naya yang dulu ceria dan selalu mencari Sarah, kini tampak lebih pendiam dan sering menyendiri. Sarah merasakan ada jarak di antara mereka, jarak yang ia biarkan tumbuh tanpa
Nina duduk di ruang tamu, memandang bayinya yang tertidur lelap di keranjang kecil di sebelahnya. Wajahnya yang tampak damai membuat Nina merasa lega untuk sesaat, tetapi hanya sejenak. Di balik ketenangan itu, Nina menyadari betapa lelah dan terbebani dirinya kini. Sejak kelahiran bayinya, kehidupannya berubah drastis, jauh dari apa yang ia impikan ketika ia membayangkan membangun keluarga bersama Dimas.Awalnya, ia berpikir bahwa bersama Dimas, mereka akan bisa membangun kehidupan yang stabil, saling mendukung, dan berbagi cinta dalam keluarga baru mereka. Tetapi kenyataannya tidak pernah seindah itu. Dimas masih terlalu sering terikat dengan urusan bersama Laras dan anak-anak mereka, dan Nina merasakan kehadirannya semakin berkurang. Setiap kali Dimas pergi, Nina m
Malam itu, di sebuah kafe kecil di sudut kota yang jarang dikunjungi orang, Andi duduk di pojok ruangan, menunggu seseorang yang telah ia kenal sejak lama—Dimas, sahabatnya sejak masa kuliah, namun juga pria yang kini berada di antara dirinya dan Laras. Keduanya memiliki ikatan yang tak pernah benar-benar putus, meskipun hubungan mereka kini lebih sering diselimuti ketegangan dan perasaan yang belum terselesaikan.Ketika Dimas masuk, Andi langsung mengenali sosoknya. Dimas mendekat dengan langkah ragu, wajahnya menunjukkan ekspresi campur aduk. Tanpa banyak basa-basi, ia duduk di depan Andi, mencoba membaca ekspresi di wajah temannya.Mereka berdua terdiam sejenak, membiarkan keheningan menyelimuti mereka. Dimas adalah orang pertama yang membuka percakapan, suaranya rendah dan terdengar lelah.
Pagi itu, Laras duduk di meja kerjanya, merasa terkejut sekaligus tersanjung saat membuka email yang baru masuk. Sebuah tawaran dari perusahaan ternama di luar negeri—sebuah kesempatan besar yang selama ini hanya ia impikan. Posisi tersebut bukan hanya memberi jenjang karier yang lebih tinggi, tetapi juga gaji dan fasilitas yang jauh lebih baik. Tawaran ini menjanjikan stabilitas dan peluang baru bagi Laras, sebuah kesempatan untuk memulai kembali di tempat yang jauh dari segala drama yang selama ini melingkupi kehidupannya.Namun, kegembiraan itu segera tergantikan oleh perasaan dilema yang mencekam. Tawaran ini bukan sekadar pekerjaan, melainkan pilihan besar yang akan berdampak pada kehidupan anak-anaknya. Laras mengerti bahwa pindah ke luar negeri bukanlah k
Pagi itu, Laras tengah sibuk di kantor ketika ponselnya bergetar di meja. Nama sekolah Naya muncul di layar, dan perasaan cemas langsung menyergap hati Laras. Ia tahu bahwa panggilan dari sekolah biasanya bukan pertanda baik, terutama mengingat akhir-akhir ini Naya sering terlihat murung dan lebih tertutup.“Halo, Bu Laras? Ini Ibu Ratna, wali kelas Naya,” suara lembut namun tegas terdengar di ujung telepon.“Ya, Bu Ratna. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Laras, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meskipun hatinya berdebar kencang.“Ibu, sebenarnya saya ingin membicarakan tentang Naya. Akhir-akhir ini, kami melihat beberapa perubahan perilaku pada Naya. Dia tampak kurang fokus di kelas, dan… ada beberapa kejadian kecil yang membuat kami khawatir,” jelas Ibu Ratna de