“Apa yang sebetulnya Pak Mada lakukan?”“Membantu.”“Membantu?” ulang Jenar dengan tidak percaya atas apa yang dikatakan oleh Mada.Jemarinya menunjuk liar ke arah mobil serta Josh yang baru saja kembali dengan membuka empat buah cup minuman dingin dan sedikit membungkuk untuk memberikannya pada Oscar yang ada di dalam mobil.“Apakah benar yang dikatakan oleh Pak Oscar tentang Josh mengambil tentengan yang semula aku berikan kepada Rula?” tanya Jenar dengan berbisik ketika Mada menggeret dirinya ke area yang lebih sepi."Benar," aku Mada seada-adanya.“Tentang apa yang aku berikan kepada Rula tadi Itu bukan urusan bapak, apalagi Josh. Tidak ada hubungannya sama sekali,” geramnya.“Jelas ada, Jenar.”“Oh ya?” balas Jenar dengan menyemburkan tawa lalu membasahi bibir sebelum mengubah tumpuan kaki.Keduanya berbicara dengan nada yang terdengar berbisik, berupaya menjaga agar tidak ada yang mendengar celoteh keduanya yang terdengar saling tarik urat.“Tadi aku bertanya kepadamu, apakah be
“Je, jaga pandanganmu. Jangan terlalu sering menatapnya,” cicit Lamina keesokan siangnya saat jam makan siang kepada Jenar yang duduk di hadapannya.Lamina baru saja kembali dengan sebuah nampan berisikan menu makanan cafetaria Lawana dengan berdeham ketika menyadari mengapa Jenar mengabaikan celotehnya."Pantas kamu mengabaikan diriku," cibirnya kemudian.Itu dia.Mada Lawana.Lamina berani bersaksi bahwa Jenar menatap Mada dengan sorot lapar ingin menerkam si bos.“Apa kamu ingin bermasalah dengan Pak Mada, Je?” sambung Lamina agi dengan mencuri tatap ke arah Mada dengan keheranan yang berjarak tiga meja dari mereka.Mada sedang duduk bersama dengan beberapa orang parlente lainnya, menikmati makan siang dengan serius, dia tidak menatap Jenar sebagaimana Jenar menjatuhkan perhatian kepada si pria.Mereka seperti dua orang yang tidak saling mengenal diluar kepentingan pekerjaan, suatu kemustahilan karena Mada dan Jenar sudah melakukan lebih jauh dari itu.“Jenar!” tegur Lamina lagi se
"Apa?" "Benar," tegas Mada dengan memutuskan keluar sepenuhnya dari dalam ruangan dan berdiri tepat di sebelah Jenar. Tangannya terjulur lurus dari arah belakang untuk mengusap tengkuk Jenar yang terpampang nyata karena dia menguncir rambutnya cukup tinggi dalam satu ikatan. "Apanya yang benar?" tuntut Jenar dengan berusaha menggelengkan kepala agar Mada berhenti mengusapnya. "Katamu tiap benda mati diruangan ini memiliki telinga, mereka bisa mendengar apapun yang terjadi, kan?" "Pak Mada, hentikan," kilah Jenar berulang kali berupaya membuat Mada berhenti memijat tengkuknya dari arah belakang. Jenar tidak mau ada yang melihat interaksi keduanya yang berlebihan sebagai seorang presdir dan sekretaris ini. "Bagaimana dengan hatimu? Apakah hatimu dapat mendengar kalau aku menginginkanmu?" Jenar menatap ke arah Mada dengan serius, mulutnya sedikit terbuka ketika mendengar tutur dari presdir Lawana yang konon kata Lamina tadi menyeramkan. Alih-alih seram, Lamina harus tahu bahwa Ma
“Je, pasti Pak Mada memintamu untuk melakukan lembur lagi, ‘kan?” selidik Lamina. Lamina sibuk menarik-narik tali tas pada satu sisi bahu ketika dia mendekati Jenar yang tengah sibuk dengan pekerjaannya. “Lembur?” ulang Jenar dengan mengangkat kepala sebelum menyibak rambut yang menjatuhi area kening. “Ya,” balas Lamina.Dia bergerak makin mendekat ke arah Jenar lalu menunjuk ke arah layar yang masih menyala serta ke dalam ruangan pribadi Mada yang tertutup sempurna. “Sudah aku katakan kepadaku, Pak Mada itu tidak sebaik Pak Oscar," bisiknya penuh gosip. "Lihatlah, betapa seringnya dia memintamu untuk lembur dan pulang malam.” Sejak kapan Mada selalu memintanya untuk lembur? Sejauh yang dia ingat, Mada bahkan kerap mengingatkan Jenar untuk pulang ketika sudah pukul lima, dia bahkan bersikeras agar Jenar pulang tepat waktu. Mungkin, maksud Lamina adalah ‘lembur’ dalam tanda kutip yang membuat Jenar pulang larut malam. “Ah, itu …” Jenar menggaruk pipi, sadar bahwa gosip yang me
[Hei bajing kecil, di mana kamu berada?] [Apakah perjalanan dari Lawana ke sini memerlukan waktu yang sangat lama?] [Dasar lambat, siput saja jauh lebih cepat dibandingkan dengan dirimu.] “Itadakimasu.” Berbeda dengan Mada yang masih menggebu-gebu untuk diakui oleh Jenar dan secara terang-terangan menyatakan rasa tidak sukanya jika Jenar menyukai Ryota, pada salah satu ruangan pribadi di restoran tersebut, disitulah si topik pembicaraan berada. Ryota Seiji Gaidzan. Dia sedang duduk diatas tatami setelah mengirim rentet pesan kepada Mada. Ryota sibuk mengedarkan pandang lalu bergumam tidak sabar. Matanya menatap beberapa hidangan yang akan dia nikmati dengan Mada, sahabat lamanya. Apalagi, Madasudah mengabarkan pada dirinya bahwa presdir Lawana itu akan datang dengan seseorang. “Ada lagi yang dapat saya bantu, Tuan?” tanya seorang pekerja setelah menata piring-piring kecil yang menutupi seluruh permukaan meja dengan beragam sajian laut yang segar kepada Ryota. Ryota menggelen
“Jenar, asal kamu tahu, ada aku yang lebih menarik jika dibandingkan dengan tikus tanah satu itu,” cibir Mada. Dia kembali menuangkan teh hijau ke dalam cangkir kecil dan meneguknya seketika. “Kamu mengataiku tikus tanah?" sela Ryota dengan tidak terima. "Bagaimana dengan dirimu, sigung?” sambungnya. Ryota menolehkan kepalanya ke arah Mada tanpa meninggalkan posisinya sama sekali yang berada di hadapan Jenar. “Mengapa kamu ingin menghabiskan waktu dengan sigung jantan itu?” Luka pada sudut bibir Ryota membuat Jenar menyipitkan mata dan terdiam untuk sejenak sehingga keduanya memutuskan untuk menatap satu sama lain dengan kebingungan penuh. “Ryota, kamu memesan shochu atau tidak?” tanyanya sebelum menjentikan jemari. “Ah, aku ingat. Itu bukan sembarang teh hijau, bukan? Melainkan ryokucha. Bisakah memesan shochu? Teh hijau terlalu ringan, tidak sesuai dengan seleraku.” Mada berupaya keras untuk menarik atensi dua orang yang masih berdiri dengan diam. Jenar pada area luar denga
“Atas dasar apa kamu menuduhku seperti itu?” “Hanya sebuah tebakan,” balas Jenar dengan cukup yakin. “Tebakan tanpa bukti?” tukas Ryota seraya memiringkan kepala ke arah Jenar, berusaha dengan keras untuk mengerti arah ucapan si perempuan. “Bukti dapat dikumpulkan seiring dengan waktu berjalan, Ryota.” “Tetapi kalau kamu ingin menuduhku, setidaknya sertakan bukti.” “Bibirmu yang berdarah,” terang Jenar dengan menegakan posisi duduk serta meletakan sumpit pada sebelah kiri posisinya saat ini. “Sudah aku katakan aku terluka karena bermain rugby,” kekeh Ryota yang merasa bahwa Jenar menjadi kelewat konyol. “Oke, baiklah. Mari kita hentikan permainan ini. Apa yang sebetulnya coba kamu katakan mengenai diriku, Nona Jenar?” tanyanya dengan lebih serius dan cengiran pada bibirnya perlahan menghilang sepenuhnya. “Bahwa kamu menyalahkan Mada atas kematian Bianca." Dengan penuh rasa percaya diri setelah melihat luka pada sudut bibir Ryota serta nada suara dan pakaian penuh nuansa biru y
“Kepalaku terasa pening,” keluh Mada yang membuat Jenar tidak habis pikir.Jenar ingin marah, tetapi tidak bisa sebab dirinya terlanjur letih. “Sudah aku bilang, hanya orang gila yang dapat menghabiskan begitu banyak botol shochu dalam satu malam," cebiknya.“Aku bisa, Jenar.”“Buktinya sekarang kepalamu justru terasa pening, Mada.”“Sudah aku katakan padamu, kadar alkohol shochu tidak setinggi dengan alkohol yang sering aku teguk, Jenar,” gerutunya dengan kepala yang menempel pada kemudi sementara kedua tangannya sibuk memijat area kening.“Tetap sama saja, Tuan Keras Kepala,” kata Jenar dengan jengah seraya duduk disebelah Mada, menyilangkan sabuk pengaman melintang di atas tubuhnya.“Jadi, sekarang bagaimana? Kita tidak akan pulang?”Mada mengangkat wajahnya, dia menoleh ke arah Jenar lalu berdeguk sebanyak tiga kali serta mengangkat jemarinya.“Tunggu sampai rasa pening sialan ini pergi dari kepalaku terlebih dahulu.”“Kita sudah berada di mobil ini hampir satu jam lamanya jika k
"Sebenarnya apa yang dicari oleh orang itu?" "Aku tidak tahu," jawab yang lainnya dengan suara lirih sambil melirik jam lalu diam-diam menguap lebar sebelum mengamati Mada melalui sudut mata. "Ini sudah larut, seharusnya kita sudah tutup," bisiknya dengan nada yang sudah tidak sabar. Kakinya bergoyang-goyang dan berulang kali berdecak seraya menyumpah serapah dan terus menggaruk kepala. "Tolong katakan kepada calon pembeli itu bahwa kita sudah close order." Dengan tidak sabar, dia mengatakannya dengan sedikit mendesak yang langsung di sangkal oleh rekan kerjanya. "Hush!" tukas yang lain dengan mata merebak terbuka. "Menolak calon pembeli itu tidak baik, bisa berimbas buruk kepada bisnis," balas teman bicaranya yang nampak kikuk sambil terus memandang ke arah calon pembeli tersebut. "Lama sekali," gerutunya pelan agar tidak terdengar oleh Mada. Lantas, dia menoleh untuk menatap rekannya dan berucap serius, "Maksudku ... jika saja dia meminta saran kepada kita berdua, kita pasti
"Aku seharusnya tidak berada di sini, bukan?" Dia duduk dengan kedua lutut yang tertekuk sambil menyesap cairan berwarna putih kekuningan dari gelas berleher tinggi sebelum menaruhnya kembali kemudian membuka pembungkus sebuah bola cokelat dari brand Godiva. "Ck!" ucapnya seraya mendecak-decakan lidah ketika rasa manis dari cairan tersebut kembali membasahi bibir serta kerongkongan. "Kamu ingin mencobanya? Oh ayolah, percaya padaku. Aku tidak akan membeli alkohol yang memiliki cita rasa buruk," ucapnya memberikan penawaran kemudian menggeleng ketika tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan. "No? Fine, you're lost, not mine," tutur si pria dengan menghabiskan isi dari dalam gelas itu hanya dalam satu teguk sebelum tertunduk. Gelasnya jatuh, kepalanya terasa berdenyut dan tangannya sibuk menepuk-nepuk sisi kiri keningnya. Mada menyipitkan mata, keringat sebesar bulir jagung mulai menuruni kening sampai membuatnya menghela napas berulang kali dan dengan sibuk mendecak-decakan lidah
"Je, jangan menyelundupkan kekasihmu ke sini, oke?!" "Aku tidak hanya menyelundupkannya melainkan akan tidur dengannya lalu membuat suara-suara animalistik sampai kamu terganggu," balasnya sarkastik dengan memejamkan mata karena tengah pusing dengan beban kerja yang terus berdatangan. "Mungkin kamu akan mendengar aahh dan uhh dan eeehh dan yes," tambah Jenar memanas-manasi Catherine yang tidak memiliki kekasih. "Hei!" Catherine berkacak pinggang lalu berdecak sebal sambil mengetuk jemarinya di daun pintu. "Jadi, jangan membuatku melakukan yang tidak-tidak di rumah ini, mengerti?" tanya si adik yang kakinya sedang terkilir dengan retoris kemudian mendecak-decakan lidah. "Omong-omong, semakin bertambah usiamu, sikapmu menjadi sangat menyebalkan, Cath." "Itu adalah tujuan mengapa seorang Kakak diciptakan. Tidak lain dan tidak bukan untuk membuat adiknya kesal." "You pissed me off, asshole," cebik si adik sambil memijat sisi kepala seraya memutar kembali kursi yang semula di duduki
"Je, ada apa?"Jenar menoleh ke arah sang Kakak yang baru saja kembali dengan semangkuk mie instan berkuah penuh sayur seperti pesanannya beberapa saat yang lalu."Mada menyuruhku agar mengambil jatah cuti untuk dua hari," terangnya setelah mematikan ponsel."And by the way, thank you chef."Diiringi sebuah senyum lebar, Jenar meraih mangkuk yang masih mengepulkan asap itu dan menaruhnya di atas meja yang melintang di atas paha.Catherine mendecakan lidah sebelum menggeleng pelan dan memutuskan untuk duduk di sebelah Jenar yang tengah menyeruput kuah mie instan tersebut."Hati-hati, kamu bisa tersedak."Jenar tidak memberikan jawaban yang pasti kepada Catherine, dia memilih untuk membuat tanda 'oke' dengan jemarinya sedangkan mulutnya tidak henti bergerak seperti sebuah vacuum cleaner."Dua hari?""Yup," angguknya ditengah seruput mie instan sebelum menambahkan. "Kamis dan Jum'at aku akan bekerja di rumah.""Artinya kamu akan berada di rumah sepanjang akhir pekan," lirih Catherine yan
"Harum," tuturnya setelah menghidu aroma buket bunga.Ada yang tidak biasa dari penampilan lelaki berusia 28 tahun itu. Dia terlihat gugup, rasa percaya dirinya perlahan menguap di udara begitu saja. "Oh Tuhan, apakah ini pertanda bahwa apa yang akan aku jalani ini adalah suatu hal yang benar?" Tubuhnya belum terlihat terlalu kekar, ukuran pakaiannya mungkin saja masih S. Tanda penuaan di sudut mata serta kening yang berkerut-kerut masih belum muncul ke permukaan. Wajahnya terlihat sangat segar berseri-seri, rahangnya sangat tajam seperti bilah pisau yang dipakai oleh juru masak di restoran terkemuka. Hanya seorang pemuda yang tengah jatuh cinta dan memantapkan hati untuk menikahi pujaan hati. Entah kapan mereka akan menikah, dia tidak tahu. karena masa depan adalah sebuah misteri, tetapi satu hal yang dirinya mengerti, secepat mungkin dirinya ingin meminang sang dara. "Bi, will you marry me? Ah, tidak. Terlalu klise, seperti seorang lelaki yang kehabisan kosa kata." Dirinya b
“Aku sedang tidak ingin pulang. Bisakah kamu menculik diriku?” “Tidak ada penculik yang terang-terangan mengatakan bahwa dirinya akan melakukan penculikan,” balasnya disertai seringai, tidak habis pikir dengan apa yang berada dalam benak Jenar. "Lagipula, apa urgensinya dan kenapa tiba-tiba kamu mengatakan hal tersebut, hum? Apa kamu tengah mabuk?" “Memangnya ada korban penculikan yang minta diculik?” balas Jenar sebelum sibuk menyunggingkan senyuman. "Dan kamu benar, aku mabuk. Dimabuk oleh cintamu." "Dasar," cibir Mada yang telinganya perlahan memerah namun berusaha keras dia tutupi karena disanjung oleh sang dara tercinta. Lengan Jenar senantiasa mengalung dibelakang leher Mada setelah berjam-jam kemudian keduanya memutuskan untuk keluar dari ruang kerja si pria setelah Lawana Corporation berangsur-angsur sepi. “Mada Lawana, ayolah, culik diriku,” rajuk Jenar untuk kali kesekian hingga Mada yang tengah menggendongnya kemudian bersandar di dalam lift hanya tertawa dengan hamba
"Taka!"Taka yang sedang berada di area cafetaria dan tengah menunggu pesanannya lantas menoleh ke arah sumber suara sebelum mengangguk dengan penuh rasa hormat kepada Mada."Pak Mada," sahutnya dengan sopan. "Ada yang bisa dibantu, Pak?"Tanpa membuang waktu, Mada menyamakan posisinya dengan Taka yang tengah menerima uluran roti hangat di dalam kemasan lalu memasukannya ke dalam tas sebelum kembali menatap Mada."Ada, namun tidak banyak," singkat si lelaki parlente sambil menatap pria muda di hadapannya yang tengah meregangkan tubuh lalu melambaikan tangan ketika di sapa oleh seseorang yang wujudnya belum dapat Mada lihat dan kenali."Kamu sedang bersama dengan Lamina?" tanya Mada sebelum buru-buru menggeleng kemudian menunduk untuk meralat ucapannya sendiri saat dirinya menyadari bahwa dihadapannya kini hanya ada Taka semata."Hari ini pulang dengan Lamina, 'kan?" ulangnya lagi diselingi deham sambil menggaruk pangkal hidung."Lamina? Oh benar, kami pulang berdua."Senyum Taka yang
[Lamina: Je, sampai kapan dirimu ingin berada di dalam ruangan Pak Mada?][Lamina: Taka menyuruhku pulang, tetapi aku ingin memastikan agar nenek lampir itu pergi lebih dahulu dan aku baru akan menyusulnya.][Lamina: Tiga panggilan tidak terjawab.]Mada mengembuskan napas lalu kembali duduk di sebelah si perempuan setelah menyampirkan selimut hangat yang menutupi bagian atas tubuh Jenar.Ponsel milik Jenar sejak tadi berada di atas meja, dekat secangkir kopi hangat yang mau tidak mau Mada buat sendiri sebab setelah pertama kali Jenar membuatkan kopi untuknya, Mada merasa tidak cocok dengan kopi buatan orang lain.Hanya Jenar yang seleranya cocok untuk Mada.[Lamina: Taka menyuruhku untuk pulang, tas kerjaku bahkan sudah ditenteng oleh dirinya. Hubungi aku secepatnya!]Mada menyesap kopi lalu berdecak seraya membasahi bibir lalu melirik ke arah ponsel yang masih menyala dengan kondisi layar terkunci tersebut, berderet-deret pesan masuk dari Lamina pada akhirnya membuat si lelaki mengem
“Begini, Pak Mada.” Seorang pria paruh baya menghampiri meja Mada tepat ketika pria tersebut tengah memutar penutup ballpoin pertanda bahwa rapat yang cukup menyita waktunya usai. “Bagaimana, Pak?” jawab Mada. Mada mengerutkan kening seraya menyunggingkan senyum yang hanya bertahan beberapa detik saja sebelum melipat kedua tangan di atas meja. Beberapa pasang kolega mulai membubarkan diri setelah sebelumnya menyapa Mada penuh kehangatan. “Sepertinya … saya belum melihat kehadiran seseorang," terangnya disertai siulan. “Seseorang?” ulang Mada disertai alis yang terangkat sambil memiringkan sedikit posisinya ketika seorang office boy menghampiri untuk mengambil bungkus makanan yang telah kosong serta botol air mineral. “Ya.” Lawan bicaranya tersenyum simpul sambil menggosok kedua tangan di depan dada. “Kami semua tahu kalau Pak Mada memiliki sekretaris yang cekatan dan pekerjaannya … cukup rapi.” “Oh ya?” Mada bersikap defensif di luar keinginannya, rasanya akan ada sesuatu ya