"Mada, please," rengek Jenar dengan mata terpejam dan mulut yang sedikit terbuka ketika sepasang tungkainya dipegang dan dihentak secara kencang oleh si pria dari arah belakang."Damn, Jenar," racau Mada dengan kepala yang mengadah serta bulir keringat menuruni tengkuk ketika dirinya sibuk menghentak seolah tidak ada hari esok."C--cukup, Mada," balas si perempuan tersegal-segal dengan merasa tubuhnya melumer dan kehilangan kemampuannya untuk menopang diri sendiri.Rambutnya basah kuyup dan tubuhnya dibanjiri oleh keringat seiring dengan hawa di kamar tidur si pria yang meningkat pesat sejak beberapa saat lalu hingga pendingin ruangan tidak lagi terasa.Di sepanjang jalan menuju kamar tidur di griya tawang tersebut, tersebar pakaian-pakaian milik keduanya termasuk g-string Jenar yang malah robek dan putus tali pengaitnya karena Mada ogah melepaskannya dengan cara baik-baik.Sepasang payudaranya bergerak-gerak bebas menentang gravitasi sebelum Mada langsung menangkup dua bukit tersebut
Bemula dari g-string, berakhir dengan hubungan yang penuh aliran listrik.Mada masih terlelap dengan begitu pulas sambil mengigau mengenai makaroni raksasa yang terbang mengitari angkasa lalu menembakan saus keju.Mulanya, hal itu membuat Jenar yang tidak bisa tertidur setelah sesi bercinta mereka keheranan serta panik berupaya membangunkan Mada sebelum terdiam dan justru tergelak sejadi-jadinya.Dia pikir, orang seperti Mada mustahil mengigau, nyatanya yang terjadi sekarang justru sebaliknya."Mada! Ayolah," kekeh Jenar sambil memperhatikan Mada di antara keremangan kamar si pria yang masih terus meracau mengenai serangan saus keju."Hei, jika ingin mengigau, setidaknya kamu bisa mengigau mengenai pekerjaan," balas Jenar seakan-akan Mada dapat mendengarkannya."Mengapa harus meracau mengenai alien serta saus keju?"Jenar dibuat terpingkal-pingkal tidak karuan ketika Mada dengan mata terpejam serta mulut yang terbuka serta tertutup terus saja mengatakan bahwa di luar griya tawang ini a
[Pak Mada : Jenar, di mana kamu?][Pak Mada : Kenapa pergi begitu saja dari griya tawang?][Pak Mada : Angkat teleponmu atau balas pesanku, Jenar.]Jenar menatap gaun pengantin yang harusnya dia kenakan dengan tatapan nelangsa.Gaun berwarna putih itu terlipat dengan rapi di atas ranjangnya seakan-akan menunggu Jenar untuk memakainya.Suatu kemustahilan karena dia sendiri yang mengambil keputusan untuk membatalkan pernikahan dengan sang mantan.[Pak Mada : Apakah semalam aku melakukan kesalahan? Ayolah, jika itu benar, mari kita bicarakan dengan baik-baik. Aku tunggu di kafe yang berada di seberang apartemen. Atau, aku yang akan menyesuaikan tempat denganmu.]Dia melirik ke arah ponsel yang berkedip beberapa kali dan menampilkan nama Mada yang tertera di sana sebelum mendesah pelan lalu menunduk.Setelah sejak semalam terus memikirkan Mada yang mengigau dengan menyebut nama Bianca, Jenar merasa dia tidak bisa bertahan lebih lama lagi di griya tawang.Kendati sampai detik ini dirinya in
"Bagaimana rasanya datang ke acara lelang bersama Mada, Jenar?" tembak Oscar sambil mengaduk minuman yang berada di dalam cangkir.Keluar dari kandang macan, masuk ke dalam kandang harimau.Ini seperti mengantarkan nyawa begitu saja."B—bukan saya, Pak Oscar," jawabnya setelah tertegun untuk beberapa detik kemudian tersenyum canggung.Dia tidak ingin mengakui yang sebenarnya karena Mada menyuruhnya yang demikian."Saya tidak tahu tentang acara charity. Semalam saya tidur di rumah. Saya tidak tahu apa-apa yang terjadi," balasnya disertai gelengan kepala hingga Oscar menipiskan bibir lalu mengembuskan napas panjang."Gaun merah dengan topeng yang warnanya senada itu harus aku katakan cocok denganmu.""Tapi saya—""Tidak apa-apa jika tidak ingin mengaku," potongnya cepat.Oscar mendentingkan sendok kecil dipinggir cangkir kemudian melirik ke arah Jenar sambil menyunggingkan senyum kecil."Mari berpura-pura bahwa saya tidak menghapal tabiat Mada," kekeh Oscar kepada Jenar yang bersemu mera
"Mada?" Mada terlalu sibuk untuk menatap pria yang menjemput Rula, rasanya tidak terlalu asing. "Aku ada urusan genting, jangan matikan teleponnya dan dengarkan saja secara saksama," perintahnya. "Iya tapi ada apa? Hei, aku hanya membahas mengenai Tash sejak awal. Tidak perlu untuk bersikap seperti ini. Kamu tahu, ini seperti kamu sedang memata-matai seseorang." Sejurus dengan jawaban yang diberi, Mada kemudian benar-benar mengabaikan panggilan yang masuk tersebut. Mada terus memicingkan mata dan perlahan bergerak menjauh dari pintu utama kafe untuk mendekat ke arah Rula.Rula sendiri nampak terbahak ketika mendengar si pria yang sepertinya habis menyampaikan kelakar padanya. Keduanya berdiri bersisian, nampak tidak peduli dengan kehadiran Mada.Padahal, Mada sedang serius memantau mereka dari jarak dekat seperti ini. "Kamu tahu, saat aku bertemu dengan Jenar, dia memberiku gaun pernikahannya begitu saja," tukas Rula dengan nada malas."Apakah dia selalu lemah seperti itu?" cibi
"Mada," lirihnya setelah Mada pergi. Jenar berusaha memutar tubuhnya, dia sibuk celingak celinguk mencari keberadaan Mada hingga membuat Oscar menaruh perhatian penuh kepadanya. "Jenar, ada apa?" "Apakah Pak Mada memang seperti itu, Pak Oscar?" bisik Jenar dengan menggeser pelan bokongnya lalu menatap ke arah Oscar yang menganggukan kepala. "Seperti apa?" "Bertanya mengenai suatu hal kemudian pergi begitu saja," katanya disertai sengatan rasa tidak suka setelah ditinggalkan. "Singkatnya, kamu bertanya mengapa Mada menggila karena perempuan yang dia sukai?" Tanpa merasa bersalah sudah melontarkan kata-kata yang bermakna ganda, Oscar justru kembali dengan menyuruput minuman hangat miliknya sedangkan Jenar tercengang sejadi-jadinya. "Bukan seperti itu maksud saya, Pak Oscar," cicitnya merendah setelah tersadar sambil menepiskan rambut dari sudut bibir. "Wajahmu lebih merah dari buah strawberry. Kamu menyadari itu?" goda Oscar. "Pak Mada tidak mungkin menyukai saya dan rasanya it
“Rula?” Mada yang sejak tadi berada di dalam kendaraannya dan menyimak percakapan Rula serta kekasihnya yang dia minta kepada Josh untuk menyadapnya kini hanya mengernyitkan alis. Dia memukul kemudi seraya menekan benda kecil yang menempel pada daun telinganya, berusaha makin dengan perbincangan yang terjalin. “Tidak masuk akal. Tidak mungkin di dunia ini ada sahabat yang sejahat itu,” bisiknya lagi sambil menimbang-nimbang sesuatu di tangan seraya membasahi bibir. Mada ingin mendengarkannya lebih lama lagi, menikmati satu demi satu kata yang diucapkan oleh Rula sampai dirinya tidak sadar bahwa Oscar sudah keluar dari kafe tersebut dengan dipapah oleh Jenar. Ketika suara pintu mobil diketuk dari arah luar, Mada yang berada dibelakang kemudi segera menekan tombol off lalu menjulurkan tangan untuk membuka pintu. “Pap,” panggilnya dengan menunduk kepada Oscar yang dibantu oleh Jenar untuk duduk di kursi penumpang bagian depan. “Apa yang kamu lakukan di sini, Mada?” balas Oscar deng
"Laki-laki macam apa yang membiarkan perempuan pulang seorang diri sementara kamu duduk tenang dibelakang kemudi seperti ini, Mada?" goda Oscar dengan bersiul pelan lalu menepuk perutnya yang membuncit setelah kenyang menyantap hidangan tadi. "Jika papa seusiamu, Jenar pasti sudah akan papa gendong agar duduk tenang pada bagian belakang." "Apa maksud papa?" balas Mada dengan melirik tajam pada Oscar. Oscar terkekeh kecil, dia mendecak-decakan lidah lalu bersiul untuk menatap Mada dengan sorot yang jenaka. "Papa sudah lama tidak berbicara dengan perempuan diluar konteks pekerjaan dan Jenar sepertinya menyenangkan untuk diajak berbicara." "Tidak ada hubungannya denganku, Papa," ketus Mada dengan mengelus kemudi. Mulutnya terbuka kemudian mengatup tertutup. "Papa, tunggu. Dengan apa Jenar pulang?" "Mungkin dengan lelaki lain," seloroh Oscar yang mengguncang Mada.Sejurus kemudian, Mada menoleh ke arah Oscar lalu berdecak. "Berdua dengan lelaki lain?!" Dengan tajam, Oscar melirik
"Sebenarnya apa yang dicari oleh orang itu?" "Aku tidak tahu," jawab yang lainnya dengan suara lirih sambil melirik jam lalu diam-diam menguap lebar sebelum mengamati Mada melalui sudut mata. "Ini sudah larut, seharusnya kita sudah tutup," bisiknya dengan nada yang sudah tidak sabar. Kakinya bergoyang-goyang dan berulang kali berdecak seraya menyumpah serapah dan terus menggaruk kepala. "Tolong katakan kepada calon pembeli itu bahwa kita sudah close order." Dengan tidak sabar, dia mengatakannya dengan sedikit mendesak yang langsung di sangkal oleh rekan kerjanya. "Hush!" tukas yang lain dengan mata merebak terbuka. "Menolak calon pembeli itu tidak baik, bisa berimbas buruk kepada bisnis," balas teman bicaranya yang nampak kikuk sambil terus memandang ke arah calon pembeli tersebut. "Lama sekali," gerutunya pelan agar tidak terdengar oleh Mada. Lantas, dia menoleh untuk menatap rekannya dan berucap serius, "Maksudku ... jika saja dia meminta saran kepada kita berdua, kita pasti
"Aku seharusnya tidak berada di sini, bukan?" Dia duduk dengan kedua lutut yang tertekuk sambil menyesap cairan berwarna putih kekuningan dari gelas berleher tinggi sebelum menaruhnya kembali kemudian membuka pembungkus sebuah bola cokelat dari brand Godiva. "Ck!" ucapnya seraya mendecak-decakan lidah ketika rasa manis dari cairan tersebut kembali membasahi bibir serta kerongkongan. "Kamu ingin mencobanya? Oh ayolah, percaya padaku. Aku tidak akan membeli alkohol yang memiliki cita rasa buruk," ucapnya memberikan penawaran kemudian menggeleng ketika tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan. "No? Fine, you're lost, not mine," tutur si pria dengan menghabiskan isi dari dalam gelas itu hanya dalam satu teguk sebelum tertunduk. Gelasnya jatuh, kepalanya terasa berdenyut dan tangannya sibuk menepuk-nepuk sisi kiri keningnya. Mada menyipitkan mata, keringat sebesar bulir jagung mulai menuruni kening sampai membuatnya menghela napas berulang kali dan dengan sibuk mendecak-decakan lidah
"Je, jangan menyelundupkan kekasihmu ke sini, oke?!" "Aku tidak hanya menyelundupkannya melainkan akan tidur dengannya lalu membuat suara-suara animalistik sampai kamu terganggu," balasnya sarkastik dengan memejamkan mata karena tengah pusing dengan beban kerja yang terus berdatangan. "Mungkin kamu akan mendengar aahh dan uhh dan eeehh dan yes," tambah Jenar memanas-manasi Catherine yang tidak memiliki kekasih. "Hei!" Catherine berkacak pinggang lalu berdecak sebal sambil mengetuk jemarinya di daun pintu. "Jadi, jangan membuatku melakukan yang tidak-tidak di rumah ini, mengerti?" tanya si adik yang kakinya sedang terkilir dengan retoris kemudian mendecak-decakan lidah. "Omong-omong, semakin bertambah usiamu, sikapmu menjadi sangat menyebalkan, Cath." "Itu adalah tujuan mengapa seorang Kakak diciptakan. Tidak lain dan tidak bukan untuk membuat adiknya kesal." "You pissed me off, asshole," cebik si adik sambil memijat sisi kepala seraya memutar kembali kursi yang semula di duduki
"Je, ada apa?"Jenar menoleh ke arah sang Kakak yang baru saja kembali dengan semangkuk mie instan berkuah penuh sayur seperti pesanannya beberapa saat yang lalu."Mada menyuruhku agar mengambil jatah cuti untuk dua hari," terangnya setelah mematikan ponsel."And by the way, thank you chef."Diiringi sebuah senyum lebar, Jenar meraih mangkuk yang masih mengepulkan asap itu dan menaruhnya di atas meja yang melintang di atas paha.Catherine mendecakan lidah sebelum menggeleng pelan dan memutuskan untuk duduk di sebelah Jenar yang tengah menyeruput kuah mie instan tersebut."Hati-hati, kamu bisa tersedak."Jenar tidak memberikan jawaban yang pasti kepada Catherine, dia memilih untuk membuat tanda 'oke' dengan jemarinya sedangkan mulutnya tidak henti bergerak seperti sebuah vacuum cleaner."Dua hari?""Yup," angguknya ditengah seruput mie instan sebelum menambahkan. "Kamis dan Jum'at aku akan bekerja di rumah.""Artinya kamu akan berada di rumah sepanjang akhir pekan," lirih Catherine yan
"Harum," tuturnya setelah menghidu aroma buket bunga.Ada yang tidak biasa dari penampilan lelaki berusia 28 tahun itu. Dia terlihat gugup, rasa percaya dirinya perlahan menguap di udara begitu saja. "Oh Tuhan, apakah ini pertanda bahwa apa yang akan aku jalani ini adalah suatu hal yang benar?" Tubuhnya belum terlihat terlalu kekar, ukuran pakaiannya mungkin saja masih S. Tanda penuaan di sudut mata serta kening yang berkerut-kerut masih belum muncul ke permukaan. Wajahnya terlihat sangat segar berseri-seri, rahangnya sangat tajam seperti bilah pisau yang dipakai oleh juru masak di restoran terkemuka. Hanya seorang pemuda yang tengah jatuh cinta dan memantapkan hati untuk menikahi pujaan hati. Entah kapan mereka akan menikah, dia tidak tahu. karena masa depan adalah sebuah misteri, tetapi satu hal yang dirinya mengerti, secepat mungkin dirinya ingin meminang sang dara. "Bi, will you marry me? Ah, tidak. Terlalu klise, seperti seorang lelaki yang kehabisan kosa kata." Dirinya b
“Aku sedang tidak ingin pulang. Bisakah kamu menculik diriku?” “Tidak ada penculik yang terang-terangan mengatakan bahwa dirinya akan melakukan penculikan,” balasnya disertai seringai, tidak habis pikir dengan apa yang berada dalam benak Jenar. "Lagipula, apa urgensinya dan kenapa tiba-tiba kamu mengatakan hal tersebut, hum? Apa kamu tengah mabuk?" “Memangnya ada korban penculikan yang minta diculik?” balas Jenar sebelum sibuk menyunggingkan senyuman. "Dan kamu benar, aku mabuk. Dimabuk oleh cintamu." "Dasar," cibir Mada yang telinganya perlahan memerah namun berusaha keras dia tutupi karena disanjung oleh sang dara tercinta. Lengan Jenar senantiasa mengalung dibelakang leher Mada setelah berjam-jam kemudian keduanya memutuskan untuk keluar dari ruang kerja si pria setelah Lawana Corporation berangsur-angsur sepi. “Mada Lawana, ayolah, culik diriku,” rajuk Jenar untuk kali kesekian hingga Mada yang tengah menggendongnya kemudian bersandar di dalam lift hanya tertawa dengan hamba
"Taka!"Taka yang sedang berada di area cafetaria dan tengah menunggu pesanannya lantas menoleh ke arah sumber suara sebelum mengangguk dengan penuh rasa hormat kepada Mada."Pak Mada," sahutnya dengan sopan. "Ada yang bisa dibantu, Pak?"Tanpa membuang waktu, Mada menyamakan posisinya dengan Taka yang tengah menerima uluran roti hangat di dalam kemasan lalu memasukannya ke dalam tas sebelum kembali menatap Mada."Ada, namun tidak banyak," singkat si lelaki parlente sambil menatap pria muda di hadapannya yang tengah meregangkan tubuh lalu melambaikan tangan ketika di sapa oleh seseorang yang wujudnya belum dapat Mada lihat dan kenali."Kamu sedang bersama dengan Lamina?" tanya Mada sebelum buru-buru menggeleng kemudian menunduk untuk meralat ucapannya sendiri saat dirinya menyadari bahwa dihadapannya kini hanya ada Taka semata."Hari ini pulang dengan Lamina, 'kan?" ulangnya lagi diselingi deham sambil menggaruk pangkal hidung."Lamina? Oh benar, kami pulang berdua."Senyum Taka yang
[Lamina: Je, sampai kapan dirimu ingin berada di dalam ruangan Pak Mada?][Lamina: Taka menyuruhku pulang, tetapi aku ingin memastikan agar nenek lampir itu pergi lebih dahulu dan aku baru akan menyusulnya.][Lamina: Tiga panggilan tidak terjawab.]Mada mengembuskan napas lalu kembali duduk di sebelah si perempuan setelah menyampirkan selimut hangat yang menutupi bagian atas tubuh Jenar.Ponsel milik Jenar sejak tadi berada di atas meja, dekat secangkir kopi hangat yang mau tidak mau Mada buat sendiri sebab setelah pertama kali Jenar membuatkan kopi untuknya, Mada merasa tidak cocok dengan kopi buatan orang lain.Hanya Jenar yang seleranya cocok untuk Mada.[Lamina: Taka menyuruhku untuk pulang, tas kerjaku bahkan sudah ditenteng oleh dirinya. Hubungi aku secepatnya!]Mada menyesap kopi lalu berdecak seraya membasahi bibir lalu melirik ke arah ponsel yang masih menyala dengan kondisi layar terkunci tersebut, berderet-deret pesan masuk dari Lamina pada akhirnya membuat si lelaki mengem
“Begini, Pak Mada.” Seorang pria paruh baya menghampiri meja Mada tepat ketika pria tersebut tengah memutar penutup ballpoin pertanda bahwa rapat yang cukup menyita waktunya usai. “Bagaimana, Pak?” jawab Mada. Mada mengerutkan kening seraya menyunggingkan senyum yang hanya bertahan beberapa detik saja sebelum melipat kedua tangan di atas meja. Beberapa pasang kolega mulai membubarkan diri setelah sebelumnya menyapa Mada penuh kehangatan. “Sepertinya … saya belum melihat kehadiran seseorang," terangnya disertai siulan. “Seseorang?” ulang Mada disertai alis yang terangkat sambil memiringkan sedikit posisinya ketika seorang office boy menghampiri untuk mengambil bungkus makanan yang telah kosong serta botol air mineral. “Ya.” Lawan bicaranya tersenyum simpul sambil menggosok kedua tangan di depan dada. “Kami semua tahu kalau Pak Mada memiliki sekretaris yang cekatan dan pekerjaannya … cukup rapi.” “Oh ya?” Mada bersikap defensif di luar keinginannya, rasanya akan ada sesuatu ya