Di dalam Labirin Naga, Azzo dan Lisa ‘The Myth’ bertarung bersama dengan tujuan agar ilmu berpedang yang dimiliki Lisa bisa dipelajari oleh Azzo khususnya mengenai ilmu pedang hampa.Aku tidak tau sudah berapa lama kami menelusuri labirin ini, tetapi kami melakukannya dengan lancar. Kami menyerang para monster yang ada di labirin dengan formasi Kak Lisa yang ada di depan dengan serangan brutalnya dilanjutkan olehku. Mengapa kami melakukan formasi begitu? Karena kak Lisa sepertinya ingin mengajarkanku dengan cara menyuruhku melihatnya langsung. Dia bilang tidak begitu bisa mengajari seseorang jadi aku harus melihatnya sendiri, makanya dia menyuruhku untuk melihatnya langsung dari belakang. Jadi dia menjadi garda depan sekarang sedangkan aku adalah yang memberi serangan penghabisan.“Azzo, kita sudah masuk ke labirin ini selama 2 hari dan ujungnya juga belum terlihat.”“Sudah 2 hari? Pantas saja aku merasa sedikit kelelahan. Hebat juga kakak bisa menghitung waktu di dalam gua ini.” Kata
Saat kami beristirahat, Kak Lisa mulai bercerita sedikit tentang masa lalunya. “Aku juga pernah berada di posisimu, Azzo. Aku pernah merasa ragu dan takut. Tapi dengan tekad yang kuat dan kesungguhanku untuk keluar dari posisi seorang wanita yang lemah, aku pun akhirnya bisa mengatasi semua rintangan.”Cerita Kak Lisa memberikan inspirasi dan semangat baru bagiku. Aku merasa lebih yakin bahwa aku bisa menguasai kekuatanku dan melindungi orang-orang yang aku sayangi, walau sebagian besar mungkin hanya beberapa orang bisa dihitung dengan jari.Setelah istirahat, kami melanjutkan latihan dengan teknik yang lebih kompleks. Kak Lisa mengajarkan cara menggabungkan gerakan dasar dengan serangan dan pertahanan. Setiap gerakan terasa lebih alami dan kuat seiring berjalannya waktu.Latihan berlangsung tanpa henti, dan meskipun lelah, aku merasa puas dengan kemajuan yang telah aku capai. Aku tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, tetapi dengan bimbingan K
Sepuluh tahun yang lalu pada tahun D190, adalah kisah saat pertama kali aku tiba di Donya. Saat itu, aku hanyalah seorang anak biasa yang tidak tahu apa-apa tentang dunia luar. Aku membuka mataku perlahan, dan cahaya matahari yang menyilaukan membuatku menyipitkan mata. Aku merasakan tanah yang lembut di bawah tubuhku dan mendengar suara burung-burung berkicau di kejauhan. Aroma segar dedaunan dan tanah basah memenuhi hidungku, memberikan rasa tenang yang aneh. Aku mengedipkan mata beberapa kali, mencoba memahami di mana aku berada. Ini bukanlah tempat yang kukenal. Pepohonan tinggi menjulang di sekelilingku, disertai dengan langit biru cerah membentang tanpa awan. Aku merasa seperti berada jauh dari rumah.Aku bangkit dengan bersusah payah, merasakan tubuhku yang lemah dan kepala yang berdenyut. Di sekelilingku, pepohonan tinggi menjulang dengan dedaunan yang berwarna-warni, sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya. Aku mencoba mengingat apa yang terjadi, tetapi ingata
Tiga tahun telah berlalu, tepatnya tahun D193. Kami tengah berada di Daratan Netral di pegunungan Elendig, wilayah yang tidak termasuk teritori dari Delapan Dewa Surgawi. Aku telah memutuskan untuk melakukan perjalanan bersama dengan temanku yang sekarang menjadi sahabatku Ellard. Dia adalah orang pertama yang kutemui dan dia mengajariku semuanya yang ada di dunia ini atau tempat yang disebut sebagai Donya. Dia bahkan mengajariku berbicara menggunakan bahasa di sini juga dengan membaca maupun menulis. Dia benar-benar orang baik yang sudah menyelamatkan hidupku.Aku dan Ellard terus melanjutkan perjalanan kami meskipun aku belum mengingat apapun yang terjadi dengan diriku yang sampai terlempar ke Donya, namun kami menyadari sesuatu hal baru. Seiring berjalannya waktu, tubuhku sama sekali tidak berubah meskipun sudah 3 tahun berjalan. Hal ini sering membuatku menjadi pusat perhatian dan menimbulkan banyak pertanyaan dari orang-orang yang kami temui, mengingat kami sempat sing
Di tengah hutan yang lebat, dua pemuda Azzo dan Ellard memutuskan untuk beristirahat. Mereka sudah berjalan selama seharian dan rasanya hari mulai gelap. Cahaya matahari tembus melalui dedaunan sore hari, memberikan sentuhan hangat pada kulit mereka. Mereka melepas beban ransel dan duduk di atas akar yang menjulang. Ellard mengeluarkan peralatan makan mereka.“Azzo,” ujar Ellard.“Kita sudah lama berpetualang bersama, tapi ada satu hal yang belum pernah kita coba. Bagaimana kalau kita membuat sate di sini? Aku ingin kau mengajariku bagaimana cara membuatnya, apalagi bumbu yang kau gunakan itu... Apa namanya, saus sambal kacang ya? Itu benar-benar lezat.”Azzo tersenyum pada Ellard, mengangguk setuju. “Baiklah, Ellard,” katanya dengan semangat. “Kita akan membuat sate di tengah hutan ini. Tapi ingat, kita harus berhati-hati agar api tidak merembet ke sekitar dan mengganggu alam.”Mereka berdua mencari kayu-kayu kering untuk membuat api unggun. Azzo mengajari Ellard cara menyusun kayu s
Tahun D194, kami masih berada di daerah netral pegunungan Elendig. Pada suatu hari Aku dan Ellard bertemu dengan seorang petualang perempuan ketika kami sedang berkemah di salah satu puncak gunung di pegunungan Elendig di dekat kota kecil Vreven. Saat itu, angin malam membuat tubuhku menggigil ketika aku dan Ellard berkemah di puncak gunung. Api unggun kami berjuang melawan dingin yang menusuk tulang. Di antara gemuruh angin, sebuah bayangan muncul dari kegelapan. Seorang perempuan, langkahnya ringan seperti hembusan angin, mendekati kami.“Azzo, sepertinya kita kedatangan tamu tak diundang.” Ellard waspada“Beruang atau manusia El?” tanyaku.“Dari ukurannya yang kurasakan dengan sihir deteksiku sepertinya manusia. Hei kau keluarlah aku tau kau ada di sana!” teriak Ellard berusaha menghalau musuh.Bayangan orang yang muncul dari kegelapan itu semakin mendekat. Langkahnya ringan, seolah-olah dia menyatu dengan angin malam. Rambut biru langitnya tergerai, dan matanya memancarkan kecerda
Di sebuah desa yang diberkahi oleh para pemuda yang sangat berbakat untuk menjadi pendekar ataupun kesatria, terdapat seorang pemuda berambut merah yang sama sekali tidak menunjukkan bakatnya akan menjadi pendekar. Fisiknya sangatlah lemah, dia adalah Ellard Vahran. meskipun dia menyandang keturunan rambut merah yang kebanyakan dari mereka menjadi seorang pendekar.Dia hidup dengan rasa penasaran yang tak terpuaskan, kemana kekuatan pendekar dari keturunan rambut merah miliknya? Pertanyaan itu selalu berputar di benaknya. Meskipun fisiknya lemah dan tidak menonjolkan bakat sebagai pendekar, ada sesuatu yang tersembunyi dalam dirinya. Di mata orang lain, dia hanyalah seorang pemuda biasa yang tidak memiliki potensi. Dia tidak dianggap oleh sekelilingnya. Keluarga besarnya bahkan menolaknya, karena dia dianggap tidak berguna karena tidak bisa meneruskan keturunan pendekar rambut merah keluarga mereka. Meskipun Ellard menghadapi penolakan dari keluarga besarnya dan desa, ada dua orang y
Saat ini kami tengah bersiap untuk menjelajah reruntuhan di dekat perbatasan antara daerah netral pegunungan Elendig dengan wilayah Mili wilayah dari Dewa Samudra Elaine ‘The Octagon’. Kami seringkali bertemu pengelana seperti kami yang memburu artefak dari dalam reruntuhan. Mereka bilang di daerah pegunungan ini terdapat semacam piramid yang menarik perhatian kami. Namun sebelum sampai di sana kami memutuskan untuk berkemah kembali di desa sekitar labirin itu.Malam itu, di bawah langit yang berkilauan, kami berkumpul di sekitar api unggun. Cahaya gemerlap memantul dari wajah-wajah kami yang lelah. Selene, dengan matanya yang tajam dan rambut hitamnya yang terurai, menatapku dengan sedikit kesal. Dia selalu lebih waspada, lebih cerdas dalam membaca tanda-tanda alam. Aku, Azzo, lebih suka bertindak dulu dan berpikir kemudian. Itu sebabnya kami sering berbenturan. Ini adalah kisah sebulan setelah kami bertualang dengan Selene.“Selene, kau bilang apa tadi mengenai daerah ini?” tanyaku.