Ressa mengangguk. Ia bahkan sudah tau apa yang dimaksud Vera sebelum sahabatnya itu menyebutkan nama. Itu pasti Arya. Ya, Vera pasti membahasnya.“Kamu nggak pengin nyapa?”“Ngapain? Dia juga sudah sama pacarnya. Ya, kan?”“Tapi kalau kamu salah lagi bagaimana? Seperti dulu kamu cemburu buta dengan Arya sampai kamu akhirnya menerima Gilang dengan lapang dada?”“Ya, kalau sekarang posisinya sudah berbeda, Ve. Saat ini aku sudah menjadi milik orang lain. Jadi siapapun wanita yang ada di sebelah Arya, bukan masalah sih bagi aku.”Bohong besar! Padahal Ressa masih merasakan sakit dalam hatinya. Tapi ia tidak ingin siapapun tahu termasuk sahabatnya.“Oh, oke. Paham aku. Tapi apa memang secepat itu kamu bisa melupakannya tanpa ada yang tersisa? Apalagi ya jika mengingat bagaimana perlakuan Gilang selama sebulan ini denganmu?”“Ve …!” ressa cemberut mendengar komentar dari Vera.“Oh baiklah maaf. Aku nggak akan membahasnya lagi.”“Kalau aku menjawab sudah melupakan Arya ya kelihatan bohongny
“Mas? Kamu tidak berangkat bekerja?” tanya Ressa sembari menenteng ember berisi cucian yang siap untuk dijemur. Netranya menelisik setiap jengkal tubuh suaminya. Laki-laki yang saat ini berada di hadapannya itu bahkan belum mandi apalagi bersiap untuk berangkat kerja. Biasanya, pagi sekali sudah bersiap-siap.“Oh iya, aku lupa memberitahu kamu kalau aku sudah resign dari tempat kerjaku,” jawab Gilang enteng. Dia menghirup aroma kopi buatan istrinya.Brak. Ressa melepaskan pegangan embernya. Beruntung cuciaannya tidak jatuh ke lantai. Ia melangkah menuju suaminya. Di sanagat penasaran dengan alasan suaminya berhenti bekerja. Ia duduk di samping suaminya yang sednag menikmati kopi di pagi hari. Aromanya sangat kuat.“Bagaimana bisa kamu tidak menceritakan hal sepenting itu kepadaku?” tanya Ressa pada suaminya.Gilang meneguk sedikit kopinya lalu mengembalikannya ke tatakan seperti semula.“Aku pikir kamu tidak perlu tahu hal ini. Bukankah yang terpenting adalah uang bulanan masuk ke rek
“Selamat siang, Pak Gilang. Bapak memanggil saya?”Seorang gadis dengan tubuh tinggi semampai, berambut panjang, berkulit putih, dan senyumnya manis dengan lesung di pipi kanannya, menghampiri Gilang yang baru saja masuk ke ruangannya.Beberapa detik mata Gilang tak berkedip menatap sekretarisnya. Perawakannya begitu mirip dengan Ressa. Roy, rekan kerjanya yang menangani usahanya selama ini begitu pandai memilih karyawan.Gilang segera menyadarkan diri sendiri.“Jam berapa nanti saya harus bertemu klien?” tanya Gilang.“Jam satu siang selepas makan siang, Pak.”“Kalau begitu sekalian saja kita makan siang bersama seperti biasa. Segera hubungi klien kita supaya bisa bertemu di kafe XY.”“Siap, Pak.”Siska pamit undur diri. Dia kembali ke mejanya di luar ruangan Gilang.***“Dit, lihat! Bukankah itu Gilang?” tanya Vera pada Adit. Matanya memberi isyarat ke arah pintu masuk kafe tempat mereka makan siang. Adit mengalihkan pandangannya mengikuti instruksi kekasihnya, Vera, “ya, benar, it
Prang!Sebuah piring terjatuh dari tangan Ressa kala mendengar Gilang mengucapkan panggilan sayang pada sseseorang yang sedang berada di seberang telepon. Jantungnya bergedup kencang. Jangan ditanya bagaimana rasanya. Jelas rasanya seperti teriris. Pedih. Ressa bahkan memegang dadanya. Desiran darahnya terasa sangat menyakitkan. Setiap jantungnya memompa darah, saat itu juga rasa perih di dadanya terasa sangat menyakitkan. Ditatapnya lelaki yang kini sudah berada di hadapannya.“Siapa yang Mas Gilang panggil sayang itu?” tanya Ressa memastikan.Nada pertanyaan Ressa terdengar terbata-bata. Bagaimana tidak? Ressa harus menahan perih dan emosinya agar tidak meledak saat itu juga.“Bukan siapa-siapa. Mungkin kamu yang salah dengar.”Gilang menjawab dengan dingin. Seolah merasa tak bersalah. Gilang menunjukkan ekspresi biasa saja. Ressa berjalan mendekat. Diraihnya tangan Gilang.“Mas, tolong jangan menutupi apapun dariku.”Ressa memohon pada suaminya. Ditangkupkannya kedua tangannya di d
“Ahahaha ….” Ressa tertawa mendengar suaminya menanyakan tentang itu.Gilang memasang eskpresi cemburu. Entah hanya akting atau memnag benar dia cemburu dengan Arya. Hanya Gilang yang tahu. Tapi yang jelas hal itu membuat Ressa merasa senang karena Gilang cemburu dengan mantan kekasihnya. Itu berarti Gilang cinta dengan dirinya.“Apa kamu cemburu dengan Arya?” selidik Ressa.Gilang mengangguk, “siapa coba yang tidak cemburu jika istrinya ketemuan dengan mantan kekasihnya di belakangnya. Jelas semua suami akan cemburu.”Ressa mengangguk paham dengan yang dibicarakan Gilang, “oh, gitu. Tenang saja, Mas. Aku hanya makan siang bersama teman-teman. Aku juga tidak bertemu dengan Arya. Aku lihat Winda hanya berdua dengan Dika.”Gilang membetulkan posisinya, “eh, eh, itu si Winda beneran makan siang bareng Dika? Ada hubungan apa mereka berdua?”Ressa mengangkat kedua bahunya tanda tak mengerti dengan yang terjadi. Sementara Gilang pikirannya melayang memikirkan adiknya yang dekat dengan Dika.
Ceklek. Gilang keluar dari kamar mandi. Dia melihat istrinya duduk sendiri di sofa sembari memainkan ponselnya. Dia celingukan mencari sosok Siska. Tapi tak ditemukan. Netranya menatap bed. Tidak ada tas Siska juga di sana.“Perempuan itu sudah pulang,” jelas Ressa sebelum suaminya menanyakannya.“Siapa yang membantu dia berjalan? Dia pulang pakai apa?” tanya Gilang pada Ressa.“Kenapa nadamu terlihat sangat khawatir sekali? Apa kau menyukainya? Sampai kalian ambil satu kamar bersama. Tidak bisa kubayangkan apabila aku tidak datang. Hal apa yang akan kalian berdua lakukan di sini di kamar ini,” cerocos Ressa panjang lebar.“Apa Mas Gilang tidak melihat bagaimana wanita itu berjalan menuju kamar mandi? Apa dia terlihat pincang? Cara jalannya bahkan sangat tegak. Dia tidak terluka sama sekali. Dia bisa jalan pulang sendiri. Dia sudah dewasa!” sambungnya.“Ressa …!” seru Gilang.Ressa berdiri dari sofa. Ia menenteng tas jinjingnya dan berjalan mendekati Gilang.“Kenapa kau membentakku? A
“Apa keputusanmu itu sudah bulat? Sudah kamu pikirkan matang-matang, Nak?” tanya Bu Nani kepada wanita yang baru tiga bulan menjadi menantunya itu.Ressa mengangguk lemah. Sejujurnya ia belum sepenuhnya mencintai Gilang. Tidak masalah melepasnya, tetapi calon janin di rahimnya menjadi alasan yang paling berat untuk memutuskan berpisah dengan Gilang.“Ress, Ibu melihat keraguan di wajahmu. Tolong pikirkan baik-baik.”“Maafkan Ressa, Bu. Ressa terlkalu jijik dengan kelakuan anak Ibu.”Gilang tidak bisa diam saja melihat wanitanya menyerahkan dirinya kembali pada kedua orang tuanya. Bagaimanapun juga Ressa lebih baik dari siapapun. Yang terjadi kemarin-kemarin hanyalah caranya bersenang-senang. Pikirnya.“Ress, tolong maafkan aku, Mas Gilang janji tidak akan melakukan hal seperti itu lagi.”Hoek. Ressa mual-mual saat mendengar kata maaf dari suaminya. Sepertinya itu respon dari sang calon janin mereka. Tapi rasa mualnya Ressa yang terus menerus membuat Bu Nani curiga jika menantunya itu
Setelah menyaksikan adegan suaminya bersama Siska masuk ke mobil, Ressa merasa harus terus mengikuti mereka kemanapun mereka pergi.Mobil Gilang melaju dengan kencang berbalik arah. Dugaan Ressa mengarah ke arah pesta pernikahan klien suaminya. Ressa terus mengikuti di belakangnya dengan jarak aman agar tidak dicurigai.Bukannya menangis, Ressa justru terlihat sangat tegar. Tidak ada air mata yang meleleh di pipinya. Tapi gemuruh dadanya terasa sangat panas. Ia merasakan emosinya hendak meledak. Berkali-kali bahkan Ressa harus menarik nafas panjang untuk menetralisir emosinya.Perlahan mobil Gilang terlihat berhenti di sebuah gedung mewah yang sudah ramai orang. Mobil-mobil banyak berjejeran. Gilang memarkirkan mobilnya di antara tamu yang lain.Benar seperti dugaan Ressa. Gilang datang ke acara pesta pernikahan kliennya sesuai alamat yang tertera di undangan pernikahannya.Bruk.“Aw …,” pekik Ressa saat seseorang menabraknya. Ressa yang sedang mengendap-endap mengintai langkah suamin
Erik.Ternyata laki-laki yang baru saja mengaburkan pandangan Ressa tentang laki-laki manis yang dengan tiba-tiba mengajaknya menikah kini menelepon dirinya. Deg.“Haruskah diangkat?” Gumam Ressa memutar ponselnya dengan jari-jari lentiknya sembari menimbang-nimbang keputusannya.Jika boleh jujur, sebenarnya Ressa merasa malas jika harus memencet tombol terima di teleponnya. Tetapi jika teleponnya tidak diangkat, pasti dikira cemburu karena kejadian siang tadi yang sangat mencengangkan dan di luar dugaannya. Karena alasan itulah Ressa akhirnya mengangkatnya.“Halo,” sapa Ressa mendahului.“Halo Ress, aku sudah ada di depan. Bisakah kamu turun ke bawah menemuiku?”Mendengar Erik sudah berada di depan rumahnya, Ressa langsung terbangun dari posisi telentangnya.“Hah? Serius?”“Iya, Ressa.”“Oke, tunggu sebentar.”Ressa berpikir mungkin saja Erik mau menjelaskan soal tadi. Jika ia menghindar, bukankah Erik akan semakin yakin jika Ressa benar-benar telah jatuh cinta padanya dan memiliki s
Sepulang bekerja dan beberapa kali bertemu dengan klien yang berbeda-beda sikapnya, Ressa merasa sangat lelah dan letih. Berhubungan dengan banyak orang itu sungguh melelahkan. Tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya tentang bekerja kantoran.“Akhirnya bisa masuk kamarku. Pegel banget rasanya,” gumam Ressa.Seluruh tubuhnya terasa pegal. Begitu juga dengan kakinya yang seharian menggunakan high hills terasa sangat letih.“Mana minyak urutnya ya?” tanyanya pada diri sendiri, “oh, iya itu dia.”Diliriknya minyak urut yang berdiri tegak di samping lampu tidur. di dalam benaknya, tubuhnya jelas akan terasa hangat jika mengaplikasikan minyak itu ke tubuh yang otot-ototnya mengencang. Ressa berjalan menuju nakas di samping ranjangnya. Tapi tiba-tiba langkahnya berhenti. Ia pikir akan sia-sia karena beberapa menit lagi akan mandi. Akhirnya ia urungkan niat itu.“Nanti saja lah setelah mandi,” gumamnya.Matanya menangkap ranjangnya. Ia merasa ranjang miliknya terlihat sangat adem. Sejurus k
“Gimana? Sudah siap?” tanya Erik pada Ressa yang melangkah keluar rumah.“Sudah sih, tapi ….” Ressa terlihat ragu-ragu untuk melanjutkan kalimatnya.Seolah tahu apa yang dirasakan Ressa, Erik mencobaa meyakinkan Ressa, “jangan ragu, aku akan selalu ada di smapingmu. Lagi pula ini pesta ulang tahun kecil yang diadakan di rumah sendiri, jadi aku pikir kamu tidak perlu merasa khawatir yang berlebihan.”Erik langsung menggandeng tangan Ressa dan masuk ke mobil. Masih ada waktu lima belas menit dari dimulainya pesta. Ressa nurut saja ikut ke mobil, pikirnya, ini hanya pesta ulang tahun orang tua. Tapi kemudian pikirannya kembali berontak.“Pasti di sana banyak juga ibu-ibu yang seumuran dan keluarga besarnya. Jika mereka tahu dirinya datang bersama Erik, apa yang akan ada di pikiran mereka semua?” pikirnya.“Ress, kamu mikirin apa? Kok bengong?” tanya Erik sembari tetap terus menyetir.“Rik, kenapa kamu bawa aku sejauh ini, sih? Kamu tahu kan aku bahkan belum pernah menerima cintamu?” tany
Sehari setelah mendatangi pesta pernikahan Vera dan Adit, Ressa sudah mulai bekerja di kantor ayahnya. Kali ini, ia langsung mendapatkan tugas untuk meeting bersama Erik. Entah ini suatu kebetulan, atau tuan Sanjaya sengaja untuk mendekatkan mereka berdua. Atau bahkan ini merupakan tanda bahwa keduanya berjodoh? “Kamu mau langsung pulang?” tanya Erik setelah seluruh staff meninggalkan tempat meeting dan menyisakan dirinya serta Ressa yang sedang mengemasi berkas-berkasnya. Ressa mengangguk, “iya Rik.” “Setelah ini ada acara lagi nggak?” tanya Erik yang terlihat sangat antusias. Ressa menggelengkan kepalanya beberapa kali, “tidak ada sih, memangnya kenapa?” Pandangannya beralih dari berkas-berkasnya ke wajah laki-laki yang tanpa henti mengejarnya meski Ressa tidak pernah mengatakan kata iya pada ungkapan cinta Erik. “Ikut aku!” “Kemana?” “Sudah, ikut saja, yuk!” Erik menggandeng tangan Ressa keluar dari ruang meeting yang kebetulan berada di kantornya sendiri. Ressa berusaha me
Tiga Tahun Kemudian“Hei, Ar, kamu kesini sama siapa?” tanya Dika yang menggandeng wanita cantik disampingnya.Arya terlihat seorang diri berdiri sembari menatap pelaminan megah yang di sana berdiri sahabatnya, Adit, dan seorang wanita yang baru saja pagi tadi sah menjadi istrinya, Vera. Ya, hari ini adalah hari pernikahan Vera dan Adit.Otaknya tiba-tiba saja berjalan-jalan. Khayalan demi khayalan melintas bolak-balik di dalam kepalanya. Seandainya dan seandainya, terus saja mengisi otak Arya hingga rasanya hampir meledak. Untung saja ia sanggup mengendalikannya.“Eh, kamu Dik, aku sama satu keluarga. Ternyata diundang semua. Jadi deh rame-rame,” jawab Arya cengengesan.“Kamu nggak makan dulu?” tanya Dika pada Arya sembari menunjuk meja prasmanan dan stand-stand makanan tradisional yang berjejer rapi siap melayani para tamu undangan, “atau jajan gitu?”“Eh, nanti saja. Masih lama juga pestanya. Kamu kalau duluan nggak apa-apa. Kasian itu Winda,” jawabnya santia bergurau.Sejak pertik
“Gilang, stop!” teraik Bu Nani.Bagaimanapun juga, ia tidak ingin putranya melakukan kesalahan terus menerus. Ia tidak ingin Gilang mengucapkan kata cerai dalam keadaan marah.“Berhenti mengatakan apapun. Tolong ini permintaan ibumu,” lirik bu Nani.“Satu kata cerai yang keluar dari bibirmu, adalah dihitung talak satu. Seharusnya kamu tahu itu Gilang,” jelas Pak Budiman.“Pikirkanlah anak kalian. Kalian bisa memperbaiki semuanya. Gilang, perlakuakn Siska dengan baik. Kamu sendiri yang telah memilih Siska. Jadikan dia istrimu yang kamu cintai seperti kamu mencintainya dulu. Perceraian adalah hal yang sangat dibenci Tuhan,” ujar Bu Nani mencoba menyadarkan anaknya.Gilang masih diam bergeming. Ia memikirkan perkataan ibunya.“Aku udah nggak tahan dengan sikap Mas Gilang yang acuh tak acuh denganku dan anaknya sendiri, Bu. Aku yang menyerah,” aku Siska dengan deraian air mata.“Siska, ibu mengerti bagaimana sakitnya kamu. Tapi, pikirkanlah tentang anak kalian.”Bu Nani masih saja mencoba
“Jadi kamu sudah tahu masalah aku sama Ressa?” tanya Winda pada Dika setelah mendengar penjelasan dari Dika terkait alasannya kenapa menjauhi dirinya.Dika mengangguk. Matanya tidak berani menatap Winda. Tatapan matanya terus ke mejanya atau terkadang ke lantai. Sesekali melihat ke arah jauh. Dika benar-benar menghoindari kontak mata dengan Winda.“Dik! Tolong lihat aku!” seru Winda karena melihat Dika yang tidak fokus kepadanya.“Dik!”Tangan Winda meraih dagu Dika dan mengarahkan ke depan dengan setengah memaksa agar Dika menatapnya.“Win, maafin aku jika aku terkesan menghindari kamu. Aku kecewa dengan sifatmu.”“Tapi Dik, semua orang bisa berubah. Apa kamu tidak bisa menerima masa lalu orang lain?”“Tapi yang kamu lakuin ke Ressa itu sangat keterlaluan. Kamu merusak rumah tangga kakakmu sendiri. Ressa sampai depresi gara-gara kamu dan keluargamu. Dia harus bolak-balik psikiater untuk berobat. Jiwanya terguncang. Bagaimana nanti jika aku terus dekat dengan kamu? Hal tega apa yang a
“Kedatangan saya kemari hendak mengucapkan terima kasih atas pencabutan laporan Pak Sanjaya terhadap kedua anak kami.”“Kami sangat menyesal atas semua yang telah terjadi. Saya mengakui jika kelakuan kedua anak kami memang sangat di luar batas kewajaran. Perbuatan mereka sangat-sangat salah. Karena itu saya tidak membela mereka di hadapan Pak Sanjaya. Saya malu dengan Pak Sanjaya. Saya merasa gagal mendidik kedua anak saya, Pak.”“Tetapi setelah mengetahui jika Pak Sanjaya mencabut laporannya terhadap Gilang, terlebih kepada Winda, Saya sujud syukur, sangat bersyukur atas kebaikan hati Pak Sanjaya. Saya sangat berterima kasih kepada Pak Sanjaya. Saya menunggu waktu yang tepat untuk datang kemari. Saya harap, ke depan, hubungan kita masih baik-baik saja.”Akhirnya, keluar juga kalimat yang telah dirancang Pak Budiman sejak sebelum melangkah keluar rumah menuju rumah mantan besannya itu. Pak Budiman menghela napas panjang. Ia merasa seperti baru saja selesai berperang. Sementara Bu Nani
Bruk.Dika berlari dengan cepat sampai terengah-engah hingga menabrak sebuah kursi yang sedari tadi diam bergeming.“Ada apa sih Dik lari-lari gitu? Nggak bisa santai saja?” tegur Arya yang melihat sahabatnya menabrak kursi.“Gawat Ar. Kamu harus cepat ke kota. Kamu harus segera ke bandara!” seru Dika dengan napas yang masih terengah-engah.“Bandara? Buat apa? Aneh kamu!” ujar Arya tak menghiraukan Dika. Ia berbalik badan melangkah ke lantai atas kafenya.“Ressa, Ar. Ressa. Dia hari ini mau berangkat ke luar negeri. Dia mau kuliah di luar negeri. Dia tidak mengabari kamu?” jelas Dika dengan cepat.Deg. Terang saja Arya terkejut. Beberapa hari ini ia memang sempat mengabaikan pesan masuk dari Ressa karena kesibukannya yang seakan tidak pernah berhenti.Kakinya yang baru saja hendak menaiki anak tangga pertama diurungkannya.“Apa kamu bilang?”“Iya Ar. Ressa … ““Kamu handle semua urusan kerjaan di sini, aku mau nyusul Ressa,” ujar Arya terburu-buru. Tangannya dengan cepat menyambar kun