“Mulai, deh. Udah sana Mama keluar aja. Rin mau mandi, pengin berendam juga,” usir Rinjani yang sudah paham dengan sifat sang ibu yang suka menggoda.
Bukannya langsung pergi, Hanna justru semakin gencar menggoda Rinjani. “Aduh senangnya, Anak Mama udah mulai peka lagi. Nanti malam sekalian kenalan sama anak Tante Eisha, ya.”
Mata Rinjani terbuka lebar, bibirnya maju mengerucut menandakan jika gadis itu sudah kesal. “Udah, deh, Ma. Kalau gitu terus mending Rin nggak usah ikut sekalian.”
“Oke-oke, Mama keluar sekarang …. Mandi yang bersih biar wangi dan nggak malu-maluin!” teriak Hanna dari balik pintu membuat Rinjani sangat kesal tetapi justru berakhir tertawa mendapati tingkah aneh sang ibu.
Mata bulat itu melihat ke arah pintu, lalu sebuah senyuman terukir di wajah gadis itu. Rinjani sangat bersyukur memiliki keluarga yang selalu ada untuknya. Terutama sosok ibu yang selalu bisa memahami suasana hatinya, serta tahu bagaimana cara membuat dia kembali
Rinjani dan kedua orang tuanya sudah berada di rumah. Acara makan malam sudah selesai, dan kesepakatan kerjasama untuk membuka cabang toko perhiasan sudah ditandatangani. Sejak kembali dari acara makan malam tadi, Rinjani terus memasang wajah tanpa senyum. Hanna yang menyadari perubahan putrinya hanya bisa menghela napas. Karena mau memancing bembicaraan untuk membuat Rinjani tertawa juga bukan saat yang tepat. “Lihat itu putrimu! Bagaimana dia bisa punya kekasih kalau terus saja bersikap dingin begitu,” keluh Hanna kepada suaminya sambil memerhatikan Rinjani yang langsung ke kamarnya Tama memeluk sang istri dari samping seraya berkata, “Sudah, biarkan saja. Nanti kalau sudah waktunya juga pasti punya. Lebih baik kita istirahat, ini sudah malam.” Sementara itu, Rinjani yang sudah berada di kamar memilih untuk mandi sebelum tidur. Hati dan logikanya sedang berperang, dan gadis itu butuh penyegaran. Setelah selesai mandi, di naik ke ranjang dan
“Agam!” Varen menepuk pundak Agam dan membuatnya tersadar dari lamunan. Tanpa memerdulikan Varen, Agam pergi begitu saja. Yang ada di pikiran pria itu saat ini hanyalah Rinjani. Dia begitu mengkhawatirkan keadaan gadis itu. Langkahnya terlihat sangat buru-buru dan sorot di mata pria itu menyiratkan kegelisahan. Agam langsung melajukan mobilnya meninggalkan parkiran kampus dengan kecepatan tinggi. “Kamu kenapa, Rin … kamu kenapa?” gumam Agam sambil berusaha untuk tetap fokus menyetir. *** “Permisi, Tante, Om. Bagaimana keadaan Rinjani?” tanya Agam dengan napas terputus-putus begitu dia sampai di depan ruangan di mana Rinjani sedang diperiksa. “Dia masih di dalam, dokter masih memeriksanya,” jawab Tama masih sambil menenangkan sang istri. Agam memilih duduk di kursi tunggu tak jauh dari kedua orang tua Rinjani. Kedua tangan pria itu ditautkan dan kakinya terus bergerak tanda bahwa Agam sedang gelisah. Beberapa saat kemudi
Saat Agam sedang sendirian di kamar, sambil terus memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan Rinjani, dia teringat sesuatu. Ucapan Hanna setelah makan malam kala itu terus berputar di otaknya. “Agam, Tante tau kamu anak baik. Tante cuma mau bepesan sama kamu …. Jika kamu sudah berhasil meluluhkan hati Rinjani, jangan pernah kecewakan dia, apalagi meninggalkannya. Rin sebenarnya berhati lembut, hanya saja … trauma itu masih belum sembuh.” “Trauma?” Dahi Agam berkerut, dia sedikit tidak percaya jika dugaannya kala itu memang benar adanya. “Trauma apa, Tan?” “Malam semakin larut. Tante pamit pulang, ya. Sebaiknya kamu juga ke parkiran sekarang, Tante yakin ibumu juga sudah menunggu.” Agam semakin penasaran dengan trauma yang dimiliki Rinjani. Terlebih saat Hanna berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Pria itu yakin, ini bukan trauma biasa. Dengan terpaksa, Agam mengiyakan ucapan Hanna. Dia yakin,
Berkali-kali pria itu membuka ponsel pintar miliknyanya, lalu menutupnya kembali. Dia merasa perlu, tetapi ragu untuk menghubungi Rinjani. Yang sebenarnya adalah, Agam takut egonya kembali terluka, dia masih merasa bahwa ini bukan sepenuhnya salahnya. Agam masih merasa jika Rinjani tidak seharusnya menampar dirinya. “Telpon … jangan. Tapi …. Argh, kenapa jadi begini, sih! Baru juga perkenalan udah bikin marah, Agam … Agam …, buruk sekali nasibmu. Pria itu merasa lelah berperang dengan dirinya sendiri. Dibaringkan tubuh kekar itu pada ranjang berukuran besar, lenganya terangkat menutupi mata yang terpejam. Kepalanya berdenyut nyeri menciptakan rasa tidak nyaman. “Ya, Tuhan, kenapa serumit ini?” Akhirnya, Agam memilih untuk menghubungi sepupunya. Berharap gadis itu bisa memberinya solusi, atau setidaknya bisa membantu mengurangi beban pikiran. “Halo, Sha,” sapa Agam saat panggilan ketiga yang akhirnya dijawab. Terdengar suara dengusan ma
“Rin,” sapa Arsha seraya menepuk pundak sahabatnya yang sedang memunggunginya. Rinjani terjungkit kaget, beruntung ponsel yang dipegang tidak meloncat ke lantai bawah. “Kamu mengejutkanku, Sha,” protes Rinjani. Senyuman menyebalkan tanpa rasa bersalah terukir di wajah Arsha membuat Rinjani gamas dan jengkel secara bersamaan. “Maaf, maaf. Ini, tadi ada titipan dari adik tingkat. Nggak tau dari siapa karena aku dia juga nggak ngasih tau ke aku,” jelas Arsha sambil memberikan kotak kado yang dari Agam tadi. Alis Rinjani berkerut sambil tangannya membolak-balik kado tersebut, berusaha mencari nama pengirim. Saat Rinjani hendak membuka kado itu, Arsha menahan tangan sahabatnya. “Buka nanti aja di rumah, udah mau mulai nik kelasnya.” “Oh, iya. Oke deh,” sahut Rinjani lalu meletakkan kotak kado itu ke dalam tas. *** “Mama, Rin pulang! Yuhu …, Mama di mana?” teriak Rinjani saat memasuki rumah kelurga Tama. “Ngga
Terdengar suara lonceng yang menandakan bahwa ada orang yang memasuki kafe tersebut. Seorang gadis yang mengenakan celana jins dan kaos panjang berwarna merah terlihat sedang mencari seseorang. Rambutnya yang dikucir satu bergoyang seiring dengan pergerakan kepalanya. Aku bahkan tidak tau rupanya, bagaimana aku bisa tau kalau itu dia, batin Rinjani yang masih berdiri di dekat pintu seperti orang yang kebingungan. Seorang wanita berseragam pelayan kafe, melagkah gontai menghampiri Rinjani. Dia tersenyum ramah dan menyapa pelanggan setianya tersebut. “Mbak Rinjani, ini ada titipan,” ucap pelayan kafe itu seraya menyerahkan origami kertas berbentuk hati. Sudut bibir Rinjani terangkat menciptakan sebuah senyuman yang mampu menggetarkan hati Agam. Rinjani menerima origami itu seraya bertanya, “Terima kasih, tapi di mana orang yang memberikan ini?” “Kata orang tadi, silakan dibaca, maka kamu akan tau aku ada di mana,” jelas si pelayan kafe
Gadis itu terbaring sambil merenungkan setiap kata yang terucap dari mulut Agam siang tadi. Rinjani sadar jika dia sedang dihadapkan oleh dua pilihan. Bukan antara dia dan dirinya, melainkan mengikuti kata hati atau terus berpegang pada logika yang terpengaruh oleh trauma. Dari posisi terlentang, menyamping, hingga tengkurap sudah Rinjani coba untuk mencari kenyamanan dalam ritual rebahannya. Namun, semuanya sia-sia karena dia sedang berperang dengan dirinya sendiri. Rinjani duduk bersila memasang wajah kusut layaknya baju yang tak pernah disetrika. Dia merasa sangat kesal dengan dirinya sendiri. “Ada apa sebenarnya dengan diriku? Kenapa hal sepele begini bisa membuatku uring-uringan?” tanya Rinjani pada dirinya sendiri yang jelas tidak tahu jawabannya. Kedua tangan rinjani menjambak rambutnya gemas dan membuat surai hitam itu berantakan menutup wajah. “Huh, lebih baik aku keluar dari kamar jika tidak mau gila!” Helaan napas lelah diiringi den
Tanpa memerdulikan panggilan sahabatnya, Rinjani berlalu begitu saja dari perpustakaan. Gadis itu merasa kesal dengan Arsha yang terus saja mnggodanya. Sebenarnya salah dia sendiri yang tidak bisa mengontrol mulutnya sampai bisa kelepasan. Spenjang jalan Rinjani terus saja menggerutu. Dia kebingungan hendak ke mana dan hanya mengikuti kakinya melangkah saja. Hingga tanpa sadar, gadis itu sampai di taman belakang gedung Fakultas Ekonomi. Gadis itu memilih untuk duduk di salah satu kursi taman. Rinjami menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, sambil mengatur napasnya yang putus-putus karena lelah. Baru beberapa menit menikmati kesendirian, seorang gadis berkucir kuda ikut duduk di dekat Rinjani. “Gila, ya, orang lagi jatuh cinta emang tenaganya gede. Cepet banget ngilangnya,” ledek Arsha sambil terus berusaha mengatur napasnya. “Udah, deh, Sha. Aku tuh nggak lagi jatuh cinta. Ak—” “Mulutmu bisa bohong, tapi matamu enggak, Rin. Lagipul
Seperti hari-hari biasa sejak satu bulan yang lalu, Agler selalu mengunjungi Rinjani yang berada di rumah perawatan khusus. Kejiwaan gadis itu sedikit terganggu dan akan mengamuk ketika mengingat bahwa Agam telah tiada. Mau tidak mau, Agler harus terus menerus berperan menjadi Agam sampai Rinjani benar-benar pulih. Seorang suster membuka pintu rumah rawat ketika Agler mengetuknya. “Silakan masuk, Tuan. Nona Rinjani baru saja meminum obat dan sedang berbaring.” “Terima kasih,” sahut Agler seraya melangkah masuk. “Hai, Rin Sayang,” sapa Agler seraya mengecup dahi gadis pucat yang tengah berbaring. “Agam, kamu sudah datang ....” seperti biasa, kalimat itulah yang Agler dengar sebulan terahir setiap mengunjungi Rinjani. Semakin hari, hati pria itu semakin teriris setiap mendengar Rinjani memangilnya Agam. Bohong jika tidak ada rasa yang perlahan tumbuh mengingat bagaimana perannya ketika di samping Rinjani. Agler semakin nyaman menjalankan perannya sebagai seorang kekasih. Tawa Rinj
Mata yang dua telah dua hari perlahan mulai terbuka. Tatapannya terlihat kosong sebelum kembali menangis.“Agam! Agam!” teriak Rinjani membangunkan Tama dan Hanna yang menunggui Rinjani di ruangan tersebut.Tama bergegas memluk Rinjani ketika putrinya berusaha melepas jarum infus di tangannya.“Rin Sayang, kamu tenang, ya. Agam sebentar lagi ke sini,” bisik Tama membuat gerakan berontak Rinjani terhenti.“Benar?” tanya Rinjani dengan tatapan berbinar.“Iya, Sayang. Nanti saat dia selesai dengan kuliahnya, dia akan ke sini,” ucap Tama seraya menangkup wajah putrinya.Hanna berlari keluar tidak tahan melihat keadaan putrinya. Wanita paruh baya itu terduduk di depan ruang rawat seraya menangis terisak.“Tante?” Arsha yang memang tidak ada jadwal kuliah hari ini berniat datang pagi untuk menggantikan orang tua Rinjani menemani gadis itu, justru menemukan Hanna tenga menangis di luar ruang rawat.Hanna bergegas menghapus air matanya. “Sha, Rinjani sudah sadar. Agam. Agler maksud tante. Dia
Tanpa dapat ditahan, air mata mengalir begitu saja dari kedua mata Rinjani. Tatapannya menyiratkan kesedihan dan rasa rindu menatap sosok pria yang berdiri di ujung anak tangga.Tanpa menunggu dipersilakan oleh sang tuan rumah, Rinjani bergegas berlari masuk ke dalam Villa tersebut. Tanpa permisi, gadis itu langsung berhampur memluk pria berkaos hitam yang terlihat seperti baru bangun tidur.“Agam, aku rindu,” ucap Rinjani ditengah isak tangisnya masih mendekap erat pria tersebut.Namun, ketika Rinjani sadar pria di depannya tidak membalas pelukannya, dia pun melepaskan dengan tida rela.Keduanya saling memandang dengan tatapan yang berbeda. Ada luka dan kekecewaan yang tergambar jelas di sorot mata Rinjani. Namun, lain halnya dengan pria di depannya yang menatap datar pada Rinjani.“Kau siapa?” tanya pria itu membuat Rinjani semakin menangis.Rinjani mencengkeram kedua lengan pria di depannya seraya berkata. “Agam, ini aku, Rinjani.”Terlihat pria itu sedikit tersentak sebelum ahirny
Arsha melangkahkan kainya memasuki ruangan di mana Rinjani tengah terbaring. Terlihat mata gadis itu masih tertutup karena obat penennag masih menguasai tubuhnya dan membuat kesadarannya hilang.“Sha, Tante titip Rinjani sebentar, ya. Tante mau ambil baju,” ucap Hanna ketika melihat Arsha memasuki ruangan tersebut.“Iya, Tante. Tante tenang aja, Arsha akan di sini jagain Rin.”Hanna bangkit dari duduknya, mengecup pucuk kepala Rinjani sebelum berjalan keluar dari ruang rawat tersebut.Ketika wanita itu hendak membuka pintu, terlihat daun pintu bergerak dan muncullah sosok laki-lai yang selama ini selalu menemani di sampingnya.“Pa, sudah selesai mengurus administrasi?” tanya Hanna.“Sudah, Ma. Mama mau ke mana?” tanya Tama yang melihat Hanna menjinjing tasnya dan kunci mobil milik mereka.“Mama mau ambil baju ganti buat Rin. Papa mau nitip sesuatu?”Tama mendekat mengambil kunci mobil di genggaman tangan istrinya. “Ayo, Papa yang antar. Papa nggak tenang kalau Mama pergi sendiri.”Akh
Tanpa mengangkat kepalanya, Pria tersebut memberikan sebuah kotak yang dibungkus dengan kertas kado dan pita merah sebagai hiasan.“Terima kasih.” Rinjani mengalihkan atensinya dari kotak tersebut. “Ini dari siapa, ya?”Tanpa menjawab pertanyaan Rinjani, pria bertopi itu bergegas pergi dari sana, meninggalkan gadis itu dengan penuh tanda tanya.“Eh? Mas! Ini dari siapa?” tanya Rinjani sekali lagi sedikit berteriak karena pria bertopi it uterus berjalan menjauh.“Rin? Ada apa?” tegur Arsha membuat Rinjani menoleh.Rinjani mengangkat kotak kado di tangannya. “Ada yang kasih kado, tapi orangnya pakai topi sama masker. Dan pas aku tanya ini dari siapa, dia malah pergi.”“Coba buka. Siapa tau ada nama pengirim di dalamnya,” ujar Arsha sambil melihat kotak kado itu dengan tatapan penasaran.“Masuk dulu aja. Kita buka di dalam, yuk,” ajak Rinjani sambil lebih
Air mata terus mengalir membasahi pipi gadis itu. Rinjani merasa kalut, bayang-bayang perginya Dava kini kembali memenuhi otaknya. Dan hal itu memicu ketakutan Rinjani tentang Agam.Dengan cepat, Rinjani mengambil ponselnya yang tergeletak di nakas. Dia mencari nomor Agam dan segera melakukan panggilan keluar.Beberapa kali Rinjani mencoba menghubungi Agam, tetapi tidak satu pun panggilannya dijawab. Hal itu membuat tangis Rinjani semakin menjadi.Rinjani memeluk lututnya sambil terus-menerus menghubungi Agam. Tanpa sadar, gadis itu bahkan telah menggigiti jarinya.Setelah puluhan kali mencoba dan tetap tidak ada jawaban, Rinjani baru teringat Arsha. Dia segera mencari kontak Arsha dan mengubunginya.Panggilan pertama terhubung, tetapi masih belum diangkat. Tulisan bordering tertera di layar ponsel Rinjani.Rinjani merasa kesal. “Angkat, Sha!”Panggilan Rinjani berhenti karena yang di seberang sana tidak menerima panggilan
Mobil yang dikendarain oleh Rinjani berhenti membelok dan berhenti di depan sebuah kedai. Itu adalah kedai es krim yang biasa Rinjani datangi bersama Arsha.Varen tetap berada di dalam mobil. Pria itu memilih untuk mengawasi Rinjani dari kejauhan.“Sampai kapan aku akan mengawasi gadis itu?” Varen termenung sambil terus menatap kedai di seberang jalan.Tangan Varen terulur mengambil beberaa camilan yang memang selalu ada di mobilnya. Setelah itu, dia mengambil laptop dan dan mulai menghidupkannya untuk menonton film.Hanya Varen yang bisa sesantai ini dalam misi pengawasan. jikaArsha tahu, bisa dipastikan ada benjolan di kepala pria itu akibat keganasan Arsha.Asik menikmati film yang diputar, Varen terlonjak kaget ketika mobil Rinjani berlalu di hadapannya.“Mau ke mana lagi sih? Bikin repot sumpah!” gerutu Varen sambil membereskan kekacauan di mobil dengan cepat dan menyusul Rinjani.Meski kesal, Varen tetap
“Ayo, Gam, aku antar ke kelas,” ujar Arsha setelah perdebatan kecil mereka selesai.Agam hanya mengangguk mengiyakan. Karena dia paham, jika tidak akan bisa menolak sepupunya itu.“Sha,” panggil Agam sedikit ragu. “Mm, nanti setelah mengantarku, kembalilah ke kelasmu. Aku yakin Rinjani salah paham. Aku tidak bisa menjelaskannya, jadi tolong bantu aku, ya ….”“Udah tenang aja, nggak usah terlalu dipikirkan. Aku yakin nanti Rinjani akan mengerti.” Semoga saja, dia tidak marah padaku.Arsha dan Agam berjalan beriringan menuju ke kelas pria itu. Sebenarnya, Agam sangat ingin menghampiri Rinjani. Tidak dipungkiri jika dia benar-benar merindukan gadis itu.
Sementara itu, di kamar lain, Rinjani sedang bergerak gelisah dengan mata terpejam. Bulir-bulir keringat sudah membasahi tubuhnya. Dan bibir pucatnya terus saja bergumam. “Nggak! Dava, jangan bawa Agam. Nggak!” Rinjani masih berusaha mengatur napasnya yang memburu. Sesekali tangannya juga mengusap keringat yang membanjiri pelipis. Mata gadis itu terpejam berusaha meredam rasa pusing yang tiba-tiba saja menjalar. Rinjani masih tidak bisa memahami maksud dari mimpinya barusan. Di mana dia sedang berada di sebuah tempat sunyi yang sangat asing. “Halo! Ada orang di sini? Bisa tolong bantu aku?” teriak Rinjani sambil melihat ke sekeliling. Terlihat sekeliling Rinjani