Nicko terkejut saat mendapati mobil Damian berada di dalam rumah mertuanya. Sementara jam segini belum waktunya jam kerja selesai.
“Hmm masih berani pulang juga kau rupanya?” tanya Damian begitu melihat Nicko masuk ke dalam dan melewati ruang duduk.
“Oh kau Damian, ada apa?” tanya Nicko berbasa-basi.
“Tentu saja aku mengantar istrimu pulang, apalagi?” tanyanya sambil mendongakkan wajah dan menunjukkan kepongahannya.
“Jo sudah pulang? Memangnya kenapa? Apa dia sakit?’ tanya Nicko.
Sebenarnya tadi ia sempat melirik ponselnya dan mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari istrinya. Ingin sekali ia membalas panggilan telepon itu, tapi saat itu ia membatalkan niatnya, karena saat ia menyadari ada panggilan tak terjawab dari Jo, adalah jam sibuk bagi istrinya bekerja di kantor.
Nicko pun mulai merasa bersalah kare
Dua sejoli itu keluar dari kamar tidur mereka dalam keadaan mesra. Nicko berdiri di belakang sang istri, sambil memeluk pinggang rampingnya.Sementara di ruang duduk Damian tampak duduk sambil emletakkan kaki kanannya di atas kaki kiri. Sepertinya ia menunggu sesuatau yang besar muncul dari kamar Jo, yaitu pertengkaran sepupunya dan sang suami yang tak berguna.“Hai Damian, kau masih di sini rupanya?” tegur Josephine mengejutkan saudaranya.Kali ini Damian memang sungguh terkejut. Sekali lagi rencana yang sudah ia pikirkan matang-matang untuk menyingkirkan si benalu di keluarga Windsor kembali gagal. Tadinya ia berharap saat Nicko masuk ke dalam kamar akan terdengar suatu keributan.Namun selama ia menunggu di ruang duduk, ia tak mendengarkan apa-apa, hanya suara lenguhan sesekali. Damian menganggap saat itu Josephine tengah terisak.“Jo … Nicko, kalian b
Tuan Hall kembali menerima panggilan yang mengabarkan pembatalan kontrak kerjasama. Ini sudah ketiga kalinya bagi pria paruh baya ini untuk mendapatkan sebuah kesialan bertubi-tubi di hari yang sama.Pria ini kemudian melemparkan ponselnya ke pelataran dan terduduk di sana. Ia menggerak-gerakkan kakinya seperti anak kecil yang merengek karena tidak mendapatkan mainan.Janet yang ada di sebelahnya pun hanya bisa menyentuh pundak ayahnya untuk mencoba menenangkan pria itu.“Ini benar-benar gila, kedatangan dia benar-benar memusingkan kita. Sudah ada lima perusahaan yang membatalkan kontrak kerjasama dengan kita, tinggal satu yang masih tersisa. Jika hal ini sampai terjadi bisa-bisa perusahaan kita bangkrut, bahkan membayar biaya operasional dan gaji karyawan saja ayah tak yakin mampu,” papar Tuan Hall pada putri tunggalnya.“Ya ayah dan ini berat sekali, aku juga tak bisa jika kita ha
Janet terduduk lemas begitu mendengar penuturan John Wittman. Lututnya terasa kaku, dan ia hanya bisa menangis sambil meluruskan kakinya di lantai.“Tidak … aku tak mau, aku tidak mau bangkrut, aku tak boleh hidup miskin,” rengeknya sambil mengegrak-gerakkan kakinya yang panjang di atas lantai.Janet terlihat begitu buruk kali ini, rambutnya yang biasanya tersisir rapi, melalui sentuhan penata rambut dan rias pribadinya, kini tampak berantakan tak karuan. Rias wajahnya pun sudah seperti badut, berantakan karena air mata, dan usapan tangannya sendiri. MEskipun ia memakai make up tebal dan mahal, tapi jika terus menerus terkena air mata dan tidak diperbaiki, tentu saja akan luntur.Penampilannya sudah tak seperti seorang supermodel lagi. Ia lebih mirip orang gila sekarang, apalagi dengan tingkahnya yang merengek-rengek tak karuan. Tak seorang karyawanpun peduli padanya, mereka semua tampak sibuk dengan b
Josephine mengerutkan dahinya saat mendapati suaminya tampak serius menelepon seseorang. Tak biasanya suaminya menelepon dengan posisi sembunyi.Orang bilang, jika pasangan kita melakukan panggilan seara sembunyi-sembunyi, maka kita pantas untuk curiga. Sekali lagi Jo mulai terprovokasi akan ucapan Damian.Sepertinya sepupu Josephine ini seperti kucing yang memiliki sembilan nyawa. Berulang kali ia gagal dalam menjatuhkan Nicko, berulang kali pula ia mendapatakan cara untuk menjatuhkan Nicko.“Kau lihat sendiri kan? Mana ada orang jujur yang menelepon sambil sembunyi-sembunyi?” cibir Damian.Jo kembali terlihat bimbang kali ini. Ia melirik ke arah suaminya dan Damian secara bergantian. Tampaknya perempuan berambut panjang ini bingung menentukan manakah yang bisa ia percaya kali ini.“Jo, dengar ya aku ini seorang laki-laki, tentunya aku tahu kebiasaan dan apa ya
Janet masih merangkul tubuh ayahnya yang kini telah terbujur kaku. Kali ini ia benar-benar seorang diri, dengan kehidupan yang tak lagi mapan seperti dulu.“Ayah … ayah jangan tinggalkan aku,” tangis Janet sambil memeluk tubuh sang ayah.Seakan tak percaya kalau ayahnya kini sudah tiada. Janet terus saja menangis, sembari membayangkan kehidupannya setelah ini. Bagaimana ia menjalani hari-harinya tanpa kehadiran seorang pelayan yang akan melayaninya, dan pastinya harus merubah gaya hidupnya.Saat itulah ponsel milik ayah Janet berbunyi, dan suatu hal yang buruk pun kembali terjadi pada dirinya.“Tuan Hall, kami hanya mengingatkan kalau tagihan kredit Anda sudah jatuh tempo, kapan Anda akan melunasinya?” tanya suara wanita di seberang.Janet tak bisa menjawab, ia hanya menanggapinya dengan tangis, dan terus saja menangis sampai membuat orang yang mene
Jo masih ternganga melihat sikap kakaknya kali ini. Bertanya-tanya kenapa kakaknya masih saja labil, seperti sebelum-sebelumya.Semenjak kejadian perceraian dengan Armando, perempuan bermata aqua ini sempat berpikir kalau kakaknya telah menjadi seorang yang baru semenjak kejadian itu. Catherine seringkali menjadi pembela bagi suaminya yang selalu dihina, tapi kenapa kini semua berubah, tanpa ada tanda-tanda sedikitpun.“Cathy, kau ini ada apa?” tanya Jo masih berusah untuk bersikap manis pada kakaknya.Cathy pun berdiri sambil berkacak pinggang dan memandang sinis pada adik perempuannya.“Kau masih tanya ada apa? Kau tahu aku muak melihatmu terus-terusan bersikap manja dan membela suamimu yang bodoh dan tak berguna itu. Seolah kau sudah tak lagi peduli pada keluargamu?” balas Catherine dengan nada tinggi.Jo mengangangkat tangannya dan mengarahkan pada Cat
Kali ini keluarga Shelton tengah duduk melingkar di taman belakang. Ada hal serius yang harus disampaikan oleh Ben Shelton selaku kepala keluarga.Semuanya tampak tegang kali ini, tak terkecuali Greg dan adiknya Barbara. Apalagi ayah mereka tengah nembawa tumpukan dokumen perusahaan.“Kalian tahu untuk apa aku mengumpulkan kalian berdua di sini?” kata Ben Shelton sambil membanting tumpukan dokumen ke atas meja.Greg dan Barbar yang sedari tadi diam pun saling melirik satu sama lain. Masing-masing dari mereka sama-sama mengatupkan tangan di atas meja, dan melihat apa yang dilakukan sang ayah mereka pun hanya menunduk dan tangan mereka semakin rapat.Kedua kakak beradik ini terlihat saling melempar kesalahan satu sama lain. Tak ada diantara mereka yang berani menatap mata ayah mereka. Keduanya sudah tahu kalau kali ini ayah mereka pasti akan mengungkapkan ketidak puasan akan tingkah mereka.
Ben Shelton tampak tak peduli istrinya yang meninggalkan taman belakang dan masuk ke rumah. Pria paruh baya itu kini menatap kedua putranya dengan tatapa yang tajam, dan membuat kedua anak itu semakin gugup, terutama Greg.“Ayah ingin tahu, sebenarnya apa diantara kalian ada yang membuat kekacauan pada keluarga Lloyd? Atau adakah diantara kalian yang menyinggung perasaan beliau?” tanya tuan shenton dengan tegas.Suasana masih hening, tak seorang pun dari kedua anak Tuan Shelton membuka mulut. Tentunya hal ini membuat pria paruh baya itu semakin murka, hingga akhirnya Greg sebagai anak tertua memberanikan diri untuk membuka mulut.“Mana berani kami melakukan hal itu Ayah,” katanya dengan suara yang sedikit gugup.Mendengar putra pertamanya merespons, Ben pun langsung mengarahkan pandangan pada putra pertamanya.“Kau bilang tidak berani? Tapi kenapa sa