"Bekerja di kapal pesiar?" tanya Nicko untuk meyakinkan, sekaligus mengetahui apa maksud dari mertuanya yang sesungguhnya.
"Iya, kau akan bekerja di sana dengan jabatan yang tinggi, tentunya gajimu nanti akan besar dan bisa memberikan uang pada istrimu, tak hanya bergantung saja. Apa kau tidak malu seumur hidup hanya menumpang?" kali ini Edmund yang ikut berbicara."Sekarang tunggu apa lagi, cepat kerjakan apa yang kuperintahkan!" seru Daisy.Nicko kembali menyipitkan matanya. Ia telah menangkap kalau Ayah dan Ibu mertuanya terkesan terburu-buru dalam memberikan perintah."Apa mereka bermaksud memisahkan aku dan istriku. Hmm ini tak bisa dibiarkan. Baiklah, aku akan mempermainkan mereka," pikir Nicko."Hmm gaji yang besar dan jabatan tinggi ya?" gumam Nicko yang sengaja melakukan dengan suara keras.Benar saja, mertuanya langsung terpancing dan mengatakan betapa mewahnya hidup dalam kapal pesiar. Dengan ba"Eh Jo kau ini sedang bicara apa, tak ada yang pergi ke kapal pesiar," kata Daisy yang tampak kikuk."Jangan bohong Bu, aku sudah mendengar semua percakapan kalian. Aku tak akan berpisah dengan suamiku," balas Jo ketus.Melihat reaksi yang diberikan Jo, mau tak mau Daisy pun mengatakan yang sebenarnya. Namun masih menunjukkan niat awalnya untuk mengadu domba nicko dengan putrinya agar mereka bercerai."Jo, Ibu melakukan ini untukmu. Ibu ingin kalian bahagia," kata Daisy."Bahagiaku, jika aku bersama suamiku."Nicko langsung merangkul pundak istrinya, dan kembali mencium ubun-ubun kepalanya. Sengaja ia memamerkan kemesraan di depan mertuanya."Aku tak butuh semua itu, Ibu minta saja Ayah untuk bekerja di sana, atau biar Ibu saja yang di kapal pesiar," balas Jo kemudian menggandeng tangan suaminya.***Josephine tak hentinya menangis dalam pelukan sang suami. Ia sungguh lelah dengan
"Hei bangun! Sampai kapan kau akan tidur terus-terusan?" Suara bentakan terdengar jelas di telinganya saat ia tengah tertidur di ranjang sel nya yang terlihat lebih nyaman dibanding ruang isolasi.Perlahan ia pun membuka kedua matanya dan mendapati dua orang sipir penjara tengah berdiri di hadapannya."Sepertinya ia sudah betah berada di sini!" seru salah seorang sambil melihat Armando."Bangun! Ada yang datang mengunjungimu!" bentak salah seorang sipir."Jam berapa sekarang?" tanya Armando sambil sedikit menguap. Namun matanya tampak berbinar saat mendengar ada yang mengunjunginya.Meskipun dendam masih membara dalam dirinya, tapi tak dapat dipungkiri kalau ia kesepian. Armando mulai merindukan dunia luar dan kebebasan.Tekanan demi tekanan yang ia hadapi dalam sel benar-benar membuatnya tidak nyaman. Baru beberapa hari saja ia sudah harus merasakan perkelahian antar narapidana dan lembabnya ruang isolasi
Meja di depannya menjadi sasaran kemarahan Armando atas apa yang baru ia dengar dari Catherine. Tangannya mengepal dan memukul meja itu dengan keras, dan mengundang perhatian sipir yang mengawalnya."Hei apa-apaan kau? Mau mencoba merusak inventaris?" tanyanya kemudian menarik paksa tubuh Armando untuk berdiri dan meninggalkan ruangan."Segera kembali dalam blok!" perintah penjaga sambil menarik Armando kemudian menggiringnya ke dalam blok tahanan.Lagi-lagi tahanan baru yang sombong ini pun mendapatkan tatapan yang kurang menyenangkan dari penghuni lapas. Meski berada dalam sel yang tak terkunci, mereka semua masih dapat melihat Armando yang terlihat gusar.Namun mantan suami Catherine itu tetap tak peduli dengan tatapan yang memang ditujukan untuknya. Pria ini benar-benar tidak pernah tanggap akan lingkungan sekitarnya."Masuk!" peritah sipir yang mengawalnya sambil membuka pintu jeruji besi selnya.Suar
Armando menekuk tangannya dan mencoba untuk menyingkirkan handuk yang membelenggu lehernya."A ... Apa yanch ... Uh," kata Armando yang kesulitan bicara karena tekanan kuat pada lehernya."Ha ha apa segitu saja kemampuan yang kau miliki? Kau hanya anak manja yang bisanya merengek, " Bill semakin mempererat jeratan pada leher Armando.Ejekan yang diungkapkan Bill membuat Armando murka. Ia pun mengumpulkan segenap tenaganya dan bermaksud melawan mereka."Grrrrr," erangnya kemudian merebut handuk yang melilit leher, dan mengayunkan ke udara."Rasakan ini? Kau ingin bertarung denganku si anak manja yang hanya bisa merengek ha?" tanya Armando.Bill yang memimpin penyerangan itu tak mengira kalau lawannya berani dan berhasil melepaskan diri dari jeratan. Ia dan kawan-kawannya sempat diam mematung karena kaget."Kenapa? Apa kau tak pernah mengira aku mampu melakukannya?"Armando meludah
Kediaman Windsor ...Pagi ini Edmund bangun lebih awal dibanding hari biasanya. Pria awal lima puluhan ini sudah berada di dapur dan untuk menemui Nicko yang tengah membuat kue muffin."Ehem!" Ia berdehem dan mencoba untuk mendapat perhatian menantunya yang saat ini sedang mengaduk adonan.Nicko pun menoleh sejenak dan mendapati sosok mertunya yang masih berpakaian piyama."Ayah, tumben sudah bangun pagi ini," balasnya ramah dengan tangan masih memegang mixer.Edmund tampak menoleh ke kanan kiri seolah tidak ingin ada yang mengetahui keberadaannya di sini. Pastinya hal ini membuat Nicko mulai sedikit curiga."Huh, apa Ayah ingin membahas tentang pekerjaan kapal pesiar lagi? Kalau iya aku tak akan mau menerimanya," batin Nicko."Nick," panggilnya perlahan kemudian kembali menoleh ke kanan kiri dan membuat Nicko semakin curiga."Ada apa Ayah?"Edmund menunduk, wajahnya
"A ... Apa maksudmu tidak gratis? Apa kau berniat memerasku?" tanya Edmund yang tak mengira menantunya akan berbuat demikian."Tentu saja tidak gratis Ayah. Mana ada di dunia ini yang gratis," balas Nicko kemudian meletakkan adonan ke dalam oven.Nampaknya ucapan menantunya membuat Edmund geram perlahan-lahan. Pria paruh baya ini mulai mengangkat wajahnya dan mengarahkan telunjuk pada wajah menantunya."Kau? Sudah berani melawan rupanya!"Sambil tersenyum Nicko menurunkan jari mertuanya perlahan. Ia masih berusaha untuk bersikap sopan. "Itu semua terserah Ayah. Perlu Ayah ketahui kalau siapapun keluarga Hamilton tak akan berpengaruh apapun terhadapku. Satu lagi, jika maksud Ayah dan Ibu memintaku bekerja di kapal pesiar adalah untuk memisahkan kami berdua, mohon maaf kalian telah gagal. Jo dan aku tak akan berpisah kecuali karena maut," kata Nicko kemudian meninggalkan mertuanya dan melanjutkan pekerjaan pagi harinya.
Roberto mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Wajahnya memerah, beberapa kali ia memegangi dadanya, sepertinya ia tak sanggup menahan semuanya sendiri.Raina yang duduk di hadapannya pun mulai merasa ada yang aneh pada Paman angkatnya. Ia pun menghentikan aktivitas korespondensi yang sedang dilakukan olehnya."Paman, apa ada sesuatu?" tanya Raina lembut. Namun Roberto tak menjawab, justru wajahnya semakin memerah terutama lingkar matanya."Armando ... Armando telah meninggal," katanya dengan suara yang terdengar sedih.Raina hanya menunduk, ia merasa tidak enak dengan apa yang terjadi pada Pamannya. Bagaimanapun ia ikut andil dalam mengirim sepupunya ke dalam penjara."Paman ... Aku ikut berduka cita atas apa yang terjadi," kata Raina lembut.Namun Roberto tak menanggapi pernyataan keponakan kesayangannya. Pria itu justru terus mengoceh."Ia diduga terlibat perkelahian antar tahanan. Ba
Bersama van putih kesayangannya, Nicko pun segera meluncur menuju pantai privat Lyodi. Ia telah berjanji dengan Russell untuk segera mendapatkan informasi mengenai kapal pesiar keluarga Hamilton.Pria berambut merah itu langsung berdiri diikuti tangan kanannya begitu melihat Nicko melangkah mendekat pada mereka. Mereka pun mengangguk hormat dan menawarkan Nicko minuman."Selamat datang Tuan Muda," sapa Russell.Nicko menutup mulutnya menahan tawa saat mendapati ujung bibir Russell terdapat garis merah muda akibat smoothie strawberry yang dinikmati barusan."Hmm, suatu kepribadian yang menarik, seorang pria yang paling ditakuti adalah penyuka smoothie strawberry," batin Nicko."Ada apa Tuan Muda?" tanya Russell dengan suata beratnya yang khas.Nicko pun menunjuk bibir Russell yang terkena smoothie, dan membuat Adam Reinhart ikut tertawa. Sementara pemimpin dunia hitam itu pun sepertinya sedikit malu.