“Al, boleh aku ikut renang sama anak-anak?” Wildan tiba-tiba muncul dengan permintaan yang mengagetkan Alya.
“Eh, kamu, Mas!” jawab Alya dengan perasaan canggung. Dia sekarang sedang mengawasi anak-anaknya.
“Gimana pernikahanmu?” tanya Wildan mencoba mencari bahan obrolan. “Apa kamu bahagia?” Wildan masih berdiri di samping Alya yang duduk di kursi tunggu tepi kolam renang kapal pesiar. Laki-laki itu menanyakan sesuatu yang sudah dapat ia saksikan di depan mata.
“Seperti yang kamu lihat, Mas. Apakah aku dan anak-anak terlihat tidak bahagia?” Pandangan Alya lurus ke kolam renang. Menyaksikan Akmal, Rheza, Rohim, dan Bilqist berena
Sebelum semua memori itu muncul ke permukaan, Alya segera meninggalkan kolam renang itu. Dia berjalan menuju kafe yang sebagian kursinya berada di ruang terbuka. Alya memilih kursi di dalam kafe, karena cuaca mulai menyengat.“Mau pesan apa, Mbak?”Alya terkejut melihat pelayan itu menyapanya dengan Bahasa Indonesia. “Cokelat panas.” “Ada lagi?” “Kentang goreng, ada?” Alya memesan itu untuk selingan camilan anak-anaknya setelah berenang. Meski dia tak tahu apakah punya nyali untuk mendekati kolam renang atau tidak. Sebab Alya paham betul kelemahannya, syahwatnya mudah terpancing saat melihat tubuh Wildan dalam kondisi basah. Terutama ketika selesai berenang. Buliran air yang mebasahi rambut dan wajah laki-laki itu membuatnya
“Mas Wildan …! Mas Wildan ….!” Alya seketika terbangun dari tidurnya. Dia yang tadi dalam posisi berbaring, kini duduk dengan napas menderu. Akmal yang tidur di sampingnya akhirnya juga terbangun. Kaget mendengar istrinya meneriakkan nama mantan suaminya. “Yang … kamu kok nyebut-nyebut Wildan?” “Ma-maaf, Mas. Aku juga enggak tahu. Barusan seperti mendengar Mas Wildan minta tolong,” jawab Alya terbata. Dia sendiri kaget atas apa yang terjadi. Akmal ikut duduk. Dirangkulnya bahu istrinya itu. Alya yang sedang mengenakan lingerie menjadikan tangan Akmal mengelus lengan istrinya tanpa terhalang apa pun. “Sudahlah, mungkin itu cuma
“Mama … sudah sarapan?” Bilqist yang sedang meminum cappuccino menyapanya. “Belum, mama belum lapar. Boleh saya gabung di sini?” tanya Jasmin dengan mengedarkan pandangan ke Akmal lalu Alya. Menanggapi permintaan itu, Alya terlihat keberatan. Jasmin yang menangkap respon Alya segera membuat klarifikasi, “Aku ke sini tidak berniat merusak sarapan kalian. Aku butuh bantuan.” Ucapan Jasmin terdengar tulus. Intonasi suaranya sedikit bergetar. “Ada apa?” Akmal segera merespon. Dia juga menangkap kegelisahan dalam diri mantan istrinya itu.
Alya, Akmal, dan Jasmin segera merapat menyaksikan rekaman CCTV yang diputar lewat note book Bagas. Rekaman itu memperlihatkan laki-laki yang sedang menyandarkan lengannya pada pembatas kapal di area berjemur dekat kolam renang.“Apa laki-laki ini Wildan, Pak?” Jasmin yang tidak terlalu familiar dengan sosok itu mencari kejelasan.“Disaksikan saja dulu, Bu, sampe selesai,” tukas Bagas.Setelah mendapat jawaban itu Jasmin kembali fokus pada layar note book. Sebenarnya pertanyaan itu wajar. Sebab kamera CCTV hanya dapat menyorot bagian punggung. Tak lama kemudian datang seseorang memakai hoodie mendekati laki-laki yang berdiri di tepi batas kapal tersebut. Mereka terlihat berbicara. Hingga kemudian si laki-laki mendekati sosok di sebelahnya. Alya sempat memalingkan wajahnya begitu melihat dua oran
Akmal memandang istrinya. Kode agar wanita di sebelahnya itu kini yang mulai bicara. “Karena kami mikirnya Mbak Nita sekarang yang lagi dekat sama Wildan. ‘Kan Mbak sendiri yang kemarin bilang jika –” Alya menahan ucapannya. Hampir saja dia akan bilang jika kalian pernah tidur bersama. Bagaimanapun itu aib, tak perlu dia ungkit. Apalagi ada Akmal di sampingnya yang belum tahu fakta ini. “Jika Mbak mau jadi ibu tirinya anak-anak.” Alya melanjutkan perkataannya yang terpotong tadi.“Wildan jatuh ke laut.” Dengan wajah tanpa ekspresi Nita mengucapkannya.Alya terperangah mendapat keterangan yang begitu cepat itu. Hal ini memang sudah diduganya, namun mendapat keterangan langsung dari saksi tetap saja membuatnya syo
“Mak Cik, liat ada mayit!” Salah seorang yang hendak pulang dari berjemaah salat Asar berteriak. Orang-orang ikut mendekat begitu mendengar kata-kata mayit.“Astaghfirullah! Tolong Atuk…. Atuk tolong!” teriak yang lainnya.“Ada apa ribut-ribut?” Syaikh Saleh selaku imam salat mendekat.Begitu melihat tubuh terkulai di tepi pantai, Syaikh Saleh perlahan mendekati jasad tersebut. Dipegangnya pergelangan tangan tepat pada denyut nadinya.“Masyaallah, nadinya masih berdenyut. Lekas panggil ambulans!” perintah Syaikh Saleh lantang.🌷🌷🌷Di ruang tunggu bandara Changi, Singapura, Alya bersandar lemas pada bahu suaminya. Wajahnya juga tampak pucat.“Kamu kenapa, Yang? Masih memikirkan Wildan?” Akmal khawatir terhadap kondisi istrinya. Namun terselip cemburu di dalamnya.“Rasanya
“Saya ragu, Syaikh. Haruskah saya kembali bekerja di kapal? Sepertinya pekerjaan itu menjauhkan saya dari jalan Tuhan.” Syaikh Saleh terbatuk mendengar pernyataan laki-laki di depannya itu. Kemudian beliau menyilangkan kedua kakinya dari yang semula duduk berselonjor.“Tidak ada pekerjaan yang menjauhkkan dari Jalan Tuhan selama yang dilakukan itu halal, Mas. Apakah menjalankan kapal itu haram?” Pertanyaan retoris Syaikh Saleh itu tak memerlukan jawaban. “Tapi lingkungannya, Syaikh.” “Lingkungan itu diciptakan oleh penghuninya,
“Semua peristiwa yang kita alami di dunia ini hakikatnya hanyalah ujian untuk mengetahui siapa yang terbaik cara mengabdinya.” Syaikh Saleh sedang berdiri di atas mimbar. Beliau ceramah dengan logat melayunya. Tiap Ahad bakda Subuh pekan pertama dan kedua di masjid pesantren diadakan pengajian umum. Warga sekitar atau wali santri yang bermalam saat menjenguk anaknya pasti tidak akan melewatkan kegiatan ini. Di antara ratusan jemaah itu ada lelaki beralis tebal yang juga ikut menyimak. “Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mulk ayat 2. Alladzi kholaqol mauta wal hayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala…..” Syaikh Saleh melafadzkan ayat tersebut dengan fasih.