Adhikari merasa frustasi karena sudah berhari-hari ini Rosaline tak bisa dihubungi. Bahkan kekasihnya itu tak kunjung pulang ke apartemen. Selama berhari-hari pula ia harus menahan diri untuk menemui Rosaline di rumah Benjamin.
Adhikari juga tak bisa menjemput Rosaline di kantornya karena Benjamin selalu datang tepat waktu untuk menjemput Rosaline. Ia bahkan merasa sangat sulit untuk bernafas. Saat di rumah pun pikirannya hanya tertuju pada Rosaline.
“Jalan satu-satunya agar aku bisa menemui Rosaline adalah pergi ke Artiz Grup sebagai klien.” Adhikari menyambar kunci mobilnya dan bergegas menuju Artiz Grup di mana Rosaline bekerja.
Adhikari tak sabar ingin menemui Rosaline. Ia menjalankan mobilnya dengan kecepatan maksimal yang ia bisa di tengah kemacetan kota.
Tiga puluh menit akhirnya Adhikari sampai di gedung Artiz Grup. Ia langsung berjalan menuju lantai di mana letak ruangan Rosaline karena sebelum ini ia juga sudah beberapa kali ke kanto
Keesokan paginya Kinanti kembali menata hatinya, ia terlihat seperti biasanya yang ceria. Saat ini ia bahkan sudah menyiapkan pakaian dan sarapan untuk Adhikari. Ia bertekat untuk tetap mempertahankan rumah tangganya dan tidak ingin membahas tentang perpisahan lagi. Saat ini ia malah semakin berharap jika ia segera kembali diberi kepercayaan dari Tuhan untuk mengandung sang buah hati.“Mas, aku udah siapin sarapan buat kita. Kita sarapan dulu ya, dari kemarin kan kamu nggak sempat sarapan.” Kinanti dengan suara cerianya menyambut kedatangan Adhikari di ruang makan.Adhikari mengerutkan keningnya karena bingung dengan sikap Kinanti yang malah berubah semakin ceria dari biasanya sampai ia ingin menolak pun rasanya tak tega meski pun ia sedang tak ingin sarapan di rumah.Kinanti melayani Adhikari dengan sangat baik seperti biasanya. Setelah memakan sarapannya Adhikari berpamitan pergi pada Kinanti. Dan seperti biasanya, Kinanti juga mengantarkan Adhikar
“Sayang.” Adhikari tersenyum kala akhirnya ia bisa kembali bertemu dengan Rosaline. Kali ini pun ia harus menuju kantor Rosaline untuk menemui kekasihnya ini.“Ada apa?” Rosaline memandang Adhikari masih dengan pandangan datarnya.“Aku udah membicarakan perceraian sama Kinanti.” Ucap Adhikari dengan senyumannya yang mulai mengembang.“Terus gimana reaksinya? Dia setuju cerai dari kamu?” tanya Rosaline.“Untuk saat ini Kinanti masih belum setuju tapi aku akan terus meyakinkan dia agar dia bisa merelakan aku menceraikannya,” sahut Adhikari.“Kenapa kamu nggak langsung mendaftarkan gugatan ceraimu ke pengadilan agama?”“Sayang, masalahnya nggak sesederhana itu. Dulu aku memulainya dengan baik-baik dan sekarang aku akan mengakhiri pernikahan ini juga dengan cara yang baik,” ucap Adhikari.“Aku udah tahu kalau kamu memang nggak bisa diharapkan, Dhi.&r
Adhikari seperti orang linglung setelah pulang dari rumah orangtua Rosaline. Karena tak bisa berpikir jernih akhirnya bukannya pulang ke rumahnya tapi ia pulang ke apartemen Rosaline. ia membaringkan tubuhnya di sofa depan TV. Dalam hati ia hanya bisa berharap jika ini hanya mimpi.Adhikari mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang yang bisa ia ajak bicara.“Kak.”“Adhi?! Ada apa malam-malam begini kamu telpon aku?” “Kak, aku lagi butuh Kakak. Datanglah di apartemen, saat ini aku sedang nggak bisa pulang ke rumahku ataupun ke rumah Mama.”“Baiklah, kebetulan ini aku juga ada di luar rumah ini baru mau pulang. Kalau gitu aku mampir ke sana deh. Kirimkan
“Mama?!” seru Kinanti saat ia melihat Hastari berdiri di hadapannya.“Kinanti.” Hastari berjalan memeluk Kinanti.“Mama kenapa bisa tiba-tiba ada di sini?”“Tadi Mama ikut jenguk tetangga yang lagi rawat inap di rumah sakit dekat sini, terus Mama mampir ke sini deh.”“Ayo, Ma. Masuk,” ajak Kinanti.“Aku buatkan minum dulu.” Kinanti berjalan menuju dapur.Hastari duduk di ruang tengah.“Adhi mana, Kinan?”“Belum pulang, Ma. Lembur kali,” sahut Kinanti.“Lembur? Apa Adhi nggak ngasih tahu kamu kalau dia pulang terlambat untuk lembur?” tanya Hastari.Kinanti diam karena tak ingin menyahuti pertanyaan mamanya. Setelah selesai menyeduhkan teh, ia membawa dua cangkir tehnya ke ruang tengah.“Diminum tehnya, Ma.”“Makasih ya, Saya
Kinanti duduk termenung di ruang tengah hingga malam sudah mulai larut.“Bu, makan malamnya sudah siap.” Asisten rumah tangga Kinanti datang menghampirinya.“Bibik makan aja dulu. Sepertinya aku nggak makan malam.”“Baik, Bu. Emm ... ruangannya sudah mulai gelap, Bu. Saya nyalakan lampunya ya.”“Nggak usah, Bik. Biar begini saja.”“Kalau gitu saya permisi dulu, Bu.”Kinanti berjalan menuju kamarnya, ternyata di dalam kamar kondisinya juga gelap seperti di ruang tengah. Kinanti menyalakan lampu kamarnya, ia melihat Adhikari yang sedang meringkuk di atas ranjang.“Mas.” Kinanti memberanikan dirinya mendekati Adhikari.“Mas.” Kinanti kembali memanggil Adhikari. Ia mendudukkan dirinya di pinggiran ranjang.Adhikari membalikkan badannya menghadap Kinanti. Betapa terkejutnya Kinanti saat melihat wajah Adhikari yang bersimbah air mata.
Sudah saatnya Rosaline kembali ke rutinitas hariannya sebelum ia pergi berlibur bersama keluarganya. Sudah cukup liburannya selama tiga hari kemarin, sekarang ia sudah harus kembali bekerja.“Kamu apa nggak sebaiknya pindah kembali ke rumah aja, Rose? Mama tahu kalau kamu lebih nyaman tinggal di rumah kan. Buktinya udah seminggu lebih kamu balik ke sini. Lagipula sekarang Jasmine kan udah nggak tinggal di sini lagi jadi Mama merasa kesepian,” ucap Mardina.“Makanya kamu segera menikah dan memiliki anak. Kalau kamu menikah Papa nggak akan biarkan kamu ikut-ikutan Jasmine keluar dari rumah ini. Jadi biar di rumah ini nggak sepi,” ucap Benjamin.“Iya, Mama setuju sama usulan Papa,” sahut Mardina dengan senyum cerianya.Rosaline menanggapi ucapan mama dan papanya hanya dengan tersenyum. Ia tak ingin menyambung ucapan kedua orangtuanya karena pasti tak akan ada ujungnya.“Ayo kita berangkat, Pa.” Ros
Adhikari sudah bagaikan orang gila. Beberapa kali ia sampai meremas rambutnya yang hampir terasa ingin pecah. Bahkan seharian ini ia sampai tak bisa konsentrasi dengan pekerjaannya.“Jadi Rosaline benar-benar menikah dengan Jagat Paraduta?! Aku nggak terima, aku akan bawa Rose kembali padaku. Dia hanya milikku karena kita saling mencintai.”“Aku harus menemui Rose,” gumam Adhikari.Adhikari menyambar kunci mobilnya lalu keluar dari kantor. Ia bahkan tak memperdulikan bahwa jam kantor masih belum usai.Adhikari menjalankan mobilnya sampai di depan gedung Artiz Grup. Sekarang ini ia persis seperti seorang penguntit, sama seperti waktu dulu ia ingin mendekati Rosaline kembali. Berulang-ulang kali ia melihat jam tangan mahal miliknya yang bertengger di pergelangan tangannya.Adhikari tersenyum, sebuah keberuntungan untuknya karena saat ini ia melihat Rosaline yang sedang menaiki taksi yang baru saja berhenti di depan lobi. Seper
Adhikari begitu bahagia karena hari-harinya kini kembali didampingi oleh Rosaline. Ia bahkan tak ingat pulang sejak hari di mana ia kembali menemui Rosaline bahkan sampai hari ini. Ia bahkan sudah lupa jika ia memiliki Kinanti sebagai istrinya setelah ia mendaftarkan gugatan cerainya di pengadilan dan sekarang ini ia malah menganggap bahwa Rosaline adalah istrinya.Jika di sore hari seperti ini Adhikari dan Rosaline bersantai dengan duduk di sofa sambil melihat tayangan televisi.“Sayang, apa sudah ada tanda-tanda baik?”“Tanda-tanda baik apa?”“Di sini apakah sudah ada Adhi kecil? Ini sudah dua bulan semenjak aku menghancurkan pil sialan itu kan?” Adhikari meraba permukaan perut rata Rosaline.Tubuh Rosaline menegang, dengan perlahan i