Zahir beranjak dari duduknya lalu berjalan menuju pintu bus bagian depan. Tangannya bertumpu bergantian di ujung bangku untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh.Sang sopir menginjak rem agar kecepatan bus menurun hingga berhenti tepat di halte tujuan Zahir. Pemuda itu melangkah turun kemudian mengembalikan posisi ransel ke punggungnya. Ia tidak meninggalkan halte begitu saja. Ia menunggu dua sosok yang ia lihat tadi dan berencana untuk ke tempat tujuan bersama-sama. Zahir melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Setidaknya ia menghabiskan waktu hampir dua jam di dalam bus. Lalu tepat saat matahari turun dari peraduan dan nyaris tenggelam, Zahir melihat dua orang yang ia nanti di ujung jalan. Keduanya terlihat seolah datang dari kuningnya cakrawala. Beberapa belas langkah kemudian mereka sudah nyaris tiba di depan Zahir. Dengan senyuman yang mengembang Zahir berjalan menghampiri dua orang tadi sembari melambaikan tangan kanannya."Pak Ali!
“Baik sekali Tuhan kepadaku. Ia mempertemukan aku kembali dengan Januar dalam wujud yang lebih muda,” suara serak Ali kembali mengisi perbincangan. Zahir dan Binar serentak menoleh ke arah Ali. Manik mata mereka menemukan Ali yang sudut punggungnya mulai mengecil. Barangkali usia sudah menambahkan beban di sana hingga tubuh lelaki itu sedikit demi sedikit membungkuk setiap harinya.Berbeda dari perbincangan sebelumnya, Ali saat ini terlihat lebih penuh emosi. Semilir angin jelang malam semakin membuat suasana sore itu menjadi sendu. Ali menatap Zahir dalam dan nanar. Berbeda dengan bibir keriputnya yang tersenyum lebar. “Aku merasa sangat yakin aku dan Januar saling melemparkan candaan. Ternyata sekarang cuma tinggal aku.”Zahir hanya menunduk. Bukan cuma dirinya yang kehilangan. Pria di depannya ini pasti tidak kalah kehilangan atas kepergian Januar. Sebab Ali dan Januar sudah bersama tidak kurang dari 30 tahun. Zahir tersenyum getir. Menenangkan hatinya yang
Ali keluar dari kamarnya yang berada dia langkah dari tangga dengan segerombol kunci berwarna emas serta gantungan berbentuk menara. Ia memerhatikan Binar yang masih berdiri di depan pintu dan Zahir yang baru masuk sambil sibuk memasukkan sesuatu ke dalam ransel cokelatnya."Binar, bagaimana kalau setelah ini kamu langsung ke rumah Tante Ana? Ayah akan menyiapkan segalanya di atap," kata Ali.Binar menoleh ke arah sumber suara lalu langsung berlari dan berhenti tepat di depan sang ayah. "Jadi kita betulan akan makan di atap lagi?" tanya Binar dengan mata yang senada dengan namanya.Ali mengangguk, "Untuk merayakan kedatangan tamu istimewa sekaligus mencoba meja dan lampu baru yang Ayah selesaikan kemarin.""Mau aku bantu dulu sebelum aku mengambil makanan di rumah Tante?" "Tidak ada yang perlu dibantu di atas sana. Justru kamu yang butuh dibantu...," geleng Ali lalu mengarahkan matanya ke Zahir yang baru saja sampai di samping Binar. "..., kalian pergi
"Ternyata dulu saya lumayan memalukan," kata Zahir."Memalukan tapi pasti sangat membekas di ingatan," sahut Ana sambil membimbing Zahir menuju ke meja makan.Di atas sana sudah bertengger beberapa susun kotak yang memuat sekira empat jenis lauk. Di ujung paling kiri meja terdapat wadah bening yang menampilkan sayuran segar siap santap. "Kalau tahu kamu akan datang pasti aku memasak lebih banyak lagi." Ana melepaskan pegangannya dari lengan Zahir untuk kemudian memasukkan wadah berisi makanan di meja itu ke dalam tiga buah kantong berbahan kain agar lebih mudah dibawa. Zahir turut membantu Ana menyusun kotak-kotak itu untuk memperingan pekerjaan Ana.Sementara Zahir dan Ana menata makanan ke dalam kantong, Zahir tidak menemukan sosok Binar bersama mereka. Ia menoleh ke segala arah untuk mencari di mana Binar."Binar sedang ada urusan sebentar. Mungkin lima menit lagi dia akan kembali," kata Ana yang seolah memahami kebingungan Zahir hanya lewat bahasa
Ali sibuk menata piring dan gelas di atas papan kayu berukuran 2x3 meter. Papan kayu itu disangga oleh tujuh kaki yang tersebar di setiap sudut dan di tengah papan. Karpet berwarna marun menutupi papan itu. Begitu kontras dengan segala sesuatu di atap yang memiliki warna membumi. Deretan lampu bertiang kayu tersebar mengelilingi atap yang begitu lapang. Ali sengaja memilih warna jingga untuk penerangan agar tidak terlalu kuat melawan gelapnya malam. Supaya ketika siapapun berada di sana pada malam hari ia masih bisa menemukan kegelapan di dekat mereka. Tidak ada yang paling memahami gelap selain terang dan sebaliknya. Dengan catatan mereka harus juga mau agak mengalah kepada yang lain."Ayah," suara seorang perempuan membangunkan Ali dari konsentrasinya mengatur berbagai perkakas."Kalian sudah kembali?" Ali menghampiri tiga orang yang baru saja datang dengan banyak jinjingan di tangan mereka.Ali berniat membantu meringankan beban bawaan mereka yang baru saja
Beberapa piring sudah kehabisan muatan karena dipindahkan ke dalam perut dua laki-laki dan dua perempuan. Hanya tersisa sebagian kecil makanan dan air minum yang sudah hampir mencapai dasar gelas. Masih di tempat yang sama dengan beralaskan balai-balai Ali, Ana, Binar, dan Zahir sudah mengenyangkan perut masing-masing."Ayamnya nikmat sekali," kata Ali."Memangnya lidah Kakak pernah merasakan tidak enak saat memakan ayam panggang yang aku buat?" Ana menaikkan sudut kiri bibirnya sambil melirik Ali."Tapi ayam malam ini memang terasa lebih enak dibandingkan sebelum-sebelumnya," Binar membela sang ayah.Binar menyandarkan kepalanya di bahu Ana. Sementara tangannya masih berusaha merogoh sebungkus keripik kentang yang hanya tinggal remahannya saja."Oh begitu? Jadi maksudnya kamu mau dibuatkan ayam panggang lagi besok?" kata Ana yang tangannya sudah berada di puncak kepala Binar.Binar mengernyih mendengar tebakan Ana. Sangat tepat sasaran.Zahir memerh
Matahari mengirimkan cahayanya untuk menyelinap ke dalam setiap celah bumi termasuk kamar lantai dua kediaman Ali. Belum begitu menyilaukan tapi sudah jauh lebih terang dibandingkan lampu yang duduk di langit-langit kamar itu. "Putraku pasti sangat lelah, jadi biarkan saja dia tidur sampai agak siang.""Iya, Ayah. Mau aku bawakan madeleine juga ke situ?" Tubuh paruh baya yang duduk di kursi kayu dengan secangkir teh di tangannya mengangguk. Matanya menyipit menghalangi cahaya menusuk ke dalam. Dengan rambut panjang yang setengah kering Binar turun untuk mengambil kue yang sebelumnya ia tawarkan kepada Ali."Apa aku harus menambahkan kanopi atau gubuk kecil juga?" Ali bergumam sendiri.Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh pelataran yang ia buat di bagian paling atas rumahnya itu. Hanya ada dua tiang lampu, satu balai-balai besar, dan paket satu meja dua kursi. Terlihat kosong dan membosankan untuk Ali."Ayah mau menambahkan sesuatu di sini?" tany
Binar mendahului Zahir untuk turun. Zahir mengekor sambil memerhatikan lagi tubuhnya, berusaha mencari sesuatu yang salah dari sana. Tapi tidak ada yang ia temukan. Ia berpikir, apakah ada sesuatu yang biasa menurut Zahir tapi terlihat aneh atau salah di mata Binar? "Selamat pagi, putraku!" Ali berseru ketika setengah badan Zahir sudah bisa ia lihat. "Maaf saya bangun terlalu siang." "Bicara apa kamu ini. Kamu pasti lelah karena perjalanan kemarin, jadi wajar saja kalau kamu butuh lebih banyak waktu tidur." Tidak juga. Sebenarnya Zahir butuh lebih banyak waktu tidur bukan akibat lelah menempuh perjalanan, tapi karena ia terus terjaga sampai pukul dua pagi. Alasannya apa lagi kalau bukan karena otak yang terus bekerja meski raga Zahir sudah merengek minta ditidurkan. "Ayo cepat duduk. Binar sudah memasak untuk sarapan kita," papar Ali yang sudah duduk manis di salah satu kursi. Dua dari tiga sisa kursi kosong juga telah ditempati oleh Binar dan Zahir. "Aroma masakannya sangat wan
"Ayah, Rohan sudah datang," Binar berucap setelah membukakan pintu untuk seorang pemuda."Sudah? Ajak dulu kemari untuk makan bersama kita," sahut Ali."Ayo masuk. Kita baru akan berangkat setelah makan siang," ajak Binar kepada pria di depannya."Aku baru saja makan... tapi masih ada ruang kosong di perut," kata pria yang dipanggil Rohan oleh Binar tadi.Mereka berdua—Binar dan Rohan—menuju ke meja makan. Di sana Ali dan Zahir sudah mengisi piring mereka dengan nasi dan lauk."Selamat siang, Paman.""Ayo duduk dan makan bersama kami. Sudah lama kamu tidak kemari," pinta Ali kepada Rohan."Akhir-akhir ini aku cukup sibuk jadi tidak bisa berkunjung." Rohan duduk di seberang kursi Zahir kemudian menatap Zahir lalu mengangguk kecil."Sibuk bermain bersama teman-teman barumu di universitas maksudnya? Dasar anak ini," Ali menatap Rohan yang tengah menatap Zahir. "Ah! Ini Zahir, putra dari sahabat baikku.""Halo, saya Zahir," kata Zahir sembari mengulurkan tangan."Zahir, ini keponakanku. A
"Kalian sudah pulang? Pasti panas sekali di luar sana." Ali menyambut kedua anaknya yang baru saja memasuki rumah."Sangat panas sampai rasanya tubuhku mau meleleh," kata Binar yang tubuhnya berkeringat cukup banyak."Ayah yang hanya duduk di atas saja kepanasan. Tidak terbayang kalian yang sedang di luar." Ali menuruni anak tangga dengan membawa cangkir dan cawan kosong—selesai menikmati waktunya di atap.Zahir baru melepaskan tautan tangannya dengan Binar tepat saat Ali mulai melangkah. Ia merasa cukup beruntung Ali tidak menyadari tangan kedua anaknya yang terhubung. Atau mungkin pria paruh baya itu telah menyadari hal tersebut, tapi untungnya ia memilih untuk tidak memberikan komentar."Kalian istirahatlah dulu sebelum berangkat ke kebun. Aku akan membuatkan makan siang untuk kalian setelah ini," kata Ali.Hasil perburuan di dua toko sudah diletakkan di atas meja ruang tamu. Binar mengambil dua gelas yang telah dipenuhi oleh air putih kemudian ia berikan satu kepada Zahir. Keduany
Binar mempertimbangkan dengan saksama. "Untuk tanaman yang ini kami hanya punya variasi warna ungu karena warna lainnya telah terjual. Harganya lima puluh ribu rupiah. Akan dikenakan tambahan biaya sekitar lima sampai sepuluh ribu jika ingin menggunakan jasa pengemasan yang cocok untuk diberikan sebagai hadiah," jelas pegawai toko."Saya suka dengan yang terakhir ini. Tidak apa-apa saya memilihkan nenek kamu yang ini?" tanya Binar."Mandevilla?" Zahir membungkuk untuk mengamati tanaman berbunga ungu itu lebih dekat. "Bunganya juga cantik. Nenek akan suka. Apalagi warnanya seragam dengan sepatu barunya," kata Zahir sambil mengangguk-angguk.Sebuah jawaban yang melegakan untuk Binar. "Kalau begitu kami ambil yang ini saja, Kak. Tolong dikemas dengan cantik," Binar berkata kepada wanita pegawai penjual tanaman."Dan aman untuk perjalanan jarak jauh," tambah Zahir.Wanita itu memberikan senyuman secantik bunga kemudian segera mengangkat pot kecil yang telah menjadi pilihan terakhir Binar
Zahir menerima sebuah kantong plastik tebal berwarna biru berisikan kardus cokelat yang memuat sepasang sepatu pilihannya untuk sang nenek.Binar menunggu di pinggir jalan karena depan toko sudah lebih ramai dibandingkan waktu mereka datang. "Binar," Zahir memanggil Binar yang menghadap ke arah jalan raya.Gadis itu memutar tubuhnya. "Sudah?" tanya Binar.Zahir mengangkat kantong di tangannya untuk memberi tahu Binar bahwa barang yang ia inginkan telah terbeli."Di mana toko tanaman hiasnya?" tanya Zahir.Binar kembali menoleh ke seberang jalan. "Ada di arah jalan pulang. Tapi ada di seberang jalan sana. Kita bisa lewat jembatan penyeberangan."Mata Zahir mencari ke sekeliling. Siapa tahu ada jembatan penyeberangan terdekat yang bisa mereka lewati."Kita harus berjalan sekitar lima puluh meter lagi. Ayo," Binar memimpin perjalanan menuju tempat kedua.Mereka mengambil langkah berlawanan dari arah pulang. Zahir yang tadinya berada di belakang sekarang sudah bisa menyusul dan berjalan
Zahir menyelipkan foto itu di bagian kiri bawah kemudian menutup buku itu lagi. Buku sketsa itu ia simpan kembali ke dalam ranselnya yang juga diisi oleh beberapa peralatan tulis dan lukis.Sepasang sepatu di kaki Zahir juga sudah tergantikan oleh alas kaki yang lebih sederhana. Sandal berwarna hitam yang bagian alasnya masih tebal dan keras. Ukurannya sedikit lebih besar dibandingkan kaki Zahir, tapi tidak sampai membuat ilusi kakinya sedang menaiki perahu—hanya sedikit kebesaran.Sebelum meninggalkan kamar, ia mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya. Jika saja foto tadi lebih kecil atau dompetnya berukuran lebih besar maka Zahir pasti akan menyimpan benda itu di dalam dompet alih-alih diselipkan di buku sketsa.Zahir sumringah saat meninggalkan kamar. Ia kembali memiliki waktu berdua bersama dengan Binar, meskipun sudah barang pasti mereka akan berpapasan dengan banyak orang di jalan. Juga akan berbicara dengan orang-orang pemilik toko yang akan mereka hampiri.Dari lantai bawa
Seorang perempuan lain yang Zahir cintai jauh sebelum lelaki itu memutuskan untuk meletakkan cintanya untuk Binar—sempat terlupakan selama beberapa saat—membuat ponsel Zahir bergetar."Nenek menelepon," kata Zahir ketika matanya menemukan tulisan 'Nenek' di layar ponselnya.Ali mengangguk mengiyakan Zahir untuk menerima panggilan jarak jauh dari neneknya."Halo, Nenek?" "Boleh Nenek meminta tolong? Belikan alas kaki untuk Nenek sebelum pulang nanti."Perempuan itu sangat terus terang. Zahir hanya tersenyum mendengarkan suara kecil dan berat itu."Tapi Nenek bimbang harus memilih sepatu atau sandal. Menurutmu mana yang akan lebih berguna untukku?" tanya perempuan itu."Bagaimana kalau sepatu? Supaya jalan-jalan pagi kita jadi lebih nyaman untuk Nenek," usul Zahir."Sepatu, ya. Kalau begitu tolong pilihkan yang paling cocok untuk kakiku, ya? Nenek percaya dengan selera cucu tampanku ini," Aini langsung setuju tanpa menimbang lebih lama."Baik, Nek. Nenek sudah makan?" "Aku cuma makan
"Wah cocok sekali!" Keluarnya Zahir dari kamar disambut dengan sorak pujian Ali. Mata pria itu menelusuri Zahir dari ujung kaki hingga kepala. Kaos putih polos kebesaran dengan lengan yang sedikit lebih panjang dari siku melekat sangat cocok di tubuh Zahir. Dipadukan dengan celana pendek hitam, bagi Ali penampilan Zahir jauh lebih menawan dibandingkan sebelumnya."Ayah tidak bohong, kan?" Zahir berusaha memastikan. "Kamu terlihat dua kali lipat lebih tampan dari sebelumnya. Ayah jujur," ungkap Ali."Kalau begitu saya akan meminjam yang ini saja," kata Zahir yang juga puas dengan apa yang sudah ia pilih untuk pakai."Tidak boleh cuma pinjam. Ini untukmu. Semua yang ada di dalam lemari itu juga untukmu."Mata Zahir terbelalak. Ia sangat senang. Tapi mana mungkin ia mengambil alih pakaian sebanyak itu?"Lagipula aku sudah tidak memakainya lagi. Binar juga sudah mengambil beberapa potong pakaian yang ingin dia pakai dari lemari itu. Salah satunya kaos yang sama persis dengan yang kamu pa
Binar mendahului Zahir untuk turun. Zahir mengekor sambil memerhatikan lagi tubuhnya, berusaha mencari sesuatu yang salah dari sana. Tapi tidak ada yang ia temukan. Ia berpikir, apakah ada sesuatu yang biasa menurut Zahir tapi terlihat aneh atau salah di mata Binar? "Selamat pagi, putraku!" Ali berseru ketika setengah badan Zahir sudah bisa ia lihat. "Maaf saya bangun terlalu siang." "Bicara apa kamu ini. Kamu pasti lelah karena perjalanan kemarin, jadi wajar saja kalau kamu butuh lebih banyak waktu tidur." Tidak juga. Sebenarnya Zahir butuh lebih banyak waktu tidur bukan akibat lelah menempuh perjalanan, tapi karena ia terus terjaga sampai pukul dua pagi. Alasannya apa lagi kalau bukan karena otak yang terus bekerja meski raga Zahir sudah merengek minta ditidurkan. "Ayo cepat duduk. Binar sudah memasak untuk sarapan kita," papar Ali yang sudah duduk manis di salah satu kursi. Dua dari tiga sisa kursi kosong juga telah ditempati oleh Binar dan Zahir. "Aroma masakannya sangat wan
Matahari mengirimkan cahayanya untuk menyelinap ke dalam setiap celah bumi termasuk kamar lantai dua kediaman Ali. Belum begitu menyilaukan tapi sudah jauh lebih terang dibandingkan lampu yang duduk di langit-langit kamar itu. "Putraku pasti sangat lelah, jadi biarkan saja dia tidur sampai agak siang.""Iya, Ayah. Mau aku bawakan madeleine juga ke situ?" Tubuh paruh baya yang duduk di kursi kayu dengan secangkir teh di tangannya mengangguk. Matanya menyipit menghalangi cahaya menusuk ke dalam. Dengan rambut panjang yang setengah kering Binar turun untuk mengambil kue yang sebelumnya ia tawarkan kepada Ali."Apa aku harus menambahkan kanopi atau gubuk kecil juga?" Ali bergumam sendiri.Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh pelataran yang ia buat di bagian paling atas rumahnya itu. Hanya ada dua tiang lampu, satu balai-balai besar, dan paket satu meja dua kursi. Terlihat kosong dan membosankan untuk Ali."Ayah mau menambahkan sesuatu di sini?" tany