DANTE mengerjapkan matanya. Matanya menoleh pada jam yang ada di atas nakas lalu ia mengubah posisinya menjadi duduk. Satu tangannya memegang kepalanya yang terasa pening, satu tangan lainnya memegang ponsel yang melekat di telinga.“Lo sakit, Te?” tanya Kanaya di seberang sana.Kanaya memang bukanlah sahabat yang bisa dipercaya. Namun Dante yakin jika perempuan itu berada di pihaknya. Kanaya sempat memberitahu keberadaan Cintara, tahu jika Dante pasti akan khawatir untuk mencari keberadaan istrinya, maka Kanaya menghubunginya beberapa waktu lalu.“Nggak, Nay. Gue nggak apa-apa, kok.” Dante menghela napas pendek. Menekan kuat pelipisnya lantaran sakit yang mendera di kepala. “Dia beneran udah baik-baik saja kan, Nay? Masih nggak mau makan dianya, ya?”Tiga hari telah berlalu semenjak pertengkaran mereka saat itu. Bayang-bayang bagaimana Cintara menangis dan mengajaknya untuk bercerai masih berkelebat di benaknya.“Nggak apa-apa gimana? Suara lo serak gitu tahu, nggak!” sembur Kanaya d
“Lo nggak mungkin terus-terusan menghindari Dante kan, Ta?” ujar Kanaya. “Udah empat hari lo pergi tanpa bilang apa-apa sama dia. Lo nggak kepikiran kalau dia khawatir sama lo?”Ucapan itu sejenak menarik perhatian Cintara yang tengah sibuk di dapur. Perempuan itu sedang membersihkan dapur setelah menikmati makan siang bersama Kanaya.“Lo mau ngusir gue?” tembak Cintara.Sementara Kanaya menatap lekat Cintara sembari menghela napas panjang. “Lo mau tinggal di sini satu minggu, satu bulan, atau satu tahun sekalipun, gue nggak akan ngusir lo dari sini, Ta. Cuma masalahnya, lo mau kayak gini sampai kapan?”“Entahlah.”“Kalau lo pengen cerai, ya udah sana ke pengadilan agama. Ambil formulir, isi formulirnya, daftarkan. Jangan cuma ngurung diri doang di sini!”“Lo nyuruh gue beneran cerai?”Kanaya mendecak tak percaya. “Kan! Lo sendiri bahkan nggak yakin kalau lo bisa cerai sama Dante, Ta.” Perempuan itu menarik tangan Cintara untuk duduk di sofa lalu menghela napas panjang. “Bisa nggak si
“Kamu yakin bakalan tetap pergi dengan kondisi kamu yang kayak gini? Muka kamu pucat gitu, Te. Kalau tiba-tiba kamu pingsan gimana?”“Jadi masih khawatir sama suami sendiri, ya?”Cintara mendecak lalu memalingkan ke sembarang arah. Alih-alih menanggapi ucapan Dante, Cintara memutuskan untuk menghilang dari balik pintu kamar mandi untuk segera bersiap-siap.Bagaimana bisa Dante masih membercandainya padahal hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja. Cintara mendecak, kesal luar biasa. Tepat saat waktu sudah menunjuk angka tujuh malam, mobil yang dikendarai Dante dan Cintara sudah tiba di kediaman Mama Kinnas. Cintara hampir saja menjangkau pintu untuk keluar saat tangannya sudah lebih dulu ditahan Dante.“Ada apa?” tanya Cintara dengan keningnya yang mengernyit.“Sebelum kita turun, aku cuma pengen ngasih tahu ke kamu kalau di dalam kemungkinan ada Tante Sheila dan Kinara.”“Terus?”“Aku tahu kalau kamu belum mau mendengarkan penjelasan apapun dari aku, Ta. Dan kalau kamu masih teta
“Ta, aku sayang sama kamu. Jangan pergi, ya.”Cintara tercenung di depan ambang pintu saat mendengar suara gumaman Dante. Pria itu sudah merebahkan tubuhnya di atas ranjang tidur dengan matanya yang memejam.Kondisi Dante memang sedang tidak baik-baik saja. Wajahnya terlihat pucat dan sesekali tubuhnya akan menggigil. Membuat Cintara mulai mengkhawatirkannya.Cintara menghela napas pendek. Rasa kesalnya pada Kinara menguap begitu saja. Perempuan itu lantas mengayunkan langkahnya mendekat lalu duduk di tepi ranjang dengan tatapannya yang lurus ke arah pria itu.Lalu, “Te…” Tangan perempuan itu terulur ke depan, mengusap wajah suaminya dengan lembut. “Dingin, Ta. Dingin…” Alih-alih membangunkannya, Cintara bangkit lalu menarik selimut untuk Dante. Ia meraih remote AC yang ada di atas nakas lalu menaikkan suhunya agar Dante tidak kedinginan.Saat Cintara hendak pergi mengambil air untuk mengompres, tangannya sudah lebih dulu ditahan Dante. Perempuan itu menoleh dengan keningnya yang men
“Jadi benar Mas Dante akhirnya memutasiku ke kantor cabang?”Suara Kinara yang tiba-tiba menerobos masuk ke ruangan Dante, membuat Dante dan Clara yang tengah berdiskusi lantas menoleh ke arah pintu.Dante menghela napas pendek. “Ra, diskusinya kita lanjutin nanti, ya? Ada yang pengen saya bicarakan dengan Kinara dulu.”“Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu.”Sepeninggal Clara dari ruangan itu, Kinara mengayunkan langkahnya mendekat. “Jawab, Mas. Mas Dante beneran mau mutasi aku ke kantor cabang? Tante Kinnas yang minta aku bekerja di sini. Jadi—”“Di sini aku bosnya, Kinara," tegas Dante dengan lugas. “Jadi aku lah yang paling berhak memutuskan siapa yang boleh dan tidak boleh bekerja di sini.”“Tapi, Mas. Aku—” Masih tak terima dengan keputusan yang baru saja diberikannya, Kinara mencoba memutar kepalanya untuk menyanggah Dante. “Mas nggak tahu ya, kalau tempo hari Cintara nampar aku?”Dante mengernyit. “Dia pasti punya alasan kenapa dia nampar kamu.”“Aku nggak ngapa-ngapain,
“Jadi, beneran udah akur banget, nih?” cibir Kanaya.“Apaan sih, Nay?” Cintara mendecak pelan. “Tapi salah nggak sih, kalau gue nampar Kinara kemarin itu? Asli banget itu cewek nggak ada rasa bersalahnya tahu, nggak!”“Ya nggak salah lah! Dia aja yang kurang ajar banget sama lo. Udah jelas Dante laki lo, main nyosor aja kayak bemo! Orang sinting emang!”“Mana Mama Kinnas sampai tahu pula masalah gue. Sumpah, gue malu banget, Nay.”“Ya nggak apa-apa dong, Ta. Lagian mertua lo pasti khawatir juga, dong. Pas Dante sakit kan lo nggak ada di apartemennya. Pasti timbul pertanyaan juga kenapa sampai-sampai lo nggak ada di sana. Mana Dante kan ‘anak mami’ banget, Ta. Udah ketebak kalau mertua lo bakalan tahu.”Cintara mengerucutkan bibirnya sembari menyandarkan kepalanya ke punggung sofa. “Ya gitu, deh.”“Terus si Ulet Bulu itu masih di kantornya Dante?”“Kata Dante sih dia bakalan dimutasi ke kantor cabang. Gue juga nggak nanya lagi. Males banget ya, kan ngebahas dia.”“Iya, sih. Tapi kalau
“Aku mau ke salon sama Kanaya hari ini, Te.” Cintara melongokkan jam yang melingkar di tangannya. “Katanya sih Kanaya udah di jalan. Tapi sampai sekarang dia belum nongol juga.”“Jangan capek-capek lho, ya. Besok kan kamu udah mulai nugas, Ta.”Tidak terasa libur selama empat minggu, dan Cintara akan kembali bekerja besok pagi. “Iya, iya. Palingan nggak sampai sore, kok.” Cintara bisa melihat mobil Kanaya memasuki pelataran lobi. “Kalau misal aku potong rambut boleh, nggak?” tanya Cintara.“Boleh, dong. Do whatever you want, Sayang. Kalau kamu happy, aku juga happy.”“Dih! Nggak usah dimanis-manisin gitu bisa nggak, sih?” Cintara tertawa. “Ya udah kalau gitu. Kanaya udah datang, nih. Aku jalan dulu ya, Te.”Cintara mengayunkan langkahnya mendekati pintu penumpang lalu masuk ke mobil. “Ciumnya mana?” tanya Dante di seberang sana.“Ck! Malu ah, Te. Ada Kanaya, nih. Bisa-bisa dirujak habis-habisan sama dia!”Dante terkekeh. “Ya udah, hati-hati ya, Sayang. I love you.”“Dijawab I love y
“Akh, Te…”Di bawah guyuran air pancuran yang terasa hangat, Dante menghimpit tubuh Cintara merapat ke dinding yang dingin. Perempuan itu melenguh pelan seiring dengan Dante yang mendesakkan jemarinya semakin dalam.“You’re wet, Ta,” bisik Dante sembari menggigit telinga Cintara.Cintara sempat menahan napasnya selama beberapa saat. Ia menggigit bibirnya bagian dalam. Merasakan sekujur tubuhnya menggelinjang hebat, terlebih saat Dante mulai memasukkan satu jarinya lagi di bawah sana.Dante menunduk. Mempertemukan bibirnya dengan bibir Cintara sembari memagutnya dengan penuh kelembutan. Tidak lama karena bibir Dante kemudian bergerak turun dan tenggelam di puncak dadanya.Ada hangat, lembab, dan basah saat jemari Dante bergerak keluar masuk di bawah sana. Pun begitu dengan Cintara yang nyaris kehilangan kendalinya sekaligus tersiksa setiap kali Dante menyentuhnya. Ini bukan kali pertamanya namun Cintara nyaris tenggelam dalam kenikmatan yang nyaris membuatnya menggila.“Te, aku—” Bersa
Suara ketukan dari luar sejenak mengalihkan perhatian Dante yang sejak tadi sibuk menatap layar monitornya. Pria itu menghela napas pendek lalu menoleh ke arah pintu. Seorang perempuan melangkah menghampirinya.“Clara?”Perempuan itu mengulas senyum tipis. “Pak Dante ada waktu sebentar?” tanya Clara saat itu.Pria itu mengangguk. “Ada apa?”Perempuan itu melangkah mendekat lalu mengangsurkan sebuah amplop putih ke arah Dante. Pria itu mengernyit, bertanya-tanya.“Apa ini?” tanya Dante lagi.“Setelah saya pikirkan matang-matang, saya memutuskan untuk resign, Pak.”“Kamu yakin?” tanya Dante lagi. “Kamu baik-baik saja?”Clara tak langsung menjawab. Ia menggigit bibirnya bagian dalam, memberanikan diri untuk menatap wajah Dante yang kini menatapnya dengan lekat.“Saya ingin menemani ibu saya di Jogja, Pak. Sekaligus… saya ingin menenangkan diri dulu. Kejadian beberapa bulan yang lalu cukup membekas di hati saya.”“Kamu tahu kan, kalau saya dan Cintara sudah melupakannya? Kamu sudah bertah
“Happy birthday, Dia Cintara Naladhipa,”Cintara terdiam selama beberapa saat lalu seketika membelalak lebar. “Hah? Emang aku ulang tahun hari ini?” Cintara menundukkan wajah, melihat kalender pada ponselnya. “Ya ampun, Te…”Mata Cintara seketika berbinar-binar. Menatap buket bunga yang masih ada di tangan Dante. Rupanya pria itu sengaja membeli bunga itu untuk Cintara.“Kamu nggak mau ambil bunganya?” tanya Dante membuyarkan keterdiaman Cintara. “Tangan aku pegal lho, Ta.”Air mata Cintara tiba-tiba jatuh membasahi wajah cantiknya. Ia meraih buket bunga warna kuning, “aku lupa…”“It’s your birthday, Ta. Kenapa nangis, sih?”Perempuan itu mengerjap bersamaan dengan air matanya yang jatuh membasahi wajah cantiknya. “Aku lupa, tapi kamu malah inget sama ulang tahunku.”“Kunci rumah kamu taruh di meja aja, satu jam setelahnya kamu lupa, Ta.” Tangan Dante terulur ke depan, mengusap pipi Cintara yang lembut. “Semoga panjang umur …” Tangis Cintara semakin menggugu. “Terima kasih karena kamu
“Udah beneran nggak apa-apa, kan?” tanya Dante.Pria itu baru saja kembali dari mengurus segala urusan administrasi Cintara selama istrinya dirawat di rumah sakit.“Emang kalau nggak beneran kenapa?”Dante mengulas senyum tipis. Ia duduk di tepi ranjang tidur. Tangannya terulur ke depan, menyelipkan anak rambut Cintara ke belakang telinga. “Kalau belum benar-benar sembuh, nggak masalah kalau aku mesti ambil cuti lagi buat jagain kamu di sini.”Cintara mendecak dengan matanya yang melotot. “Nggak usah aneh-aneh deh, Te. Aku udah baik-baik saja sekarang. Dua hari makan makanan rumah sakit tuh nggak enak. Aku pengen makan soto, aku pengen makan sate, terus aku pengen makan bebek goreng habis ini!”“Emang perutnya muat?” tanya Dante dengan lembut.“Ya kan nanti ada kamu yang bakalan bantu ngabisin.” Cintara tertawa. “Ya kan, De?” ujarnya sembari mengusap perutnya yang sedikit membola.“Sebelum pulang, kita mampir ke ruang rawatnya Clara dulu ya, Ta? Bu Yenny tadi sempat telepon, dan penge
“Mas? Gimana keadaan Cintara sekarang?”Dante yang sejak tadi duduk di bangku yang ada di koridor itu lantas menoleh. Ia bangkit dari duduknya lalu melangkah menghampiri Arjuna.“Cintara lagi diperiksa sama Inggit, Pa. Aku minta Inggit buat memastikan keadaannya dulu. Kejadian hari ini pasti bikin terguncang.”Arjuna menghela napas pendek. “Semua udah selesai, Mas. Kamu nggak perlu mikirin lagi.”“Gimana keadaan Niko, Pa?”“Dia dirawat di sini. Ada polisi yang akan mengawasi dia selama 24 jam. Tembakan Papa cuma mengenai pundaknya dan dia akan baik-baik saja sampai dijatuhi hukuman.”“Dia harus membayar mahal atas perbuatannya, Pa.”Arjuna mengangguk, membenarkan ucapan Dante. “Papa akan pastikan itu. Jangan dipikirin ya, Mas. Cintara masih butuh kamu untuk tetap di sampingnya. Dia pasti terguncang banget sekarang.”“Makasih, Pa. Kalau nggak ada Papa, aku nggak tahu gimana jadinya kalau sampai Cintara kenapa-napa.”Arjuna menepuk bahu Dante dengan lembut. “Sekarang kamu temenin Cintar
“Saya sekarang ada di rumah sakit, Bu. Clara sempat mengeluh sakit dan makanya saya langsung bawa dia ke rumah sakit.”Setelah memberikan kabar kepada Yenny, Dante melangkah menghampiri Clara yang saat ini tengah terbaring di atas ranjang IGD.Wajahnya terlihat pucat dan hal itu mengingatkan Dante pada keadaan Cintara saat itu. “Pak, maaf…”“Kita bisa bicara nanti, Ra. Yang terpenting sekarang adalah kamu harus diperiksa dulu.”Masih dengan terisak, Clara menggeleng cepat. Entah ia tengah menyesal karena sudah membuat Dante terlibat dengan masalahnya atau karena ia tidak mampu menahan rasa sakit.“Niko, Pak. Saya diancam sama Niko.”Seketika Dante terdiam. Ada banyak pertanyaan yang kini berjejalan di kepalanya. Namun saat Inggit sudah menghampirinya, Dante langsung mengurungkan niatnya untuk sekadar bertanya.“Dia sekretaris gue, Nggit. Tolong dia.” Inggit mengangguk. “Lo yang tenang, Te. Gue bakalan berusaha semaksimal mungkin. Tapi, Te… melihat kondisinya saat ini, gue akan berusa
Cintara sedang duduk di ruang tamu rumahnya dengan perasaan gelisah lantaran Dante sama sekali tidak memberikan kabar apapun.Perempuan itu akhirnya menyerah. Ia meraih ponsel yang ada di atas meja saat bersamaan dengan ponselnya berdering. Cintara bangkit dan melihat nama Dante muncul di layar. Cepat-cepat perempuan itu mengangkat panggilan itu.“Halo, Te? Gimana hasilnya? Kamu berhasil membujuk Clara?” tanya Cintara dengan tak sabaran.“Aku lagi di rumah sakit, Ta. Maaf ya kalau aku belum sempat ngabarin kamu. Kondisi Clara memburuk, Ta.”“Memburuk? Maksud kamu apa? Clara sakit?”“Kondisi kandungannya melemah. Sekarang dia lagi ditangani sama dokter.” Cintara bisa merasakan jantungnya berdebar begitu kencang. Ia sudah kehilangan kata-kata. “Tapi kamu nggak usah khawatir, ya? Aku lagi nunggu Ibunya Clara datang dan—”“Aku ke sana sekarang juga, Te.”“Tapi, Ta. Kamu—”“Kamu pernah bilang kan kalau kita akan melaluinya sama-sama? Aku yakin kalau kita bisa menyelesaikan masalah ini sege
“Aku benar-benar nggak nyangka kalau Clara bakalan sejahat itu sama kamu, Te.” Cintara menarik napas pendek. “Kamu yakin bisa mengatasinya? Udah seminggu ini Clara menolak ajakanku untuk ketemu.”“Hei…” Dante menarik Cintara ke dalam pelukannya. Meskipun kepalanya terasa nyeri luar biasa, namun ia tidak ingin menunjukkannya di depan Cintara. “Aku pasti akan menemukan jalan keluar, Ta. Ini cuma perkara waktu aja.”“Terus rencana kamu apa sekarang?” tanya Cintara penasaran.“Aku mau ke rumahnya Clara, Ta. Aku nggak mau terlalu lama menunda-nunda masalah ini.”“Mau ditemenin?”Dante menggeleng. “Aku pergi sendiri aja, ya?” ujarnya. “Aku nggak mau Clara merasa terintimidasi, Ta. Aku yakin banget kalau sekarang dia lagi kebingungan.”Cintara menarik napas pendek. “Menurut kamu siapa yang berani melakukannya dengan Clara? Maksudnya… gila aja gitu. Clara pacaran sama cowok yang abusive sampai dia hamil. Dan sekarang dia justru menuduh kamu yang memperkosa dia.” Ia semakin mempererat dekapann
Suara deringan ponsel Dante sejenak mengalihkan perhatian mereka. Dante menundukkan wajah dan mendapati nama Cintara muncul di layar.“Saya mau angkat panggilan dari istri saya dulu, Pak, Bu.” Dante bangkit dari duduknya lalu melekatkan benda pipih itu ke telinga. “Halo, Ta?”“Te… gimana Clara? Kamu udah ketemu sama dia?”“Ta… aku lagi ada masalah di sini. Kayaknya aku nggak bisa langsung pulang, deh.”“Masalah apa?”Dante menghela napas pendek, tatapannya tertuju pada ruang tamu Clara yang dikerumuni orang-orang. “Clara menuduh aku memperkosa dia, dan sekarang aku lagi disidang sama warga sekitar sini.”“Memperkosa?” ujar Cintara dengan suara meninggi. “Siapa yang menuduh kamu begitu, Te? Siapa?”“Kamu percaya kan kalau aku nggak melakukan semua itu?”“Mana mungkin aku percaya, Te. Aku yakin 100% kamu nggak akan melakukan hal sekotor itu tahu, nggak! Sekarang kirimkan alamatnya Clara, aku mau nyusul kamu ke sana, Te.”“Kamu udah janji nggak akan ke mana-mana, Ta. Jadi kamu—”“Dan ng
“Lagi mikirin apa?” Suara vokal Cintara sejenak mengalihkan perhatian Dante yang sejak tadi melamun di balkon. Pria itu sudah terlihat rapi dan hendak berangkat ke kantor pagi itu. Cintara mengayunkan langkahnya mendekat lalu merapikan dasi Dante yang terlihat miring. “Kamu masih kepikiran soal Niko, ya?”“Untuk sementara waktu jangan ke mana-mana dulu, ya?” ujar Dante sembari menyelipkan anak rambut Cintara ke belakang telinga. “Kita nggak tahu apakah Niko benar-benar kabur atau dia punya niat buat balas dendam sama kita, Ta. Aku nggak mau kamu kenapa-napa.”“Iya, Te. Tapi kamu juga hati-hati, ya. Aku nggak akan ke mana-mana, kok.” Cintara menghela napas pendek. “Tapi yang jadi masalah, kalau Mama tanya soal ini, aku mesti jawab apa?”“Jawab apa adanya aja, Ta. Setidaknya Mama juga bisa bantu aku buat jagain kamu nanti.”“Tapi kamu yakin kalau yang nabrak aku waktu itu emang disengaja?” tanya Cintara.Dante mengangguk. “Kalau nggak disengaja, orang yang menabrak kamu pasti nggak akan