“Kamu beneran mau langsung ngantor pagi ini?”Pertanyaan itu meluncur bebas dari bibir Cintara saat Dante baru saja keluar dari kamar mandi. Pria itu bangun pagi-pagi sekali padahal baru semalam mereka tiba di Jakarta. Dante mengayunkan langkahnya mendekati Cintara lalu mengecup kening istrinya dengan lembut, “Kenapa emangnya? Kamu nggak bisa jauh-jauh dari aku, ya?”“Te, aku serius. Kok geli ya bisa mesra-mesraan gini sama kamu?” sungut perempuan itu.“Astaga, Ta.” Dante tertawa. “Kok telat banget sih ngomong begini? Kita lho, udah tidur bareng, bercinta sampai pagi. Aku bahkan sudah hafal letak dan tahu berapa jumlah tahi lalat yang ada di badan kamu.”Cintara sontak membelalak. “Dante! Dasar mesum!”Dante terkekeh lalu mengecup bibir Cintara dengan lembut. “Aku sayang sama kamu.”“Iya, aku tahu.” Bibir Cintara manyun. “Kamu nggak capek apa? Baru semalam lho kita landing. Terus kita—” Perempuan itu menipiskan bibirnya, tidak melanjutkan kalimatnya karena yang terjadi mereka bahkan
Dante baru saja masuk ke ruangannya setelah meeting panjang dengan klien barunya. Bersamaan dengan suara seseorang yang membuka pintu ruangannya tanpa mengetuk pintu dulu membuat pria itu menoleh cepat.“Sumpah ya, bokap gue ngrepotin banget tahu, nggak!” keluh Kevin.Pria itu mengayunkan langkahnya mendekati sofa lalu melemparkan punggungnya di sana dengan tanpa rasa bersalah.“Gue ngasih pintu di ruangan ini kalau-kalau ada tamu biar mereka bisa ngetik pintu dulu,” sindir Dante.“Sialan! Lagian kan nggak ada siapa-siapa di sini. Emang biasanya gimana?”“Kebiasaan banget, Nyet.” Dante menghela napas pendek lalu melangkah menghampiri Kevin yang sudah duduk di sofa. “Kenapa sih udah ngomel-ngomel?”“Bokap gue nyuruh gue ke sini. Katanya bokap mau renovasi kantornya, dan minta gue bilang sama lo.”Dante menaikkan satu alisnya ke atas. “Kan bisa telepon kalau cuma pengen minta tolong sama gue.”“Bokap gue?” ujar Kevin. “Ya memang! Harusnya bokap gue telepon lo langsung aja. Kenapa mesti
“Ta, udah selesai siap-siapnya? Kamu nggak nungguin Dante pulang?”Cintara baru saja keluar dari kamar kamarnya dengan mengenakan pakaian yang rapi. Akhir-akhir ini Cintara sering sekali berpakaian lebih feminin. Kemarin sebelum kembali ke Jakarta mereka sempat membeli oleh-oleh dan salah satunya adalah dress kuning yang dikenakan Cintara sekarang.“Udah, Ma. Dante nyusul belakangan katanya, kerjaan dia masih banyak. Makanya aku mau langsung ke rumah Mama Kinnas sekarang.”“Nanti salam buat keluarganya Dante ya, Ta. Sampaikan ke Mama Kinnas kalau Mama nggak bisa ke sana soalnya ada banyak pesanan.”“Iya, Ma. Lagian cuma makan malam biasa aja, kok. Sekalian mau nganterin oleh-oleh buat Mama Kinnas sama Papa J.”“Ya udah sana buruan berangkat. Nggak enak kalau kamu datang belakangan tapi nggak bantu nyiapin makan malam, Ta.”“Iya, iya, Ma. Ya udah, ya. Aku ke rumah Mama Kinnas dulu.”Setelah berpamitan, Cintara mengayunkan langkahnya meninggalkan kediamannya lalu melangkah menyusuri ja
“Eh, anak ganteng!” Tante Sheila yang baru saja tiba lantas berhambur memeluk Dante. “Apa kabar kamu, Te?”“Alhamdulillah baik, Tante.” Dante membalas pelukan Sheila. “Tante Sheila apa kabar?”“Baik, dong. Duh, udah lama banget kita nggak ketemu, ya?” Pandangan Sheila lantas tertoleh ke arah Cintara. “Ini menantu kamu, Mbak?”“Iya, Shei.” Kali ini Kinnas yang bersuara. “Ta, kenalin, ini Tante Sheila, Mamanya Kinara. Waktu kalian nikah, Tante Sheila kebetulan nggak bisa datang juga. Jadi, ini pertama kalinya kamu bertemu dengannya.”“Halo, Tante. Saya Cintara.” Cintara menjulurkan tangannya ke arah Sheila.“Sheila. Emang nggak salah ya, Mbak, kamu cari menantu, tuh. Udah cantik, sopan pula.”Kinnas terkekeh. “Udah diincar dari dulu sama Mas Dante, Shei.”“Oh ya…? Saingan sama Kinara, dong? Emang paling bisa anaknya Mbak Kinnas bikin patah hati orang, tuh.”Cintara sempat terdiam selama beberapa saat. Pertanyaan itu sempat membuat Cintara penasaran dengan kelanjutannya. Namun ternyata m
“Good morning.” Dante bisa merasakan kecupan singkat menyentuh wajahnya. Pria itu mengerjap lalu menemukan sepasang wajah cantik Cintara. “Good morning. Kok udah bangun, sih?”“Emang mestinya gimana?” tanya Cintara. “Ini udah jam setengah enam, Te. Ayo, bangun! Katanya hari ini kamu bakalan sibuk, kan?”“Lima menit lagi, ya?” Dante meraih tangan Cintara lalu mengecup punggung tangan itu dengan lembut. “Nggak asyik banget mandi duluan padahal kan kita belum jadi nyoba di kamar mandi semalam.”“Dasar suami mesum! Emang yang semalam kurang?” tanya. “Mandi, ya?”Dante menggeleng. “Mandi sama kamu.”“Aku udah mandi, Sayang. Udah ah, nggak usah manja gini. Aku mau turun bantuin Mama nyiapin sarapan tahu, nggak. Baju kerja kamu udah aku siapin di sana. Ayo, bangun…”“Iya, iya, Ta.” Dante menyibak selimutnya lalu mengubah posisinya menjadi duduk. Dan detik berikutnya pria itu mengecup leher jenjang Cintara dengan lembut. “Ya Allah, wangi banget istriku sepagi ini. Jangan sampai imanku goyah,
“Kenapa? Lo kelihatan berantakan banget, Bangsat. Habis berantem sama Cintara apa gimana?”Dante menghela napas pendek. Kedua tangannya terselip di saku celana, memperhatikan bagaimana pekerja lapangan mulai merombak rumah miliknya.“Lo masih ingat sama Kinara, nggak?” tanya Dante tanpa memalingkan wajahnya.“Kinara sepupu lo itu? Bukannya dia di Jerman, ya?”“Udah balik dan sekarang dia kerja di kantor gue.”Kevin mengernyit. “Terus? Apa yang bikin lo gelisah gini? Cintara mergokin lo lagi main sama Kinara?”“Damn you!” maki Dante tak terima. “Gue nggak segila itu, Vin. Tapi sekarang dia datang kembali dan gue justru ngerasa nggak tenang.”“Maksud lo?”Dante mendesah panjang lalu menoleh ke arah Kevin yang tampak menunggu penjelasannya. “Gue sama Kinara dulu pernah dijodohkan sama nyokap, Vin. Cuma ya… nggak terealisasi gara-gara Kinara pindah ke Jerman. Dan, tololnya dulu, gue sama Kinara di masa lalu pernah melakukan kesalahan. Tapi sumpah, Vin.” Dante mengangkat tangannya. “Waktu
Dengan langkah tergesa Cintara meninggalkan lobby Facade Architect. Namun sepertinya Dante masih belum menyerah. Pria itu masih mencoba menghentikan langkahnya hingga keduanya berhenti tepat di depan pintu utama.Cintara hampir menjangkau pintu taksi saat Dante lagi-lagi menahan kepergiannya. Membuat perempuan itu tak urung membuka pintu taksi tersebut. “Please, Ta, dengerin aku. Apa yang kamu lihat tadi tuh nggak kayak yang kamu pikirkan. Please, kasih aku—”Cintara menggeleng cepat disela isakan tangisnya. “Apa yang aku lihat tadi udah cukup menjelaskan jadi simpan saja tenaga kamu! Sekarang bisa lepaskan tanganku?!” Mereka bahkan sudah tidak peduli jika semua orang yang melintas di sana menoleh ke arah mereka.“Apa menurut kamu, aku akan sejahat itu sama kamu, Ta?” Dante terlihat begitu putus asa. “Kinara cuma masa laluku, Ta.” “Apa gara-gara dia dari kemarin sikap kamu gusar gini?” Air mata Cintara semakin mengalir deras di pipinya. “Kamu memang jahat. Dan bodohnya aku baru tahu
DANTE mengerjapkan matanya. Matanya menoleh pada jam yang ada di atas nakas lalu ia mengubah posisinya menjadi duduk. Satu tangannya memegang kepalanya yang terasa pening, satu tangan lainnya memegang ponsel yang melekat di telinga.“Lo sakit, Te?” tanya Kanaya di seberang sana.Kanaya memang bukanlah sahabat yang bisa dipercaya. Namun Dante yakin jika perempuan itu berada di pihaknya. Kanaya sempat memberitahu keberadaan Cintara, tahu jika Dante pasti akan khawatir untuk mencari keberadaan istrinya, maka Kanaya menghubunginya beberapa waktu lalu.“Nggak, Nay. Gue nggak apa-apa, kok.” Dante menghela napas pendek. Menekan kuat pelipisnya lantaran sakit yang mendera di kepala. “Dia beneran udah baik-baik saja kan, Nay? Masih nggak mau makan dianya, ya?”Tiga hari telah berlalu semenjak pertengkaran mereka saat itu. Bayang-bayang bagaimana Cintara menangis dan mengajaknya untuk bercerai masih berkelebat di benaknya.“Nggak apa-apa gimana? Suara lo serak gitu tahu, nggak!” sembur Kanaya d
Suara ketukan dari luar sejenak mengalihkan perhatian Dante yang sejak tadi sibuk menatap layar monitornya. Pria itu menghela napas pendek lalu menoleh ke arah pintu. Seorang perempuan melangkah menghampirinya.“Clara?”Perempuan itu mengulas senyum tipis. “Pak Dante ada waktu sebentar?” tanya Clara saat itu.Pria itu mengangguk. “Ada apa?”Perempuan itu melangkah mendekat lalu mengangsurkan sebuah amplop putih ke arah Dante. Pria itu mengernyit, bertanya-tanya.“Apa ini?” tanya Dante lagi.“Setelah saya pikirkan matang-matang, saya memutuskan untuk resign, Pak.”“Kamu yakin?” tanya Dante lagi. “Kamu baik-baik saja?”Clara tak langsung menjawab. Ia menggigit bibirnya bagian dalam, memberanikan diri untuk menatap wajah Dante yang kini menatapnya dengan lekat.“Saya ingin menemani ibu saya di Jogja, Pak. Sekaligus… saya ingin menenangkan diri dulu. Kejadian beberapa bulan yang lalu cukup membekas di hati saya.”“Kamu tahu kan, kalau saya dan Cintara sudah melupakannya? Kamu sudah bertah
“Happy birthday, Dia Cintara Naladhipa,”Cintara terdiam selama beberapa saat lalu seketika membelalak lebar. “Hah? Emang aku ulang tahun hari ini?” Cintara menundukkan wajah, melihat kalender pada ponselnya. “Ya ampun, Te…”Mata Cintara seketika berbinar-binar. Menatap buket bunga yang masih ada di tangan Dante. Rupanya pria itu sengaja membeli bunga itu untuk Cintara.“Kamu nggak mau ambil bunganya?” tanya Dante membuyarkan keterdiaman Cintara. “Tangan aku pegal lho, Ta.”Air mata Cintara tiba-tiba jatuh membasahi wajah cantiknya. Ia meraih buket bunga warna kuning, “aku lupa…”“It’s your birthday, Ta. Kenapa nangis, sih?”Perempuan itu mengerjap bersamaan dengan air matanya yang jatuh membasahi wajah cantiknya. “Aku lupa, tapi kamu malah inget sama ulang tahunku.”“Kunci rumah kamu taruh di meja aja, satu jam setelahnya kamu lupa, Ta.” Tangan Dante terulur ke depan, mengusap pipi Cintara yang lembut. “Semoga panjang umur …” Tangis Cintara semakin menggugu. “Terima kasih karena kamu
“Udah beneran nggak apa-apa, kan?” tanya Dante.Pria itu baru saja kembali dari mengurus segala urusan administrasi Cintara selama istrinya dirawat di rumah sakit.“Emang kalau nggak beneran kenapa?”Dante mengulas senyum tipis. Ia duduk di tepi ranjang tidur. Tangannya terulur ke depan, menyelipkan anak rambut Cintara ke belakang telinga. “Kalau belum benar-benar sembuh, nggak masalah kalau aku mesti ambil cuti lagi buat jagain kamu di sini.”Cintara mendecak dengan matanya yang melotot. “Nggak usah aneh-aneh deh, Te. Aku udah baik-baik saja sekarang. Dua hari makan makanan rumah sakit tuh nggak enak. Aku pengen makan soto, aku pengen makan sate, terus aku pengen makan bebek goreng habis ini!”“Emang perutnya muat?” tanya Dante dengan lembut.“Ya kan nanti ada kamu yang bakalan bantu ngabisin.” Cintara tertawa. “Ya kan, De?” ujarnya sembari mengusap perutnya yang sedikit membola.“Sebelum pulang, kita mampir ke ruang rawatnya Clara dulu ya, Ta? Bu Yenny tadi sempat telepon, dan penge
“Mas? Gimana keadaan Cintara sekarang?”Dante yang sejak tadi duduk di bangku yang ada di koridor itu lantas menoleh. Ia bangkit dari duduknya lalu melangkah menghampiri Arjuna.“Cintara lagi diperiksa sama Inggit, Pa. Aku minta Inggit buat memastikan keadaannya dulu. Kejadian hari ini pasti bikin terguncang.”Arjuna menghela napas pendek. “Semua udah selesai, Mas. Kamu nggak perlu mikirin lagi.”“Gimana keadaan Niko, Pa?”“Dia dirawat di sini. Ada polisi yang akan mengawasi dia selama 24 jam. Tembakan Papa cuma mengenai pundaknya dan dia akan baik-baik saja sampai dijatuhi hukuman.”“Dia harus membayar mahal atas perbuatannya, Pa.”Arjuna mengangguk, membenarkan ucapan Dante. “Papa akan pastikan itu. Jangan dipikirin ya, Mas. Cintara masih butuh kamu untuk tetap di sampingnya. Dia pasti terguncang banget sekarang.”“Makasih, Pa. Kalau nggak ada Papa, aku nggak tahu gimana jadinya kalau sampai Cintara kenapa-napa.”Arjuna menepuk bahu Dante dengan lembut. “Sekarang kamu temenin Cintar
“Saya sekarang ada di rumah sakit, Bu. Clara sempat mengeluh sakit dan makanya saya langsung bawa dia ke rumah sakit.”Setelah memberikan kabar kepada Yenny, Dante melangkah menghampiri Clara yang saat ini tengah terbaring di atas ranjang IGD.Wajahnya terlihat pucat dan hal itu mengingatkan Dante pada keadaan Cintara saat itu. “Pak, maaf…”“Kita bisa bicara nanti, Ra. Yang terpenting sekarang adalah kamu harus diperiksa dulu.”Masih dengan terisak, Clara menggeleng cepat. Entah ia tengah menyesal karena sudah membuat Dante terlibat dengan masalahnya atau karena ia tidak mampu menahan rasa sakit.“Niko, Pak. Saya diancam sama Niko.”Seketika Dante terdiam. Ada banyak pertanyaan yang kini berjejalan di kepalanya. Namun saat Inggit sudah menghampirinya, Dante langsung mengurungkan niatnya untuk sekadar bertanya.“Dia sekretaris gue, Nggit. Tolong dia.” Inggit mengangguk. “Lo yang tenang, Te. Gue bakalan berusaha semaksimal mungkin. Tapi, Te… melihat kondisinya saat ini, gue akan berusa
Cintara sedang duduk di ruang tamu rumahnya dengan perasaan gelisah lantaran Dante sama sekali tidak memberikan kabar apapun.Perempuan itu akhirnya menyerah. Ia meraih ponsel yang ada di atas meja saat bersamaan dengan ponselnya berdering. Cintara bangkit dan melihat nama Dante muncul di layar. Cepat-cepat perempuan itu mengangkat panggilan itu.“Halo, Te? Gimana hasilnya? Kamu berhasil membujuk Clara?” tanya Cintara dengan tak sabaran.“Aku lagi di rumah sakit, Ta. Maaf ya kalau aku belum sempat ngabarin kamu. Kondisi Clara memburuk, Ta.”“Memburuk? Maksud kamu apa? Clara sakit?”“Kondisi kandungannya melemah. Sekarang dia lagi ditangani sama dokter.” Cintara bisa merasakan jantungnya berdebar begitu kencang. Ia sudah kehilangan kata-kata. “Tapi kamu nggak usah khawatir, ya? Aku lagi nunggu Ibunya Clara datang dan—”“Aku ke sana sekarang juga, Te.”“Tapi, Ta. Kamu—”“Kamu pernah bilang kan kalau kita akan melaluinya sama-sama? Aku yakin kalau kita bisa menyelesaikan masalah ini sege
“Aku benar-benar nggak nyangka kalau Clara bakalan sejahat itu sama kamu, Te.” Cintara menarik napas pendek. “Kamu yakin bisa mengatasinya? Udah seminggu ini Clara menolak ajakanku untuk ketemu.”“Hei…” Dante menarik Cintara ke dalam pelukannya. Meskipun kepalanya terasa nyeri luar biasa, namun ia tidak ingin menunjukkannya di depan Cintara. “Aku pasti akan menemukan jalan keluar, Ta. Ini cuma perkara waktu aja.”“Terus rencana kamu apa sekarang?” tanya Cintara penasaran.“Aku mau ke rumahnya Clara, Ta. Aku nggak mau terlalu lama menunda-nunda masalah ini.”“Mau ditemenin?”Dante menggeleng. “Aku pergi sendiri aja, ya?” ujarnya. “Aku nggak mau Clara merasa terintimidasi, Ta. Aku yakin banget kalau sekarang dia lagi kebingungan.”Cintara menarik napas pendek. “Menurut kamu siapa yang berani melakukannya dengan Clara? Maksudnya… gila aja gitu. Clara pacaran sama cowok yang abusive sampai dia hamil. Dan sekarang dia justru menuduh kamu yang memperkosa dia.” Ia semakin mempererat dekapann
Suara deringan ponsel Dante sejenak mengalihkan perhatian mereka. Dante menundukkan wajah dan mendapati nama Cintara muncul di layar.“Saya mau angkat panggilan dari istri saya dulu, Pak, Bu.” Dante bangkit dari duduknya lalu melekatkan benda pipih itu ke telinga. “Halo, Ta?”“Te… gimana Clara? Kamu udah ketemu sama dia?”“Ta… aku lagi ada masalah di sini. Kayaknya aku nggak bisa langsung pulang, deh.”“Masalah apa?”Dante menghela napas pendek, tatapannya tertuju pada ruang tamu Clara yang dikerumuni orang-orang. “Clara menuduh aku memperkosa dia, dan sekarang aku lagi disidang sama warga sekitar sini.”“Memperkosa?” ujar Cintara dengan suara meninggi. “Siapa yang menuduh kamu begitu, Te? Siapa?”“Kamu percaya kan kalau aku nggak melakukan semua itu?”“Mana mungkin aku percaya, Te. Aku yakin 100% kamu nggak akan melakukan hal sekotor itu tahu, nggak! Sekarang kirimkan alamatnya Clara, aku mau nyusul kamu ke sana, Te.”“Kamu udah janji nggak akan ke mana-mana, Ta. Jadi kamu—”“Dan ng
“Lagi mikirin apa?” Suara vokal Cintara sejenak mengalihkan perhatian Dante yang sejak tadi melamun di balkon. Pria itu sudah terlihat rapi dan hendak berangkat ke kantor pagi itu. Cintara mengayunkan langkahnya mendekat lalu merapikan dasi Dante yang terlihat miring. “Kamu masih kepikiran soal Niko, ya?”“Untuk sementara waktu jangan ke mana-mana dulu, ya?” ujar Dante sembari menyelipkan anak rambut Cintara ke belakang telinga. “Kita nggak tahu apakah Niko benar-benar kabur atau dia punya niat buat balas dendam sama kita, Ta. Aku nggak mau kamu kenapa-napa.”“Iya, Te. Tapi kamu juga hati-hati, ya. Aku nggak akan ke mana-mana, kok.” Cintara menghela napas pendek. “Tapi yang jadi masalah, kalau Mama tanya soal ini, aku mesti jawab apa?”“Jawab apa adanya aja, Ta. Setidaknya Mama juga bisa bantu aku buat jagain kamu nanti.”“Tapi kamu yakin kalau yang nabrak aku waktu itu emang disengaja?” tanya Cintara.Dante mengangguk. “Kalau nggak disengaja, orang yang menabrak kamu pasti nggak akan