Barra masuk ke kamar mes-nya dengan lesu. Setelah berpisah dengan Riana dalam kondisi masih ‘marahan’ di pusat kebugaran, Barra memang memutuskan kembali ke mes. Tentunya sebelumnya ia mampir sebentar untuk membeli banyak makanan dan camilan agar Gisca tidak perlu pergi jika ingin makan sesuatu.Tiba di kamar, Barra mendapati Gisca sedang menempelkan ponsel ke telinga. Setelah meletakkan dua kantong belanja sekaligus mengisi daya ponselnya, Barra lalu menghampiri Gisca.“Itu stok makanan buat kamu,” kata Barra setelah Gisca melepaskan ponsel dari telinganya.“Wah, makasih banyak.” Gisca tampak antusias.“Ngomong-ngomong kamu habis nelepon siapa? Kelihatannya serius banget.”“Sela.”Barra yang baru saja duduk di sofa langsung terkesiap. “Sela kamu bilang?”Gisca mengangguk. “Tapi nggak tersambung.”“Ngapain kamu nelepon dia? Kamu bodoh atau apa?”“Aku tahu, Saga tahu alamat indekosku pasti dari Sela. Tapi aku nggak tahu apa yang terjadi di antara mereka. Bukankah Sela harus menjelaskan
"Ngomong-ngomong tadi Mas Barra ke mana?"Gisca sengaja mengalihkan pembahasan. Ia ingin mengutuk dirinya sendiri yang berbicara blak-blakan seperti tadi. Tak yakin bisa melewati semua ini jika bukan Barra yang berada di sampingnya? Bukankah itu sangat berlebihan?"Sebetulnya saya ada janji sama pacar saya pagi ini. Olahraga bareng. Tapi bisa-bisanya saya lupa. Parahnya lagi ponsel saya pakai acara lowbatt segala."Gisca mulai mengerti. "Pantesan perginya buru-buru banget. Terus pacar Mas Barra marah?""Ya begitulah." Barra jadi ingat lagi betapa marahnya Riana tadi."Tapi yang penting udah baikan, kan, sekarang?""Entahlah," jawab Barra lesu."Pasti belum," tebak Gisca. "Lagian bisa-bisanya lupa padahal udah janjian, ditambah ponselnya mati. Dobel banget kesalahannya. Wajarlah pacarnya marah.""Kamu sadar saya lupa gara-gara siapa?""Emangnya gara-gara siapa?" Gisca bertanya balik."Ini gara-gara kamu yang minta dibikinin sarapan pagi-pagi.""Bisa-bisanya kesalahan sendiri tapi malah
Seumur hidup Gisca, waktunya lebih banyak dihabiskan untuk bekerja. Bahkan, saat ia masih sekolah dulu, apa pun dilakukannya demi bisa menghasilkan uang. Entah itu bekerja paruh waktu di Toserba, rumah makan dan lain-lain.Gisca adalah putri tunggal. Namun, kepergian sang ibu membuat bapaknya memutuskan menikah lagi dengan Rumina. Semenjak saat itu, Gisca bukan lagi putri satu-satunya karena ada Reza dan Salsa yang otomatis menjadi saudara dengannya.Seperti saudara tiri di dongeng-dongeng, mereka semua jahat. Gisca bukan hanya turut membantu ayahnya mencari uang, tapi juga harus rela mengalah tidak melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Terpaksa memahami bahwa Salsa lebih berhak.Teganya lagi, Gisca sempat disuruh menikah dengan pria tua demi harta. Gisca yang menolak, membuktikan dirinya bisa bekerja lebih keras agar kebutuhan rumah tangga terpenuhi.Kerja, kerja, kerja ... seolah menjadi motto hidup Gisca yang tumbuh dalam keluarga dengan ekonomi pas-pasan.Itu sebabnya Gis
"Ini udah dua hari. Enggak biasanya lo begini. Padahal sebelum-sebelumnya nggak sampai dua jam udah laporan. Ada apa? Lo udah bosan bantu gue?" Saga tampak marah saat masuk ke ruangan seorang pria yang seumuran dengannya, pria yang menjadi kepercayaan papa dan dirinya. Pria yang selama ini membantu Saga melancarkan segala aksinya. Sebut saja Yosa."Lo sengaja bikin gue datang ke sini? Kenapa lo nggak jawab telepon gue?" tambah Saga."Maaf Tuan muda, saya....""Cari tahu sendiri," potong Nugraha, papa Saga, yang tiba-tiba muncul di ruangan Yosa. "Kalau kamu ingin melakukan kesenanganmu, berusahalah sendiri. Jangan membuat Yosa bekerja ekstra.""Tapi Pa, selama ini Yosa nggak pernah keberatan. Lagi pula aku hanya meminta bantuan tentang hal-hal yang mudah.""Berurusan dengan hukum karena kamu sering melakukan tindakan kriminal, keluar-masuk penjara berkali-kali, memata-matai orang lain, menggali privasi orang, dan setelah ini apa lagi? Kamu tidak bisa hidup seperti ini terus, Saga!" jaw
Senin adalah hari pertama Gisca resmi masuk ke Starlight. Ia sengaja keluar dari mes pagi-pagi sekali untuk menghindari berpapasan dengan penghuni lain yang kata Barra biasanya sudah kembali saat Minggu sore ataupun Senin pagi.Gisca tidak tahu apakah mereka sudah benar-benar kembali ke mes atau belum karena kemarin ia sama sekali tidak keluar kamar. Sementara Barra juga tidak berkunjung ke mes. Gisca pun tidak punya alasan untuk bertanya ke mana Barra.Lagian Gisca rasa wajar jika Barra menghabiskan hari Minggu bersama pacarnya. Barra pasti berusaha sekuat tenaga agar hubungan mereka kembali berdamai.Gisca terakhir kali melihat Barra adalah hari Sabtu, saat pria itu pamit pergi. Barra yang dengan santainya meninggalkan Gisca setelah ciuman khilaf mereka.Sejujurnya Gisca masih tak habis pikir, bisa-bisanya Barra sesantai itu. Padahal dirinya merasa tak menentu."Lupakan tentang itu, Gisca," batinnya.Lebih baik Gisca fokus pada pekerjaan barunya. Ya, Gisca sebenarnya merasa beruntun
Perlahan Gisca membuka pintunya lalu masuk. Barra masih duduk di kursinya seperti tadi, bedanya pria itu kini tampak sibuk dengan ponselnya. Barra bahkan tidak sedikit pun mendongak atau menatap Gisca."Ini dokumen dari Pak Dono," ucap Gisca berusaha bersikap biasa saja. Ingat, ia dan Barra di kantor sebaiknya terlihat tidak saling mengenal."Oh, simpan aja di meja," jawab Barra yang lagi-lagi seolah tak berminat menatap Gisca."Kalau gitu, permisi." Gisca pamit undur diri.Tidak ada jawaban dari Barra.Akhirnya Gisca bersiap membuka kenop pintu. Baru saja tangannya hendak membukanya, suara Barra sontak mengagetkan Gisca."Apa di ruangan ini ada orang selain kita berdua?" Pertanyaan Barra membuat Gisca kembali menoleh ke arah pria itu."Gisca, apa ada orang lain lagi di sini?" ulang Barra. Dan kali ini Gisca menggeleng."Kalau nggak ada, kenapa kamu bersikap seperti nggak mengenal saya?""A-aku pikir lebih baik begitu, Mas. Rasanya pasti canggung kalau staf lain tahu kita saling menge
"Perjodohan?" Riana agak terkejut mendengar perkataan Fiona beberapa detik yang lalu.Baik, Riana seharusnya tidak heran mengingat perjodohan di kalangan konglomerat seperti mereka bukanlah hal tabu. Namun, tetap saja hal itu cukup membuat Riana terkejut.Fiona adalah CEO Starlight. Teman? Mereka tidak sedekat itu untuk dikatakan berteman. Mereka sekadar kolega bisnis. Hubungan mereka selayaknya CEO sebuah perusahaan dengan brand ambassador.Namun, meski begitu terkadang mereka tidak sungkan untuk makan malam bersama seperti sekarang. Makan malam ini mereka anggap sebagai rasa syukur Fiona lantaran Riana setuju untuk memperpanjang kontrak kerja dengan Starlight.Bahkan, sebagai sesama putri konglomerat, Riana dan Fiona sebenarnya satu level jika mereka memutuskan untuk bersahabat. Terlebih keduanya seumuran dan sepakat untuk memanggil dengan panggilan santai saja agar lebih akrab."Aku nggak salah dengar, kan? Kamu dijodohin?" tambah Riana."Jangan kaget gitu, Ri," balas Fiona sambil
Nafsu memang terkadang membutakan. Dan untuk kedua kalinya Barra mencium Gisca. Entah terbawa suasana dan gairah atau memang Barra sadar menginginkan bahwa berciuman saja tidaklah cukup.Barra yang semula berciuman dengan Gisca posisinya berdiri, tanpa ragu mendorong Gisca ke arah sofa, sehingga Gisca berbaring sedangkan Barra berada di atasnya.Tangan Barra cukup lihai sehingga tak mungkin tinggal diam, bermaksud membuka kancing piama Gisca tanpa melepaskan sentuhan bibir mereka. Namun, Gisca masih waras untuk tidak melakukan sampai sejauh itu.Ya, Gisca langsung meminta Barra menghentikan semua yang pria itu lakukan. Wanita itu tidak mengizinkan semua menjadi lebih jauh dan kacau."Tolong berhenti, Mas," kata Gisca penuh penekanan.Barra yang masih ada sisa-sisa akal sehatnya langsung menghentikan apa yang dilakukannya terhadap Gisca. Ia juga beranjak dari sofa."Maaf, saya hampir lepas kendali," ucap Barra."Sebelum semuanya terulang, aku rasa sebaiknya Mas Barra pergi dari sini. K