Sama seperti hari-hari lainnya, Mayleen sudah siap untuk berangkat bekerja sebelum jam 7 pagi.Mayleen adalah tipe orang yang gampang kesal jika harus berhadapan dengan kemacetan ibukota yang seakan tidak pernah memiliki akhir itu. Karena itu, dia akan selalu berusaha siap lebih awal agar bisa menghindari kemacetan jalanan."Alen berangkat dulu." Pamit Mayleen pada kedua orang tuanya. Meskipun masih menyimpan sedikit kekesalan dalam hatinya terkait dengan perjodohan tidak masuk akal itu, Mayleen tetap menunjukkan rasa hormat yang pantas untuk orang tuanya."Papa pesankan taxi dulu, mobilnya harus dibawa ke bengkel untuk service rutin.""Kelamaan, nanti jalanan keburu macet." Tolak Mayleen. "Mobilnya Alen bawa aja, sekalian taruh bengkel deket kantor.""Kalau buru-buru, biar papa aja yang service nanti.""Nggak papa, Alen aja. Lagian ada bengkel di deket kantor. Nanti pas balik kerja biar bisa langsung diambil.""Yasudah kalau gitu." David menerima usulan putrinya dengan senang hati. "
Bukan raut wajah lega atau bahagia yang tergambar dari wajah Mayleen, melainkan wajah yang kesal.Mayleen jadi menyesal karena menghubungi papanya tentang kondisi mobilnya, alih-alih langsung memanggil montir ke tempatnya.Tok... Tok... Tok...Pria itu kembali mengetuk kaca mobil saat pemiliknya tak menggubrisnya sebelumnya.Mayleen merotasikan bola matanya, serta menghembuskan napasnya secara kasar sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka jendela kaca itu."Apa?" Tanyanya jengah."Keluar." Singkat, padat, dan jelas. Pria itu mengatakannya tanpa mengubah ekspresinya sebelumnya. Masih datar dan tanpa emosi apapun."Nggak bisa." Tolak Mayleen."Keluar dulu.""Nggak mau." Tolak Mayleen sekali lagi. Dia benar-benar malas untuk berargumen dengan pria itu saat ini. Harinya sudah cukup sial dan dia tidak ingin menambah kesialannya di hari ini."Mau ngapain terus di dalam kayak gitu? Lagian montirnya nggak akan bisa datang tepat waktu. Jadi turunlah."Orang itu benar. Montir yang dipanggil p
Belum juga Mayleen memutuskan apa dia akan berangkat bersama Devin atau tidak. Devin kembali memperingatkan Mayleen tentang sisa waktu yang mereka miliki. Dan yah... Itu membuat Mayleen bertambah kesal."Nggak mau gerak sekarang? Tinggal 5 menit lagi loh!" Devin seperti biasanya, mengucapkan fakta dengan seringai yang tak pernah Mayleen senangi. "Kamu tahu sendiri kan, sekarang ada sistem pemotongan insentif buat karyawan yang telat datang?"Hari ini, Mayleen berkali-kali ditampar oleh keadaan.Mayleen menarik napasnya dalam-dalam. Dia menanamkan stigma baru dalam otaknya. Paling tidak, dia berencana untuk menahan kekesalannya pada Devin daripada harus kehilangan insentif bulanannya.Tidak bisa dipungkiri, disini posisi insentif jauh lebih tinggi dari pada harga diri Mayleen yang sok jual mahal.Sebenarnya keluarga Mayleen cukup berada. Mau beli apapun juga Mayleen bisa meminta langsung pada papanya tanpa kerja keras.Tapi Mayleen pikir, membeli sesuatu dengan kerja kerasnya sendiri j
"Padahal awalnya kamu usil banget, pake segala ngusulin Bed Date. Eh.... Sekarang jadi ketus gitu," pernyataan Devin sontak membuat mata Mayleen membulat.Mayleen sudah sangat malu untuk mengingat kecerobohannya waktu itu. Sok-sok an ini jadi wanita jalang agar dibenci oleh lawan kencan butanya, tapi malah berdampak sebaliknya.Apalagi saat Devin menyinggungnya seperti ini, rasa malu yang dia rasakan menjadi berkali-kali lipat!Ingin sekali Mayleen menghilang saja dari bumi ini, saking malunya saat ini.Tapi Mayleen akan bersikap acuh terhadap pernyataan itu. Gengsi lah kalau dia ciut setelah semua yang terjadi."Oh! Itu cuma tes aja." Jawab Mayleen sedikit gugup. Mau sekeras apapun dia berusaha menutupinya, rasa gugup itu tidak bisa menghilang begitu saja."Tes buat apa?""Ya..." Mayleen berusaha keras mencari alasan yang paling masuk akal untuk situasinya, hingga akhirnya dia mengatakan, "tes buat cek aja, cowok yang papa kenalin itu brengsek apa enggak. Main cewek atau enggak.""Te
Setibanya di lantai 4, Mayleen buru-buru melakukan absen. Dia benar-benar melakukannya tepat waktu! Meski cukup mepet, hanya kurang beberapa detik lagi sebelum alat itu tidak bisa menerima scan sidik jarinya.Untuk situasi ini, Mayleen merasa bersyukur telah menerima bantuan dari Devin. Walaupun dia tidak mengharapkannya.“Ayo Kaksa, duduk sebentar.” ajaknya kemudian.Marissa mengikutinya di belakangnya tanpa menjawab apapun.“Duh! Tahu nggak? Sejak Kaksa cuti, kerjaanku jadi makin banyak tahu! Apalagi aku yang mesti setor kerjaan ke ruangan si onoh! Bener-bener kayak di neraka rasanya!”“Hush! Jangan ngomong sembarangan!” peringat Marissa.Mayleen ini memang tipe-tipe orang yang asal ceplos sesuai dengan isi hatinya. Kerap kali dia tidak bisa mengontrol mulutnya sendiri untuk tidak berkata hal yang buruk tentang orang lain, tidak peduli bagaimana situasi dan tempatnya.“Aduh tapi gimana ya, May?” Marissa mendahului jalan Mayleen, ia lantas menarik salah satu kursi kerja di dekatnya d
“Okay, karena kamu juga panggil aku pakai nama, jadi aku bisa bersikap lebih santai kan?”Mayleen memutar bola matanya kesal. Rasanya tak ada sedetikpun dalam hidupnya yang terasa tenang setelah dia bertemu dengan Devin waktu itu.Selalu saja ada hal yang mengesalkan dan membuatnya frustasi.“Bisa nggak sih, nggak harus ganggu aku? Masalah panggilan aja dibikin ribet!” Mayleen mengutarakan apa yang ada di dalam hatinya.Berbeda halnya saat berada di suatu tempat dengan orang lain, Mayleen cenderung mudah untuk mengeluarkan uneg-unegnya pada mereka. Mayleen adalah tipe orang yang ceplas-ceplos saat berbicara dengan orang lain.tapi entah bagaimana, jika orang itu adalah Devin, dia selalu merasa kesulitan untuk melakukan hal itu. Seakan ada sesuatu d
Rampung dengan kegiatannya merapikan meja kerjanya, Mayleen bersiap pulang ke rumahnya. Tentu setelah ia mengantarkan kunci loker itu dan mengambil kembali mobilnya di bengkel.Huft….Mayleen menarik nafasnya panjang. Berharap tidak ada hal yang terjadi padanya saat dia menemui Farel nanti.Perusahaan ini cukup ketat dengan jam kerja karyawannya. Begitu jam kerja usai, semua karyawan bisa langsung pulang ke tempatnya masing-masing. Kalaupun lembur, itu hanya untuk proyek besar yang perlu penanganan khusus.Tidak heran jika di jam kerja seperti ini, cukup banyak ruangan yang sudah ditinggalkan penghuninya.Mayleen menyusuri koridor di lantai 4 untuk mencapai ruang kerja milik Fajar. Jaraknya dari meja kerjanya tidak terlalu jauh. Hanya butuh sekitar 2-3 menit untuk berjalan kaki.Namun langkah kakinya terhenti di depan toilet pria. Dia mendengar sesuatu yang sangat mengejutkannya, tak pernah dia sangka sebelumnya.“Gimana? Katanya sudah nembak Mayleen dari Departemen sebelah kan? Diter
Mayleen tidak sanggup melihatnya lagi. Hubungan mereka semakin intens dan itu membuat mata Mayleen merasa kotor untuk sekadar menontonnya. Dia merasa seperti sedang melihat adegan dewasa yang tidak senonoh.Di saat seperti ini Mayleen bingung harus bereaksi seperti apa. Apakah dia harus marah karena secara tidak langsung Farel sudah berselingkuh darinya. Atau harus merasa lega karena tak perlu memberikan jawaban atas ungkapan perasaan pria itu.Rasanya campur aduk. Kecewa, marah, juga bingung.Walaupun ini tergolong sebagai bentuk perselingkuhan, tapi tetap saja dia tidak bisa berbuat apa-apa.Andai saja selingkuhan Farel adalah seorang wanita, dia pasti sudah nyelonong masuk ke dalam sana tanpa berpikir panjang. Melabrak, niatnya.Tapi situasinya lain.Untuk saat ini, Mayleen hanya bisa menjauh pergi dari tempat kejadian.Dengan pikiran yang kosong, tubuhnya bergerak sendiri ke arah lift untuk turun ke lantai 1. Pokoknya, dia harus menjauh dari area kantor. Itu adalah perintah yang o