Tok ... tok ... tok ...
Ketukan pintu nyaring terdengar memenuhi ruangan bercat putih. Ketika Sarah baru saja menyelesaikan ibadah shalat magrib. Gadis itu tampak kesulitan untuk bangun padahal kakinya masih sakit saat ditekuk. Maka ia bertopang erat pada pinggiran ranjang tempat tidurnya. Namun belum juga ia bangun, pintu kembali terketuk.
“Masuk aja!” seru Sarah tidak tau siapa yang mengetuk pintunya. Jika bukan Bik Arni maka Rafi. Sebab Sarah tidak bisa membuka pintu dengan segera.
Seorang langsung terlihat begitu pintu dibuka dari luar. Sarah masih memakai mukena lengkap. Gadis itu masih kesulitan untuk berdiri
Rafi Anggara Jaya, seorang laki-laki perfeksionis, memiliki ambisi juang serta pemikiran yang dewasa. Semasa remaja dan masih lebih muda, ia tidak banyak dekat dengan wanita, namun pernah beberapa kali berkencan hingga hilang akal. Laki-laki itu tidak pernah mengakui dirinya sosok pria yang baik-baik. Sebab pergaulan modern dengan hingar bingar kota Jakarta, sudah ia cicipi. Namun semua keburukan yang dulu pernah ia lakukan, nampaknya Tuhan masih berbaik hati padanya. Terbukti dengan mendatangkan sosok wanita baik-baik seperti Sarah. Kini dalam keadaan malam yang semakin larut dan angin dingin yang semakin terasa, Rafi menolehkan kepala ke samping. Tepatnya pada Sarah yang menyenderkan kepala sudah terpejam. Wanita cantik itu te
“Sarah ...” Panggilan itu menggema yang kemudian diiring dengan suara langkah kaki menuruni tangga. Si pelaku tersebut adalah Rafi. Pagi-pagi saat jarum pendek jam menunjuk angka enam, laki-laki itu sudah siap dengan pakaian formal khas kantoran, yaitu kemeja, jas serta celana bahannya. Namun karena ia sedang menuruni tangga agak tergesa sembari memanggil Sarah, tentu tandanya masih ada sesuatu yang terlupakan. “Sarah, saya cari dasi hitam bergaris, kok nggak ada ya?” tanya Rafi setelah sampai di dapur, dimana sesorang yang sedang ia cari berada disana bersama dengan Bik Arni yang sibuk memasak untuk menu sarapan pagi.
“Minum dulu, Dil.”Sarah meletakkan segelas air dingin beserta teko dihadapan perempuan yang sedang sibuk melihat-lihat isi rumah. Dilla masih terkesima dengan tempat tinggal sahabatnya itu. Ia berpikir jika suami Sarah memanglah orang kaya.“Bagus banget rumah mu, Sar,” puji Dilla selepas puas menatapi seisi ruang tamu.Sarah menggeleng, ia pun kemudian mengoreksi. “Rumahnya Mas Rafi.”“Ya kan udah jadi rumah mu juga.”Tida
Dunia tampak sempit walau Sarah selalu menganggapnya luas hingga tak terjangkau. Terkadang apa yang diinginkan itu tidak tercapai tetapi yang tidak diinginkan selalu terlaksana. Dan nampaknya takdir Tuhan memang sebuah permainan yang acap kali membuat terkejut. Dalam sesi awal hingga pertengahan permainan tampak membahagiakan dan menyenangkan untuk diikuti, sedangkan dalam sesi selanjutnya membuat malas untuk memainkannya lagi. Sarah tidak tau takdir apa yang kini ia jalani. Tuhan maha tau segala hal dalam kehidupan umat-Nya, namun ketika memandang laki-laki itu kembali dengan status tak lagi lajang membuatnya merasa campur aduk. Lega karena bisa kembali melihat wajah orang itu lagi, tetapi perasaan tak bisa terdeskripsikan mendominasi dalam hatinya. “Apa kabar?” suara berat itu mengalun dalam damai di pendengaran Sarah. Laki-laki berlesung pipi itu hanya sekilas menatap wanita di hadapannya. Sedangkan ia kembali melihat keluar jendela k
“Ini Aldi, teman akrab dan teman sekantor saya, Sarah.” Laki-laki yang duduk di samping Sarah dengan pakaian rumahannya yang santai, memperkenalkan sosok laki-laki jangkung, langsing sekaligus terlihat tampan yang kini tersenyum manis menghadap wanita berhijab yang tak lain adalah istri sahabatnya itu. Sarah sendiri langsung menampilkan senyumnya, membalas senyum manis itu dengan senyum keramah tamahan seperti biasa. Ia pun mengulurkan tangannya untuk menjabat terlebih dahulu. “Sarah,” ucapnya memperkenalkan diri. “Aldi,” balas laki-laki jangkung itu. Kemudian ia menegakkan duduknya kembali setelah jabatan tangan antara dirinya dan Sarah terlepas. “Kirain nggak berjabat tangan, jadi saya nggak mengulurkan tangan lebih dulu,” kata Aldi yang sarat akan perasaan tidak enak. Sebab biasanya wanita-wanita yang berpenampilan seperti Sarah, yaitu berpakaian kebesaran dengan hijab yang tertutup hingga batas dada, tidak menerima jabatan tangan seorang laki-laki
Suara dentingan sendok beradu dengan gelas mengalun memenuhi ruangan dapur yang rapih dan bersih. Sedangkan itu Rafi terduduk di salah satu bangku meja makan, memperhatikan punggung wanita yang sedang membuat dua gelas teh di meja pantri. Setengah punggung itu tertutupi helaian rambut yang dibiarkan tergerai. Terlihat lurus dan licin jika disentuh. Namun walau tampak tertutupi oleh surai indahnya, punggung itu masih kelihatan ringkih nan lemah, membuat Rafi ingin mendekap erat dan membisikkan bahwa ia bisa menjadi penopang segala kesedihan yang dialami wanitanya. Tetapi apalah daya, nampaknya tembok yang dibangun Sarah lebih kokoh dibanding upayanya untuk membangun keterbukaan diantara mereka. “Ini, Mas.” Sarah menaruh satu gelas teh yang masih mengeluarkan asapnya di hadapan Rafi. Lalu mengambil tempat duduk di samping suaminya dengan satu gelas teh yang masih berasap juga. Mereka pun duduk berdampingan, sama-sama memakan kue hasil buatan Sarah yang
Mengapa? Mengapa sakit sekali mendengar kejujuran Sarah. Rafi tak menyangka akan mencintai seorang wanita sedalam ia mencintai Sarah. Secara logika itu mungkin mustahil. Sebab mereka dipertemukan masih dengan waktu yang singkat, baru akan genap satu bulan. Namun rasa sayang dan peduli laki-laki itu pada istrinya begitu besar. Dari hal sepele, meminta Sarah untuk nyaman, mengobrol agar bisa saling kenal satu sama lain, membantu wanita itu untuk menjadi diri sendiri, ternyata semua itu Rafi lakukan dengan rasa peduli dan sayang yang amat sangat. Semakin hari kuncup cintanya semakin mekar dan terhempas akibat rasa sakit. Ia tak begitu paham bagaimana cara menerima kekecewaan dengan waktu yang singkat. Laki-laki itu selalu butuh waktu yang lumayan lama untuk menerima semua kejadian serta kejujuran Sarah. Untuk mencerna, memahami dan menerima, ia membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Maka beberapa hari terakhir, suasana rumah tidak lagi sama. Bik Arni yang tidak
Sedangkan itu, di rumah elit yang terletak di Pondok Indah Jakarta Selatan, hujan rintik-rintik mulai turun. Tetesan demi tetesan meluncur menuju tanah. Yang kemudian perlahan-lahan menjadi semakin deras. Semerbak hawa dingin mulai masuk dari jendela yang terbuka. Namun tidak membuat serta merta Sarah pergi dari sana. Wanita itu tetap bertumpu di jendela ruang baca. Menatap sendu bagaimana air hujan turun semakin deras. Otaknya kian membeku, berpusat pada fakta bahwa Rafi belum juga pulang. Sedangkan malam ini sudah pukul tujuh, membuat Sarah semakin dilanda khawatir dan cemas. Ia pikir, malam hari ini tidak akan turun hujan. Namun kebetulannya yang semakin membuat Sarah cemas yaitu Rafi mengendarai motor bukan mobil seperti biasanya. Pikirannya makin kacau, apakah laki-laki itu membawa jas hujan atau tidak. Tetapi kalaupun membawa, hujan juga sangat lebat dengan kilatan-kilatan yang mengerikan. Pasti akan susah mengendarai motor di malam hari saat hu
"Rafi belum bangun?" suara Mama Vanya menegur begitu Sarah mendekat untuk membantu kegiatan di dapur. Jam di dinding masih menunjuk pukul lima pagi, sedangkan Mama sedang sibuk membuat sarapan serta Bik Inah sedang mencuci piring kotor yang menumpuk banyak akibat acara syukuran tadi malam."Masih sholat Mah, tadi dibangunin susah.""Nggak biasanya dia bangun susah, apa di rumah memang seperti itu Sar?"Sarah semakin mendekat mengambil alih penggorengan. "Di rumah Mas Rafi selalu bangun pagi, mungkin karena kangen suasana rumah lama jadi kebawa susah bangun."Mama Vanya mengangguk sembari memotong-motong sayuran di talenan kayu. Namun ia seketika tersenyum ketika sadar sesuatu. "Oh ya, Rafi sholat, Sar?" tanyanya yang membuat Sarah keheranan sendiri."Iya," jawab perempuan berhijab itu."Ya ampun, kamu memang perempuan baik Sarah, Mamah jadi merasa berhutang budi."Sarah semakin tidak mengerti. Ia mengernyitkan dahinya mencoba mencerna
"Naraya agak pendiam ya, Mas? maksudnya waktu kumpul dia banyak diam, tapi pas aku sama dia, malah kelihat cerewet." Sarah sudah melepaskan hijabnya, dia juga sudah berganti dengan celana training panjang serta kaos panjang. Sebelumnya keluarga yang lain sudah pamit pulang ke rumah masing-masing. Acara syukuran wisuda Bella sudah selesai dengan meninggalkan kesan kehangatan di malam yang semakin larut. "Dia memang seperti itu," balas Rafi yang berbaring menatap langit-langit kamar tepat di samping Sarah. Tidak ada pembatas diantara mereka. Setelah melawan kegugupan dengan dibantu kalimat menenangkan Rafi, akhirnya Sarah mampu berbagi satu ranjang dengan suaminya. Jika dipikir hal tersebut harusnya menjadi wajar. Namun berhubung baik Rafi maupun Sarah selama hidup bersama belum pernah tidur di kamar yang sama membuat mereka agak canggung. "Sarah," panggil Rafi menolehkan kepala ke samping. Panggilan nama dengan suara maskulin yang agak rendah itu mulai
Rafi dan Sarah akhirnya tiba di kediaman orang tua Rafi saat adzan isya berkumandang. Gadis itu keluar dari mobil dan kemudian diikuti dengan Rafi. Mereka dengan kompak masuk ke dalam rumah yang belum terlalu ramai, sebab acara syukuran akan dilaksanakan sehabis isya. Lagipula syukuran wisuda Bella hanya akan dihadiri oleh kerabat dekat. Kata Rafi, keluarganya itu memang sering berkumpul bersama di acara-acara tertentu. "Jangan gugup, Sarah, mereka baik-baik," ucap laki-laki yang kini sudah berpakaian rapih dan bersih. Setelah sampai, mereka langsung izin ke kamar karena Rafi sendiri ingin membersihkan diri sehabis bekerja. Sarah melirik suami didepannya. Genggaman tangan di pangkuan perempuan itu memanglah menandakan bahwa ia sangat gugup. Terlebih memang dasarnya Sarah tipe orang yang tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan atau orang baru. Sehingga ia merasa gugup untuk keluar kamar dan menyambut keluarga lain yang sepertinya mulai berdatangan. "Kamu gug
Jakarta dan kemacetan adalah sesuatu yang tidak bisa terlepas begitu saja. Ada Jakarta ada macet, itu adalah hal wajar dan sudah lumrah. Sarah yang duduk di kursi penumpang hanya menatap kendaraan-kendaraan di depan yang sedang mengantri. Sedangkan banyak motor melaju lebih leluasa dan bisa mencari celah untuk terus berlanjut. Namun kendaraan mobil yang ia tumpangi hanya bisa diam dan menunggu mobil di depan bergerak. Sesekali perempuan berpenampilan muslimah itu menatap ke sekeliling gedung yang nampak dari jalanan. Gedung-gedung pencakar langit yang tidak ia temui di kota kelahirannya. Sebab lebih modern dan lebih banyak. Walau Sarah sudah tinggal hampir tiga bulanan di Jakarta. Ia masih kagum dan tetap ingin menjelajah pada setiap sudut ibu kota. Karena Rafi belum bisa menepati janji sebelumnya bahwa akan mengajak Sarah jalan-jalan berkeliling kota. Kesibukannya bekerja dan sekaligus sedang menggarap sebuah usaha baru, membuat laki-laki itu mengurungkan niat untuk
Pagi kembali menjelang, di luar masih dingin dan gelap. Jam dinding yang terletak di tembok dapur menunjuk angka lima pada jarum yang pendek dan jarum yang panjang menunjuk angka enam. Sedangkan seorang perempuan berambut panjang sebahu dan lurus itu sedang sibuk menyiapkan makanan untuk sarapan. Sarah hanya sendiri, sebab Bik Arni melakukan pekerjaan lain di luar. Perempuan itu tidak pernah keberatan untuk masak, sebab ia memang suka memasak sehingga Sarah sering kali menyuruh Bik Arni untuk melakukan pekerjaan lain dan cukup ia saja yang memasak. Tetapi tetap saja terkadang mereka bisa memasak bersama juga. Lalu suara acara televisi yang berasal dari ruang keluarga adalah tanda bahwa Rafi sudah bangun. Laki-laki itu mempunyai kebiasaan sehabis bangun pagi langsung menyalakan televisi, biasanya sembari mengemil. Lapar adalah kebiasaan setelah bangun tidur Rafi dan juga Sarah. "Sarah," panggil suara tak asing dari arah belakang. Tanpa menoleh pun perempuan ya
Hari semakin siang, jam di dinding pun berdetak hingga menunjuk angka satu. Namun gadis pirang yang penampilan modis itu hanya menatap sahabatnya yang sedang makan dengan lahap nasi sayur yang ia beli di depan rumah sakit. Adilla pada akhirnya meminta ganti shift dengan temannya hanya demi menjaga Bayu. Kata perawat, Bayu bisa pulang setelah menghabiskan satu kantong cairan infus guna menyuntikkan nutrisi yang kurang dalam tubuhnya itu. Adilla duduk di kursi samping keranjang, melipat kedua tangannya sembari terus menatap Bayu dengan seksama. Gadis itu sedang mencari-cari sesuatu yang disembunyikan, siapa tau ia dapat mengetahui hanya dengan melihat gurat wajah Bayu. Tetapi laki-laki itu terlalu lahap memakan makanannya seperti orang kelaparan, sehingga Adilla tidak bisa menangkap sesuatu yang mencurigakan. "Aaaaa ..." Bayu menyodorkan sesendok nasi beserta sayur di depan mulut Adilla. Siapa yang tidak risih ditatap intens seperti sedang menangkap basah malin
"Makan dulu Bay." Adilla menyodorkan nampan makan yang dibawakan oleh perawat tadi kehadapan laki-laki yang duduk di atas brangkar tempat tidurnya. Jarum jam sudah menunjuk angka dua belas siang. Harusnya Dilla sudah kembali ke mes dan bersiap untuk berangkat kerja. Namun karena masih sekitar dua jam lagi waktu masuk, jadi perempuan itu habiskan untuk membantu temannya yang sedang sakit terlebih dahulu. Sebab bagaimana pun Bayu telah banyak menolongnya. "Malas Dil, makan-makanan yang begitu," tolak Bayu tanpa sungkan. "Gue juga cuman kecapean doang, bukan sakit sekarat yang harus makan bubur nggak ada rasa," lanjutnya. "Terus gue harus gimana?" tanya Dilla mendudukkan dirinya di kursi samping ranjang setelah meletakkan nampan di meja nakas. "Beliin gue makanan lain di luar." "Ngelunjak," sungut gadis pirang itu. "Ya gimana ... lo nggak mau lihat temen lo sehat lagi?" Adilla menghela nafas, dari pada berdebat dan semakin panjang
[Flashback] Berawal dari kisah kanak-kanak. Mereka semua memang suka bermain bersama, Sarah, Bayu, Adilla dan teman-teman seumuran lainnya. Saat sekolah Adilla dan Sarah selalu berangkat bersama, kemudian ketika pulang teman-teman yang rumahnya searah dengan mereka termasuk Bayu ikut pulang bersama. Masa kanak-kanak yang biasa, bercanda ria, berceloteh tentang permainan-permainan yang akan mereka mainkan. Atau hanya mengobrol sesuatu yang mereka tau. Namun beranjak remaja dan menginjak sekolah menengah pertama, ada hal-hal aneh yang dulu mereka anggap biasa saja malah menjadi sesuatu yang ambigu. Tentang perasaan lawan jenis yang sulit terdeskripsikan dan sulit dimengerti untuk Sarah. Perhatian-perhatian yang ia dapatkan dengan teman menimbulkan getaran aneh. Ia memahaminya sebagai rasa suka terhadap lawan jenis. Tetapi gadis itu selalu menyangkal sebab ia adalah anak seorang yang terkenal religius di kampungnya. "Sar
Jika diingat kembali, dulu adalah masa kanak-kanak yang membahagiakan. Bermain dan tertawa, saling canda ria tanpa beban yang ditanggung. Namun ketika mulai beranjak remaja hingga dewasa, mengapa banyak masalah yang timbul. Mengapa selalu menyakiti diri sendiri mengenai cinta. Harusnya cinta adalah sesuatu yang membahagiakan untuk kedua belah pihak. Bukan untuk saling menyakiti atau memberikan bekas rasa sakit yang sulit tersembuhkan. Namun bodohnya Sarah, rasa sakit yang ia rasakan bercampur dengan cinta yang sulit di hilangkan. Benarkah dia masih mencintai Bayu? Benarkah ia masih menyimpan rasa suka itu kepada orang yang salah? "Sarah," suara pelan nan lembut memanggil. Perempuan berhijab yang melamun memperhatikan luar jendela kaca mobil itu sempat tersentak kaget. Dia telah terbuai dengan pikiran rumitnya, hingga lupa bahwa ada Rafi di sampingnya. "Ada yang mau dibicarakan?" tanya laki-laki itu menoleh sesaat yang kemudian kembali fokus me