"Aku harus menyusul Nabila," putusku yakin. Kuraup kunci mobil yang tergeletak di meja.
"Mau ke mana kamu? Kita belum menyelesaikan masalah ini," cegah Zayn melihatku berdiri bangkit.
"Aku mau menemui Nabila," jawabku santai, "sudah kutemukan jawabannya."
"Maksudnya ... kamu sudah tahu siapa pria yang telah menghamili Nasya?" Pertanyaan bernada penasaran dari Zayn kutanggapi dengan anggukan mantap. "Siapa?" tanya dia kian penasaran.
Kuabaikan pertanyaan dari Zayn. Langkahku melesat cepat menghampiri mobil yang sudah terparkir rapi bersisian dengan mobil kepunyaan Zayn. Tanganku cekatan menyalakan mesin, lalu tancap gas melajukan kendaraan ke rumah Ibu mertua.
Dari kaca spion terlihat mobil Zayn mengikuti. Aku menghembus napas. Semoga keikutsertaan Zayn ke rumah Ibu tidak kian memperkeruh suasana.
Tepat lima belas menit mobilku telah sampai di kompleks rumah Ibu. Ketika aka
(POV Nabila)Sudah ada lima hari aku meninggalkan rumah. Belum ada tanda-tanda akan kembali lagi ke rumah Cirendeu. Kukira kemarin kedatangan Kak Sabiru akan membawa jalan terang terhadap permasalahan yang tengah kami hadapi. Nyatanya alibinya mampu dipatahkan begitu saja oleh Paman Hasan.Aku sendiri sebagai keponakan paham betul watak Paman Hasan. Walau belum ada dua tahun hidup bersama, tetapi aku yakin pria empat puluh lima tahun itu tidak sebejat yang Kak Sabiru tudingkan. Paman Hasan orang baik dan tenang. Kadang nasihatnya jauh lebih bijak dari pada Ibu.Selama tinggal bersama, aku tidak pernah mendapati Paman Hasan berlaku aneh. Dirinya akan pulang tepat waktu setelah seharian bertugas. Jarang mampir ke mana-mana jika memang bukan hal yang penting. Waktu Paman Hasan dihabiskan untuk bekerja, mendalami ilmu agama, dan juga membantu aku dan Ibu. Kakak dan keponakannya.Seperti saat i
Turun dari ojek online, Nasya menengok kanan kiri. Seolah meyakinkan bahwa tidak ada orang yang mengikuti. Aku sendiri masih setia duduk di dalam taksi. Jarak kamiada sekitar tiga puluh meter. Namun, aku masih bisa melihat gerak-gerik gadis itu. Ketika Nasya mulai memasuki lobi, aku pun turun dari taksi. Untuk menyamarkan penampilan sengaja kuambil kaca mata hitam yang ada dalam tas, lantas memakainya. Kulirik waktu pada jam yang melingkar di lengan. Sudah masuk waktu istirahat. Jalanku terburu mengikuti ke mana langkah Nasya. Walau begitu aku tetap menjaga jarak agar tidak dicurigai. Ternyata gadis itu menuju sebuah bangku tunggu di lobi kantor ini. Nasya lantas duduk dan mengamati sekitar. Aku sendiri memilih berdiri sedikit jauh darinya. Berlindung pada sebuah pohon hias agar tidak terlihat Nasya. "Nabila!" Seketika aku berdiri mematung saat mendengar seseorang memanggil. Itu
"Kak, cepat putar balik mobilnya sekarang!" perintahku begitu mendengar teriakan Reza juga jerit tangis Nasya. Benar mereka bersama. Kak Sabiru masih saja memanggil-manggil nama Reza. Namun, tidak ada sahutan. "Ayo, Kak, cepat!" teriakku sedikit memaksa."Baik." Kak Sabiru menganguk patuh. Pria itu segera memutar balik arah mobilnya. Melajukan kendaraan menuju tempat yang telah kami lewati barusan.Aku sendiri lekas menghubungi nomor petugas DAMKAR. Meminta bantuan pada petugas tersebut, memberi tahu keberadaan Nasya. Karena bagaimanapun juga aku takut Nasya berbuat nekad.Aku paham betul watak gadis itu. Dia tipe gadis keras kepala. Sebelas dua belas denganku. Perilaku itu memang turunan dari Ayah. Karena kita memang satu darah.Usai mendapat tanggapan dari petugas DAMKAR, rasa khawatir ini sedikit berkurang. Bagaimanapun juga aku sanga
"Kak Sabiiir." Aku menjerit histeris. Begitu juga dengan Reza. Heran! Pemuda itu bukannya memanggil nama Nasya, tetapi justru meneriakan nama suamiku.Kami sama-sama melongok ke bawah sana. Tubuh Kak Sabiru dan Nasya menghantam matras empuk yang telah dipersiapkan oleh petugas damkar. Dengan badan Nasya yang tertindih oleh Kak Sabiru. Beruntung para petugas seragam orange itu gegas menghampiri keduanya.Aku dan Reza sama menarik napas lega. Namun, gemetar pada lutut tidak juga mau berhenti. Bahkan tubuhku terasa melemas. Tidak kuasa menopang beban tubuh sendiri, aku berpegangan pada besi penyangga."Mba Bila, gak papa?" tanya Reza peduli. Ketika dia berusaha menolong, aku menepis tangannya. Selain bukan mahram juga ikutan benci pada lelaki pengecut seperti dia."Ayo kita lihat keadaan mereka, Mbak!" ajak Reza kemudian. Pemuda itu mengulurkan tangan bermaksud membantu. Kembali pula kutepis.
"Nabila!"Sontak aku, Kak Sabiru, dan Reza menoleh begitu mendengar ada seseorang yang memanggil. Di selasar Ibu Halimah dan Paman Hasan tergopoh-gopoh mendekati kami. Aku dan Kak Sabiru lekas bangkit menjumpai mereka. Sementara Reza masih terpaku di bangku."Di mana kamarnya Nasya, Bila?" tanya Ibu Halimah dengan raut wajah penuh kecemasan. Di belakangnya Paman Hasan tampak mengatur napas. Keringat yang muncul di pelipisnya menunjukkan jika dia habis berjalan cepat."Di kamar Flamboyan nomer tujuh, Bu." Aku membalas pelan.Mendengar jawabanku, Bu Halimah langsung mengedarkan pandangan. Mencari kamar dengan papan nomer tujuh. Karena kami memang sedang berada di kompleks kamar Flamboyan.Begitu berhasil menemukan kamar yang dimaksud, wanita yang tahun ini baru genap berusia empat puluh tahun itu menyeret langkahnya menuju kamar Nasya. Aku berjalan mengikuti. Begitu juga Kak Sabiru dan Paman
"Itu suara Tara." Nasya menjawab dengan pasti. Reza yang duduk tepat di sebelah Kak Sabiru menarik sudut bibirnya ke atas. "Kami memang sudah memasuki kamar motel ketika Bang Biru telpon. Dan Tara yang merebut hape aku, lalu mematikannya. Karena telpon dari Abanglah makanya aku tersadar," aku Nasya dengan mata yang berkaca-kaca."Mungkin kalo Abang tidak menelepon, aku akan melakukan hal itu dengan Tara," lanjutnya mulai tersedu. "Tapi sepertinya itu lebih mendingan dari pada digauli oleh lelaki pengecut macam dia!" Nasya menunjuk Reza dengan berang."Sabar, Nasya ...." Bu Halimah menenangkan sang putri dengan pelukan.Hening. Kami semua terdiam. Hanya sedu-sedan lirih Nasya yang mengiringi.Nasya mulai bertutur kisah.Flash back on ke malam permen laknat.Setelah bertengkar hebat dengan Tara, Nasya berlari keluar kamar motel. Gadis itu menghidupkan kembali ponsel pint
"Nak Reza, sekarang apakah kamu bersedia menikahi Nasya anakku?" cecar Bu Halimah dengan mata menghujam.Wajah Reza tampak tercekat mendengar pertanyaan dari Bu Halimah. Aku yakin pecund*ng macam dia pasti akan berkelit lagi."Begini, Nak Reza ...." Paman Hasan mulai membuka suara. Pria yang sore ini tampak berwibawa dengan baju koko pendek warna cokelat itu menatap Reza serius. "Kandungan Nasya baru memasuki bulan kedua. Mumpung masih belum ditiupkan ruh ke janinnya dan untuk menutup aib, maka nikahilah dia. Kasus ini juga pernah dialami oleh Nabila. Dan Sabiru kuat menjalaninya. Sabiru benar-benar menjaga hasratnya sampai mereka menikah ulang," urai Paman Hasan panjang.Hatiku menghangat mendengar penjelasan Paman Hasan. Dalam hati aku bersyukur telah dipertemukan jodoh sebaik Kak Sabiru. Tanpa sadar kuremas tangan dia yang memang duduk berhimpitan denganku. Membuat Kak Sabiru menyipit bingung. Aku sendiri hanya bisa ter
Akhirnya badai itu telah berlalu. Gonjang-ganjing yang dibuat Nasya dengan menyeret nama Kak Sabiru telah terlesaikan. Adikku itu akan menikah dengan Tara, mantan kekasih yang masih mencintai. Sementara Reza si pelaku juga berjanji akan menafkahi Nasya selama kehamilan dan persalinan. Juga memberi santunan untuk anaknya kelak.Sore ini selepas dari kantor, Kak Sabiru membawaku pulang ke rumah Cirendeu. Seolah hapal jalanan, Keanu terlihat begitu senang di dalam mobil. Bayi yang sudah bisa berjalan sepatah-patah itu melonjak-lonjak riang di pangkuanku.Ketika Kak Sabiru memutar lagu favoritnya yaitu Lagu Ceria milik band favoritnya J.Rock, Keanu ikut bertepuk tangan. Bocah lucu itu menyimak lagu dengan mengikuti sang ayah menggerakkan kepalanya atas bawah. Alias manggut-manggut. Bahkan di lampu merah tak sungkan Kak Sabiru menggoyang-goyangkan tangannya. Membuat Keanu mengikutinya.Aku sendiri hanya hanya tersenyum ge
Sedikit ragu aku melangkah menuju kamar. Membuka laci nakas. Aku memang menyimpan alat tes kehamilan. Usia Keanu genap 18 bulan, aku memang lepas KB.Kak Sabiru menginginkan adik untuk Keanu. Sebenarnya aku kasihan pada Keanu. Dia masih terlalu kecil. Namun, aku juga tidak bisa membantah perintah suami.Langkah pelan kuayun ke kamar mandi sembari membawa cawan kecil di tangan. Hati-hati zaman itu kuisi dengan air seni sendiri. Lalu mulai mencelupkan alat tersebut pada cairan berwarna kuning kecoklatan itu.Beberapa detik kemudian tanda dua garis merah muncul. Mulutku ternganga. Antara bahagia dan galau. Bahagia karena impian Kak Sabiru mendapat momongan lekas terpenuhi. Namun, kalau juga karena Keanu belum lepas ASI."Udah, Bil?" tanya Kak Sabiru dari luar. Sepertinya dia sudah tidak sabar. Aku diam tidak menyahut. Hanya langsung membuka pintu kamar mandi saja. "Bagaimana hasilnya?" tanya Kak Sabiru antusi
"Sedang apa?" Aku dan Elma menyela cepat.Kak Sabiru bergeming. Dia tampak menyesali ucapannya."Ayo katakan, Biru! Apa yang sedang Zayn rencanakan?" desak Elma sambil menarik-narik lengan suamiku. Seperti anak kecil yang merengek pada kakaknya."Aduh gimana ya?" Kak Sabiru mengusap tengkuknya beberapa kali. "Sebenarnya ini tuh rahasia, El. Aku sudah berjanji untuk tidak membocorkannya padamu," tutur Kak Sabiru dengan wajah meragu. "Laki-laki itu yang dipegang adalah omongannya, jadi ... sorry to say. Aku gak bisa." Kak Sabiru angkat bahu, lalu menangkup kedua tangan."Yah ... Biru gak asyik," keluh Elma kecewa. Gadis itu sengaja memanyunkan bibirnya ke depan."Denger, El, percaya deh sama Zayn. Dia itu pemuda yang baik." Suamiku berucap yakin. "Udah yuk lanjut makan!" suruhnya sambil menunjuk makanan dengan matanya.
"Kiara?" sapaku dengan perasaan tidak menentu.Jika aku paling mencemburui Kiara, maka Zayn adalah lelaki paling mencemburui Kak Sabiru cemburui. Sama halnya Zayn yang masih saja perhatian padaku, Kiara bahkan tidak pernah mundur untuk mendapatkan suamiku."Hai, Bila? Baru pulang?" Kiara balas menyambut kalem. Tangannya terulur menjawil pipi Keanu. Bagai sehati bayi itu langsung merengek dijawil oleh wanita yang dicemburui ibunya.Reza menyusul usai mematikan mesin mobil. Pria itu menganguk ramah pada Kiara dan ditanggapi senyuman simpul oleh sang gadis."Iya, nih," sahutku sambil berusaha mendiamkan Keanu, "tumben main? Ada apa?" Aku mencoba santai saat bertanya."Kayaknya kamu gak suka aku menginjakkan kaki di sini deh." Kiara menebak sotoy sembari berkacak pinggang. "Cemburu, ya?" Kiara meledek dengan seringai kecil.Aku mendesah pelan. "Salut ya. Setelah serangkaian ak
Usia sholat Isya bersama, kuajak Kak Sabiru makan malam bareng. Lelaki itu menurut. Walau dia jujur mengaku sudah mampir makan di restoran favorit saat balik ambil laptop."Pantes saja aku nungguinnya lama," balasku dengan sedikit merajuk. Bibir pun sengaja kubuat cemberut. Kak Sabiru paling senang melihat aku bermanja-manja padanya.Begitu sampai di meja makan kubuka tudung saji. Hanya ada menu semur daging dan jamur goreng krispi. Walau begitu ada tatapanmupengyang kulihat dari matanya."Aromanya bikin cacing di perut menggeliat lagi," selorohnya sambil menarik kursi. Pria itu langsung menyomot jamur goreng tersebut. Lantas mengunyahnya perlahan-lahan.Bunyi kriuk-kriuk yang keluar dari mulut membuat aku tersenyum senang. Dengan semangat kuciduk nasi dari dalam rice cooker. Nasi putih pulen dengan asap yang masih mengebul kusiram dengan kuah semur dan potongan dagingnya.
Sambil menunggu kepulangan Kak Sabiru, Keanu aku kompres dengan air hangat. Saat menatap mata mungil Keanu yang terlelap, rasa menyesal menusuk sukma. Hanya karena uang aku mengabaikan anak ini. Padahal Kak Sabiru sudah mencukupi segala kebutuhan. Pantas rasanya jika lelaki itu kesal.Pelan-pelan suhu tubuh Keanu mulai turun. Rasa khawatir ini perlahan luntur. Kutengok jam kotak yang menempel pada dinding. Sudah satu jam lebih Kak Sabiru pergi. Namun, belum ada tanda-tanda ia kembali.Sembari menunggu kedatangan suami kesayangan, aku membersihkan badan. Tidak perlu lama-lama karena malam kian menjelang. Apalagi saat mendengar kumandang adzan Isya, kegiatan ini lekas kusudahi.Ketika melintas untuk kembali ke kamar tampak Ibu tengah menikmati hidangan makan malam sendiri. Wanita itu hanya menengok sekilas tanpa mau menyapa. Mungkin dia masih marah.B
Rasanya seperti maling yang tertangkap basah. Tiba-tiba aku dilanda gugup. Apalagi saat melihat wajah Kak Sabiru yang datar. Tidak ada senyum, tetapi tidak dingin. Di sisi lain Elma pun menampakkan muka yang sama. Dia yang biasanya ceria hanya menatapku sekilas. Lalu langsung mendekati Nasya yang masih betah berbaring. Tatapan dari Zayn, ia acuhkan. "Bagaimana keadaanmu, Sya?" tanya Elma pelan. "Sudah lumayan membaik," sahut Nasya lemah. "Syukurlah. Maaf ya, aku baru datang hari ini. Kalo Biru tidak mengabari kemarin, aku mana tahu," tutur Elma sambil melirik padaku. Aku sendiri agak tertohok mendengar ucapannya. Sungguh ... bukannya tidak mau memberi kabar pada yang lain, kekalutan pada kondisi Nasya membuat aku lupa melakukannya. "Gak papa, Mbak Elma." Nasya mengedip ramah. Elma tersenyum simpul pada Nasya. Kini tatapannya beralih pada sosok menju
Tidak salah lagi. Itu Kiara dan Zayn. Sedang apa mereka berdua di sini? Setahuku keduanya tidak begitu dekat.Baiklah dari pada otak dipenuhi tanya, lebih baik kuhampiri saja mereka. Tanpa berpikir lagi, kaki ini melangkah menuju tempat Zayn duduk. Tangisan kecil dari Keanu menyadarkan Zayn dan Kiara. Keduanya menoleh melihat kedatanganku."Bila ...." Zayn tampak terpana melihat kedatanganku. Bibirnya melengkung indah. Ya ... mana pernah dia cemberut jika ketemu aku. "Bareng Keanu aja?" Dia menebak sambil menyapu sekeliling. Mungkin mencari tahu dengan siapa aku datang."Iya." Aku membalas pelan. Lalu mulai duduk di samping Kiara. Keanu yang rewel kuberi sepotong muffin kudapan dua orang ini. Alhasil bocah itu diam menikmati makanan warna cokelat tersebut."Mau minum apa?" tawar Zayn hangat."Apa saja yang penting dingin. Sama air mineral buat Keanu.""Oke."
"Saya cari Sabiru," balasnya benar-benar datar tanpa senyum."Eum ... saya istrinya." Aku masih bersikap ramah. Bahkan tangan ini terulur. Sayangnya aku dibuat menahan ludah yang pahit, karena wanita itu mengabaikan tangan ini. Dirinya tetap menaikan dagu tanpa mau menjabat.Ini masih terlalu pagi untuk emosi. Dan aku juga mau tersulut karenanya. Oke ... tahan napas sejenak."Kalo boleh tahu apa keperluan Ibu mencari suami saya?" Pertanyaan yang ke luar dari mulut ini tetap kubuat selembut mungkin. Karena bagaimanapun juga melayani tamu dengan baik adalah kewajiban."Tolong pertemukan saya dengan suamimu!" pintanya tegas.Benar-benar wanita batu. Dia yang butuh kenapa lagaknya songong begini?Astaghfirullah hal adzim."Siapa, Bil?"Dari belakang Kak Sabiru datang. Lelaki yang masih santai dengan piyama tidurnya mendekat, sembari menggendong K
"Usir Mas Reza, Kak Bila! Aku mau bercerai dengan dia!' teriak Nasya lantang walau masih lemah. Telunjuknya mengarah pada Reza dengan tatapan sengit. Dan air matanya tetap saja berderai."Nasya Sayang---""Aku bilang pergi!" Nasya menyambar keras. Matanya mendelik marah pada suaminya."Sya ... tolong maafin, Mas. Sumpah---""Kamu dengar gak sih aku bilang pergi!" Nasya kembali menggertak."Sabar, Nak." Ibu Halimah menenangkan sang putri yang dipenuhi arah dengan dekapan lembut."Reza, tolong kamu patuhi perintah Nasya. Biarkan dia beristirahat untuk memulihkan kondisinya." Ibuku pun mulai angkat bicara.Namun, dasar Reza bebal! Seruan Nasya dan nasihat Ibu hanya jadi angin lalu saja baginya. Dia tetap bersikukuh berdiri di ruangan ini."Mas, tolong jangan buat keributan di sini!" Aku yang geregetan akhirnya turun tangan dengan menarik paks