"Sakit nggak, Pak? Maafin Pak Arkan ya? Beliau emang suka banget mukulin orang. Tapi kalau penyakit marah-marahnya udah hilang, biasanya beliau baik lagi kok. Saya mewakilinya untuk minta maaf pada Pak Revan ya?" Ibell meminta maaf tulus. Sungguh ia tidak tega memandang wajah Revan yang hancur. Semakin dilihat, semakin tidak tega dirinya.
"Ngapain kamu yang minta maaf, hm? Dalam duel itu menang kalah adalah hal yang biasa. Tidak usah terlalu kamu fikirkan. Ini tidak begitu sakit kok. Rasanya cuma seperti digigit semut. Kami pasti sering digigit semut 'kan? Soalnya Ibell 'kan manis?"
Revan mulai mencoba
"Pak, boleh tidak kalau saya membayar hutang saya dalam bentuk uang saja. Tetapi, ya tetap dengan cara mencicil. Sa-saya tidak mau lagi melakukan kerajinan tangan dalam membayar hutang. Bagaimana, Pak?" tanya Ibell harap-harap cemas. Semoga saja Arkan mengabulkan permintaannya. Karena Arkan diam saja, Ibell pun melanjutkan kalimatnya."Alhamdullilah, selain menjual kue, saya 'kan juga sudah bekerja di restaurant. Jadi mudah-mudahan saya bisa mencicilnya tiap bulan. Bagaimana, Pak? Boleh?"Ibell menatap takut-takut netra mata Arkan. Seperti tadi, Arkan sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Di dalam keremangan cahaya lampu tidur yang redup, wajah Arkan datar tanpa ekspresi. Sesungguhnya di dalam hati Arkan mengalami perang bathin yang luar biasa. Ia tahu bahwa dia sudah salah dasar.Seharusnya ia tidak boleh menyertakan hatinya dalam permainan ini. Dan kini ia t
Baru lima menit mobil Arkan meninggalkan kontrakan, sebuah mobil mewah terlihat memasuki halaman rumah kontrakan. Raven datang sambil menjinjing sebuah plastik yang berisi beraneka macam makanan untuk sarapan."Ealah, Den bagus pagi-pagi buta sudah mampir toh. Mari-mari masuk, Den. Ibell itu baru saja minum teh anget. Nggak mau sarapan katanya.""Kenapa dia nggak mau sarapan sih Mbok? Kan sebentar lagi waktunya dia mengantar kue. Mana punya tenaga dia nanti mengayuh sepeda kalau tidak mau sarapan."Raven khawatir mendengar bahwa putrinya tidak mau makan. Mbok Darmi pun menghampiri Raven sambil berbisik pelan."Ndak tau, Den. Tapi si Eneng nangis-nangis terus daritadi entah kenapa. Apa mungkin dia kecapekan belajar nyambi kerja ya, jadi gampang mewek? Si Mbok pun bingung Den."Mbok Darmi menarik nafas panjang bingung melihat sikap majikan kecilnya yang tidak
Dan akhirnya disinilah Ibell berada. Duduk setengah bersandar dikursi kebesaran si Boss Besar, dengan sang Boss sendiri yang mengobati luka yang sudah mulai mengering ditelapak tangan kirinya. Setelah pingsan kurang lebih satu jam, kini keadaan Ibell sudah mulai membaik."Saya sudah tidak apa-apa, Pak. Ini sudah hampir jam dua belas siang. Sebentar lagi restauran akan ramai. Saya ke pantry dulu ya Pak, mau bersiap-siap." Ibell bangkit dari kursi kebesaran Cakra. Dia merasa sudah merasa enakan. Dia tidak mau terlihat memanfaatkan keadaan hanya untuk sekedar bermalas-malasan."Oke. Kamu boleh kembali bekerja. Tapi Saya akan menugaskan kamu dibagian mengecek order pesanan customer saja. Jadi kamu tidak perlu kedepan dan menghidangkan makanan.""Mengapa begitu Pak? Saya merasa saya sudah cukup kuat untuk bekerja. Lagipula Saya ini masih dalam masa tran-""Saya hanya tidak mau kalau kamu memaksakan diri kedepan
Ibell berjalan memasuki sebuah club yang berjuluk Heaven's On Earth, sesuai yang di WA oleh Tante Rose. Seumur hidup Ibell tidak pernah memasuki tempat remang-remang dengan musik jedag jedug yang membuat jantungnya pun seolah-olah ikut bergetar, karena kuatnya suara musik. Sepanjang Ibell memandang, banyak sekali para executive muda dan sosialita yang bergoyang heboh di dance floor atau pun hanya sekedar duduk-duduk di bar sambil menikmati minuman-minuman mahal.Sebenarnya dari detik pertama Ibell memasuki club, para predator-predator itu sudah memasang mata dan telinga. Mengamati dalam diam, siapa pemilik gadis cilik ini. Beberapa pengusaha tajir bahkan sudah bersiap-siap untuk merogoh kocek mereka sedikit lebih dalam, demi mendapatkan gadis yang terlihat segar luar dalam ini. Hari ini adalah hari pelelangan. Makanya para eksmud tajir pecinta selaput dara sudah berkumpul semua sejak pukul delapan malam. Padahal puncak acara adal
Ibell yang merasa suasana semakin tidak kondusif, berinisiatif untuk segera ke depan. Dia takut kalau Arkan akan benar-benar membakar club ini. Arkan adalah itu type orang tidak suka banyak bicara tetapi langsung saja beraksi. Rose dan Ibell yang baru saja bermaksud keluar, kaget saat pintu kamar kembali digedor kencang. Kali ini bahkan sudah diiringi dengan suara-suara teriakan tajam disertai dengan suara daging yang saling bertumbukan."Roseee! Ini gue, Raven. Gue tau lo di dalam. Buka pintunya Rose!!! Kalo lo masih nggak mau buka juga, gue ancurin ini pintu!"Ibell terpaku di tempatnya berdiri. Daddynya juga datang!"Astaga Ibell. Kamu membawa gerombolan orang gila ke sini! OMG Apalagi ini?"Rose yang membuka kamera CCTV untuk melihat kekacauan di dalam club, seketika ternganga saat melihat ada dua orang gila lagi yang ikut mengobrak abrik club. Meja bartender y
"Bajingan!" Raven merangsek maju kearah Arkan, yang masih memegangi pergelangan tangan kanan Ibell."Jangan, Om. Hati Om boleh saja panas, tetapi logika tetap harus dipakai, Om. Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada Om, saya hanya mau bilang kalau tidak ada gunanya Om menantang orang ini berduel. Om itu maaf, sudah tua. Stamina Om sudah tidak seprima saat Om masih muda dulu. Kalau memang orang ini telah melakukan kesalahan pada putri Om, sebaiknya kita melaporkannya pada pihak yang berwajib saja. Saya rasa itu hukuman yang lebih worth it untuknya."Revan menarik tubuh Raven menjauhi Arkan. Revan adalah orang yang logis. Dia tidak akan mau berperang dan kemudian mati konyol kalau menyerang hanya mengandalkan emosi sesaat. Maju ke medan perang tanpa senjata dan amunisi, itu tolol bin bahlul namany
Huaaaaaa!!!'"Ke-kenapa B-Bapak bisa ada disini?" Ibell langsung menyambar selimut dan membalutkannya sembarang pada tubuh polosnya. Matanya memandang Arkan dengan ngeri. Jangan-jangan Arkan sudah merusaknya semalam. Seperti ancamannya pada waktu itu. Bagaimana kalau dia hamil sementara kuliahnya juga baru dimulai? Bagaimana pandangan masyarakat pada umumnya kalau dia punya anak tanpa memiliki suami? Dan di atas semua kekhawatirannya itu. Bagaimana dia bisa mengayuh sepeda dengan anak dalam gendongannya coba? Kan susah? Mana sepedanya sudah dipasang dengan keranjang kue pula."Bapak ngapain saya saja semalam? Bapak pasti sudah merusak saya kan?Hiks... hiks... hiks."Bapak tega!"Arkan memperhatikan berbagai emosi dalam perubahan air muka Ibell. Gadis ini ekspresinya bagaikan buku terbuka. Mudah sekali membacanya. Arkan memang pernah mengancam untuk merusaknya. Semalam, saat
Ibell berdiri di depan pintu apartemen daddynya, sesuai dengan nomor yang telah di WA oleh Om Radja. Sejenak Ibell hanya diam terpaku. Ia ragu.Masuk jangan, masuk jangan, jangan masuk.Ibell berkali-kali berpikir. Akhirnya ia pun memutuskan untuk masuk. Sudah sampai di sini, untuk apa ia ragu kembali bukan?Sembari menekan angka kombinasi password yang telah diberitahukan sebelumnya, Ibell harap-harap cemas. Sejurus kemudian pintu apartemen pun terbuka.Aroma tajam minuman beralkohol seketika menyeruak ke dalam hidungnya. Ibell melanjutkan langkah. Keadaan ruang tamu benar-benar seperti habis diterjang badai katrina. Botol-botol minuman sebagian pecah dan sebagian lagi bergelimpangan di sofa. Ibell melanjutkan langkahnya ke arah pantry. Kapal pecah pun kalah berantakannya di sini. Sisa bir, ampas kopi, kotak sampah pizza hingga bungkus mie instan bertebaran di mana-mana. Langkah kakinya