Bab 127Hening, Eril tidak menjawab sepatah kata. Dia langsung menutup saluran telponnya tanpa basa – basi. Bukan tanpa sebab, lelaki itu kebingungan menjawab.Reynard termasuk pria jenius, memiliki tampang manis, kepercayaan dan charisma yang tinggi. Selain itu ia juga pandai karate. Pikiran Eril mengembara. Bagaimana jika Amina jatuh cinta kepada laki – laki itu? Sebuah belati seperti merobek dadanya. Perih, sekali!“Asem! Ini salahku. Kenapa aku meminta Reynard menemui Amina?” gerutunya kesal.Pemuda itu menghembuskan napas berat. Kemudian matanya menerawang menyusuri tiap sudut kamar hotel di salah satu sudut Timor Leste. Negara yang pernah menjadi bagian NKRI tersebut.Ia kini berada di Pulau Atauro, di sebuah bungalow sederhana. Bangunannya terbuat dari bambu dan atap rumbia. Lokasinya jauh dari mana – mana.Semalam, ia acak memesan tiket pesawat dan pilihannya jatuh ke Dili. Ia tertarik setelah melihat orang menyelam. Lelaki itu kemudian menelungkupkan kepalanya di bawah bantal
Bab 128Eril tidak menghiraukan perkataan Adrien. Laki - laki itu dengan angkuh melewati Adrien lalu berjalan menembus badai."Ril, Eril!" teriak Adrien. Suaranya melengking, berharap pemuda itu menoleh padanya.Sia - sia! Suara Adrien tertelan gemuruh hujan yang disertai angin kencang.Ranting - ranting pohon meliuk, seakan berputar dan saling bergesek, menimbulkan suara menakutkan.Beberapa pohon yang akarnya tidak kuat harus rela tercabut dan terhempas mengotori halaman resort.Hati Adrien cemas angin kencang itu menerbangkan atap bungalow mereka."Jasmine!" Ingatan Adrien melesat ke keponakannya. Ia tadi meninggalkan bocah itu di kantin.Tanpa memedulikan hujan. Adrien berlari menuju kantin. Ia lega melihat Jasmine berada bersama tamu lain. Dia asyik makan jagung bakar dan acuh terhadap ganasnya badai.Di kantin ada api unggun yang berada di tengah - tengah ruangan kantin. Selain untuk menghangatkan badan, seringnya tamu menggunakannya untuk membakar jagung dan ubi, hasil kebun re
Bab 129 Adrien mendesah panjang. Hatinya mendadak sedih, teringat dua orang yang dicintainya meninggal, dan meninggalkan anak kecil yang harus ia urus. Diusapnya kepala Jasmine lembut. “Aunty yakin, lelaki itu akan selamat. Sekarang, sebaiknya kita tidur, besok banyak pekerjaan yang menunggu kita.” “Iya Aunty.” Setelah itu Jasmine membaca doa mau tidur. Bismika Allahumma ahyaa wa bismika amuut. Adrien tersenyum melihatnya. Kemudian ia mematikan lampu di kamar. Resor mereka belum terjangkau listrik, sehingga mereka menggunakan solar panel untuk menghidupkan lampu, men- charge ponsel serta laptop. Lampu di resor menyala mulai jam 6 sore sampai 10 malam. Setelah itu gelap gulita. Mereka mengandalkan penerangan alami. Di sana tidak ada televisi maupun kulkas. Sebagai gantinya, Adrien menyediakan gitar, dan permainan seperti catur, karambol, kartu serta banyak buku sebagai hiburan mereka dan tamu yang berkunjung. Tamu – tamu yang datang ke resor menyukai idenya. Meskipun ada internet
Bab 130“Aunty… Aunty!!” Jasmine berlari kencang ke resor.Sontak, teriakan anak kecil itu membangunkan Stephane, turis asal Perancis yang menghuni bungalow dekat pantai.Pria bule itu tergesa – gesa menghampiri Jasmine. “What’s up Jasmine? Where is Adrien?” tanyanya ingin tahu.Melihat Stephane, Jasmine segera menarik tangan lelaki itu untuk mengikutinya. “Sir, please followed me. I saw a death man on the beach.” Ia setengah memaksa supaya pria itu mengikutinya.“Let’s go!’ kata Stephane ingin tahu.” Dia mengikuti langkah kecil Jasmine.Bersamaan dengan itu, Adrien terbangun. Ia kaget karena Jasmine tidak ada bersamanya. “Jasmine, di mana kamu?” Dengan panik dia keluar mencari Jasmine. Hatinya tergerak pergi ke pantai.Kemudian, di dekat kapal cepat miliknya, Adrien melihat sinar lampu senter, dan dua orang yang sedang berjongkok. “Jasmine, bersama dia?” Tergesa – gesa ia mendekatinya.Stephane membalikkan tubuh Eril, kemudian ia memeriksa nafasnya. Dengan sigap lelaki itu merobek ka
Bab 131“Amina! Buka pintunya!” Suara Iswati melengking memecah pagi.Bik Susi yang mendengar suara Iswati menghadap ke Amina. “Ada mamanya Mas Eril di luar. Biarin saja dia ya, Bu. Kita tidak usah membukakan pintu.” Ia masih kesal dengan perempuan itu.Amina menarik napas. “Jangan begitu, Bik. Bagaimana pun dia tetap tamu kita.” Dia melangkahkan kakinya hendak membuka pintu, tetapi Fahri mencegahnya.“Biar saya saja Tante.” Tanpa menunggu persetujuan Amina, anak kecil itu membukakan pintu gerbang. Ia lalu ke lantai atas, menemui Ayang dan berjaga – jaga melindungi gadis cilik itu.Kepala Amina muncul dari balik pintu. “Silahkan masuk, Tante.” Ia menutupi rasa tak nyamannya, kenapa wanita itu masih mau datang, setelah dia mengusirnya tempo hari. Apa yang mau dilakukannya lagi? Seribu bertanyaan berhamburan datang di benak Amina.Rupanya Iswati datang bersama Dokter Kartika, mereka diantar oleh lelaki yang pernah dia lihat sebelumnya.Amina mengamatinya sejenak. Untuk beberapa saat mat
Bab 132“Siapa laki – laki itu, Tante.” Sorot mata Amina menghujam mata Iswati.Tak ayal, pertanyaan Amina membuat dada Iswati bergetar hebat. “Saya peringatkan kamu! Jangan sembarangan menuduh orang lain. Saya masih setia dengan papanya Eril!” jawabnya terengah – engah.Amina mencibir. Dia senang melihat Iswati terprovokasi oleh pertanyaannya. “Saya tidak menuduh, saya hanya ingin tahu siapa laki – laki yang mengantar Tante dua kali ke sini? Kenapa Tante tidak menyuruh Eril?”Iswati diam, dia masih mencari alasan tepat. Kemudian, Reynard menjawabnya.“Kalau tidak salah, dia adalah Vincent, wartawan gossip.” Lelaki itu melihat ke Amina. “Apa kamu yakin tidak pernah melihat Vincent? Dia tinggal di apartemen Setiabudi, sayangnya Eril tidak pernah menyukainya.”Amina tersenyum tipis. Sekarang masalah mulai jelas. “Sebernarnya, tujuan Tante ke sini mau apa? Mencari Eril atau hanya mau membuat berita heboh untuk memojokkan saya?”Iswati berubah gagap. “S-saya mau tanya Eril, itu saja. Tapi
Bab 133 Maksudmu, wanita yang menunggu di teras? Memangnya kenapa dengan dia?" Amina serius menanggapi pertanyaan Reynard. "Apakah kamu mengenalnya?" Reynards menegaskan pertanyaannya. "Huum? Dia Psikiaterku, tapi belakangan ini dia berubah secara mendadak dan seolah -olah tidak mengenalku. Padahal sebelumnya kita akrab." Amina kaget dia.bisa begitu terbuka dengan Reynard yang baru beberapa hari dikenalnya. “Apa kamu mengenalnya?” tanyanya balik. Reynard tersenyum tipis. "Apa kamu tidak merasakan keanehan dengan perubahan sikapnya itu.” Ia menggali apa yang ada dalam pikiran Amina. Amina menggelung rambutnya ke atas dan memperlihatkan lehernya yang jenjang. “Keanehan soal apa dulu. Pernah sih terlintas di kepalaku kenapa Dokter Kartika berubah. Sayangnya, masalah yang datang bertubi – tubi membuatku mengabaikannya.” Ia memperhatikan Reynard yang serius mendengarkannya. “Apa kamu pernah menanyakan perubahan itu padanya? Siapa tahu, kamu pernah menyakiti hatinya.” Reynard hati – h
Bab 134 Sementara itu, di Atauro. Adrien duduk terkantuk – kantuk di sisi ranjang Eril. Sesekali dia memeriksa suhu badan lelaki itu. Badannya masih panas. Wanita itu lalu mengganti kompres di dahi Eril. “Amina… Amina…!” Eril terus mengigau dengan alis saling bertaut. Adrien mengusap peluh di dahi Eril, “Apa gara – gara wanita kamu sembunyi di sini, Ril?” gumamnya pelan. Sudah dua hari, Eril demam, dan Adrien setia menunggunya, dan ini malam ke tiga. Beruntungnya dia memiliki staff seperti Maria, Joseph dan Robert mereka bergantian menjaga Eril. Adrien sadar, sebagai pemilik resor, ada tanggung jawab tak tertulis untuk membuat nyaman tamunya. Ia memiliki prinsip, setiap tamu yang menginap di resor adalah keluarganya. Maka ia harus menjaga mereka seperti keluarganya sendiri. Wanita itu menguap berkali – kali, lalu merenggangkan tangannya ke atas. Ia sangat lelah dan butuh istirahat. Setelah melihat tertidur nyenyak, dia menyandarkan punggungnya di tiang bambu. Keesokan paginya…
Bab 178 – Last Episode Jantung Amina serasa mau berhenti, wajahnya seketika memucat melihat Mama dan Neneknya Eril hadir di sana. Wanita itu melepaskan pelukannya. “Kenapa kamu memeluk Amina di sini? Lebih baik bawa Amina ke KUA. Jangan bikin malu orang tua!” kata Iswati bengis. Sontak, Amina terkejut. “Kejutan apa lagi ini, Rey?” tanyanya kebingungan. Reynard, Bu Hesti, Pak Mulyadi, dan Diana bertepuk tangan. “Luar biasa sekali acting Bu Iswati ini. Cocok jadi pemeran antagonis,” ucap Pak Mulyadi bersemangat. “Hesti, kamu mestinya ambil dia untuk salah satu sinetronmu?” Bu Hesti tertawa. “Urusan talent, aku kan pakarnya. Bu Iswati sudah aku kontrak. Baru saja kami menandatangi surat – suratnya.” Iswati tersenyum malu. Amina semakin bingung. “Ril… tolong jelaskan semua ini kepadaku?” “Biar saya yang menjelaskan,” kata Bu Hesti. “Amina, seperti yang saya bilang sebelumnya. Saya mempunyai dua kejutan. Yang pertama adalah kembalinya Eril bersama kita. Dia sangat mencintaimu,
Bab 177 Amina mengenakan baju terbaiknya. Ia mematut dirinya lama sekali di depan kaca. “Ibu sudah cantik, kok,” kata Ayang geli, melihat sikap ibunya yang bolak – balik menatap cermin. “Benarkah? Ibu merasa kurang pede,” kata Amina. “Yang dikatakan Ayang benar. Ibu cantik sekali.” Bik Susi mengacungkan dua jempolnya. Hari ini ia tidak berjualan dengan Amina, karena Reynard mengajak semuanya pergi. Fahri yang telah berpakain rapi lalu memotret sang Ibu dan memperlihatkannya pada Amina. “Ibu cantik!” Anak itu tersenyum bahagia. Amina tersipu, mendapat pujian dari keluarganya. “Ngomong – ngomong, Reynard mau mengajak kita kemana ya, Bik?” Baru saja Amina selesai bertanya, Reynard sudah muncul di depannya. Pakaian dia rapi dan wangi. “Aku akan membawa kalian ke tempat spesial,” jawab Reynard dengan senyum lebar. “Apa kalian semua sudah siap?” “Sudah dong.” “Kalau begitu, mari kita berangkat.” “Mas Rey, kita mau naik apa?” tanya Bik Susi. “Naik mobil dong, Bik. Masak mau naik
Bab 176“Bagaimana kami percaya? Kamu bisa saja mengelak dengan cara menuduh orang lain?” kata Reynard.“Aku juga tidak percaya dengan kalian. Siapa tahu Eril juga berbohong supaya dia tidak mau bertanggung jawab pada Dokter Kartika.” Vincent membela diri.“F*ck,” cetus Eril gusar. “Kita berdua sama – sama terjebak, dan satu – satunya cara kita harus mendatangi datang ke Jember dan menemui Dokter Kartika dan memintanya mengaku siapa lelaki yang harusnya bertanggung jawab.”“Hmm… sorry, pekerjaanku banyak. Aku tidak bisa ikut kalian.”Reynard menyeringai. “Boleh saja kamu begitu, dan aku tinggal menyebarkan soal hubunganmu dengan Dokter Kartika ke media, beres kan?” Ia mengancamnya. “Aku juga tahu, sugar mommymu.”Gigi Vincent gemeretuk. Dia tidak bisa mengelak lagi.***“Dokter Tika, aku kecewa dengan dirimu. Tak kusangka, kamu bisa senekat itu untuk mendapatkan apa maumu. Kamu rela menghancurkan sahabat baikmu sendiri, dan sekarang meminta pertanggung jawaban aku.” Eril menatap mata
Bab 175“Apa kamu yakin ini cara yang akan kamu tempuh, akan membuat Dokter Kartika mengaku?” Reynard menatap Eril dengan was – was. Lelaki itu selalu membuatnya khawatir.“Bagaimana aku tahu, jika aku tidak mencobanya?” jawab Eril datar. “Sumpah demi Allah! Aku tidak pernah meniduri Dokter Kartika, dan sekarang dia meminta aku bertanggung jawab atas kehamilannya.”Pria itu mendengus, kemudian mengambil rokok dan menyalakannya. “Atau kamu punya ide lain?”Reynard menyalakan rokok dan menghembuskannya pelan ke udara. Mereka masih di salah satu café di bandara. Rencananya, Eril mengajaknya ke Jember, menemui Dokter Kartika dan menyelesaikan masalahnya. Setelah itu barulah ia mau bertemu dengan keluarganya dan Amina. “Aku ragu, jalan yang kamu tempuh akan berhasil, mengingat Dokter Kartika itu licik. Jujur aku tidak menyukainya.” Reynard melihat Eril.“Apa kamu tahu, dia menjelek – jelekkan Amina ke media, ke ibumu. Selain itu dia juga menjadi mata – mata Jazuli bersama Amel. Dia perna
Bab 174Eril terhenyak. “M-maksudmu? Amina tidak jadi artis lagi?”Adrien menggeleng. Dia lalu mengajak Eril duduk di living room lalu menceritakan apa yang didengarnya dari Reynard.“Amina bahkan melarang Reynard untuk mengambil mobilmu, meskipun hidupnya sengsara.” Perempuan itu memandang Eril, dengan sendu. “Karena dia sangat mencintaimu Ril.”Mendengar cerita kelabu Amina, Eril menggigit bibirnya. Dadanya dihantam rasa bersalah tidak bisa melindungi perempuan itu.“Aku juga menemui Ibu dan nenekmu, mereka mengharapkan kehadiranmu dan tanggung jawabmu pada Dokter Kartika,” lanjut Adrien. Kedua matanya nanar memandang Eril.Eril memberikan respon. “Tanggung jawab apa? Aku tidak punya hutang apapun kepada Dokter Kartika.”“Apa hubunganmu dengan Dokter Kartika?” tanya Adrien hati – hati. Ia khawatir pertanyaan menyinggung hati Eril.“Teman biasa. Aku mengenalnya karena dia adalah Psikolog Amina. Justru Amina yang dekat dengannya?” Eril menjelaskan.Adrien mengambil napas. “Aku serius
Bab 173BRAKHesti membuka pintu kantor dengan kasar. “Diana!” Ia memanggil sekretarisnya dengan nada melengking tinggi.Diana yang sedang berada dalam toilet, kaget dan buru – buru menghadap Hesti.“Ada apa, Tante?” jawabnya gugup dengan dengkul gemetaran. Baru kali ini ia melihat Tantenya itu sangat marah dan frustasi.“Kenapa kamu tidak pernah memberitahu saya soal Amina? Apa yang kamu kerjakan selama ini?” Hesti melemparkan tas Hermes miliknya ke kursi.Bola mata Diana berputar kemudian naik ke atas, mengingat – ingat kejadian. “Bukankah Tante yang meminta saya, untuk tidak membicarakan soal Amina?” Ia ingat betul, beberapa waktu lalu, Hesti marah besar kepadanya. Gara – gara dia memberikan titipan Amina dari satpam RTV.Hesti kelihatan menghela napas berat. Dia merasa tertohok dan menjadi orang jahat. Diana, tak bersalah, ia saja yang suka memarahinya. “Mana titipan Amina?” tanyanya parau. Ia ingat pernah meminta sekretarisnya itu untuk membuang titipan Amina.Bergegas Diana menu
Bab 172 “Hih, najis aku ke rumahmu,” sahut wirda jutek. Seketika dirinya muak melihat Amina yang masih kelihatan cantik meski dengan sandal jepit dan pakaian sederhana. Amina tersenyum tipis. “Terserah!! Aku tidak mau memaksa. Asal kamu tahu, Bapakmu sudah menyiksaku selama 6 tahun, dan itu sudah cukup menimbulkan trauma berat. Meskipun aku melarat, tak sudi aku mau merebut suami orang.” Perempuan itu menghela napas pendek. “Daripada kamu menuduh sembarangan, lebih baik telepon suamimu sekarang dan tanyakan apakah dia punya selingkuhan bernama Wirda?” Ia menduga arwah gentayangan yang menemuinya semalam adalah selingkuhan suami kakaknya Wahyu. Mereka memiliki nama yang sama. Wajah Wirda tegang, urat di mukanya menonjol sehingga membuat wajahnya kian tua. Gigi perempuan itu gemeretuk menahan emosi. “Bangsat! Kamu sekarang malah berani menyuruhku!” katanya kasar. “Mba, tahan emosimu, lebih baik kita tengok Bapak sekarang.” Wahyu menyeret tangan kakaknya menjauhi Amina. “Amina, maa
Bab 171 Amir, teman Abah Anom mendekati tubuh Jazuli. Ia menaruh tangannya di depan hidung pria itu. “Dia masih bernapas,” katanya. Lelaki itu melihat ke Abah Anom dan Amina. “Selanjutnya, kita apakan dia?” “Amina, Abah menunggu perintahmu. Jika kamu mau dia mati, anak buah Abah bisa menghabisinya dan membuangnya ke tempat yang tak terdeteksi. Kedua orang itu sangat professional.” Dengan tenang Abah Anom mengatakannya. Lelaki itu dulu terkenal sebagai jawara di kampungnya. Ia ditakuti banyak orang. Amina bergidik mendengar penjelasan tuan rumahnya. Sebenci – bencinya dia pada Jazuli, dia takkan mau menorehkan sejarah sebagai otak pembunuh. “Kita bawa dia ke rumah sakit saja. Nanti saya akan hubungi keluarganya.” Amir dan temannya menggeleng – gelengkan kepala dengan kebaikan hati Amina. Padahal nyawa perempuan itu tadi terancam, tetapi dia malah menolong orang yang mengancam hidupnya. Abah Anom tersenyum kecil. Dia menepuk pundak Amina dua kali. “Kamu memang wanita baik. Abah kag
Bab 170 Serta merta Jazuli menerkam Amina hingga perempuan itu terjatuh ke lantai. Kemudian ia menciumi wanita itu dengan penuh nafsu. “Sudah lama aku menginginkan kamu Amina sayangku!” Kedua tangannya menekan tubuh Amina hingga perempuan itu sulit berkutik. Bau jigong menyeruak dan menusuk hidung Amina. Perut wanita itu bergolak hebat, pingin muntah entah antara rasa jijik dan putus asa. “Lepaskan aku. Aku janji akan membayar hutangmu segera!” Amina meronta berusaha melepaskan cengkeraman Jazuli dan menghindari serangan ciuman Jazuli yang membabi buta. Napas perempuan itu ngos – ngosan. Akan tetapi kekuatannya kalah besar dengan pria gaek itu. Jazuli tertawa terbahak – bahak. Semakin Amina melawan, nafsu binatangnya itu kian menggelora. “Aku tidak butuh uangmu, cantik! Aku hanya butuh kamu!” Ia merasa dirinya menang dan berusaha menindih Amina. Tatapan pria itu kian liar menelusuri wajah cantik Amina. Melihat posisi Amina yang terancam, Fahri mengambil tongkot bisbol. Ia men