Mari kita percaya pada pikiran Robin 🙂
Bukan hanya Poppy, Antonio pun semakin resah selagi melihat jam tangan. Dia merasa sangat ingin menyeret Robin yang tak melakukan atau mengatakan apa pun, berdiri seperti patung kokoh yang tak dapat diruntuhkan. “Kau tidak mau duduk dulu dan makan siang bersama kami?” Akhirnya, Alice memecah suasana canggung. Robin segera duduk bersila di karpet, membuat Antonio ternganga, sedangkan Poppy langsung bergeser agar tak terlalu dekat dengannya. Melihat dari betapa cepat Robin menanggapi ajakan Alice, dia seperti sudah menantikannya sejak tadi. “Aku sudah berjanji pada orang tuamu untuk menjagamu. Bukan berarti aku senang duduk di tempat kotor ini.” Robin berniat menyindir Poppy, menunjukkan bahwa dirinya hanya ingin menyenangkan putri kenalannya. Secara tak langsung mengatakan jika dia tak sudi duduk di samping Poppy. Akan tetapi, Poppy malah mengambil saputangan. Kemudian mengulurkan saputangan itu kepada Robin. “Gunakan ini untuk melapisi tempat dudukmu supaya celanamu tidak kotor …
Omong kosong apa yang baru saja Alice ucapkan?! Robin merasa salah karena meninggikan suara, tetapi tak merasa ucapannya salah. Dia memang ingin agar Alice bisa segera hidup mandiri. Bukan karena dia membenci Alice, tetapi hanya mendidik Alice supaya tidak bergantung kepada orang lain. Biar bagaimanapun, Robin bukan orang tua Alice. Dia juga memiliki bisnis berbahaya yang kemungkinan besar bisa melibatkan orang-orang di sekitarnya. Alice akan lebih aman jika setelah lulus sekolah berpura-pura tak mengenal dirinya, kecuali jika Robin telah mendapatkan semua aset kakeknya. “Kau ingin kabur dari rumah dengan mengajak istriku?” Robin ikut berdiri, tak suka mendongak ke arah dua wanita itu. Ucapan Alice tentang Poppy bukan kesalahan bagi Robin. Namun, walaupun dia tak puas atau tak suka pada Poppy, bukan berarti mereka bisa kabur sesuka hati. Poppy belum melahirkan keturunannya! “Apa kau yakin istriku mau pergi denganmu?” tantang Robin. Tentu saja Poppy tak akan berani melangkahkan k
Robin telah memutuskan akan membantu Poppy sembuh dari trauma dan tak punya lagi pikiran untuk menggantikan Poppy dengan wanita lain. Setelah berpikir panjang, menikah lagi untuk mendapatkan kekuasaan dari kakeknya akan membuat masalah semakin rumit. Namun, Poppy malah memilih Alice daripada dirinya? Hah! Robin hanya bisa tertawa dalam hati. ‘Tidak semudah itu kau bisa kabur dariku!’ Langkah Robin penuh percaya diri ketika dia meninggalkan Poppy. Dia tampak sangat menikmati ekspresi terkejut yang ditunjukkan istrinya, sampai lupa sejenak jika dia harus segera ke kantor. “Anda tahu tentang lukisan itu?” Poppy kembali menyusul Robin. “Tuan, katakan pada saya, siapa yang telah menjual lukisan itu?” Ketakutan Poppy akan Robin Luciano tak lebih besar dari rasa ingin tahunya tentang keluarganya. Dia sampai berani menarik lengan Robin agar berhenti untuk bicara dengannya, tatapannya pun berusaha melihat mata Robin yang lurus ke depan. Namun, Robin tetap tak berhenti melangkah. “A
“Kenapa Kakek tidak bilang dulu sebelum datang?” tanya Robin, mencoba untuk mengalihkan pertanyaan Dante. Robin yakin jika Dante hanya mendengar percakapan terakhirnya dengan Poppy setelah mencerna pertanyaan Dante. Jika Dante benar-benar mengetahui situasinya dengan Poppy, dia tak akan bertanya. “Kau seharusnya ada di kantor sekarang! Dan aku tidak berkewajiban melaporkan setiap kegiatanku padamu!” Dante menunjuk Robin menggunakan tongkat jalan, tepat di depan wajahnya. “Apa kau menipuku dengan menyewa perempuan ini untuk kau jadikan istri?!” “Omong kosong apa yang kau katakan, Kakek? Untuk apa aku menikah dan membuat hidupku rumit jika hanya untuk menipumu?” sanggah Robin sambil menyingkirkan tongkat dari depan wajahnya. Dante memicingkan mata, tak terlihat percaya sedikit pun dengan Robin. “Jadi, kau mengaku jika hidupmu rumit karena berpura-pura menikah?!” Robin menghela napas kasar. “Ya, hidupku rumit karena menikah, tetapi aku tidak pura-pura menikah dengannya. Aku bisa menu
“Bagaimana aku tidak marah kalau rapat penting denganmu tertunda karenanya?”Robin enggan berdebat dengan kakeknya. Lagi pula, memang benar dia terlambat menghadiri rapat karena Poppy. Dia pikir, Dante tak akan marah kepada Poppy karena mereka tak cukup dekat. Tak masalah jika dia mengkambinghitamkan Poppy. Terlebih lagi, Robin cukup kesal karena Poppy mulai berani melawannya.“Tidak, Kakek! Robin bohong! Aku tidak pernah mencegah Robin pergi ke kantor! Dia sendiri yang tiba-tiba datang dan malah duduk santai mengganggu kesenanganku!” Kali ini, Poppy mengatakan hal sesungguhnya, sekaligus meluapkan isi hatinya. Dia semakin takut setelah melihat raut wajah Dante mengeras, tak ingin mengalah atau terkena kemarahan Dante.Robin tertawa tanggung dan tak percaya. Perempuan yang selalu berlagak seperti tikus kecil yang terpojok dan tak berdaya, kini berani menuduhnya di depan Dante. “Wah, wah, kau benar-benar pintar membual!”Rahang Dante berkedut sambil menatap Poppy dan Robin bergantia
“Poppy, aku punya berita baik!” seru Rafael sambil mengetuk pintu kamar. Poppy bergegas membuka pintu dan berniat mengusir Rafael. Robin pasti akan menuduhnya lagi jika melihatnya bicara dengan Rafael, apalagi di depan kamarnya. “Rafael, sekarang bukan waktu yang tepat untuk bicara.” “Tidak, kau harus mendengarkanku dulu! Barusan aku mendapat informasi tentang orang yang menjual lukisan wanita yang mirip denganmu!” Rafael menunjuk lukisan di dalam kamar Poppy dengan tatapan mata. Poppy sontak terpaku menatap Rafael. “Sungguh? Siapa orang itu?” Poppy berusaha bersikap tenang agar tak terlihat mencurigakan karena begitu tertarik dengan lukisan itu. Namun, ketenangan Poppy segera hilang ketika melihat Robin mendekat dari kejauhan. Ekspresi Robin dingin dan terlihat marah. Entah marah karena kejadian sebelumnya atau marah karena Poppy bicara dengan Rafael? “Kita bicara nanti saja, Rafael. Aku tidak mau Robin salah pa
Robin seolah sedang mengatakan jika Poppy tak seharusnya memercayai Rafael. Meski tak dikatakan secara langsung ataupun menyebutkan alasannya, Poppy merasa kali ini Robin bukan sedang mengancamnya, melainkan memberinya peringatan. ‘Rafael sangat baik padaku. Dia juga banyak membantuku. Apakah karena Tuan Robin tidak akur dengan Rafael sampai membencinya dan berpikir buruk tentangnya?’ “Jika kau salah memercayai seseorang sampai merusak rencanaku, kupastikan kau akan benar-benar menyesal,” ancam Robin kali ini. Poppy menelan ludah susah payah. Kata-kata Robin sesungguhnya ada benarnya. Beberapa saat lalu, Rafael menyebut nama keluarga asli Poppy. Rafael pun mengatakan akan mencari informasi tentang wanita bernama Nyonya Valentine, yang Poppy pastikan adalah ibu tirinya. ‘Rafael tidak boleh mencari tahu tentang latar belakangku. Sebaiknya aku minta bantuan Tuan Robin saja, daripada masalah semakin runyam karena identitasku yang sesungguhnya terbongkar,’ batin Poppy memutuskan. “Aku
“Anda … mau membantu saya?” Poppy menatap Robin penuh harap.Akan tetapi, Robin tak menjawab. Dia kembali melumat bibir Poppy dengan ciuman yang semakin panas.Tangan Robin meremas tubuh Poppy, menyelusuri punggungnya. Poppy merasakan hawa panas yang mengalir dari setiap sentuhan Robin meski terhalang kain.Sementara itu, Robin mulai memejamkan mata. Bibir mungil Poppy terasa lebih manis dari saat dia pertama kali menciumnya.Benar. Robin masih mengingat ciuman pertama mereka, tetapi dia menyangkalnya.Robin Luciano telah berjanji pada diri sendiri bahwa dirinya tak akan memberikan hatinya kepada siapa pun. Ketika mencium Poppy saat ini, pikirannya juga terus menyanggah bahwa dia mulai tertarik kepada Poppy.BUK!Robin mengangkat badan Poppy, lalu mendudukan di atas meja. Dia melepas ciumannya hanya untuk berkata, “Kau seharusnya minta bantuanku.” Kemudian kembali mencium Poppy.Poppy pun tak berniat menjawab. D
Poppy terbelalak kaget, dadanya berdebar kencang. Dia ingin berteriak, tetapi tangan seseorang membungkam mulutnya.“Poppy, jangan berteriak dan bicara dengan pelan,” bisik Alice.Poppy melirik ke samping, melihat Alice berjongkok di dekat ranjangnya dengan ekspresi serius. Kemudian, dia mengangguk sebagai jawaban.Saat ini, waktu telah menunjukkan pukul satu dini hari. Alice biasanya tidur lebih awal, tetapi sekarang tiba-tiba muncul di kamarnya yang seharusnya telah dikunci dari dalam.“Apa yang kau lakukan di sini, Alice? Bagaimana kau bisa masuk?” tanya Poppy sembari duduk.“Dengarkan aku baik-baik, Poppy. Segera temui Nyonya April di lantai satu lewat balkon kamar ini.”“Ap–”Alice kembali membekap mulut Poppy yang akan berteriak. “Ada tangga tali yang sudah kusiapkan di pagar balkon untuk berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu. Turunlah dengan tangga itu dan jangan menimbulkan suara.”“Kenapa? Apa yang terjadi?” bisik Poppy dengan suara panik.“Ada penyusup memasuki rumah ini. Semua
“Tuan Larry!” seru Poppy ternganga. Dia celingukan di sekelilingnya. Beruntung, tak ada orang yang mendengar.‘Tunggu, kalau dia tahu kejadian itu ….’ Wajah Poppy sontak merah padam ketika mengingat Robin pernah menghukumnya di elevator!“Waktu itu aku sedang memperbaiki sandi elevator. Hanya hari itu saja aku tidak sengaja mengintip.”Tampaknya, Larry tahu apa yang pernah terjadi di ruang sempit itu. Dia pasti dapat mencium aroma dari cairan cinta yang tertinggal ketika akan menemui Stefan yang saat itu masih mendiami lantai tiga.Namun, Poppy tentu tak akan menyadarinya. Dia mengurut dadanya, lega karena kejadian memalukan itu tak terlihat siapa pun.“Bukankah kau tadi bilang, aku tidak boleh membicarakan tentangmu. Mengapa kau ikut masuk?” tanya Poppy ketika masuk ke bangunan utama kediaman.“Aku akan menemui ibu palsumu. April adalah teman baikku. Ada yang ingin kubicarakan dengannya.”“Ya ampun, kau selalu membuatku terkejut!”“Kau pasti akan terkejut lagi setelah tahu kalau dia
Robin masih melihat foto surat Rafael untuk istrinya. Dia tampak bimbang membuat keputusan.“Tuan, rencana besar kita akan dimulai dua hari lagi. Anda bisa mengurus Rafael, sementara saya yang akan memimpin keberangkatan ke Pulau Solterra.” Antonio menunjukkan tekad yang besar dari sorot matanya.Antonio adalah sosok yang dapat dipercaya. Dalam kondisi apa pun, dia masih bisa menjaga ketenangannya. Namun, Robin sedikit khawatir jika Antonio akan meluapkan emosinya ketika penyerbuan dimulai.Ketika Robin datang ke Pulau Solterra malam itu, dia dapat melihat tatapan tajam Antonio saat mendekati Saul, seperti ingin mencekiknya dengan kedua tangannya sendiri. Mungkin karena Saul sedang menyembunyikan Poppy di balik punggungnya, Antonio menahan kemarahannya waktu itu, pikir Robin.“Tidak. Aku akan pergi ke sana bersamamu.”“Tuan, Anda juga tahu jika saya tidak akan berbuat sembarangan hanya karena dendam pribadi saya. Saya bersumpah tidak akan mengacaukan rencana Anda,” ucap Antonio bersun
“Aku aku pernah meyakini jika Nyonya Sienna tidak pernah berselingkuh. Dari sifatnya, kau juga bisa menebak itu, bukan?”Poppy mengangguk.“Tapi, ada saksi mata yang melihat perselingkuhan mereka. Dia adalah Rod, tangan kanan Tuan Dante, sebelum digantikan Luca. Selain itu, ada bukti hasil tes DNA yang menyatakan bahwa Tuan Rafael bukan anak kandung Tuan Stefan.”“Tapi, Tuan Dante bisa memalsukan hasil tes seperti itu dengan mudah, apalagi waktu itu belum maju seperti sekarang. Robin bahkan bisa membuat identitas baru untukku dalam semalam.”Raut wajah Larry yang sebelumnya tenang, kini terlihat keruh, membayangkan masa lalu pahit tuannya. “Kau benar. Aku bisa menyelidikinya lebih dalam, tapi Nyonya Sienna tiba-tiba menghilang, serta meninggalkan pesan bahwa dia sudah tidak bisa hidup bersama dengan Tuan Stefan karena tidak mencintainya lagi … sekaligus membenarkan perselingkuhannya dengan salah satu pengawal kediaman.”“Mustahil …,” gumam Poppy kecewa.“Tuan Stefan pasti mengatakan pa
Poppy kembali bingung. Apakah Larry berada di pihak Rafael? Namun, sudah jelas jika Stefan mengatakan membenci putra bungsu yang bukan darah dagingnya.“Pengawal Robin di depan pasti akan melapor padanya kalau tahu kau datang dari luar. Aku akan mengantarmu.”“Tunggu sebentar.” Poppy mencegah Larry yang akan berdiri. “Bisakah … kau memberi tahuku … di mana Nyonya Sienna saat ini?”“Mengapa kau ingin tahu?”Meski telah mendengar dari Stefan, tetapi Poppy masih penasaran apakah ucapannya benar atau hanya efek dari kejiwaannya yang terganggu. Poppy ingin tahu dan mencari solusi agar bisa menyembuhkan luka di hati suaminya.“Aku hanya ingin mengenal Robin lebih dalam. Dia tidak akan mengatakannya padaku. Kuharap, dia bisa membagi luka di hatinya denganku.”Larry dapat melihat dengan jelas pipi Poppy merona. Dia tersenyum samar, kembali duduk dengan santai.“Kalau kau tidak keberatan mendengarkanku dan menyimpan rahasia ini dari siapa pun.”Poppy segera mengangguk. Larry lalu mulai berceri
Larry baru kali ini bertatap muka dengan Poppy dalam jarak yang cukup dekat. Rupanya, ada alasan khusus mengapa Robin memilih wanita ini, pikirnya. Perawakan dan rambut Poppy hampir mirip dengan Sienna. “Kau … siapa? Mengapa kau ada di sini?” Stefan mendadak sadar jika Poppy bukanlah istrinya.Saat ini, Poppy dan Stefan bersimpuh di lantai. Mereka baru selesai menenangkan diri setelah menangis cukup lama. ‘Mungkinkah dia terlalu banyak menangis sehingga pandangannya menjadi jernih dan melihatku bukan sebagai istrinya lagi?’ batin Poppy bertanya-tanya.“Aku bertanya padamu! Jangan membuatku mengulang pertanyaanku dua kali! Apa kau gadis bayaran papaku untuk menggodaku?!” sergah Stefan. Caranya membentak, bahkan kalimatnya sangat mirip dengan putranya.“Saya adalah menantu Anda. Istri Robin Luciano.”Poppy melirik ke arah Larry yang sudah membuka mulut akan mencegahnya menjawab jujur. Seharusnya Poppy tidak mengatakan identitasnya, sebab Stefan masih menganggap Robin masih seperti bel
Poppy ternganga, panik bukan main hingga membeku di tempat. Dia tak sempat bereaksi dan hanya memejamkan mata dengan erat ketika Stefan sudah berada di hadapannya, seakan-akan ingin menusuknya.“Pengawal sialan! Kau berani menyentuh istriku, hah?! Aku akan membunuhmu!”“Hentikan!” jerit Poppy dengan suara melengking tinggi. Dia segera membuka mata ketika tak mendengar pergerakan di sekitarnya.Stefan yang sudah berada di dekatnya, hampir menusuk pengawal yang tetap diam dengan tenang, tiba-tiba berhenti bergerak setelah mendengar teriakannya. Pisau dapur di tangan Stefan langsung terjatuh dari genggaman, beruntung tak mengenai kakinya.“M-maaf … aku tidak bermaksud berteriak …,” sesal Poppy, takut membuat Stefan semakin marah. Poppy mundur perlahan, menatap salah satu pengawal untuk meminta pertolongan. Namun, tak ada yang mendekat atau hanya terlihat ingin menolongnya.Para pengawal itu tetap waspada meski diam saja. Mereka tak mau membuat kemarahan Stefan semakin menjadi-jadi.Stef
Poppy awalnya takut pada Stefan. Namun, setelah melihat warna matanya yang sama dengan Robin, dia bisa memastikan jika pria itu berhubungan dengan keluarga Luciano, warna mata yang cukup langka di dunia.‘Apa aku pernah melihat orang ini sebelumnya? Siapa dia?’Stefan berkedip lambat seperti baru saja terbangun. “Maaf, Sayang, aku tidak bermaksud membentakmu.”Genggaman di pergelangan tangan Poppy mengendur. Tangan Stefan gemetaran dan ekspresinya menunjukkan kekhawatiran. Takut Sienna palsu di depannya marah, lalu meninggalkannya.Poppy yang melihat mata Stefan berembun menjadi kasihan padanya. Dia bisa saja kabur, namun penasaran dengan sosok di depannya.“Kau tidak marah, ‘kan? Tolong jangan marah padaku,” pinta Stefan dengan suara gemetar.“Tidak. Aku yang justru minta maaf karena berniat menerobos wilayahmu.”“Tunggu di sini dulu. Aku akan membukakan pintu ini.” Genggaman Stefan kembali mengencang. “Jangan pergi ke mana-mana,” ucapnya memelas.Poppy mengangguk, tapi Stefan tampak
“Nyonya, saya akan patroli dulu,” pamit Marcello. Setelah kepergian Robin, suasana di kediaman terasa sepi. Robin mengajak hampir separuh pengawal kediaman, tetapi menambah pengawal khusus untuk berjaga di luar rumah. Alhasil, pekerjaan pengawal di kediaman cukup sibuk. Para pengawal baru Robin hanya berjaga di area depan, terutama di pintu-pintu masuk, berjaga jika ada penyusup menyerang selagi Robin tak ada. Karena itu, Poppy sangat berterima kasih pada Marcello yang meluangkan waktu untuk melindunginya. “Ya. Terima kasih sudah menjagaku, Marcello. Mari kita makan malam bersama seperti biasa nanti.” “Baik, Nyonya.” Begitu masuk ke dalam kamar, Poppy sekilas melihat ke arah jendela. Dia lalu berhenti sejenak, memandang ke bawah. Dari lantai dua itu, dia bisa melihat halaman rumah cukup jelas. Mendadak, Poppy ingat surat Rafael. “Haruskah aku ke sana?” Setelah menimbang-nimbang sebentar, Poppy memutuskan akan memeriksa tempat yang dimaksud Rafael, sebelum waktu pertemuan dua h